Oleh: M. L. Aldila Tanjung., S.H., CCD. Efek dari kegagalan dalam melindungi data di sebuah institusi bisa berdampak serius. Bukan hanya bicara kerugian materiil, melainkan juga kerugian immateriil yang tidak dapat dinilai harganya. Saya ingin bercerita pengalaman saya menjadi salah satu korban dari kebocoran data beberapa waktu yang lalu, dimana baru-baru ini saya mulai merasakan dampak nyata dari ter-eksposnya data saya ke publik. Salah satu yang paling mengganggu adalah banyak panggilan maupun pesan WhatsApp dari negara asing yang berusaha untuk melakukan scammer terhadap saya diantaranya dengan cara menawarkan sebuah tawaran agar rekening milik saya di Indonesia dijadikan rekening penampungan mereka karena alasan mereka baru saja mendapat uang kaget, entah itu uang warisan atau uang menang lotere.
Ada pula pesan WhatsApp dari nomor indonesia yang menawarkan pekerjaan kepada saya dengan bayaran fantastis hanya dengan melakukan review barang-barang di salah satu marketplace terkemuka Indonesia atau hanya dengan menonton tayangan iklan di suatu marketplace. Ketika saya tanyakan mendapat kontak saya dari siapa, mereka tidak pernah menjawab secara tegas dan hanya menjawab klise “dari database kami”. Dari jawaban itu saya meyakini jika mereka adalah bagian dari komplotan pencuri data yang memanfaatkan data-data saya dengan maksud dan tujuan tertentu. Gangguan-gangguan seperti ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Kecurigaan saya awalnya mengarah kepada perusahaan tempat saya menjadi konsumen atau perbankan tempat saya menaruh uang dahulu. Namun belakangan gangguan ini muncul semakin masif sampai-sampai intensitas saya dalam memblokir nomor-nomor asing ini bisa saya lakukan 3-5 kali dalam satu hari. Gangguan ini pun sudah saya nyatakan sebagai kerugian immateriil bagi saya. Waktu saya terbuang percuma untuk menanggapi mereka. Maka tidak heran, bagi saya bocornya data saya beberapa waktu yang lalu di salah satu institusi terbesar Indonesia merupakan dalang yang patut disalahkan atas kerugian immateriil yang saya alami. Terlebih, respon institusi tersebut sama sekali tidak mencerminkan prinsip pelindungan data sebagaimana diatur di General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa maupun UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi bahwa pengendali data harus transparan dan jujur dalam membuka kegagalan pelindungan. Situasi ini sendiri menjadi pelajaran berharga bagi saya bahwa betapapun ahlinya seseorang dalam melindungi data-data pribadi, tetap saja ada ‘celah-celah’ yang dapat dimanfaatkan oleh penjahat siber untuk menyalahgunakan data-data pribadi kita. Bukan kegagalan kita selaku pengguna tentunya. Melainkan kegagalan mereka para pengendali data atau pemroses atas data pribadi dalam merespon kebocoran data pribadi kita. Oleh karena itu pada artikel ini, saya akan singkat membahas apa dan bagaimana cara terbaik sebuah institusi menghadapi sebuah kegagalan dalam melindungi data pribadi. Agar tidak ada lagi kejadian-kejadian seperti yang menimpa saya baru-baru ini.
0 Comments
Oleh: M. L. Aldila Tanjung., S.H., C.C.D *
Polemik dan perdebatan mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) buat saya mencapai antiklimaks pasca dijatuhkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (“Putusan MK 91”) atas UU Cipta Kerja. Kita ingat betul, setelah disahkannya UU Cipta Kerja ini dalam rapat paripurna pada tanggal 5 Oktober 2020, aksi demonstrasi ribuan mahasiswa, buruh, dan aktivis pergerakan seantero negeri seolah menyelimuti UU yang super-kontroversial ini. MK yang sebelumnya diharapkan dapat melakukan penafsiran konstitusional secara adil dan tegas, rupanya mengambil jalan tengah yang menimbulkan pekerjaan rumah baru: inkonstitusional bersyarat. Istilah yang baru dikenal sejak MK berdiri. Oleh : M. L. Aldila Tanjung S.H., C.C.D * Fulan, sebut saja namanya begitu untuk menyamarkan identitas. Ia adalah teman karib dari teman saya semasa pertama kali saya mengawali karir sebagai legal counsel spesialis hukum ketenagakerjaan. Ia termasuk anak dari keluarga serba berkecukupan. Saya bisa melihat itu setidaknya dari gawai dan perangkat canggih yang acap ia gunakan. Meski sesekali ke kantor menggunakan kopaja –busway nya masyarakat marjinal, tidak jarang saya menemuinya berkendara menggunakan mobil pribadi. Yes, saya cukup terperdaya dengan kemapanannya pada saat itu. Oleh: M. L. Aldila Tanjung, S.H., CCD * Sampai hari dimana tulisan ini dibuat (22/10/2020), perdebatan mengenai mana draf Rancangan UU Cipta Kerja (“RUUCK) yang bisa dijadikan rujukan analisa secara resmi masih menjadi tanda tanya. Turunnya berbagai elemen masyarakat dalam pelbagai aksi menolak RUUCK di berbagai daerah di Indonesia seolah melegitimasi fakta bahwa ada yang salah pada negeri ini. Oleh: M. L. Aldila Tanjung * Sudah memasuki bulan ke empat berlalu sejak kebijakan Work From Home (WFH) di beberapa kantor disusul Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah sebagai langkah menekan laju penyebaran Covid-19. Kini kita sedang bersiap memasuki era baru yang disebut kenormalan baru. Era baru ini disebut-sebut membawa perubahan signifikan pada cara kita memulai pagi sampai malam, dari tempat kerja menuju rumah, dari cara berpakaian hingga cara berkomunikasi. Teruntuk cara berkomunikasi. Sudah banyak protokol Kesehatan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan dimana salah satu yang jadi sorotan saya kali ini adalah bagaimana cara kita menjaga jarak untuk berkomunikasi antar manusia. Jika sebelumnya untuk rapat kita bisa duduk memenuhi seluruh kursi dalam sebuah ruangan, kini hal tersebut menjadi suatu yang dihindari. Jangankan duduk dalam sebuah ruang rapat, untuk sekedar bertegur sapa satu sama lain saja harus ada jaga jarak fisik (physical distancing) dengan ketentuan minimal 1 meter, tidak bersalaman, tidak berpelukan apalagi berciuman pipi. Hal ini tentu membawa pergeseran baru bagi kita dalam berkoordinasi terkait pekerjaan. Ini dimulai dengan mewabahnya penggunaan percakapan video melalui aplikasi Zoom atau Google Meet sejak Pandemi Covid-19 meledak. Seiring dengan meningkatnya pamor aplikasi Zoom, suka tidak suka kita diwajibkan beradaptasi terhadap perubahan aktivitas ini. Ada sebuah cerita nyata. S, teman saya. Saya sangat yakin S merupakan orang yang sangat percaya diri dan fasih dalam berkomunikasi mengenai bidang keilmuannya secara tatap muka. Saya bersaksi tidak ada keraguan dalam riwayatnya. Semua orang juga mengamininya. Hingga pada suatu ketika, S diundang mengikuti test wawancara beasiswa via Zoom. S mengakui tidak pernah menggunakan aplikasi tersebut. Sampai tiba proses wawancara dan siapa sangka, S menjadi sosok yang 180 derajat berbeda. Bicaranya gugup dan terbata-bata. Saat sesi wawancara berakhir, S mengakui bahwa wawancara daring melalui Zoom jauh lebih melelahkan daripada wawancara secara tatap muka. Adanya gap sepersekian detik dalam tanya jawab (lag), peserta yang mematikan suara dan video serta emosi peserta yang tidak dapat ditangkap oleh S adalah faktor kegagalan S lulus wawancara beasiswa. Dari fakta tersebut kemudian timbul suatu pertanyaan, apa yang membuat aktivitas ini melelahkan? Dan bagaimana cara mengurangi kepenatan rapat melalui aplikasi Zoom? |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |