Oleh: M. L. Aldila Tanjung * Sudah memasuki bulan ke empat berlalu sejak kebijakan Work From Home (WFH) di beberapa kantor disusul Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah sebagai langkah menekan laju penyebaran Covid-19. Kini kita sedang bersiap memasuki era baru yang disebut kenormalan baru. Era baru ini disebut-sebut membawa perubahan signifikan pada cara kita memulai pagi sampai malam, dari tempat kerja menuju rumah, dari cara berpakaian hingga cara berkomunikasi. Teruntuk cara berkomunikasi. Sudah banyak protokol Kesehatan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan dimana salah satu yang jadi sorotan saya kali ini adalah bagaimana cara kita menjaga jarak untuk berkomunikasi antar manusia. Jika sebelumnya untuk rapat kita bisa duduk memenuhi seluruh kursi dalam sebuah ruangan, kini hal tersebut menjadi suatu yang dihindari. Jangankan duduk dalam sebuah ruang rapat, untuk sekedar bertegur sapa satu sama lain saja harus ada jaga jarak fisik (physical distancing) dengan ketentuan minimal 1 meter, tidak bersalaman, tidak berpelukan apalagi berciuman pipi. Hal ini tentu membawa pergeseran baru bagi kita dalam berkoordinasi terkait pekerjaan. Ini dimulai dengan mewabahnya penggunaan percakapan video melalui aplikasi Zoom atau Google Meet sejak Pandemi Covid-19 meledak. Seiring dengan meningkatnya pamor aplikasi Zoom, suka tidak suka kita diwajibkan beradaptasi terhadap perubahan aktivitas ini. Ada sebuah cerita nyata. S, teman saya. Saya sangat yakin S merupakan orang yang sangat percaya diri dan fasih dalam berkomunikasi mengenai bidang keilmuannya secara tatap muka. Saya bersaksi tidak ada keraguan dalam riwayatnya. Semua orang juga mengamininya. Hingga pada suatu ketika, S diundang mengikuti test wawancara beasiswa via Zoom. S mengakui tidak pernah menggunakan aplikasi tersebut. Sampai tiba proses wawancara dan siapa sangka, S menjadi sosok yang 180 derajat berbeda. Bicaranya gugup dan terbata-bata. Saat sesi wawancara berakhir, S mengakui bahwa wawancara daring melalui Zoom jauh lebih melelahkan daripada wawancara secara tatap muka. Adanya gap sepersekian detik dalam tanya jawab (lag), peserta yang mematikan suara dan video serta emosi peserta yang tidak dapat ditangkap oleh S adalah faktor kegagalan S lulus wawancara beasiswa. Dari fakta tersebut kemudian timbul suatu pertanyaan, apa yang membuat aktivitas ini melelahkan? Dan bagaimana cara mengurangi kepenatan rapat melalui aplikasi Zoom?
0 Comments
28/1/2015 0 Comments Senyapnya Manuver Politik MegawatiEntah disengaja atau tidak, di tengah rimbun dan panasnya ketegangan politik belakangan ini yang dihadapi oleh presiden jokowi, sang ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri seperti hilang ditelan bumi. Padahal, sang ketua umum ini biasanya selalu saja muncul dan tak pernah absen kala ada permasalahan yang melanda kader-kader PDIP-nya. Namun, memang sepertinya si ‘sutradara’ PDIP ini nampaknya memang (masih) tetap memegang kendali dari balik layar. Tentunya dengan kendali cengkraman politik yang dasyat di balik layar serta dengan tetap menjadi pengambil keputusan yang kadang kala ‘mengganggu’ kinerja sang presiden.
Aktivitas spionase dan gerilya politik memang sangatlah cocok disematkan pada megawati selaku sang ‘sutradara’ partai. Meskipun tak pernah lagi terlihat di muka publik, namun nampaknya sang ‘sutradara’ masih sangat sibuk memimpin sejumlah pertemuan. Megawati memang masih kerap bertemu dengan sejumlah pimpinan parpol KIH semenjak kasus calon kapolri Budi Gunawan ini mencuat. Meski presiden jokowi belakangan ini dihadapkan dengan posisi sulit terkait penunjukan komjen budi gunawan menjadi calon kapolri. Dan ditambah dengan terbentuknya opini publik bahwa “BG adalah titipan megawati” namun, megawati nampak tak gamang. Ia tetap memainkan perannya sebagai sutradara partai di balik layar mengendalikan “wayang-wayang”nya. Buktinya, sedari komjen budi gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK hingga sekarang, elit-elit PDIP masih saja bersikukuh dan menampik kabar bahwa BG adalah titipan megawati. Hebat bukan? Tentu saja. Sebegitu hebatnya manuver sang ‘sutradara’ partai ini rupanya mampu menghipnotis elit-elit partainya dan partai lainnya untuk bersama-sama menjadikan diri sebagai ‘aktor’ film dalam drama KPK vs Polri. Dimulai dari penetapan secara (sangat) mendadak status tersangka terhadap BW, konferensi pers si Plt Sekjend PDIP memgenai dugaan politisasi AS pada pemilu 2014, laporan dugaan kasus saham palsu terhadap APP pada tahun 2010, hingga kasus yang baru akan dilaporkan besok (rabu, 28 januari 2015) terkait kriminalisasi yang dilakukan oleh Z pada tahun 2010. Kesemuanya tersebut pada akhirnya memang telah menimbulkan stigma publik : sebenarnya ada skenario apa dibalik ini semua ? dan, siapa tokoh yang menghimpun ‘aktor-aktor’ agar bisa memainkan perannya? Apalagi, belakangan situasi kenegaraan sedang hangat-hangatnya memberitakan kasus cicak vs buaya jilid II. Tentu dengan sangat mudah saya dapat mengamati secara “live” bagaimana situasi politik di senayan sana. Lebih lanjut, kasus cicak vs buaya jilid II ini pada akhirnya malah menjadikan presiden jokowi dalam keadaan serba terjepit. Antara harus memilih suara rakyat, atau memilih suara parpol pendukungnya yang tergabung di KIH atau memilih suara dari ibunda megawati?. Namun, siapa sangka situasi sejuk yang hadir di dua kubu KIH & KMP mendadak berubah menjadi panas pasca penetapan status tersangka terhadap BG. Apalagi, status tersangka disematkan satu hari sebelum BG melakukan fit and proper test di komisi III DPR RI. Mendadak, pada malam hari sebelum fit and proper test berlangsung, rumah megawati pun terasa penuh akan lalu lalang petinggi-petinggi partai koalisinya. Tercatat ketua partai NasDem surya paloh dan para petinggi lain sering hadir mulai dari malam sebelum fit and proper test hingga hari dimana BG dinyatakan lolos oleh DPR RI. Kunjungan-kunjungan tersebut tetap berlangsung hingga pada akhirnya, Presiden memutuskan untuk menunda pelantikan komjen BG sebagai kapolri. Meskipun presiden menegaskan bahwa dirinya hanya menunda dan bukan untuk membatalkan, tetapi tetap saja, tekanan-tekanan dari partai silih berganti menghantam presiden, mendesak presiden untuk segera melantik kapolri BG. Para elit pendukung Jokowi-JK, Hendropriyono misalnya, bahkan dengan lantang mendorong pelantikan komjen BG sebagai ‘jalan keluar’ untuk menyelesaikan persoalan secara politik. Namun bukankah pernyataan Hendropriyono ini malah mengandung seribu makna? Perhatikan.. Apa maksud pernyataannya? Apa maksud kalimat “jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan secara politik”? mari.. silahkan kita interpretasikan masing-masing. Kemudian, pasca presiden menunda pelantikan BG, presiden secara terpisah juga memberhentikan kapolri jenderal sutarman & menunjuk wakapolri komjen badrodin haiti menjadi pelaksana tugas sementara kapolri. Menurut banyak pihak, keputusan presiden ini “blunder” dan telah mensaratkan bahwa presiden telah mengalami turbulensi tekanan politik yang sangat kuat dari berbagai pihak. Belum lagi dengan pemberhentian komjen suhardi alius dari kabareskrim, banyak pihak juga menyayangkan keputusan ini. Karena, presiden mengganti komjen suhardi dengan komjen budi waseso yang dikenal “orang dekat” dari komjen budi gunawan. Banyak pihak memprediksi akan terjadi situasi yang semakin rumit kedepannya. Logikanya : Budi gunawan adalah orang dekat megawati, Budi waseso adalah orang dekat Budi Gunawan, kesimpulannya secara tidak langsung budi waseso (bisa jadi) telah aktik memainkan perannya sebagaimana arahan dari sang sutradara partai, megawati. Namun, tak berselang lama rupanya kabar itu dengan cepat menjadi sebuah fakta. Keputusan-keputusan presiden jokowi ternyata memang tak menyelesaikan persoalan. Situasi kemudian menjadi semakin panas setelah bareskrim menangkap BW pada jumat, 23 januari 2015. Oleh banyak pihak hal ini disebut kriminalisasi atas buntut dari penundaan pelantikan komjen BG menjadi kapolri. Pasca hal tersebut, presiden pun menggelar jumpa pers yang pada pokok pidato yang tak kurang dari 5 menit itu presiden memperingatkan kepada KPK & Polri agar tidak saling bergesekan. Oleh banyak pihak, (lagi-lagi) presiden dinilai tidak menyelesaikan masalah dan malah justru sangat terlihat bahwa presiden jokowi sangat lembek dalam menyelesaikan persoalan. Pasca pidato pertama presiden ikhwal kisruh KPK vs Polri pun, lagi-lagi presiden mendapat cemoohan dari berbagai pihak. Tak terkecuali masyarakat yang sebagian merasa kecewa dengan perilakunya yang terkesan lembek dan ‘gampang diatur’. Setelah itu, presiden pun menggelar jumpa pers yang kedua dengan ditambah dengan pembentukan tim independent sebagai langkah ter-aman ditengah kisruh KPK vs Polri ini. Pada akhirnya, Sang ‘sutradara’ pun hanya cukup duduk manis di rumahnya. Mengendalikan drama politik berbalut hukum ini. Mengamati kapan momentum yang pas untuk melakukan aksi berikutnya. Lambat laun, langkah presiden sepertinya semakin terbaca. Cara-cara yang diambil oleh presiden memang terkesan sebagai cara “nyilih tangan nggo nabok wong” atau bahasa indonesianya “pinjam tangan untuk nabok orang” ini menurut saya sebagai langkah kedua, langkap pertama dilakukannya saat menetapkan BG menjadi tersangka. Presiden sepertinya tidak setuju dengan BG menjadi kapolri, maka ditempuhlah cara meminjam KPK untuk menghentikan langkahnya. Pun demikian dengan sekarang, ia membentuk tim independen sebagai langkah penyelamatnya. Alih-alih mengikuti langkah presiden terdahulu, malah justru menjadikan caranya ini kian terbuka. Ia seperti berusaha menyampaikan ke publik bahwa “saya tidak suka pilihan PDIP. Saya tidak ingin menyakiti perasaan elit partai yang mendukung saya dulu di pilpres. Demikian juga dengan kalian rakyatku. Karena itu saya meminjam tangan orang untuk mengamankan posisi saya” hal tersebut dikuatkan dengan budaya wong jowo yang sangat-sangat lembut untuk menegaskan suatu hal. Inilah yang saya tidak sukai dari presiden jokowi. caranya ini pada akhirnya malah justru menjerumuskan beliau sendiri di tengah “tangan” sang sutradara partai. Semoga presiden jokowi dapat melepaskan diri dari manuver senyap sang ibu megawati. Jakarta, 28 januari 2015 00.37 WIB. Belakangan ini kita dipusingkan dengan kemelut masalah ketatanegaraan yang melanda negeri ini. Presiden dalam konferensi pers di kediamannya memberikan keterangan bahwa penundaan pelantikan komjen budi gunawan sebagai kapolri dilakukan untuk memberikan jalan kepada KPK untuk melanjutkan proses hukum. (sumber)
Hal tersebut disatu sisi saya apresiasi karena presiden masih menghormati proses hukum yang (terlanjur) berjalan di KPK, namun di sisi lain, presiden juga telah menunjukkan pada publik bahwa pilihannya kepada komjen Budi Gunawan ini kurang tepat dan sangat riskan dengan kepentingan politik. Kemelut masalah status tersangka terhadap komjen budi gunawan yang telah disetujui DPR lewat rapat paripurna ini pun pada akhirnya melahirkan stereorotip baru dikalangan masyarakat. Yakni : cicak vs buaya jilid 2. Belum lagi, belakangan tengah terjadi perombakan besar di tubuh kepolisian ditengah panasnya kontroversi proses hukum terhadap komjen Budi Gunawan ini. Banyak media yang kemudian menyangkut pautkan masalah di tubuh kepolisian ini dengan pilihan presiden kepada komjen Budi Gunawan yang berbuntut kemelut internal di tubuh kepolisian. Entah istilah “perang bintang”, “balas jasa”, ataupun “balas dendam” setidak-tidaknya itu semua pernah menjadi headline news yang menarik untuk diperbincangkan di media. Hal ini kemudian menambah stereotip baru, bahwa yang berseteru disini bukan hanya ada KPK & Polri. Namun, juga ada peran presiden didalamnya. Sehingga, stereotip yang muncul pun bertambah karena blundernya presiden untuk memilih kapolri. KPK vs Polri vs Presiden. Sebenarnya kemelut drama KPK vs Polri ini sudah pernah kita saksikan saat kasus Bibit Samad dan Chandra Hamzah mencuat dulu pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, jalan yang ditempuh SBY menurut saya lebih tegas dan terarah. Berbeda dengan jalan presiden sekarang yang sarat akan ‘dikte’ politik dari suatu pihak. Saat itu, presiden SBY sesuai dengan kewenangannya sebagai kepala negara, memerintahkan Jaksa Agung untuk men-Deponeering kasus tersebut. Deponeering sendiri adalah cara kepala negara yang dituangkan kedalam suatu Beleid atau produk hukum untuk memberikan ‘hak’ kepada Jaksa Agung untuk menghentikan penyelesaian suatu kasus jika kasus tersebut kebetulan menyangkut dengan kepentingan orang banyak. Namun, permasalahannya, KPK disini merupakan suatu lembaga hukum ad hoc yang mana merupakan lembaga ekstra di luar Polri dan kejaksaan agung yang sama sekali tidak mengenal SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Sehingga bila kita melihat dengan kacamata normatif, sebenarnya prinsip Deponeering ini tidak dapat dilakukan oleh presiden kepada KPK. Akan tetapi, sejujurnya saya tetap mengharapkan adanya langkah tegas dari presiden jokowi untuk mengatasi kemelut masalah hukum yang menimpa calon kapolri Budi Gunawan ini. Saya memandang perlu, presiden membentuk tim investigasi independen dimana tim tersebut bertugas untuk menyingkirkan kecurigaan publik terhadap KPK. mengapa hal ini diperlukan? setidaknya ini bisa menegaskan dan membuktikan kepada publik bahwa penetapan status tersangka terhadap komjen Budi Gunawan ini bukanlah sebuah ‘pesanan’ politik dari suatu pihak. Dan juga, hal ini dapat membersihkan pandangan-pandangan miring sebagian orang terhadap KPK. karena KPK dalam hal ini merupakan sebuah lembaga hukum, bukan lembaga politik yang memainkan perannya jika ada suatu hal yang dapat (berpotensi) merugikan keberadaannya. Saya merupakan salah satu orang yang heran, mengapa bisa KPK menetapkan status tersangka terhadap komjen Budi Gunawan sehari sebelum masa fit and proper test di komisi III DPR dilakukan? Jika kita menggunakan logika, setidaknya ada banyak waktu luang bagi KPK untuk menetapkan status tersangka terhadap komjen Budi Gunawan. Karena notabenenya, sudah sejak lama KPK mengintai komjen Budi Gunawan. Namun, mengapa KPK harus menetapkan status Tersangka terhadap komjen Budi Gunawan tepat sehari sebelum proses fit and proper test berlangsung? Bisa saja KPK ‘ditekan’ pihak-pihak tertentu yang tidak setuju dengan pengusulan calon tunggal komjen Budi Gunawan menjadi cakapolri. Bisa saja demikian. Entah ditekan dari tubuh internal kepolisian. Atau, KPK berusaha ‘mencuci tangan’ pilihan kotor jokowi yang sarat akan pengaruh politik Megawati? Bisa jadi. karena belakangan ketika saya berkantor di komisi III DPR-RI, saya banyak mendengar info dari informan-informan saya yang sangat terpercaya yang mengatakan bahwa ke-blunder-an presiden jokowi dalam memilih Komjen Budi Gunawan sebagai cakapolri disebabkan oleh intervensi tekanan politik yang sangat besar dari oknum-oknum partai pengusungnya. Tentu saya rasa saya tidak perlu menyebutkan karena pastilah kita tau siapa oknum & partai tersebut. Tapi, lebih jauh lagi ditengah teka-teki politik pilihan presiden jokowi ini, di dalam otak presiden jokowi saya melihat ada pola yang sudah di design sedemikian rupa untuk membuka jalan ‘terbaik’ presiden jokowi. Presiden tidak ingin mengecewakan oknum & partainya tersebut meski resikonya adalah reputasi beliau di depan publik. Itulah yang menyebabkan pada akhirnya mengapa kecurigaan saya muncul di KPK. apakah KPK sengaja digunakan presiden untuk membersihkan pilihan blunder presiden terhadap komjen Budi Gunawan? Bisa saja demikian skenarionya. Itulah mengapa presiden mengambil jalan terbaik untuk dirinya yakni : menunda pencalonan komjen Budi Gunawan sebagai kapolri. Langkah aman karena presiden tidak ingin mengecewakan dukungan politik dari partai-partai pengusungnya. Bayangkan, jika saja (seandainya) pasca penetapan status tersangka presiden langsung membatalkan dan menarik usulan tunggalnya kepada Budi Gunawan kepada DPR, pasti presiden saat ini sedang di-bully oleh partai pendukungnya dengan alasan “presiden telah melakukan Contempt of Parliament (pelecehan terhadap parlemen) karena tidak menghormati keputusan DPR untuk menyetujui komjen Budi Gunawan sebagai kapolri”. Dan kemungkinan terburuk bisa saja partai-partai pendukungnya yang berada di senayan menarik dukungan politik kepada presiden. Ancamannya? Presiden akan sendirian, tanpa dukungan kuat dari partai pengusung terutama PDI-P maka ‘power’ dari seorang presiden adalah sebuah keniscayaan. Presiden akan dengan sangat mudah di impeachment, apalagi jika KPK & KIH bersatu untuk melawan presiden. Bisa hancur riwayat presiden. Dan bagi saya, saya rasa ini pilihan politik yang tidak akan mungkin diambil oleh presiden karena besarnya resiko. Lalu bagaimana jika presiden (seandainya) tetap melanjutkan proses pelantikan terhadap komjen Budi Gunawan? Tentu saya dapat memprediksi. Akan ada banyak agenda-agenda kepolisian yang ‘terselubung’ yang belum pernah terfikirkan sebelumnya. Saya menjadi saksi yang terlibat langsung saat rangkaian proses fit and proper test komjen Budi Gunawan berlangsung di DPR-RI. Salah satu yang sangat mungkin terjadi ialah penguatan fungsi kepolisian dan pelemahan fungsi KPK dan berujung pada pembubaran KPK secara politik. mengingat saat saya sedang kerja di DPR, saya banyak mendengar suara-suara bising dari anggota dewan yang menyatakan bahwa “fungsi kepolisian & kejaksaan harus diperkuat. dan saat ini, kami sudah tidak butuh lagi adanya KPK. KPK sudah melebihi kewenangan”. Budi Gunawan sendiri dimata saya (sepertinya) cukup mudah untuk merealisasikan hal tersebut karena sebagian besar kolega-kolega nya merupakan politisi senayan yang memiliki agenda terselubung 5-tahunan. Belum lagi, bila presiden jokowi tetap bersikukuh melantik komjen Budi Gunawan sebagai kapolri ditengah proses hukum yang berjalan, bukan tidak mungkin presiden akan kehilangan dukungan masyarakat dan stereotip yang berkembang bahwa : “Presiden Indonesia yang sebenarnya adalah Megawati & Jokowi adalah Boneka” akan semakin dan semakin menguat. peran PDI-P kedepannya pasti akan selaku disangkut-pautkan di balik semua kebijakan-kebijakan yang diambil oleh presiden jokowi. teori konspirasi pasti akan selalu dinomor-satukan masyarakat untuk menilai kinerja presiden jokowi. itu pasti. Kita tentu sudah mengetahui bagaimana eloknya budaya adat ketimuran kita. Bagaimana kita mengucapkan rasa terimakasih sebanyak-banyaknya terhadap seseorang yang membantu kita. Bagaimana kita merasa ‘ada yang kurang’ jika belum memberi sesuatu kepada orang yang pernah membantu kita. Saya rasa itulah yang melatar belakangi mengapa presiden kita ini terasa sangat-sangat-sangat loyal kepada Megawati dan partai-partai pengusungnya di masa pencalonannya sebagai calon presiden. Itupun belum terhitung orang-orang non partai yang banyak membantu beliau melanggeng ke istana negara. Lebih dalam lagi, saya tahu persis, bagaimana eloknya wong solo jika sudah dipertemukan dengan orang yang pernah membantu di masa lalu. Budaya ketimuran yang nampak dari sosok presiden jokowi ini tidak dapat dibantah. Si satu sisi bagus memang. Namun, alangkah lebih elok nya jika cara balas budinya bukan dengan cara memberikan bagi-bagi kursi jabatan publik kepada semua orang yang berjasa besar di masa lalu. Apalagi, cara yang dilakukannya sangat konvensional dan cenderung terburu-buru. Nampak sekali intrik busuk yang tidak dapat dinafikan oleh presiden jokowi. nampak pula ada agenda terselubung jangka pendek yang hadir dibalik rangkaian drama politik pencalonan komjen Budi Gunawan ini. Rekomendasi Saya rasa, presiden jokowi perlu mengevaluasi diri lebih dan jauh lebih dalam lagi. Ini bukan lagi saatnya intervensi kepentingan politik didalam tiap kebijakan selalu dijadikan pertimbangan utama oleh presiden. Presiden sejatinya merupakan jabatan utama yang mempresentasikan seluruh elemen masyarakat, pemerintahan dan negara indonesia di depan panggung dunia. Bukan saatnya lagi kita melihat dramatisasi KPK vs Polri vs Presiden & kepentingan politik dibaliknya. Bukan saatnya lagi kita melihat presiden jokowi bertingkah kekanakkan, ketidaksigapannya pada isu KPK vs Polri ini bisa jadi malah menjadi boomerang kuat yang dapat menjatuhkan dukungan masyarakat kepada beliau. Presiden jokowi harus sadar, ekspektasi yang diberikan masyarakat kepada beliau sungguh besar kepada porsi penegakan hukum nasional. Terutama pada trisula lembaga : KPK, Polisi dan Kejaksaan. Presiden jokowi harus sadar, bahwa tidak selamanya ia selalu bisa tunduk didepan kemauan partai dan “ibu” nya. Presiden milik semua rakyat. Buatlah sebuah pilihan yang masih menjadi bagian integral dari kemauan masyarakat luas. Buatlah publik percaya bahwa masih ada harapan pada proses penegakan hukum yang ditegakkan oleh trisula lembaga KPK, Polri & kejaksaan. Berhentilah menyelamatkan reputasi diri wahai sang presiden indonesia. Berhentilah memainkan skenario cerdik yang pada akhirnya malah akan menipu diri sendiri dan kaummu. Sadarlah, bahwa pencalonan kapolri ini merupakan sebuah awal mula indonesia dapat meraih cita bangsa yakni menegakkan hukum dengan seadil-adilnya bagi semua pihak. Biarlah proses hukum yang berjalan di KPK tetap kami kawal hingga ada putusan hukum yang inkracht dari pengadilan. Tunjukkanlah kepada kami bahwa masih ada sebuah keadilan dibalik penetapan status tersangka terhadap Budi Gunawan ini. Kami masih berharap wahai para wakil rakyat kami, bantulah kami rakyat indonesia agar bisa mempercayai pimipinan korps bhayangkara yang berintegritas (jika terpilih) nantinya. Pada akhirnya, mata hati masyarakat indonesia tidak dapat tertipu oleh permainan intrik politik kalian! Jakarta, 19 januari 2015 02.41 WIB 14/1/2015 0 Comments Menjadi Saksi Mata di Komisi III DPR-RI : Intrik dan skenario politik di proses fit and propertest calon kapolri Budi Gunawan Pagi ini, telah dilangsungkan prosesi sakral berupa fit and proper test calon kepolisian republik indonesia (“Cakapolri”) dengan disertai pengambilan keputusan seluruh fraksi di tingkat komisi III DPR-RI di ruang rapat komisi III DPR-RI. Fit and proper test sendiri terlambat dari jadwal yang ditetapkan kemarin saat rapat pleno (13 januari 2015). Fit and proper test dimulai kurang lebih sekitar pukul 09.40 WIB meleset 40 menit dari perkiraan jadwal yang sebenarnya dijadwalkan. Begitu rapat dinyatakan dibuka dengan ditandai dengan pengetukan palu oleh ketua komisi III, pimpinan komisi III pak azis syamsudin langsung memulai dengan mempersilahkan pak Budi Gunawan (“BG”) untuk memaparkan program-program unggulan, dan visi misinya. Pemaparan satu persatu pun dijelaskan dengan jelas. Poin per poin program prioritas pun dijelaskan. Sedikitnya terdapat lebih dari 70 poin dan ratusan sub point yang dipaparkan di slide power point dan hardcopy buku oleh cakapolri BG ini. Pemaparan visi misi ini banyak mendaur ulang program-program yang sudah berjalan selama ini, baik oleh program kapolri sebelumnya (sutarman) hingga pendaur ulangan program nawa cita presiden jokowi dodo saat mencalonkan diri menjadi capres. Kemudian pasca pemaparan program dan visi misi selesai, agenda dilanjutkan dengan pertanyaan dari para fraksi. Jumlah fraksi yang ada di komisi III ada 10. Namun, dari 10 fraksi yang ada ternyata mendadak ada 1 fraksi yang menyatakan menarik diri dari proses fit and proper test. Yakni ialah fraksi partai demokrat. Padahal, dalam rapat kemarin (13 januari 2015), saya sangat ingat pandangan fraksi partai demokrat menyatakan “ya” tetap ikut dalam proses fit and proper test namun, dengan catatan harus ada rapat kerja dengan mitra komisi III yakni KPK untuk menjelaskan poin-poin terkait penetapan status Tersangka terhadap BG. Namun, sekali lagi perlu saya tegaskan.. inilah politik parlemen di negeri ini. Yang namanya politik, pastilah bersifat sangat dinamis dan diplomatis. Mendadak pada rapat hari ini pun, fraksi demokrat memilih untuk bersikap tidak setuju dan menolak fit and proper test. Entah tapi sepertinya ada gerak-gerik mencurigakan dari fraksi partai demokrat terkait penetapan status TSK terhadap BG. Nuansa politik sangat kental dibalik pengunduran diri fraksi partai demokrat ini secara tiba-tiba ini. Akhirnya, dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan dari para fraksi-fraksi anggota dewan komisi III ini, acara rapat pun ditunda pada pukul 12.00 WIB untuk ISHOMA. Forum rapat pun setuju untuk melanjutkan agenda rapat pada pukul Jam 13.00 WIB dengan agenda mendengarkan jawaban dari BG atas pertanyaan-pertanyaan seluruh fraksi. Pada pukul 13.04 WIB yang artinya meleset 4 menit dari jadwal, rapat dimulai kembali. Namun ada yang menarik dari pembukaan rapat pasca istirahat yang satu ini. Jumlah para anggota dewan merosot tajam. Dari sebelumnya hampir lebih dari 35 anggota dewan komisi III yang hadir (tanpa fraksi demokrat), rapat pasca ISHOMA ini ‘hanya’ menyisakan setidaknya 7 anggota dewan yang sudah bersiap untuk rapat. Dari unsur pimpinan rapat pun hanya ada bapak azis syamsudin selaku pimpinan rapat, wakil ketua komisi entah berada dimana. Akan tetapi, Walaupun dalam keberjalanan rapat ini perlahan para anggota dewan hadir satu per satu namun tetap saja bagi saya, ada sedikit kekecewaan terhadap sikap para politisi ini. Sikap mereka dibenak saya malah menimbulkan stigma negatif bahwa para anggota dewan ini memang tak bisa terlepas dari sifat feodal. Atau sifat -semau gue- yang selalu ingin dihormati. Hal itu terscermin dari sikap inkonsisten dan kontradiksinya sikap para anggota dewan ini saat diliput media ataupun tidak diliput media. Kemarin saat saya mengikuti rapat internal pembahasan fit and proper test yang notabene nya tertutup dari media, hampir sebagian besar anggota dewan ini melangsungkan rapat dengan sangat santai, bahkan kemarin saya melihat ada anggota dewan yang kedapatan merokok di dalam ruang rapat. Walaupun memang rapat telah selesai tetapi tak elok rasanya melihat wakil rakyat kita yang terhormat ini memberi contoh yang tidak baik kepada khalayak. Beda lagi ceritanya ketika rapat dilihat oleh umum. Contohnya saja hari ini, Ketika diliput live oleh media. Para anggota ini seakan-akan berlomba-lomba unjuk gigi didepan forum. Padahal substansi pertanyaan telah ditanyakan oleh anggota lain. ataupun substansi pertanyaan sebenarnya justru telah dijawab di awal pemaparan visi misi dari cakapolri ini. Miris memang, tapi inilah faktanya dibalik liputan media massa yang banyak menghiasi layar kaca kita. Suasana kentalnya politik pun saya rasa tercemar jika saya teman-teman saya yang membaca tulisan ini dapat hadir langsung disini untuk merasakan bagaimana atmosphere disini. Setelah itu, Rapat fit and proper test pun kemudian dilanjutkan dengan agenda menjawab semua pertanyaan dari fraksi-fraksi partai di komisi III. Berbagai pertanyaan dari fraksi-fraksi partai kepada cakapolri pun dijawab satu per satu oleh cakapolri. Jawaban dari cakapolri ini sendiri menurut saya bersifat general dan cukup diplomatis atau bahasa sederhananya ‘main aman’. Mengingat jabatan presticious dari kapolri memang erat kaitannya dengan kekuatan politik parlemen. Kekuatan kapolri notabene nya memang membutuhkan kekuatan politik didalamnya, termasuk dari legislatif dan eksekutif. Bayangkan saja BG sesaat lagi akan memegang sebuah jabatan struktural tertinggi di korps bhayangkara, jabatan instasi kepolisian yang menjadi pucuk tertinggi yang membawahi seluruh jajaran polisi se-antero indonesia. Tentulah bukan perkara mudah untuk seorang BG bisa duduk di kursi panas, kursi fit and proper test tersebut. Karena itu, menurut saya jika dipandang dari segi politik pasti BG telah menyiapkan bekingan di parlemen sebagai ban serep seandaikan terjadi masalah ekternal. Contohnya sekarang, pasca penetapan status TSK oleh KPK, BG masih santai dan seolah tidak terjadi apa-apa diluar sana. Sepintas, tadi saya pun cukup was-was manakala pertanyaan satu demi satu dilontarkan anggota dewan kepada cakapolri. Bagaimana tidak, nampak sekali alur skenario yang dibuat sedemikian rupa dengan sangat matang dan sangat presisi hingga berhasil meyakinkan publik bahwa institusi DPR ‘layak’ untuk melanjutkan dan menyetujui proses uji kepatutan dan uji kelayakan terhadap cakapolri ini. Jawaban-jawaban BG atas pertanyaan para fraksi sendiri menurut saya memang sangat terlihat sekali ‘main aman’ nya. Sehingga dari jawaban ‘main aman’ tersebut, kemudian lahir lah reward dari para anggota dewan. Seperti yang tercermin dari pernyataan bpk abubakar dari fraksi PKS. Bpk abubakar mengatakan “baru kali ini saya melihat cakapolri yang sangat meyakinkan. Pemaparannya sangat bagus”. -Hahaha- saya hanya bisa tertawa di tempat duduk saya. Begitu mudahnya anggota parlemen ini di ‘jilat’ oleh jawaban-jawaban BG yang diplomatis tersebut. Berdasarkan catatan saya tadi, Dari sekian banyak klarifikasi terdapat beberapa jawaban yang kurang ‘memuaskan’ telinga saya. Salah satunya janji jika saja cakapolri terpilih, cakapolri BG akan melakukan cara represif dalam penyikapan suatu isu-isu yang berkembang ditengah masyarakat dengan cara mendekati para tokoh masyarakat, kemudian hal-hal lain yang saya nilai cukup memberikan nilai minus untuk seorang cakapolri adalah jawaban atas pertanyaan dari dari bpk junimart ginsang fraksi partai PDIP. Kira-kira Beliau bertanya seperti ini “apa langkah bapak jika sudah terpilih sebagai kapolri terkait demonstrasi anarkis oleh mahasiswa?” Namun yang cukup saya sayangkan, pertanyaan ini rupanya tidak dijawab oleh BG. Selain pertanyaan barusan, ada lagi pertanyaan yang sepertinya ‘sengaja’ untuk dilewati. Seperti pertanyaan dari fraksi partai PKS dapil sumatera utara yang pada pokoknya beliau menanyakan seperti ini “pada Tahun 2005-2007, Kira-kira dimana posisi bapak BG? Karena, Ini untuk membuktikan apa pernah saudara BG terlibat gratifikasi sebagaimana disebutkan KPK?” namun rupanya pertanyaan ini luput dari jawaban. Jawaban BG pun tergolong sangat diplomatis untuk menjawab pertanyaan anggota dewan dari fraksi PKS tadi. Beliau hanya menjawab “tidak, saya tidak terlibat itu”. Kemudian pertanyaan lainnya yang tidak terjawab adalah “apakah surat dari kabareskrim tentang laporan transaksi keuangan BG yang sehat sampai sekarang masih berlaku? Artinya, apakah pernah ada surat pencabutan dari kabareksrim untuk membatalkan dasar hukum tersebut?” pertanyaan tersebut diajukan oleh fraksi partai golkar. Namun sekali lagi, nihil untuk dijawab. Alias BG memilih untuk tidak menjawabnya. Rapat diakhiri kira-kira pukul 14.11 dengan diakhiri oleh kata penutup dari cakapolri BG. Kata penutup ini sendiri menurut saya sarat dengan muatan politis. Bagaimana tidak, berkali-kali ia menyebutkan bahwa ia tidak terlibat dan tidak ada kaitannya dengan penetapan TSK oleh KPK karena BG merasa tidak pernah diperiksa oleh KPK, dan BG merasa KPK belum menyebutkan perkiraan pasal apa yang disangkakan dilanggar oleh BG, sehingga BG merasa KPK telah salah dalam menerapkan status TSK kepada dirinya. BG merasa ada upaya-upaya yang bersifat ‘memaksa’ untuk menjegal dia H-1 di proses fit and proper test nya. Penutupan rapat kemudian disertai dengan ketukan palu oleh pimpinan rapat sebagai tanda sidang diskors dari pimpinan sidang. Agenda rapat selanjutnya ialah rapat pleno yang bersifat rahasia dari media massa dan umum. Rapat pleno sendiri memiliki agenda berupa pandangan dari fraksi-fraksi komisi III minus fraksi partai demokrat terkait fit and proper test calon kapolri Budi Gunawan. Pun selanjutnya, rapat pleno akan dilanjutkan pada pukul 14.30 WIB dan berakhir pada sekitar pukul 15.27 WIB. Rapat pleno pun menghasilkan keputusan bahwa saudara BG disetujui oleh komisi III DPR-RI sebagai kapolri 2015-2017 secara aklamasi. Artinya apa? Seluruh fraksi setuju atas penetapan BG sebagai kapolri. Hasil rapat ini akan dibawa pada sidang paripurna besok (15 januari 2015). disini terdapat beberapa skenario politik yang bisa saya gambarkan. beberapa diantaranya adalah:
Kemudian untuk mengakhiri tulisan ini, cobalah kita berfikir logis sejenak. Kira-kira bagaimanakah nasib kelanjutan BG sebagai kapolri 2015-2017 yang sudah disetujui oleh komisi III DPR-RI? Entah akan direview ulang oleh presiden jokowi dodo yang artinya akan ada calon kapolri baru untuk menggantikan BG karena telah ada proses hukum dari KPK? atau... malah sidang paripurna besok malah semakin akan me-legitimasikan lagi status BG sebagai kepala kepolisian republik indonesia yang baru periode 2015-2017. lebih baik kita tunggu saja nasibnya besok. Tunggu postingan saya lainnya. Terimakasih Jakarta, 14 januari 2015 23.48 WIB 13/1/2015 0 Comments Menjadi saksi mata di komisi III DPR-RI : dibalik penetapan status tersangka terhadap "BG" Sore tadi, Selasa 13 januari 2015 saya diperbolehkan masuk untuk mengikuti proses rapat pleno atau rapat pengambilan keputusan dari Komisi III DPR-RI terkait calon kepala polisi republik indonesia (“Cakapolri”) di ruang rapat komisi III DPR-RI. Maklum, saya diperbolehkan masuk dikarenakan saya sedang melaksanakan magang mandiri di institusi ini. Padahal, awak media hingga tenaga ahli para anggota dewan pun tidak diperbolehkan masuk kedalam ruang rapat. Berbeda seperti saya yang bisa masuk untuk mengikuti proses pemilihan yang terbilang “rahasia” ini.
Pada sesi rapat pleno ini, terdapat satu agenda yakni pengambilan keputusan berdasarkan pandangan para fraksi terkait pemilihan cakapolri tunggal yang diajukan oleh presiden joko widodo yakni bapak komandan jenderal budi gunawan (“BG”). Saya mengikuti rapat pleno ini di tengah acara tepatnya pada sekitar pukul 15.20 WIB. Sebelum mengikuti rapat pleno ini, saya berada di ruang sekretariat komisi III dan kebetulan mendengar percakapan bapak azis syamsudin dan bapak ramon, pembicaraan diawali dari pak ramon ke pak azis “si BG dijadiin TSK sama KPK ya pak?” tanyanya kepada ketua komisi III pak azis. Lalu pak azis pun menjawab “iya pak, tadi saya juga baru denger. Yaudah kita lanjutin aja di rapat”. Kemudian sontak saya beserta pegawai administrasi di komisi III pun terkejut. Karena wajar saja.. pak BG ini hanya calon tunggal yang diusung oleh presiden jokowi dari sekian banyak nama yang disodorkan kompolnas. Sosok BG sendiri cukup fenomenal di mata saya. Maklum, seperti yang kita ketahui bersama bahwa pak BG ini belakangan namanya santer dibicarakan karena beliau dililit oleh kontroversi-kontroversi yang tak kunjung berhenti di gempur oleh media massa kenamaan nasional. Mulai dari pencalonannya yang terkesan terburu-buru, pencalonan beliau karena bisikan dari megawati hingga pencalonannya yang terkesan sebagai “hadiah” karena telah berhasil membantu presiden jokowi dodo melenggang ke senayan. Ya itu semua sekiranya berita yang santer diperdengarkan di semua TV ditengah gencarnya upaya pencarian black box air asia QZ805. Pasca mendengar ucapan pimpinan komisi III, saya pun mensegerakan diri untuk bisa masuk ke ruang rapat komisi III dengan dibantu mas insan selaku pegawai administrasi komisi III. Pasca masuk saya langsung duduk di samping para tenaga ahli (“TA”) komisi III. Begitu saya duduk, rapat pun dilanjutkan dan dimulai dari pembukaan rapat oleh ketua komisi III pak azis syamsudin. Disana pimpinan rapat pun menanyakan ke masing-masing fraksi bagaimana kelanjutan dari proses fit and proper test Cakapolri BG ini. Rupanya semua anggota dewan saat itu sudah mengetahui meski tidak diumumkan oleh pimpinan rapat bahwa BG telah ditetapkan menjadi TSK atau tersangka oleh KPK. Maklum karena mereka politisi maka wajar semua informasi pasti mereka lebih dahulu tahu dibanding media yang berkembang diluar sana. Pandangan fraksi pun diwarnai gerimis interupsi dari sebagian anggota dewan komisi III. Salah satunya dari fraksi PKS yang menyayangkan sikap KPK dalam menetapkan status TSK kepada BG ditengah pengambilan keputusan pemilihan cakapolri. Beliau berpendapat bahwa bukan saatnya sebuah institusi hukum seperti KPK bisa merusak proses fit and proper test pemilihan cakapolri yang di lakukan oleh DPR. Maka fraksi PKS kemudian serentak menyatakan tetap akan melanjutkan proses pemilihan. Fraksi PKS beranggapan bahwa azas praduga tak bersalah mesti dikedepankan ditenggah proses hukum yang serba dadakan ini. Tanggapan lain juga datang dari anggota dewan dari fraksi partai gerindra. Beliau mengatakan bahwa ada baiknya DPR bisa mengakomodir keresahan masyarakat terkait tidak dilibatkannya lembaga KPK untuk memeriksa BG selaku cakapolri. Dan beliau juga mengatakan bahwa kepentingan rakyat mesti didahulukan daripada kepentingan partai. Saran dari beliau pun sama seperti argumennya, yakni beliau memberi saran mestinya DPR dapat melakukan RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) dengan KPK ikhwal proses pemilihan cakapolri ini. Paling lambat esok dan paling cepat nanti sore. Akan tetapi, rupanya pendapat ini dianulir oleh semua anggota dewan komisi III. Karena rata-rata pandangan fraksi mengatakan bahwa proses fit and proper test cakapolri ini masih tetap harus dijalankan meski penetapan status BG yang menjadi TSK telah menjadi headline news nasional. Dari 10 fraksi yang menyatakan “ya” rupanya terdapat dua fraksi yang menyatakan pandangannya “ya” tapi dengan disertai beberapa catatan. Ialah fraksi partai demokrat dan fraksi partai gerindra. Fraksi partai demokrat memberi catatan khusus bahwa “ya” ikhwal melanjutkan proses pemilihan cakapolri, tetapi dengan catatan : proses pemilihan ini harus mengkonfirmasi terlebih dahulum ke KPK, dan fraksi partai demokrat meminta diadakannya rapat kerja dengan KPK karena tindakan KPK dinilai fraksi demokrat ada nuansa politik yang kental di dalam penetapan status TSK kepada BG. Catatan yang diberikan oleh partai gerindra pun demikian, hampir sama dengan pandangan yang diberikan oleh fraksi partai demokrat. Pada akhirnya, rapat pun ditutup dengan pengambilan kesimpulan : melanjutkan fit and proper test hingga ada upaya hukum tetap dari pengadilan. Komisi III DPR dalam hal ini masih mengedepankan azas praduga tak bersalah. Agenda esok (14 januari 2015) pun akan dilanjutkan dengan rangkaian fit and proper test cakapolri komjen BG di komisi III DPR-RI pukul 09.00 WIB, kemudian agenda selanjutnya ialah pengambilan keputusan komisi III terkait hasil fit and proper test cakapolri hingga batas waktu maksimal pengambilan keputusan pada pukul 19.30 WIB. Agenda lain yang akan diusahakan juga ialah dengan pemanggilan KPK pada pukul 16.00 di komisi III. Namun, untuk agenda pemanggilan KPK ini saya menjamin tidak akan terlaksana, dikarenakan kuatnya arus politik di komisi III untuk “membiarkan” KPK dengan penetapan status TSKnya. Kira-kira seperti inilah hasil dibalik penetapan status TSK kepada cakapolri BG melalui kacamata DPR karena saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri jalannya proses rapat pleno hingga selesai. Padahal awalnya rapat dijadwalkan akan selesai hingga malam hari, namun karena mendadak ada penetapan status TSK kepada BG sontak rapat pun ditunda pada sekitar pukul 16.57 WIB dengan ditandai kunjungan komisi III ke rumah BG pasca rapat pleno. Pada saat kunjungan pun sayang sekali saya tidak dapat hadir ikut ke rumah bapak BG. Namun, saya memperkirakan bahwa melalui komisi III, DPR menyarankan kepada BG agar lebih berhati-hati dalam bertindak mengingat derasnya serangan-serangan oleh berbagai pihak kepada BG. Yah, beginilah memang lembaga yang sarat akan “politik” semua-muanya dianggap berpolitik. Bahkan saya curiga ada permainan “pertanyaan” untuk besok untuk si BG ini. Kita lihat saja besok di fit and proper test nya ya. Baik sekian dulu cerita saya magang di lembaga parlemen ini. Tunggu cerita saya lagi di postingal lainnya. Sekian dan terimakasih. Jakarta, 13 januari 2015 23.35 WIB |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |