29/12/2019 0 Comments IndoXXI dan sejenisnya diblokir. Mengapa kita suka dengan sesuatu yang ilegal atau melanggar Hukum?Oleh: M. L . Aldila Tanjung S.H * Pergantian tahun 2019 ke 2020 diwarnai membirunya para penonton setia indoXXI, Bioskopkeren, Layarkaca21 dsbg, dsbg. Sebab Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Johnny G. Plate mengatakan bahwa pihaknya akan bertindak tegas pada pengelola situs streaming film ilegal yang membandel terhitung sejak Januari 2020. Diberitakan melalui Kompas.com, dalam kurun waktu beberapa tahun kebelakang Kominfo telah memblokir sebanyak lebih dari 1.000 situs streaming video illegal alias bajakan. Menkominfo juga menyatakan akan membawa pelaku yang masih melanggar untuk dilakukan penindakan hukum. Keseriusan Kominfo dalam mengejar dan menutup situs a quo disebut-sebut merupakan bentuk komitmen terhadap pemberantasan terhadap pelangaran Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
0 Comments
Oleh: M. L. Aldila * Tulisan kali ini saya dedikasikan untuk situasi bangsa yang belakangan kian mencekam terhitung sejak penyelenggaraan pilpres 2019 dimulai. Bahwa perpecahan di tengah masyarakat bagi saya sudah mulai masuk ke fase yang mengkhawatirkan. Sebelum lebih jauh tenggelam dalam tulisan ini, izinkan saya memberikan disclaimer terlebih dahulu. Tulisan ini barangkali akan sedikit menyinggung anda apabila anda merupakan fanatik garis keras terhadap isu agama, calon presiden tertentu atau bagi anda yang tidak mampu menerima pendapat orang. Sebab setiap ide yang tertuang dalam tulisan ini murni didorong dari alam bawah sadar saya, anda sangat boleh sependapat dengan ide tersebut atau justru tidak sama sekali. 13/2/2015 0 Comments Mengapa Komisi III ngotot ingin mengutak-atik KPK melalui Revisi UU No 30 tahun 2002 ? Belakangan ini publik sedang memberikan perhatian khusus terhadap proses praperadilan yang dimohonkan oleh komjen pol Budi Gunawan kepada institusi Komisi Pemberantasan Korupsi. Proses praperadilan sendiri merupakan proses yang dilindungi oleh undang-undang sebagaimana termaktub dalam pasal 63 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang pada intinya menjelaskan bahwa jika seseorang dirugikan atas proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK, maka orang ybs berhak untuk mengajukan gugatan praperadilan ke pengadilan negeri. Proses praperadilan yang dimohonkan oleh Budi Gunawan inilah yang telah menyita perhatian publik. Namun, sadarkah kita ditengah kemelut panjang antara Kepolisian, KPK, presiden, serta sejumlah pihak-pihak yang “seolah-olah” terkait, ternyata terdapat isu yang tak kalah penting yang sebenarnya patut untuk dijadikan perbicangan di masyarakat. Ialah Dewan Perwakilan Rakyat melalui komisi III yang membidangi hukum yang telah menggulirkan isu ini untuk kesekian kalinya. Komisi III DPR RI kembali berusaha merivisi dua undang-undang yang menyangkut kinerja institusi KPK. ialah Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan UU nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Senin (9/2/2015) lalu DPR melalui Rapat Paripurna DPR memutuskan akan merevisi UU tentang KPK dan UU tentang Tipikor. Keputusan untuk merevisi (legislative review) kedua UU tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (“Prolegnas”) 2015-2019. Dalam daftar prolegnas tersebut, UU Tipikor ada di nomor 37, sedangkan UU KPK di nomor 63. Artinya, kedua revisi UU tersebut tak menjadi prioritas tahun 2015 ini. Tetapi, meskipun tidak menjadi prioritas ditahun 2015 ini kita harus tetap waspada terhadap cara-cara politik seperti ini. Berdasarkan pengalaman saya ketika terlibat “langsung” di komisi III DPR RI, wacana legislative preview UU KPK sudah sangat santer terdengar diluar rapat. Maklum, mungkin karena mereka cukup terusik dengan kinerja KPK yang seolah tampil bak superhero –tak tersentuh hukum- ketika menetapkan status TSK terhadap calon tunggal kapolri komjen pol budi gunawan. Tetapi Yang menarik adalah, bukan kali ini saja DPR ingin merevisi Undang-undang tentang KPK dan UU tentang Tipikor. Menurut penelusuran saya, telah terjadi setidaknya 3x wacana legislative preview terhadap kedua UU tersebut. Masing-masing Pada Oktober 2010, Juli 2012, dan yang terakhir pada februari 2013. Pada oktober 2010 usulan legislative review tersebut mentok di tingkat I atau di tingkat Komisi, kemudian pada juli 2012 usulan revisi UU tersebut sempat mengalami perkembangan yang cukup serius. Legislative review UU KPK disetujui 7 dari 9 fraksi yang ada (pada waktu itu belum lahir fraksi partai nasdem). Pasca menyetujui dalam rapat pleno atau rapat pengambilan keputusan di tingkat komisi, revisi UU KPK oleh komisi III pun dilanjutkan ke badan legislatif DPR untuk dapat diproses alias dimantapkan menjadi UU KPK versi “terbaru”. Namun , perjuangan para anggota dewan pun kandas tatkala RUU KPK dihapuskan dari daftar Prolegnas 2013 pada akhir masa sidang di tahun 2012 melalui rapat paripurna atau rapat tingkat II DPR RI. Kemudian selanjutnya pada februari 2013, seolah masih menyimpan ‘hasrat’ untuk mengamandemen UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Beberapa anggota Komisi III DPR pada hari rabu (06/2/2013) dengan memanfaatkan rapat kerja (Raker) bersama KPK, sejumlah anggota komisi III DPR justru mengungkit-ungkit hasrat ingin mengamandemen UU KPK. beberapa anggota Dewan rupanya masih berusaha meyakinkan bahwa amandemen adalah jalan yang perlu ditempuh untuk memperkuat KPK. Namun lagi-lagi usaha ini tak membuahkan hasil. Sampai berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014, revisi atas UU KPK dan UU tentang Tipikor itu tak terdengar lagi kabarnya. Hingga pada Senin (9/2/2015) lalu wacana merevisi dua UU tersebut kembali disuarakan. Lantas mengapa komisi III begitu ngotot ingin merevisi UU KPK dan UU tentang tipikor? Adakah agenda terselubung dibalik kalimat manis ingin memperkuat KPK? mengingat KPK memang merupakan lembaga terkuat memberangus korupsi berdasarkan presentase kepercayaan masyarakat atas kinerja trisula penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, KPK). Dan, yang juga tak kalah penting ialah dasar hukum KPK yang begitu kuat dan terkesan berada satu level diatas kepolisian dan kejaksaan. Bagaimana tidak, KPK diberikan kewenanangan yang begitu luas dan fleksibel. Sangat berbeda dibandingkan kewenangan kepolisian dan kejaksaan yang terkesan rigid dan mudah untuk diintervensi dengan SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan/penyelidikan. Di dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat beberapa pasal yang menurut beberapa anggota DPR cukup mengganggu. Salah satunya adalah pasal 12 ayat (1) huruf a yang menyebutkan bahwa “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c UU KPK, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan” Artinya, untuk mengumpulkan bukti yang cukup melalui proses penyelidikan, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan guna dijadikan bukti permulaan yang cukup untuk mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Akan tetapi, Hal tersebut justru seolah dipatahkan oleh oknum anggota dewan. Dengan menggunakan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD atau yang familiar disebut UU MD3 tepatnya pada pasal 224 ayat (1), (2), (5), (6) dan (7) yang pada intinya menyebutkan bahwa “terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya, segala pemanggilan dan permintaan keterangan (oleh KPK) harus mendapat persetujuan secara tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (“MKD”)” Dari klausul pasal tersebut para oknum anggota DPR ini berlindung, mereka membela diri saat dirinya sedang bertugas bahkan ketika sang anggota DPR tersebut sedang memberikan suatu pernyataan melalui perbincangan via telepon seluler. Pun ketika para anggota ini sedang membicarakan suatu “proyek” dengan mitra kerja komisi nya, mereka berlindung dibalik kata-kata ‘sedang bekerja’ dengan mitra kerjanya. Sehingga kesan yang ditimbulkan adalah para anggota dewan tidak dapat tersentuh –penyadapan- ketika mereka sedang bekerja. Para oknum anggota dewan ini merasa risih, mengapa KPK mendapatkan kewenangan yang sungguh luar biasa ini tanpa ada batasan. Dengan cara berlindung dibalik kalimat “ini ranah privasi saya sebagai personal ketika sedang menelepon” para oknum anggota dewan ini berusaha menambah klausa Pasal 6 huruf c UU KPK dari yang sebelumnya : KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, menjadi : KPK (atas persetujuan dari pejabat yang berwenang di instansinya) dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Bayangkan bagaimana jika seandainya klausul ini berhasil ditambahkan secara politik oleh oknum-oknum anggota dewan? Belum selesai disana, (seandainya) jika DPR berhasil menambah klausul pasal 6 huruf c UU KPK maka otomatis ketentuan didalam pasal 224 ayat (1), (2), (5), (6) dan (7) UU MD3 pun diperkuat oleh pasal 191 ayat (7) dan (8) peraturan DPR tentang tata tertib DPR periode 2014-2019 yang pada intinya mengatakan bahwa “MKD harus memproses dan memberikan putusan atas surat pemohonan -penyadapan yang diajukan KPK- dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah permohonan tersebut diterima dan jika permohonan tersebut ditolak, maka surat -penyadapan terhadap anggota DPR- dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum atau batal demi hukum” Sehingga dapat saya simpulkan DPR dalam menegakkan panji pemberantasan Korupsi Kolusi Nepotisme didalam lex generalis hingga lex specialis yang tertuang di UU KPK, UU MD3 hingga Tatib DPR tergolong belum seirama dan masih lemah penegakkannya alias belum memiliki kesamaan tujuan. Alangkah eloknya jika DPR tidak mengusik UU KPK terutama kewenangan penyadapan yang dimilikinya dan meskipun asas hukum lex specialis derogat legi generalis diperbolehkan namun saya berpandangan DPR dalam hal ini melalui UU MD3 dan Tatib DPR, tidak mencerminkan semangat pemberantasan KKN di lingkungan internal DPR dan cenderung menafikan pemberantasan KKN dengan berlindung dibalik kalimat “penyadapan itu melanggar hak privasi saya”. Sangat ironis memang. Ditengah kriminalisasi yang dilakukan sejumlah oknum terhadap KPK dan Polri, DPR melalui komisi III justru telah menunjukan kepada kita bahwa anggota DPR masih secara gamblang menyatakan diri “(nanti saja) berperang terhadap korupsi-nya”. Pada akhirnya masyarakatlah yang dijadikan korban atas kesewenang-wenangan oknum anggota DPR yang menggunakan hak-hak anggota dewannya dengan berusaha merevisi UU KPK dan UU Tipikor. Belum lagi, seandainya terdapat anggota yang tersangkut masalah korupsi, dengan menggunakan istilah Presumption of Innocence atau praduga tidak bersalah, anggota DPR (masih) berusaha berkilah dengan mengharuskan KPK meminta izin terlebih dahulu ke MKD jika ingin memanggil dan dimintai keterangan di depan penyidik atau pengadilan. Bukankah langkah-langkah tersebut justru memperlambat upaya pemberangusan korupsi di tubuh DPR? Sejujurnya sah saja jika DPR ingin melakukan legislative review atas UU KPK serta UU Tipikor. Namun, sebaiknya ubahlah jika memang ditujukan untuk memperkuat KPK. Contohnya lubang-lubang di dalam UU No. 30 tahun 2002 yang sudah tak relevan lagi dengan perkembangan zaman, salah satunya di terkait belum terdapatnya aturan mengenai rekrutmen penyidik mandiri oleh KPK. Di satu sisi, penyidik dan penuntut KPK disebut masih berstatus pegawai asal instansi, yakni kepolisian dan kejaksaan. Namun di sisi lain, KPK bisa merekrut dan memberhentikan penyelidik, penyidik, dan penuntut. Pasal 39 ayat (3) UU KPK menyebutkan: ”Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK”. Kemudian, Pasal 43 ayat (1) menyebutkan, “Penyelidik adalah penyelidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK”. Lalu, Pasal 51 ayat (1) menyebutkan, “Penuntut adalah penuntut umum pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK”. Melalui legislative review, KPK tak lagi menghadapi masalah ketergantungan sumber daya manusia penyelidik, penyidik dan penuntut seperti yang terjadi sekarang. Apalagi, dewasa ini KPK merupakan lembaga hukum yang precticious dalam memberantas KKN. Maka diperlukanlah legislative review UU KPK untuk memberi kewenangan KPK untuk melakukan proses rekrutmen yang mandiri. Itulah salah satu contoh bagaimana seharusnya DPR bisa melakukan legislative review UU KPK dengan tujuan memperkuat kewenangan KPK. Bukan justru memperlemah penegakan pemberantasan korupsi di indonesia. DPR harus berbenah, ketika rakyat sedang dipertontonkan drama KPK vs Polri DPR sebaiknya menunjukkan sisi kenegarawanan dengan memperkuat kedudukan dan kewenangan KPK. Bukan justru mengebiri KPK dengan jurus-jurus politik sakti di senayan sana. Sudah terlalu sering telinga ini mendengar isu-isu miring di senayan sana. Pengalaman saya kemarin terjun langsung di DPR sudah cukup mengajarkan saya bahwa sesungguhnya masih banyak anggota DPR yang benar-benar serius berada di pihak rakyat. Mereka masih ada, namun sayang nama mereka kalah pamor dengan oknum-oknum anggota DPR yang bersua kencang meneriakkan ‘serang ini, serang itu’. Mereka anggota DPR yang memiliki integritas terpuji memang seringkali terpinggirkan tatkala rekan sejawatnya lebih diincar wartawan untuk memberikan keterangan terkait suatu masalah hukum. Maklum saja, karena media kita memang lebih mementingkan berita kontroversi ketimbang mengangkat sisi-sisi optimisme dibalik suatu masalah hukum. Mata ini sudah sering melihat mereka para anggota DPR yang memiliki intergritas tinggi –terutama terhadap penegakan pemberantasan korupsi- justru banyak bersua lantang dan pedas di suatu forum rapat di komisi III DPR. Akan tetapi, justru media “seolah” luput dan pada akhirnya tidak memberitakannya di media massa. Implikasinya? Tentu kita hanya melihat wajah yang itu-itu saja yang hadir di media massa. Kemudian, masyarakat akan kembali pesimis terhadap institusi legislatif sekaliber DPR-RI ini. Pengalaman singkat saya di komisi III DPR RI kemarin pada akhirnya malah membuat saya mengambil suatu pandangan bijak yang sebelumnya tak pernah terbesit di bayangan saya sebelumnya. Sebelum kita menunjuk kesalahan orang apalagi mengutuk suatu lembaga negara, sadarilah yang kita tunjuk kadang cuma cerminan diri kita sendiri. Sangat mudah bagi kita mencari kesalahan-kesalahan. Sadarkah ketika kita mengutuk kesalahan justru hal tersebut didasarkan pada emosi sesaat yang bersumber dari judul media yang subyektif? Sadarkah dari sekian banyak berita provokatif sesungguhnya ada hal-hal yang lebih penting diangkat ketimbang mengutuk suatu kesalahan? Kalo saya rasa DPR perlu diubah, saya juga sadar bahwa yang seharusnya berubah adalah saya dulu, perbaiki dulu kadar keilmuan saya. baru perpolitikan indonesia terutama DRP bisa saya ubah. Dan yang terpenting, tumbuhkan dulu frame optimis di diri saya. Baru saya bisa mengubah mereka-mereka yang pesimis menjadi optimis bahwa DPR tidak seburuk yang orang-orang bayangkan. Solo, 13 Februari 2015
Muhammad. L. Aldi 1/1/2015 2 Comments Omong Kosong Kepada Polisi Dalam Menindak Kebisingan Knalpot Motor di Malam Tahun Baru Tulisan ini berawal dari kekesalan saya terhadap ulah pengendara motor disetiap sudut jalan yang selalu membuat kebisingan atau polusi suara melalui knalpot motornya. Setiap tahun, polusi suara jenis inilah yang membuat saya kesal jika harus keluar pada malam pergantian tahun. kebetulan, akhir tahun ini saya memilih untuk tidak refreshing keluar dengan alasan menghormati para keluarga atas tragedi jatuhnya air asia QZ8501. Akhirnya, saya pun memilih memanfaatkan waktu dengan cara menuangkan kekesalan atas kondisi pada setiap malam tahun baru kedalam tulisan ini di kost saya karena sepanjang perjalanan sore tadi saya dibuat geram atas sikap dan perilaku para pengendara motor 'bising' yang tak tau malu tersebut. Institusi kepolisian, sebagai institusi yang saya harapkan untuk meredakan polusi suara ini pun juga nampak tak bergeming jika dihadapkan dengan pengendara-pengendara motor seperti ini. Padahal, institusi ini sangat diharapkan untuk mampu mengendalikan pengendara-pengendara "bising" tersebut. namun nihil, nyatanya di malam hari ketika puncak-puncaknya arus lalu lintas padat untuk merayakan tahun baru terjadi, justru institusi ini seperti dibungkam, tenggelam dengan kebiasaan adat masyarakat. Helm tidak digunakan, membawa motor dengan knalpot tidak standar, hingga mengendarai secara bergerombol dan berisik yang mana bisa membahayakan pengguna jalan lain. Ya, Inilah potret pengendara motor nakal yang terjadi di setiap malam tahun baru. Lagipupa, sepanjang pengalaman saya bukan kali ini saja institusi ini dibuat ‘tak berdaya’ dengan keadaan. Saat lebaran idul fitri atau idul adha contohnya. Pada hari pertama perayaan idul fitri, dapat dipastikan hampir seluruh pengendara motor yang melintasi jalan raya di jakarta, bandung atau solo (berdasarkan pengalaman pribadi) mereka pasti mengganti helm mereka dengan peci atau kopeah karena merasa baru saja melaksanakan sholat ied. Polisi yang bertugas saat hari itupun nampak merelakan begitu saja tanpa ada tindakan represif sedikitpun. Sangat disayangkan. Tidak seharusnya aparat penegak hukum mendiamkan keadaan melanggar hukum seperti itu. Menurut ketentuan didalam undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada pasal 15 ayat (1), (2), (3) dan pasal 16 ayat (1) dan (2), secara garis besar kepolisian negara republik indonesia (“polisi”) bertugas untuk menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lain yang dapat meresahkan masyarakat. Jadi, jika terjadi suatu hal yang ‘mengganggu’ tatanan kehidupan bermasyarakat, maka tentu polisi merupakan salah satun lembaga yang diberikan kewenangan oleh negara untuk melindungi masyarakat secara preventif dan represif. Hal ini juga makin ditegaskan dengan falsafah dasar perlindungan keamanan dalam negeri yakni simbol pohon beringin atau sederhananya kita sebut sebagai ‘pengayoman’. Lantas jika kita mengacu pada penjelasan secara garis besar diatas, bagaimana jika kita analogikan bentuk ‘gangguan’ tersebut sebagai polusi udara yang disebabkan knalpot pengendara motor di malam tahun baru yang selama ini meresahkan masyarakat? Tentu jawaban yang paling mudah untuk menjawab pertanyaan tadi ialah belum. Ya, polisi belum mencerminkan pengayoman pada masyarakat saat terjadinya gangguan tersebut. ironis. Diskresi kepolisian Mengacu pada penjelasan diskresi dalam buku karya Kenneth Culp Davis berjudul “discreationary justice”, diskresi Polisi dapat pula diartikan sebagai Polisi yang bertindak berdasarkan penilaiannya sendiri. Ini dimaksudkan agar polisi bisa membuat keputusan dengan cepat dan tepat dengan disandarkan pada norma-norma di tengah masyarakat. (Kenneth Culp Davis; 1969) Secara sederhana, diskresi merupakan kewenangan tersembunyi yang dimiliki polisi untuk membuat keputusan yang memperhatikan kebaikan dan keadilan bagi semua pihak. Diskresi Kepolisian sendiri di Indonesia secara yuridis diatur pada pasal 18 Undang Undang No 2 tahun 2002 yaitu “ Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri “ , hal ini mengandung makna bahwa seorang polisi yang melaksanakan tugasnnya di tengah tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusaan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum. Namun sayang, uraian diatas disalahgunakan polisi untuk berkilah mengapa institusi ini terkesan acuh tak acuh untuk menindak para pelanggar lalu lintas yang berlipat ganda pada malam perayaan tahun baru. Ya, Mungkin saja ada yang ditindak di beberapa tempat, tetapi sayangnya tindakan tersebut tidak dilakukan dengan sistematis. Jadilah para pelanggar ini merasa merdeka dengan diskresi yang dilakukan oleh para polisi tersebut. Implikasinya, makin menjadi saja budaya kebiasaan melanggar lalu lintas di hari-hari besar nasional. Berdasarkan pengamatan saya sendiri, Institusi ini sendiri sering memposisikan diri ketika sedang ada perayaan besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat. dengan mengambil tempat ‘aman’ untuk tidak menindak satupun para pelanggar lalu lintas karena alasan “kebaikan bersama”. Sebuah alasan klise atas nama diskresi yang ditunjukkan oleh aparat penegak hukum di negeri ini. Secara garis besar institusi ini sama sekali belum mencerminkan kewibawaan dari pengayoman atas gangguan yang diderita masyarakat karena bisingnya knalpot pada hari-hari besar nasional. Padahal, masyarakat sangat mendambakan para aparat ini turun kejalan untuk memberikan tindakan tegas terhadap golongan pengendara motor “bising” yang nakal. Namun nihil, aparat justru bungkam atas gangguan tersebut. Minimnya aparat yang bertindak Hanya ada dibeberapa tempat saja saya dapat saya temui aparat yang benar-benar tepat menjalankan tugas dan wewenangnya selama malam tahun baru. Salah satunya di daerah sleman yogyakarta. Tahun lalu ketika saya hendak merayakan tahun baru di jogja, dalam perjalananan hendak menuju ke jogja saya melihat pemandangan yang tak biasa, yakni polisi mengejar para pengendara motor nakal yang ketahuan tidak menggunakan peralatan berkendara yang tidak sesuai standar dan para gerombolan pengendara motor yang menghasilkan suara yang sangat bising. Padahal jam saat itu menunjukkan pukul 22.00 WIB namun polisi di sleman masih bersiaga menjaga dan mengambil tindakan penilangan di tempat kepada para pelanggar lalu lintas. Di solo? Jangan harap. Saya masih sangat kecewa dengan perilaku aparat polisi yang sangat pasif dalam menindak para pelanggar lalu lintas. Padahal para pelanggar tersebut jelas-jelas telah melakukan pelanggaran di depan mata para polisi, namun seolah tak peduli polisi disini justru memilih bungkam, duduk di pos nya dan bercanda gurau dengan rekan sesama polisinya. Sebut saja sepanjang jalan slamet riyadi, perempatan holland bakery roti orion hingga perempatan gravista bengawan sport. Saat saya melewati jalan tersebut nampak aparat hanya duduk di pos polisinya mendiamkan begitu saja kebisingan knalpot para pengendara motor yang melewati pos tersebut. Kemanakah telingamu wahai aparat polisi? Sebuah resolusi di tahun 2015 Melihat kinerja kepolisian yang masih terkesan tebang pilih saat hari-hari besar nasional dapat dijadikan bahan evaluasi bersama. Budaya yang diciptakan masyarakat timbul atas lemahnya pengaturan produk hukum. Sederhananya, pengaturan produk hukum harus berpijak pada norma yang berkembang dimasyarakat dengan tidak mengorbankan dari pengaturan hukum itu sendiri. Institusi kepolisian lahir atas intervensi negara untuk menciptakan keadilan bersama yang hakiki ditengah kehidupan bermasyarakat indonesia. Maka dapat dipastikan dalam tugas dan kewenangannya institusi ini diharapkan dapat menciptakan ketenangan bersama dengan cara preventif maupun represif. Salah satunya ialah mengenai “gangguan” saat berlalu lintas di malam tahun baru ataupun dihari-hari besar lain. Institusi ini merupakan lembaga yang diharapkan masyarakat untuk dapat menjawab keraguan masyarakat atas kinerja penegakkan hukum di negeri ini. Berdasarkan pendapat dari Neta S Pane selaku Ketua Presidium dari Indonesian Police Watch (“IPW”), kinerja kepolisian pada tahun 2014 cenderung buruk. Salah satu yang menjadi poin krisis kepercayaan masyarakat atas buruknya kinerja polisi adalah masih berkembangnya mindset pencitraan di tubuh kepolisian dalam penegakkan hukum. Karena itu, diharapkan di tahun 2015 institusi kepolisian beserta jajarannya dalam bertugas agar senantiasa dapat bersikap adil, serta dapat mampu memberi jaminan keamanan hukum kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak merasa diombangambingkan dengan situasi yang tidak menentu. Contohnya seperti penegakkan hukum yang lemah terhadap pelanggar lalu lintas di malam hari terutama pada malam tahun baru. Masyarakat sudah lelah dengan polarisasi pemikiran bahwa hukum lalu lintas ‘hanya berlaku’ pada siang hari sedangkan pada malam hari tidak. Belum lagi stigma hukum rimba “siapa yang kuat, maka dia yang akan bertahan” yang berlaku di jalanan. Masyarakat sudah lelah dengan perilaku sikap dan kinerja aparat kepolisian yang masih menjadi persoalan klasik yang tak kunjung bisa teratasi dari tahun ke tahun. Karena itu di tahun 2015 kita doakan agar institusi ini dapat segera mengefektifkan amanat dari undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 15 ayat (1), (2), (3) dan pasal 16 ayat (1) dan (2) dimana polisi diharapkan dapat melindungi keamanan dalam negeri sebagai salah satu syarat utama agar terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Daftar Pustaka Kenneth Culp Davis, discreationary justice; London: 1969 Marlina, Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana; Medan: USU Press, 2010; Merry Morash, (February 1984), “Established of javenile police record.” Criminology 0 http://www.tribunnews.com/nasional/2014/12/30/catatan-akhir-tahun-2014-ipw-punya-prestasi-polri-belum-bisa-dipercaya) 25/12/2014 1 Comment Segudang PR untuk Dewan Mahasiswa Baru Semoga saja saya belum terlambat untuk menulis apa saja pekerjaan rumah kedepan untuk DEMA 2015. Mengingat DEMA 2015 telah dilantik pada jumat lalu tanggal 19 desember 2014. Sebelumnya saya ucapkan selamat bekerja kepada DEMA 2015. Selamat karena rekan-rekan sekalian telah rela melepas sebagian ego diluar untuk dapat berkontribusi secara nyata bagi Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum (“KMFH”) serta juga rela untuk melanjutkan perjuangan kami, DEMA periode 2013/2014 untuk KMFH yang belum sempat terrealisasi. Mengingat tingginya ego pada masing-masing dari kami. Di dalam tulisan saya kali ini saya hanya ingin menyebutkan apa saja sekiranya PR umum bagi DEMA baru dimulai di tahun 2015 yang mana dari tahun ke tahun selalu terkendala banyak permasalahan entah dari intern DEMA sendiri ataupun dari keadaan ekstern DEMA. Pemilihan Dekanat FH UNS 2015 Pada tahun 2015, akan diadakan pemilihan dekanat baru periode 2015-2018 (perkiraan saya 4 tahun). Didalam pemilihannya, tidak akan langsung terpilih dekan, pembantu dekan (“PD”) 1, PD 2 dan PD 3 secara serentak. Yang ada hanyalah pemilihan berdasarkan jabatan tertinggi, yakni dekan. Setalah dekan terpilih barulah PD 1, PD 2 dan PD 3 merupakan kewenangan dekan untuk memilih. Sistematika pemilihan dekanat berbeda seperti sistem pemilu KMFH dimana seluruh lapisan mahasiswa dapat memilih presiden BEM dan anggota DEMA secara langsung. Dalam pemilihan dekanat berbeda, dekan akan terlebih dahulu diusulkan oleh masing-masing unsur senat fakultas dan kemudian dipilih berdasarkan hasil sidang senat fakultas. Tentunya dengan fit and proper test internal terlebih dahulu. Dalam bahasa sederhana, senat fakultas dapat dikatakan merupakan forum tertinggi fakultas hukum yang memiliki komposisi berasal dari pelbagai unsur-unsur akademisi FH. Tapi tenang saja, saya tidak mau membahas lebih dalam karena tulisan ini bukan untuk membahas senat. Saya pribadi lebih menyukai sistematika pemilihan yang transparan yang artinya dapat diketahui oleh mahasiswa. apapun caranya saya sepakat asalkan dalam keberjalanannya dapat menerapkan prinsip transparan sebaik-baiknya, maksudnya mahasiswa dapat dilibatkan secara aktif dalam prosesnya meski mahasiswa tidak mempunyai hak suara sepeserpun. Jika kita sandingkan dengan kampus lain seperti contoh di UIN Syarif Hidayatullah, disana sebelum dekanat terpilih akan diselengarakan terlebih dahulu acara semacam debat calon dekan. Didalam acara tersebut, para calon dekan akan memaparkan visi misi untuk fakultasnya. Disertai pula dengan tanya jawab interaktif yang menuntut para calon dekan untuk menggali visi misinya. Lain halnya seperti di universitas airlangga, disana kedudukan mahasiswa sangan dihargai karena salah satu unsur dari senat universitasnya adalah mahasiswa yang diwakili oleh BEM. Sehingga memungkinkan unsur mahasiswa dapat menggunakan hak suaranya untuk memilih rektor, pun begitu dengan dekan di fakultas-fakultasnya. Implikasi yang timbul, rektor dan dekan terpilih di unair akan bekerja dengan terarah karena mereka diawasi dan karena telah ada kesepakatan politik dengan semua unsur-unsur civitas akademika universitas. Hmm, Sistem pemilihan yang menarik. Hal berbeda justru kita temui di FH UNS, menurut informan saya yang terpercaya pada era pemilihan dekanat prof. Hartiniwingsih, FH justru cenderung introvert dan sama sekali belum memperlihatkan pemilihan yang demokratis dan transparan. Hal ini terlihat dari sedikitnya informasi kredibel yang dapat diakses oleh seluruh civitas akademik pada masa-masa pemilihan dekanat tersebut. sangat disayangkan. Maka inilah PR pertama di tahun 2015. Kawal lah keberjalanan pemilihan dekanat dengan terarah dan konstan. Buatlah inovasi yang tidak pernah dibuat KMFH sebelumnya yakni kampanye dialogis para calon dekanat di tahun 2015 atau inovasi lainnya yang masih relevan dengan topik “mengawal pemilihan dekanat”. Karena sadari atau tidak, pemilihan dekanat 2015 merupakan isu dan momen penting yang tidak boleh sampai terlewati. Mengingat buruknya pelayanan yang dilakukan oleh dekanat kita selama mereka menjabat maka tentulah kita sebagai mahasiswa harus turun tangan untuk memecahkan masalah serta mencari solusi : bagaimana caranya memperbaiki FH UNS. Karena, melalui pemilihan dekanat di tahun 2015 lah satu pintu utama dari semua pintu ‘solusi’ permasalahan yang membelengu FH UNS telah kita buka. Apabila isu pemilihan dekanat dapat kita kawal maka bukan tidak mungkin atmosfer FH UNS akan lebih kondusif, penerapan customer satisfication sebagaimana tertuang dalam A.C.T.I.V.E dapat lebih efektif diterapkan dan segudang harapan lain entah dari mulut mahasiswa atau staff-staff administrasi di FH UNS dapat bisa diwujudkan oleh pimpinan baru FH UNS. Pensejajaran Kedudukan Mahasiswa dengan Dekanat isu ini sebenarnya sudah sempat saya gulirkan di depan mas dimas, FH 2008 (mantan DEMA 2010-2011) dan mas rahmat, FH 2010 (mantan ketua Novum 2013). Dalam diskusi singkat tersebut saya mengutarakan bahwa perkembangan zaman dewasa ini sudah tidak relevan lagi dengan keadaan KMFH masa lalu. Situasi FH saat ini menuntut kita, KMFH untuk dapat mengambil sikap lebih tegas dan tentunya dengan persiapan yang matang. Salah satunya dengan mensejajarkan kedudukan mahasiswa FH UNS dengan dekanat. Bagaimana tidak, fakta dilapangan telah berbicara. Seringkali dalam mengambil sebuah kebijakan pihak fakultas seperti mengenyampingkan suara-suara KMFH. Suara KMFH lebih sering dianggap angin lalu oleh pihak fakultas. Jika suara KMFH telah diutarakan lebih dari 2x barulah akhirnya pihak fakultas mau mengakomodir kepentingan KMFH. Saran saya, melalui pemilihan dekanat 2015. Pihak DEMA sebagai perwakilan dari KMFH sebaiknya mulai melakukan pendekatan-pendekatan kepada calon dekanat FH 2015. Galilah informasi sebanyak-banyaknya ke dosen yang memiliki sumber terpercaya siapa saja calon-calonnya tersebut. Contohnya lakukanlah riset secara mendalam ke pak bambang santoso sebagai senat. Jika sudah, dekati dan buat kesepakatan politik yang mengikat dengan para calon apabila mereka telah terpilih menjadi dekanat baru. Karena melalui pendekatan-pendekatan semacam itulah fase baru akan kita tempuh : yakni pensejajaran kedudukan KMFH dengan dekanat. Konkritnya melalui apa? Banyak cara, salah satunya ialah dengan pencatutan nama dekan atau pembantunya pada konstitusi KMFH. Namun bukan sekedar catut-mencatut saja, harus tetap ada perwakilan pihak fakultas atas nama dekanat yang hadir pada proses pengundangan konstitusi KMFH. Karena, jika saja hal ini dapat terwujud tentu saja di setiap kebijakan-kebijakan fakultas akan ada pihak mahasiswa yang hadir untuk memberikan masukan serta pendapat dari perspektif mahasiswa. Cara lain juga ada, yakni dengan dibuatnya kontrak politik antara pihak KMFH dengan diwakili DEMA dengan pihak fakultas berisikan poin-poin pensejajaran mahasiswa dengan dekanat pasca pemilihan dekanat 2015. Ya minimal kita telah memberlakukan asas dalam hukum kontrak yakni pacta sunt servanda (perjanjian berlaku sebagai sebuah undang-undang yang mengikat bagi para pihak). Karena itu, bagi DEMA 2015. Mulailah lakukan lobi politik dengan calon-calon dekanat baru kita, buatlah isu ini menjadi isu sentral dan penting bagi dekanat 2015. Buat isu ini menjadi isu prioritas calon dekanat kita. Kartu parkir Pasca diadakannya jumpa civitas akademik (“JCA”) oleh DEMA pada tahun 2012,Booming kartu parkir pun muncul. Kehadiran kartu parkir juga bukan tanpa sebab, karena dalam salah satu tuntutan yang dilayangkan KMFH pada JCA 2012 mahasiswa meminta agar penataan parkir dapat lebih tertata dan agar dapat mencegah terjadinya tindak pidana curanmor maka KMFH meminta pengadaan suatu alat yang dapat mencegah curanmor dan dapat mendidik mahasiswa agar tertib parkir dapat terlaksana. Maklum, karena pada tahun 2012 banyak motor dan helm yang hilang di parkiran gedung satu. Saya ingat sekali, tahun 2012 akhir. Pihak fakultas kemudian mulai melakukan pengadaan kartu parkir untuk setiap mahasiswa yang ingin parkir di gedung satu. Singkat cerita kartu parkir pun dibagikan dan segera dicoba untuk parkir. Namun sayang, ekspektasi saya yang begitu tinggi terhadap pengadaan kartu parkir pun tak sebanding dengan fakta yang ada di lapangan. Kartu parkir sederhananya hanyalah sebagai alat pengganti dari kertas parkir yang selama ini diberikan petugas parkir kepada mahasiswa. tak lebih. Ekspektasi untuk merasakan tertib parkir pun hanya omong kosong. Mahasiswa tetap hanya diberikan kartu parkir dan itu pun terlihat hanya formalitas belaka. Padahal dalam tuntutan KMFH pada JCA 2012 dijelaskan, bahwa KMFH menginginkan tertib parkir sebagaimana telah ada di FT atau FE (pada tahun 2012 belum menjadi FEB). Jika di FT kita dapat melihat bagaimana ketatnya mahasiswa yang hendak parkir karena selain menggunakan kartu parkir, mahasiswa pun tetap dimintakan STNK sebagai tanda bahwa motor tersebut ialah miliknya, pun seperti itu juga yang terjadi di FE. Pengamanan parkir di ketua fakultas tersebut juga menurut kami profesional, berbeda seperti di FH. Sangat berbeda. Padahal, pengadaan kartu parkir menurut saya dapat dimaksimalkan. Tidak seperti sekarang, pengadaan kartu parkir nampak seperti program omong kosong untuk memuaskan birahi kritis mahasiswa saja. Padahal, anggaran untuk pengadaan kartu parkir pun saya tergolong cukup besar, seingat saya hampir mencapai >10 juta untuk mahasiswa se-FH! Dalam suatu kesempatan di tahun 2014, saya pernah berbincang dengan pak yunanto selaku kepala sub bagian Umum & Perlengkapan (“umkap”) yang berwenang mengurusi pengelolaan parkir. Pak yunanto kemudian mengatakan ada beberapa alasan mengapa pelaksanaan kartu parkir tidak dapat maksimal. Salah satunya ialah karena petugasnya, petugas di gedung satu menurut beliau sudah pernah untuk memintai kartu kepada mahasiswa saat awal-awal peluncuran kartu parkir. Namun, banyak mahasiswa yang masih beralasan belum mempunyai kartu parkir ataupun beralasan sedang buru-buru karena mau UKD. Akhirnya lama kelamaan petugas di gedung satu pun tidak melanjutkan pekerjaannya memintai kartu parkir. Alasan klise menurut saya, hal tersebut dikarenakan tidak adaya sanksi kepada petugas maupun kepada mahasiswa yang hendak parkir. Tengoklah keadaan di FT. disana, jika petugas lalai meminta maka sanksi kepada petugas pun jelas. Begitu juga dengan mahasiswa, jika tidak segera menunjukkan kartu parkir maka jangan harap mahasiswa tersebut dapat keluar dari area parkir tersebut. Perbedaan yang cukup signifikan bukan? Namun, menurut saya alasan terbesar mengapa pengelolaan parkir mangkrak justru bukan terdapat pada petugas ataupun pak yunanto selaku pelaksana pengelolaan parkir. Tetapi terletak pada lemahnya pengawasan dari pimpinan tertinggi fakultas hukum atau dekanat. Bayangkan, sejak 2012 hingga sekarang. Apakah pernah pengelolaan parkir menjadi perbincangan serius dikalangan dekanat? Belum, bahkan cenderung tidak. Sepertinya memang kita harus kehilangan 3 motor terlebih dulu seperti yang terjadi di tahun 2012 untuk dapat serius menanggapinya. Inilah kelemahan besar yang ada di fakultas hukum. Tunggu dulu kejadiannya, barulah ada penanganannya. Hal yang memalukan ditunjukkan oleh orang-orang hukum yang tau hukum. Semoga DEMA 2015 dapat segera merealisasikannya. Atau jika pun tak terlaksana semoga siapapun itu dapat menyelesaikan permasalahan semu ini. Mensolidkan Irama Gerakan KMFH Untuk PR yang satu ini sepertinya sudah lama kita jadikan topik perbincangan di tiap diskusi-diskusi kecil antar sesama mahasiswa FH UNS namun topik perbincangan tersebut pasti pada akhirnya hanya menjadi guyonan bahkan berakhir pada wacana-wacana ‘kosong’ belaka. Bagaimana tidak, mulai dari anggota UKM/Komunitas hingga mahasiswa biasa pasti pernah mengeluh bagaimana buruknya irama gerakan KMFH kita ini. Contohnya, tengoklah peristiwa yang sempat terjadi pada masa osmaru 2014. Pada osmaru tersebut, semua UKM, komunitas hingga angkatan bersatu padu untuk mensukseskan rangkaian acara osmaru 2014. Singkat cerita, rangkaian osmaru pun diwarnai dengan aksi boikot yang dilakukan panitia. Namun sayang sekali, panitia membubarkan diri tanpa mengikutsertakan KMFH didalam keputusannya. Aksipun tetap berjalan hingga osmaru pun selesai, di dalam aksi tersebut hanya terdapat suara-suara panitia mahasiswa angkatan 2011 dengan segudang sikap yang tertuang di dalam MMT panjang yang dipajang di depan parkiran lama gedung satu. Cukup disayangkan, mengapa? Padahal isu osmaru merupakan isu sentral bersama. Bagaimana tidak, sekitar 400 an mahasiswa baru masuk dan acara osmaru pun adalah acara bersama KMFH, namun mengapa yang terlibat pasca peristiwa itu hanya rekan-rekan panitia saja? Kemanakah DEMA atau BEM? Apa hanya tidur siang di sekre saja? Ironis. Itulah satu peristiwa dari sekian banyak peristiwa lain yang mengingatkan kita bahwa arah gerakan KMFH belum konkrit. Belum seirama dan sangat tidak jelas. Masing-masing dari KMFH masih berjalan sendiri-sendiri. Bahkan cenderung memisahkan diri. Masih ingatkah ketika presiden BEM kabinet SOMASI lulus dengan menteri-menterinya padahal masa jabatannya belum berakhir? Ataupun masih ingatkah ketika KDFH meminta sekre untuk mempermudah urusan KDFH namun pada akhirnya isu KDFH ini berakhir pada pertengkaran dalam ‘kesunyian’? ya, masih sangat banyak urusan-urusan internal di KMFH yang belum dapat terselesaikan di DEMA periode saya. Karena itu, harapan saya. Semoga DEMA dapat lebih menitikberatkan pada sifat grassroot atau merumput kebawah. Sekiranya apa saja yang menjadi permasalahan mengapa arah gerakan KMFH begitu berantakan dan tidak terarah. Saran saya, buatlah sebuah forum yang berisikan para pimpinan-pimpinan BEM, UKM dan komunitas. Gulirkanlah isu bahwa kita sebagai KMFH harus bersatu padu dalam irama gerakan. Carilah apa saja permasalahan-permasalahan yang mendasari mengapa sulit sekali menyatukan KMFH. Serta jadikanlah isu penyatu paduan KMFH ini sebagai visi misi KMFH bersama. Ingat, kita berdiri dibawah satu bendera fakultas hukum universitas sebelas maret. Sudah bukan era nya lagi kita berjalan masing-masing tanpa memperdulikan sekeliling. Mahasiswa FH Itu banyak, bukan hanya ada UKM, BEM, DEMA ataupun komunitas saja. KMFH itu adalah wadah gerakan bersama sebagaimana tertuang dalam mukadimah konstitusi KMFH. Ayo satu padukan gerakan KMFH! Perlahan tapi pasti, buatlah ini menjadi sebuah kenyataan DEMA 2015! Merapihkan struktur ketatanegaraan KMFH PR yang satu ini saya akui cukup berat jika yang bergerak hanya DEMA seorang. Perlu adanya kegelisahan bersama yang melahirkan momentum revitalisasi struktur ketatanegaraan KMFH. Namun tetap saja, harus ada persiapan yang matang untuk menggulirkan isu ini menjadi isu bersama se-KMFH. Minimal DEMA periode 2015 dapat mengkonsepkan bagaimana sekiranya struktur ketatanegaraan yang baik untuk dapat disesuaikan dengan masyarakat KMFH sendiri. Pendapat saya, implementasikanlah prinsip trias politica berdasarkan checks and balances sebagaimana dipopulerkan oleh Montesquie dan Prof. Jimly Asshidiqie. Mengingat kita ini adalah orang-orang cerdas yang tau hukum. Maka buatlah tertib hukum dimulai dari struktur ketatanegaraan KMFH. Buatlah masterplan bagaimana struktur KMFH yang baik dan dapat segera diimplementasikan. Jangan lagi berkembang pemahaman bahwa DEMA merupakan lembaga tertinggi negara KMFH. Karena menurut saya hal tersebut sudah tak relevan dengan perkembangan ketatanegaraan KMFH. Buatlah konsep dimana kedudukan eksekutif sejajar dengan legislatif karena sama-sama dipilih langsung oleh mahasiswa. dan lakukanlah lobi-lobi politik dengan para UKM dan Komunitas. Sebaiknya berada dimakanakah kedudukan mereka di struktur ketatanegaraan KMFH. Mengingat fungsi dari UKM dan Komunitas sendiri hanya merupakan sebagai wadah minat dan bakat mahasiswa maka idealnya UKM & Komunitas harus rela untuk berada dibawah wewenang BEM untuk dikoordinasi. Ingatlah bahwa kita adalah mahasiswa hukum, maka sudah barang tentu bahwa dalam kehidupan organisasi mahasiswa juga harus selaras dengan tertib ketatanegaraan. Tidak seperti sekarang, konstitusi KMFH dibiarkan diundangkan tanpa persetujuan KMFH didalamnya. Dan tidak pernah terlaksananya wacana penggodokan Rancangan Undang-Undang UKM dan Komunitas karena ketakutan semu anggota DEMA untuk menggulirkan isu ‘revitalisasi struktur ketatanegaraan KMFH’. Sudah saatnya menurut saya, dimasukkannya invisible political hand kedalam sendi-sendi kehidupan ketatanegaraan KMFH. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan sekat-sekat yang masih mencengkram kuat antar sesama organisasi KMFH. Sangat tidak baik jika masih tetap dibiarkan. Semoga saja DEMA 2015 dapat perlahan melakukan lobi politik kepada semua UKM & Komunitas untuk melepaskan ‘warna jaket’ dan ‘kepentingan’ untuk membangun KMFH bersama. Mencerdaskan DEMA se-UNS perihal revitalisasi gerakan KBM UNS Sebagai lanjutan dari tulisan saya yang sebelumnya dimana mengarah hanya kepada KMFH, sebenarnya ada tugas yang selalu terlewatkan oleh DEMA FH UNS dari periode ke periode. Yakni turut aktif merapihkan ketatanegaraan Keluarga Besar Mahasiswa (“KBM”) UNS. Sebenarnya PR yang satu ini sudah coba saya pecahkan saat saya menjabat sebagai anggota DEMA 2013. Saat itu saya menggulirkan sebuah wacana pelaksanaan pemilu se-UNS yang serentak kepada DEMA se-UNS melalui sebuah forum diskusi atau yang saya sebut sebagai Focused Group Discussion (“FGD”). Sederhana saja, saat itu analogi hemat saya mengatakan bahwa arah gerakan BEM dan DEMA se-UNS memang belum kompak bahkan cenderung saling tumpuk menumpuk tidak terarah. Hal tersebut dilatarbelakangi pengalaman saya selama 1,5 tahun di BEM FH UNS kabinet berani tahun 2012-2013. Saat saya masih di BEM dan kebetulan saya dipercaya sebagai kepala deputi jaringan dan propaganda yang manifestasi dai pelbagai isu skala lokal,nasional maupun internasional. Saya memang disibukkan dengan berbagai kegiatan yang mengharuskan saya berkoordinasi dengan BEM se-UNS. Namun, berkali-kali saya dibuat kesal pada saat itu karena saya tidak mendapati sebuah kekompakan dalam gerakan BEM se-UNS ini. Gerakan BEM se-UNS yang digaungkan dalam nama Forbes pun hanya digerakkan oleh orang-orang eksternal yang terlalu bangga dengan jabatan semu nya tersebut. Maklum karena isi BEM UNS yang katanya merupakan koordinator BEM se-UNS memang di kuasai oleh KAMMI. Sehingga, dalam teknis pekerjaan berbagai pekerjaan yang menyangkut BEM se-UNS pun menjadi terkendala karena tingginya ego yang menyertai para BEM se-UNS. Apalagi saya juga bukan siapa-siapa dan saya juga takkan mau jadi siapa-siapa di KAMMI, maka jadilah setiap omongan saya di forbes hanya menjadi omong kosong belaka mengingat sebagian besar isi dari forbes adalah orang KAMMI. Ya, penyakit akut di UNS memang seperti ini. Singkat cerita, saya pun menemukan salah satu poin permasalahan besar yang dapat dipecahkan secara bersama. Ialah melakukan pemilu se-UNS secara serentak. Bayangkan saja, jika di analogikan. Pres BEM FH yang resmi bekerja bulan januari apakah akan sama kadar ilmunya dengan pres BEM UNS yang resmi bekerja pada bulan september? Tentu tidak bukan, idealnya dikarenakan semua BEM se-UNS ini memiliki kedudukan yang sejajar (sebagaimana terdapat jabatan presiden di tiap BEM se-UNS) maka sudah barang tentu jika proses pemilihannya dilakukan dengan serentak. Jika telah serentak maka satu solusi pun sudah terpecahkan yakni mudahnya berkoordinasi dan samanya kadar ilmu dari BEM se-UNS. Inilah alasan yang melatar belakangi saya untuk membuat FGD tentang perlunya pemilu se-UNS secara serentak. Namun, lagi-lagi saya mendengar suara sumbang di tiap BEM dan DEMA se-UNS yang kami undang sebagai pembicara ataupun sebagai peserta diskusi. Kebanyakan dari mereka menganggap “kenapa malah FH yang membuat diskusi semacam ini? Kan seharusnya DEMA UNS?” ataupun suara-suara sumbang lain yang mengatakan kita belum pantas untuk pemilu secara serentak karena sulitnya berkoordinasi antara sesama DEMA se-UNS. Ironis memang, ditengah semangat kami untuk memperbaiki struktur KBM agar arah gerakan lebih terarah. Justru malah dihadang dengan segudang pertanyaan yang memundurkan niat kita untuk memperbaiki KBM. Apalagi, dengan minimnya keikutsertaan DEMA UNS untuk urun rembug membicarakan perihal revitalisasi struktur ketatanegaraan KBM UNS. Semakin lengkaplah rasanya ketidakmajuan UNS untuk dapat mensejajarkan diri dengan struktur ketatanegaraan di ITB ataupun UI. Harapan saya, melalui DEMA 2015. Karena kita adalah mahasiswa hukum yang mengetahui hukum dengan lebih komprehensif. Saya harapkan hal in dapat menjadi salah satu cita-cita DEMA hingga 5-10 tahun mendatang. Jangan hanya kita berfikir rapihkan KMFH, namun kita juga harus berfikir lebih jauh. Yakni rapihkan KBM UNS! Buat kontribusi nyata untuk KBM UNS! Tunjukkan bahwa kita mahasiswa fakultas hukum dapat berkontribusi nyata dibidang hukum untuk UNS! Karena DEMA FH UNS juga adalah satu dari sekian lembaga yang paling saya harapkan untuk memulai gerakan revitalisasi KBM UNS ini. Semoga! Terakhir namun bukan bermaksud mengakhiri, yakni buatlah KMFH dan KBM UNS sadar bahwa DEMA itu ‘ada’ Tulisan saya yang satu ini bukan hanya ditujukan untuk DEMA FH UNS semata, melainkan untuk DEMA se-UNS. Karena kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa keberadaan DEMA masih dipandang sebelah mata entah di skala universitas maupun fakultas. Keberadaan DEMA masih dianggap sebagai pelengkap ditengah berkembangnya BEM sebagai lini terdepan penggerak mahasiswa. wajar memang, mengingat kedudukan DEMA yang hanya berwenang sebagai legislator dan kewenangan BEM sebagai eksekutor hukum yang dibuat oleh DEMA. Istilah good students governance pun hanya menjadi jargon omong kosong belaka bila kita masih menganut pemahaman usang bahwa BEM lah yang berjasa besar untuk mahasiswa. sesungguhnya, DEMA dan BEM ini satu paket dalam pergerakannya. Memang domainnya saja yang berbeda. Kedua lembaga ini pun sama-sama dapat membuka kantong aspirasi yang mana dapat segera di tindaklanjuti, yang membuat beda hanyalah bentuk output produk atas aspirasi yang terserap. Jika BEM pasca terserapnya aspirasi akan membuat aksi turun kejalan (contoh: aksi UKT), hal berbeda akan terasa jika DEMA yang dihadapkan dengan aspirasi. DEMA akan membuat produk politik atas isu yang berkembang di masyarakat, sama seperti DPR RI. Hukum yang diciptakan oleh DPR didasarkan pada perkembangan isu yang terjadi ditengah masyarakat. Contohnya penggodokan RUU perlindungan pembantu rumah tangga, DPR menggodok RUU tersebut dikarenakan maraknya tindak pidana yang dilakukan majikan terhadap pembantu rumah tangga. Seperti itulah analogi singkat kewenangan DPR yang sama dengan DEMA perihal tindakan atas aspirasi masyarakat. Maka dari itu, selayaknya produk hukum yang diciptakan DEMA kedepannya haruslah diakui baik secara yuridis, filosofis, sosial maupun politik ditiap-tiap kelompok masyarakat. (i) Yuridis disini dimaksudkan agar tiap produk hukum DEMA dapat berlaku dan dapat dijadikan rujukan dasar hukum bagi lembaga semacam BEM, UKM atau Komunitas hingga mahasiswa umum sekalipun; (ii) filosofis disini dimaksudkan agar tiap produk hukum yang diciptakan oleh DEMA dapat dipahami dan dijadikan dasar secara adat dan alami oleh seluruh unsur KMFH; (iii) sosial disini dimaksudkan agar setiap produk hukum DEMA dapat dipatuhi masyarakat KMFH dan dapat menjadi salah satu sendi yang mengikat masyarakat mahasiswa dalam kehidupan bernegara KMFH; dan (iv) politik, dimana hal ini dimaksudkan agar tiap produk peraturan perundang-undangan DEMA dapat mengikat dan ‘memaksa’ seseorang untuk patuh. Mengingat anggota DEMA telah terpilih secara politik-konstitusional. Terutama agar dapat mengikat secara politik ke tiap-tiap lembaga yang ada di KMFH. Karena jika saja secara politik DEMA telah berhasil mengikat melalui produknya bukan tidak mungkin cita-cita bersama kita yakni : revitalisasi KMFH segera dapat terwujud. Kekuatan berlakunya produk hukum DEMA harus efektif dan valid! Kesimpulan Mungkin itulah sedikit isu-isu yang belum sempat terrealisasi pada zaman saya menjabat sebagai DEMA FH UN 2013-2014. Dari semua isu tadi sebenarnya masih ada isu kecil lainnya yang belum sempat saya bahas di tulisan kali ini. Sebut saja, mengenai posisi komunitas di KMFH; papan-papan informasi di FH UNS yang kurang friendly dan ramah terhadap para pencari informasi; posisi tawar Jumpa Civitas Akademik yang semakin merosot dimata mahasiswa; masih berkembangnya sifat skeptis-apatis di tengah mahasiswa FH; kurangnya partisipasi aktif seluruh elemen KMFH dalam mensukseskan rangkaian pemilu KMFH; minimnya kontribusi nyata para ketua UKM & Komunitas untuk menyatu padukan gerakan KMFH; masih berkembangnya paradigma usang “BEM & DEMA itu lembaga ekslusif” di tengah mahasiswa FH; minimnya partisipasi KMFH dalam pernyataan sikap FH terhadap isu luar; minimnya pengetahuan KMFH mengenai gerakan mahasiswa; kurangnya koordinasi antar sesama lembaga KMFH; dan segudang permasalahan KMFH yang masih menghantui keberjalanan kehidupan bernegara di KMFH. Harapan saya pribadi, semoga yang membaca tulisan ini dan menjadikan tulisan ini sebagai pemantik diskusi kecil bukan hanya ada pada DEMA 2015, melainkan pada DEMA 2016, 2017 .. hingga seterusnya. Karena, gerakan ini tidak akan bisa terselesaikan hanya dalam satu tahun saja. Di ITB, berdasarkan obroal saya dengan abang kandung saya yang kebetulan pres bem KM ITB 2011, beliau mengatakan jika ITB bisa ‘merapihkan’ ketatanegaraannya karena telah menghabiskan waktu selama 10 tahun! Luar biasa menurut saya. Bagaimana tidak, gerakan revitalisasi KM ITB dimulai dari tulisan-tulisan sederhana seperti tulisan saya yang satu ini, kemudian berlanjut ke diskusi kecil hingga berlanjut ke forum-forum skala universitas yang berkomposisikan pihak rektorat, dekanat dan seluruh elemen KM ITB! Betapa luar biasanya ITB, pantas saja struktur ketatanegaraan ITB sering dijadikan rujukan oleh kampus-kampus lain. Dan, ITB juga dapat disejajarkan dengan UI yang notabene nya sama-sama kampus besar. Lantas, UNS kapan? Tentu saja saya jawab dengan sekarang bung! Bukan lagi meununggu-nunggu esok untuk memulai. Sekarang lah waktu yang tepat untuk memulai penyeragaman irama gerakan se-UNS. Dimulai dari lingkup fakultas terlebih dahulu tentunya. Tentu tak lupa dengan tetap ber ikhtiar dan konsisten pada gerakan besar ini. Harapan ini bagi saya takkan pernah padam. Karena saya masih mencintai UNS sebagaimana saya mencintai hidup saya sendiri. Terimakasih, sampai bertemu lagi di tulisan-tulisan saya yang lainnya. Hidup Mahasiswa! |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |