13/2/2015 0 Comments Mengapa Komisi III ngotot ingin mengutak-atik KPK melalui Revisi UU No 30 tahun 2002 ? Belakangan ini publik sedang memberikan perhatian khusus terhadap proses praperadilan yang dimohonkan oleh komjen pol Budi Gunawan kepada institusi Komisi Pemberantasan Korupsi. Proses praperadilan sendiri merupakan proses yang dilindungi oleh undang-undang sebagaimana termaktub dalam pasal 63 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang pada intinya menjelaskan bahwa jika seseorang dirugikan atas proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK, maka orang ybs berhak untuk mengajukan gugatan praperadilan ke pengadilan negeri. Proses praperadilan yang dimohonkan oleh Budi Gunawan inilah yang telah menyita perhatian publik. Namun, sadarkah kita ditengah kemelut panjang antara Kepolisian, KPK, presiden, serta sejumlah pihak-pihak yang “seolah-olah” terkait, ternyata terdapat isu yang tak kalah penting yang sebenarnya patut untuk dijadikan perbicangan di masyarakat. Ialah Dewan Perwakilan Rakyat melalui komisi III yang membidangi hukum yang telah menggulirkan isu ini untuk kesekian kalinya. Komisi III DPR RI kembali berusaha merivisi dua undang-undang yang menyangkut kinerja institusi KPK. ialah Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan UU nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Senin (9/2/2015) lalu DPR melalui Rapat Paripurna DPR memutuskan akan merevisi UU tentang KPK dan UU tentang Tipikor. Keputusan untuk merevisi (legislative review) kedua UU tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (“Prolegnas”) 2015-2019. Dalam daftar prolegnas tersebut, UU Tipikor ada di nomor 37, sedangkan UU KPK di nomor 63. Artinya, kedua revisi UU tersebut tak menjadi prioritas tahun 2015 ini. Tetapi, meskipun tidak menjadi prioritas ditahun 2015 ini kita harus tetap waspada terhadap cara-cara politik seperti ini. Berdasarkan pengalaman saya ketika terlibat “langsung” di komisi III DPR RI, wacana legislative preview UU KPK sudah sangat santer terdengar diluar rapat. Maklum, mungkin karena mereka cukup terusik dengan kinerja KPK yang seolah tampil bak superhero –tak tersentuh hukum- ketika menetapkan status TSK terhadap calon tunggal kapolri komjen pol budi gunawan. Tetapi Yang menarik adalah, bukan kali ini saja DPR ingin merevisi Undang-undang tentang KPK dan UU tentang Tipikor. Menurut penelusuran saya, telah terjadi setidaknya 3x wacana legislative preview terhadap kedua UU tersebut. Masing-masing Pada Oktober 2010, Juli 2012, dan yang terakhir pada februari 2013. Pada oktober 2010 usulan legislative review tersebut mentok di tingkat I atau di tingkat Komisi, kemudian pada juli 2012 usulan revisi UU tersebut sempat mengalami perkembangan yang cukup serius. Legislative review UU KPK disetujui 7 dari 9 fraksi yang ada (pada waktu itu belum lahir fraksi partai nasdem). Pasca menyetujui dalam rapat pleno atau rapat pengambilan keputusan di tingkat komisi, revisi UU KPK oleh komisi III pun dilanjutkan ke badan legislatif DPR untuk dapat diproses alias dimantapkan menjadi UU KPK versi “terbaru”. Namun , perjuangan para anggota dewan pun kandas tatkala RUU KPK dihapuskan dari daftar Prolegnas 2013 pada akhir masa sidang di tahun 2012 melalui rapat paripurna atau rapat tingkat II DPR RI. Kemudian selanjutnya pada februari 2013, seolah masih menyimpan ‘hasrat’ untuk mengamandemen UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Beberapa anggota Komisi III DPR pada hari rabu (06/2/2013) dengan memanfaatkan rapat kerja (Raker) bersama KPK, sejumlah anggota komisi III DPR justru mengungkit-ungkit hasrat ingin mengamandemen UU KPK. beberapa anggota Dewan rupanya masih berusaha meyakinkan bahwa amandemen adalah jalan yang perlu ditempuh untuk memperkuat KPK. Namun lagi-lagi usaha ini tak membuahkan hasil. Sampai berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014, revisi atas UU KPK dan UU tentang Tipikor itu tak terdengar lagi kabarnya. Hingga pada Senin (9/2/2015) lalu wacana merevisi dua UU tersebut kembali disuarakan. Lantas mengapa komisi III begitu ngotot ingin merevisi UU KPK dan UU tentang tipikor? Adakah agenda terselubung dibalik kalimat manis ingin memperkuat KPK? mengingat KPK memang merupakan lembaga terkuat memberangus korupsi berdasarkan presentase kepercayaan masyarakat atas kinerja trisula penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, KPK). Dan, yang juga tak kalah penting ialah dasar hukum KPK yang begitu kuat dan terkesan berada satu level diatas kepolisian dan kejaksaan. Bagaimana tidak, KPK diberikan kewenanangan yang begitu luas dan fleksibel. Sangat berbeda dibandingkan kewenangan kepolisian dan kejaksaan yang terkesan rigid dan mudah untuk diintervensi dengan SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan/penyelidikan. Di dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat beberapa pasal yang menurut beberapa anggota DPR cukup mengganggu. Salah satunya adalah pasal 12 ayat (1) huruf a yang menyebutkan bahwa “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c UU KPK, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan” Artinya, untuk mengumpulkan bukti yang cukup melalui proses penyelidikan, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan guna dijadikan bukti permulaan yang cukup untuk mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Akan tetapi, Hal tersebut justru seolah dipatahkan oleh oknum anggota dewan. Dengan menggunakan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD atau yang familiar disebut UU MD3 tepatnya pada pasal 224 ayat (1), (2), (5), (6) dan (7) yang pada intinya menyebutkan bahwa “terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya, segala pemanggilan dan permintaan keterangan (oleh KPK) harus mendapat persetujuan secara tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (“MKD”)” Dari klausul pasal tersebut para oknum anggota DPR ini berlindung, mereka membela diri saat dirinya sedang bertugas bahkan ketika sang anggota DPR tersebut sedang memberikan suatu pernyataan melalui perbincangan via telepon seluler. Pun ketika para anggota ini sedang membicarakan suatu “proyek” dengan mitra kerja komisi nya, mereka berlindung dibalik kata-kata ‘sedang bekerja’ dengan mitra kerjanya. Sehingga kesan yang ditimbulkan adalah para anggota dewan tidak dapat tersentuh –penyadapan- ketika mereka sedang bekerja. Para oknum anggota dewan ini merasa risih, mengapa KPK mendapatkan kewenangan yang sungguh luar biasa ini tanpa ada batasan. Dengan cara berlindung dibalik kalimat “ini ranah privasi saya sebagai personal ketika sedang menelepon” para oknum anggota dewan ini berusaha menambah klausa Pasal 6 huruf c UU KPK dari yang sebelumnya : KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, menjadi : KPK (atas persetujuan dari pejabat yang berwenang di instansinya) dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Bayangkan bagaimana jika seandainya klausul ini berhasil ditambahkan secara politik oleh oknum-oknum anggota dewan? Belum selesai disana, (seandainya) jika DPR berhasil menambah klausul pasal 6 huruf c UU KPK maka otomatis ketentuan didalam pasal 224 ayat (1), (2), (5), (6) dan (7) UU MD3 pun diperkuat oleh pasal 191 ayat (7) dan (8) peraturan DPR tentang tata tertib DPR periode 2014-2019 yang pada intinya mengatakan bahwa “MKD harus memproses dan memberikan putusan atas surat pemohonan -penyadapan yang diajukan KPK- dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah permohonan tersebut diterima dan jika permohonan tersebut ditolak, maka surat -penyadapan terhadap anggota DPR- dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum atau batal demi hukum” Sehingga dapat saya simpulkan DPR dalam menegakkan panji pemberantasan Korupsi Kolusi Nepotisme didalam lex generalis hingga lex specialis yang tertuang di UU KPK, UU MD3 hingga Tatib DPR tergolong belum seirama dan masih lemah penegakkannya alias belum memiliki kesamaan tujuan. Alangkah eloknya jika DPR tidak mengusik UU KPK terutama kewenangan penyadapan yang dimilikinya dan meskipun asas hukum lex specialis derogat legi generalis diperbolehkan namun saya berpandangan DPR dalam hal ini melalui UU MD3 dan Tatib DPR, tidak mencerminkan semangat pemberantasan KKN di lingkungan internal DPR dan cenderung menafikan pemberantasan KKN dengan berlindung dibalik kalimat “penyadapan itu melanggar hak privasi saya”. Sangat ironis memang. Ditengah kriminalisasi yang dilakukan sejumlah oknum terhadap KPK dan Polri, DPR melalui komisi III justru telah menunjukan kepada kita bahwa anggota DPR masih secara gamblang menyatakan diri “(nanti saja) berperang terhadap korupsi-nya”. Pada akhirnya masyarakatlah yang dijadikan korban atas kesewenang-wenangan oknum anggota DPR yang menggunakan hak-hak anggota dewannya dengan berusaha merevisi UU KPK dan UU Tipikor. Belum lagi, seandainya terdapat anggota yang tersangkut masalah korupsi, dengan menggunakan istilah Presumption of Innocence atau praduga tidak bersalah, anggota DPR (masih) berusaha berkilah dengan mengharuskan KPK meminta izin terlebih dahulu ke MKD jika ingin memanggil dan dimintai keterangan di depan penyidik atau pengadilan. Bukankah langkah-langkah tersebut justru memperlambat upaya pemberangusan korupsi di tubuh DPR? Sejujurnya sah saja jika DPR ingin melakukan legislative review atas UU KPK serta UU Tipikor. Namun, sebaiknya ubahlah jika memang ditujukan untuk memperkuat KPK. Contohnya lubang-lubang di dalam UU No. 30 tahun 2002 yang sudah tak relevan lagi dengan perkembangan zaman, salah satunya di terkait belum terdapatnya aturan mengenai rekrutmen penyidik mandiri oleh KPK. Di satu sisi, penyidik dan penuntut KPK disebut masih berstatus pegawai asal instansi, yakni kepolisian dan kejaksaan. Namun di sisi lain, KPK bisa merekrut dan memberhentikan penyelidik, penyidik, dan penuntut. Pasal 39 ayat (3) UU KPK menyebutkan: ”Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK”. Kemudian, Pasal 43 ayat (1) menyebutkan, “Penyelidik adalah penyelidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK”. Lalu, Pasal 51 ayat (1) menyebutkan, “Penuntut adalah penuntut umum pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK”. Melalui legislative review, KPK tak lagi menghadapi masalah ketergantungan sumber daya manusia penyelidik, penyidik dan penuntut seperti yang terjadi sekarang. Apalagi, dewasa ini KPK merupakan lembaga hukum yang precticious dalam memberantas KKN. Maka diperlukanlah legislative review UU KPK untuk memberi kewenangan KPK untuk melakukan proses rekrutmen yang mandiri. Itulah salah satu contoh bagaimana seharusnya DPR bisa melakukan legislative review UU KPK dengan tujuan memperkuat kewenangan KPK. Bukan justru memperlemah penegakan pemberantasan korupsi di indonesia. DPR harus berbenah, ketika rakyat sedang dipertontonkan drama KPK vs Polri DPR sebaiknya menunjukkan sisi kenegarawanan dengan memperkuat kedudukan dan kewenangan KPK. Bukan justru mengebiri KPK dengan jurus-jurus politik sakti di senayan sana. Sudah terlalu sering telinga ini mendengar isu-isu miring di senayan sana. Pengalaman saya kemarin terjun langsung di DPR sudah cukup mengajarkan saya bahwa sesungguhnya masih banyak anggota DPR yang benar-benar serius berada di pihak rakyat. Mereka masih ada, namun sayang nama mereka kalah pamor dengan oknum-oknum anggota DPR yang bersua kencang meneriakkan ‘serang ini, serang itu’. Mereka anggota DPR yang memiliki integritas terpuji memang seringkali terpinggirkan tatkala rekan sejawatnya lebih diincar wartawan untuk memberikan keterangan terkait suatu masalah hukum. Maklum saja, karena media kita memang lebih mementingkan berita kontroversi ketimbang mengangkat sisi-sisi optimisme dibalik suatu masalah hukum. Mata ini sudah sering melihat mereka para anggota DPR yang memiliki intergritas tinggi –terutama terhadap penegakan pemberantasan korupsi- justru banyak bersua lantang dan pedas di suatu forum rapat di komisi III DPR. Akan tetapi, justru media “seolah” luput dan pada akhirnya tidak memberitakannya di media massa. Implikasinya? Tentu kita hanya melihat wajah yang itu-itu saja yang hadir di media massa. Kemudian, masyarakat akan kembali pesimis terhadap institusi legislatif sekaliber DPR-RI ini. Pengalaman singkat saya di komisi III DPR RI kemarin pada akhirnya malah membuat saya mengambil suatu pandangan bijak yang sebelumnya tak pernah terbesit di bayangan saya sebelumnya. Sebelum kita menunjuk kesalahan orang apalagi mengutuk suatu lembaga negara, sadarilah yang kita tunjuk kadang cuma cerminan diri kita sendiri. Sangat mudah bagi kita mencari kesalahan-kesalahan. Sadarkah ketika kita mengutuk kesalahan justru hal tersebut didasarkan pada emosi sesaat yang bersumber dari judul media yang subyektif? Sadarkah dari sekian banyak berita provokatif sesungguhnya ada hal-hal yang lebih penting diangkat ketimbang mengutuk suatu kesalahan? Kalo saya rasa DPR perlu diubah, saya juga sadar bahwa yang seharusnya berubah adalah saya dulu, perbaiki dulu kadar keilmuan saya. baru perpolitikan indonesia terutama DRP bisa saya ubah. Dan yang terpenting, tumbuhkan dulu frame optimis di diri saya. Baru saya bisa mengubah mereka-mereka yang pesimis menjadi optimis bahwa DPR tidak seburuk yang orang-orang bayangkan. Solo, 13 Februari 2015
Muhammad. L. Aldi
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |