Oleh : M. L. Aldila Tanjung S.H., C.C.D * Fulan, sebut saja namanya begitu untuk menyamarkan identitas. Ia adalah teman karib dari teman saya semasa pertama kali saya mengawali karir sebagai legal counsel spesialis hukum ketenagakerjaan. Ia termasuk anak dari keluarga serba berkecukupan. Saya bisa melihat itu setidaknya dari gawai dan perangkat canggih yang acap ia gunakan. Meski sesekali ke kantor menggunakan kopaja –busway nya masyarakat marjinal, tidak jarang saya menemuinya berkendara menggunakan mobil pribadi. Yes, saya cukup terperdaya dengan kemapanannya pada saat itu. Setidaknya saya percaya demikian sampai pada suatu ketika, setelah ia mengetahui saya berprofesi sebagai legal merangkap polisi ketenagakerjaannya perusahaan, ia menanyakan sebuah pertanyaan yang bagi saya sangat common untuk dipertanyakan, yakni: bagaimana caranya untuk bisa lolos dari penalti. Tanpa tedeng aling-aling saya memastikan tentang kemampuan membayarnya. ‘bukankah lo sangat mampu buat bayar Rp 200 juta doang?’. Tanya saya. Namun selayaknya anak milenial di usianya, pertanyaan untuk bisa lolos dari penalti ini rupanya bukan hanya timbul dari dirinya, melainkan juga dari teman-teman seangkatannya. Fulan merupakan ketua angkatan bagi teman-temannya dan rupanya ia siap menjadi martir untuk uji-coba ini. “Pokoknya gue harus resign dan berkeinginan untuk keluar tanpa penalti”, tegasnya begitu. Well, Fulan ini merupakan pegawai yang bergabung karena program akselerasi karir atau yang biasa dikenal dengan program officer development program atau management trainee. Sementara seperti yang kita pahami, penalti atas program akselerasi karir selalu menjadi momok menakutkan karena nominal yang dipatok tidak pernah sedikit. Pada tahun tersebut, saya ingat betul perbankan plat merah warna biru menetapkan penalti sebesar Rp 275 juta, warna oranye sebesar Rp 140 juta dan warna biru pita kuning sebesar Rp 198 juta. Itu baru penalti selama masa kontrak (lazim disebut trainee). Belum ditambah dengan penalti pada masa ikatan dinas. Salah satu perusahaan penerbangan swasta bahkan menetapkan tarif penalti semasa ikatan dinas dengan angka fantastis, Rp 5,3 miliar dan $ 1,8 juta kepada para pilotnya [tautan berita]. Iya, anda tidak salah baca. 1,8 juta dollar atau jika dirupiahkan sebesar 26 miliar rupiah. Bekerja seumur hidup sampai tipes juga tidak akan mampu melunasinya. Kasus ini menyita perhatian saya pada saat itu karena baru kali itu saya mengikuti kasus dimana terjadi satu peristiwa yang diadili di 2 pengadilan dengan perbedaan kewenangan relatif, Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Negeri. Diketahui 12 pilot maskapai tersebut menggugat perusahaannya karena dalih di PHK dan pesangon belum dibayar, beruntung ke 12 pilot menang di Pengadilan Hubungan Industrial. Sementara di sisi lain perusahaan melawan balik dengan melakukan gugatan Wanprestasi atas perjanjian ikatan dinas pasca kekalahannya di PHI. Kasus ini tuntas pasca maskapai ini kalah dan diharuskan membayar pesangon. Kembali ke Fulan. Jika dibandingkan dengan kasus maskapai swasta tadi, apa yang dialami Fulan tentu belum ada apa-apanya. Ia hanya perlu membayar penalti selama trainee jika benar ia akan resign dari perusahaan karena ia belum menjalani masa ikatan dinas pada saat itu. Kondisi yang melanda Fulan tersebut juga saya yakini terjadi pada anda, pegawai yang gerah bekerja dan ingin resign namun terkendala penalti. Sekarang mari kita bahas opsi-opsi yang dapat diambil untuk bisa lolos dari penalti. Tapi sebelumnya, mari kita sepakati bahwa pertama, perlu dipahami jika bicara mengenai penalti adalah juga bicara mengenai kontrak yang telah ditanda-tangani sebelum pekerjaan dimulai. Kontrak, adalah salah satu turunan dari ilmu hukum dalam spektrum perdata. Ilmu yang mempelajari hubungan hukum formil antar individu. Kedua, perdata amat berbeda dengan pidana dimana pidana dapat dihapus jika tertuduh meninggal dunia. Artinya secara teori, kewajiban perdata tidak bisa hapus karena kita meninggal dunia. Ketiga, singkirkan anggapan bahwa tulisan ini menganjurkan anda untuk berbuat demikian. Saya tidak mau terlibat dalam masalah anda kecuali anda memberikan kuasa penanganan perkara kepada saya. Tentunya tidak gratis ya. Hehehe. 1. KaburCara ini buat saya adalah cara paling cupu. Maaf saja, masa iya sudah masuk perusahaan susah-susah, keluarnya dengan cara kabur pula. Cara ini sangat tidak saya anjurkan kecuali anda memang golongan sultan yang bisa membayar penalti semudah bayar permen di warung. Karena ini merupakan langkah yang paling lemah dimata hukum jika mau lolos dari penalti. Pasal 36 huruf J Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2021 mengatur secara khusus, mangkir merupakan pelanggaran yang keabsahannya tidak dapat dibantah. Sehingga bukan hanya anda melanggar kontrak, namun juga melanggar ketentuan perundang-undangan. 2. MeninggalSeperti yang sudah saya sampaikan pada disclaimer di atas dan banyak literatur hukum, meninggal tidak dapat menghapuskan kewajiban keperdataan. Dalam hukum perdata, ini dinamakan hak saisine yang berarti segala utang pewaris harus beralih ke ahli waris (pasal 833 dan 1100 KUHPerdata). Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 431.K/SIP/1973 tanggal 9 Mei 1974, terhadap sebuah putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), pihak yang memiliki piutang dapat mengajukan permohonan eksekusi putusan pengadilan terhadap ahli waris. Salah satu contoh kasus adalah bagaimana kerugian negara terhadap perkara yayasan beasiswa Supersemar yang awalnya tidak dapat dieksekusi karena Soeharto telah meninggal, ‘diakali’ dengan cara digugat perdata oleh Negara dengan mengalihkan kewajiban pengembalian kerugian dari almarhum kepada ahli warisnya. Namun, saya meyakini jika ada satu celah yang dapat dimanfaatkan, yakni pertanggungjawaban perdata sesuai penjelasan di atas tadi hanya berlaku jika piutang ini ‘ditagih’ melalui mekanisme persidangan. Saya ulangi, jika ditagih melalui persidangan. Sehingga, jika penalti ini belum sampai ‘digugat’ ke persidangan berkenaan dengan permohonan eksekusi kewajiban, maka inilah celahnya. Ahli waris anda dapat bersurat ke perusahaan terkait permohonan penghapusan kewajiban. Musababnya, selain karena penalti lahir dari perikatan kontrak sehingga tidak dapat dibantah keabsahannya, penalti juga merupakan impact dari kompensasi yang sudah dikeluarkan perusahaan karena perusahaan telah mengikutkan pelatihan untuk anda dengan biaya yang tidak sedikit. Logikanya, jika anda telah meninggal, perusahaan tidak memiliki kewajiban lagi untuk meminta ganti rugi kepada para ahli waris. 3. Mengaku GilaCara ini digunakan oleh Hotman Paris Hutapea saat keluar dari ikatan dinas semasa berkarir sebagai ODP di Bank Indonesia [tautan berita]. Saya termasuk orang yang setuju dengan apa yang dilakukan oleh Hotman Paris untuk ‘lolos’ dari penalti, sebab Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) secara perdata merupakan orang yang masuk dalam pengampuan (diwakili keluarga) karena dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Salah satu putusan hakim yang saya ketahui mengenai ini adalah penetapan hakim No. 0020/Pdt.P/2015/PA/Btl dimana status ODGJ secara serta merta menggeser pertanggungjawaban perdata dari dirinya sendiri kepada keluarganya yang ditetapkan sebagai pengampu. Pergeseran ini juga membawa konsekuensi yuridis yang cukup serius yakni pertanggungjawaban hukum bagi dirinya berlaku surut. Artinya, seluruh perjanjian yang telah ditanda tangani semasa dirinya tidak dalam gangguan kejiwaan dahulu dianggap ‘tidak sempurna’ karena dirinya tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya. Selain alasan di atas, anda juga diuntungkan karena akan dipastikan perusahaan akan menjatuhkan PHK karena anda menderita sakit berkepanjangan. Secara a contrario, berdasarkan Peraturan Pemerintah 35 Tahun 2021 terhadap pegawai yang mengalami sakit menahun/berkepanjangan (termasuk sakit jiwa), kepadanya dapat di PHK setelah sakitnya melampaui waktu 12 (dua belas) bulan secara terus menerus, kecuali disepakati lain oleh para pihak. Sehingga bukan hanya anda tidak dapat lagi dimintai pertanggungjawaban secara perdata karena alasan menderita sakit jiwa, namun juga anda akan mendapatkan pesangon dengan jumlah fantastis atas status ODGJ yang disematkan kepada anda. 4. Mengaku Jika Prosesi Tanda Tangan Kontrak Dibawah TekananTanda tangan merupakan bentuk persetujuan perdata dari anda terhadap sebuah seluruh isi dan dampak dari suatu dokumen hukum. Bahasa sederhana yang acap saya gunakan, penandatanganan yang kita lakukan adalah ‘pintu utama’ dari sebuah rumah bernama perbuatan hukum. Perbuatan hukum disini bisa apapun, jual beli, sewa menyewa, sampai dengan perjanjian kerja maupun perjanjian ikatan dinas. Fungsi tanda tangan dalam sebuah perjanjian menurut pasal 1876 KUH Perdata adalah sah sepanjang tidak dibantah kebenarannya oleh si penandatangan. Paksaan (dwang) dalam pembuatan perjanjian sesungguhnya telah membatalkan persetujuan yang telah dilakukan karena tidak terpenuhinya kesepakatan kehendak (consensus) sebagaimana syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUH Perdata. Mengenai paksaan (dwang) ini, pasal 1323 KUH Perdata secara implisit menyatakan jika paksaan bisa dalam bentuk apapun, bukan saja ancaman fisik maupun verbal, namun termasuk jika si pihak lawan perjanjian tidak memberi kesempatan kepada anda untuk mengetahui isi perjanjian. Jika dikaitkan dengan kondisi penalti, dalam hal anda meyakini dahulu perjanjian trainee atau perjanjian ikatan dinas lahir dari situasi ‘pemaksaan’, maka perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sah perjanjian berupa ‘kesepakatan’, sehingga anda dapat meminta pembatalah perjanjian ke pengadilan negeri yang ditunjuk dalam perjanjian dan perjanjian (termasuk penalti) dianggap tidak pernah ada. 5. Meminta Keringanan PenaltiCara ini adalah metode yang paling sopan dan cara dengan winning chance >80%. Beberapa kawan saya yang terbelenggu ikatan dinas acap saya minta untuk menggunakan metode ini dengan alasan-alasan logis yang dapat dipertanggungjawabkan. Hasilnya pun memuaskan. Rata-rata disetujui mendekati usulan keringanan awal. Persetujuan keringanan seperti ini sesungguhnya merupakan metode alternatif penyelesaian sengketa keperdataan yang cukup ampuh karena pendekatan yang diusung adalah pendekatan kekeluargaan. Sangat indonesia sekali ketimbang menghantam menggunakan cara formal melalui pengadilan. Nah, itulah opsi-opsi yang dapat anda ambil untuk bisa lolos dari besarnya angka penalti. Lalu bagaimana dengan Fulan, terutama apa opsi yang akhirnya Fulan ambil? atau, jika anda di posisi Fulan, apa opsi yang akan anda tempuh? Sila tebak dan tulis jawaban anda pada kolom komentar di bawah. Semoga tulisan ringan ini bermanfaat bagi anda. ***********************************************end***********************************************************
* Merupakan pria keturunan Minangkabau yang mencintai dunia Hukum. Selain meniti karir Hukum di sektor Perbankan, ia juga tergabung sebagai anggota PAHKI (Perkumpulan Ahli Hukum Kontrak Indonesia). ** Pernyataan sanggahan: Publikasi ini dimaksudkan untuk tujuan edukasi dan bukan merupakan saran Hukum. Setiap pandangan yang tertuang merupakan pandangan pribadi dan tidak mewakili badan maupun organisasi manapun. Setiap penggunaan materi yang terkandung di dalamnya adalah risiko pembaca sendiri dan penulis dibebaskan dari segala risiko hukum yang mungkin timbul dikemudian hari.
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |