25/12/2014 1 Comment Segudang PR untuk Dewan Mahasiswa Baru Semoga saja saya belum terlambat untuk menulis apa saja pekerjaan rumah kedepan untuk DEMA 2015. Mengingat DEMA 2015 telah dilantik pada jumat lalu tanggal 19 desember 2014. Sebelumnya saya ucapkan selamat bekerja kepada DEMA 2015. Selamat karena rekan-rekan sekalian telah rela melepas sebagian ego diluar untuk dapat berkontribusi secara nyata bagi Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum (“KMFH”) serta juga rela untuk melanjutkan perjuangan kami, DEMA periode 2013/2014 untuk KMFH yang belum sempat terrealisasi. Mengingat tingginya ego pada masing-masing dari kami. Di dalam tulisan saya kali ini saya hanya ingin menyebutkan apa saja sekiranya PR umum bagi DEMA baru dimulai di tahun 2015 yang mana dari tahun ke tahun selalu terkendala banyak permasalahan entah dari intern DEMA sendiri ataupun dari keadaan ekstern DEMA. Pemilihan Dekanat FH UNS 2015 Pada tahun 2015, akan diadakan pemilihan dekanat baru periode 2015-2018 (perkiraan saya 4 tahun). Didalam pemilihannya, tidak akan langsung terpilih dekan, pembantu dekan (“PD”) 1, PD 2 dan PD 3 secara serentak. Yang ada hanyalah pemilihan berdasarkan jabatan tertinggi, yakni dekan. Setalah dekan terpilih barulah PD 1, PD 2 dan PD 3 merupakan kewenangan dekan untuk memilih. Sistematika pemilihan dekanat berbeda seperti sistem pemilu KMFH dimana seluruh lapisan mahasiswa dapat memilih presiden BEM dan anggota DEMA secara langsung. Dalam pemilihan dekanat berbeda, dekan akan terlebih dahulu diusulkan oleh masing-masing unsur senat fakultas dan kemudian dipilih berdasarkan hasil sidang senat fakultas. Tentunya dengan fit and proper test internal terlebih dahulu. Dalam bahasa sederhana, senat fakultas dapat dikatakan merupakan forum tertinggi fakultas hukum yang memiliki komposisi berasal dari pelbagai unsur-unsur akademisi FH. Tapi tenang saja, saya tidak mau membahas lebih dalam karena tulisan ini bukan untuk membahas senat. Saya pribadi lebih menyukai sistematika pemilihan yang transparan yang artinya dapat diketahui oleh mahasiswa. apapun caranya saya sepakat asalkan dalam keberjalanannya dapat menerapkan prinsip transparan sebaik-baiknya, maksudnya mahasiswa dapat dilibatkan secara aktif dalam prosesnya meski mahasiswa tidak mempunyai hak suara sepeserpun. Jika kita sandingkan dengan kampus lain seperti contoh di UIN Syarif Hidayatullah, disana sebelum dekanat terpilih akan diselengarakan terlebih dahulu acara semacam debat calon dekan. Didalam acara tersebut, para calon dekan akan memaparkan visi misi untuk fakultasnya. Disertai pula dengan tanya jawab interaktif yang menuntut para calon dekan untuk menggali visi misinya. Lain halnya seperti di universitas airlangga, disana kedudukan mahasiswa sangan dihargai karena salah satu unsur dari senat universitasnya adalah mahasiswa yang diwakili oleh BEM. Sehingga memungkinkan unsur mahasiswa dapat menggunakan hak suaranya untuk memilih rektor, pun begitu dengan dekan di fakultas-fakultasnya. Implikasi yang timbul, rektor dan dekan terpilih di unair akan bekerja dengan terarah karena mereka diawasi dan karena telah ada kesepakatan politik dengan semua unsur-unsur civitas akademika universitas. Hmm, Sistem pemilihan yang menarik. Hal berbeda justru kita temui di FH UNS, menurut informan saya yang terpercaya pada era pemilihan dekanat prof. Hartiniwingsih, FH justru cenderung introvert dan sama sekali belum memperlihatkan pemilihan yang demokratis dan transparan. Hal ini terlihat dari sedikitnya informasi kredibel yang dapat diakses oleh seluruh civitas akademik pada masa-masa pemilihan dekanat tersebut. sangat disayangkan. Maka inilah PR pertama di tahun 2015. Kawal lah keberjalanan pemilihan dekanat dengan terarah dan konstan. Buatlah inovasi yang tidak pernah dibuat KMFH sebelumnya yakni kampanye dialogis para calon dekanat di tahun 2015 atau inovasi lainnya yang masih relevan dengan topik “mengawal pemilihan dekanat”. Karena sadari atau tidak, pemilihan dekanat 2015 merupakan isu dan momen penting yang tidak boleh sampai terlewati. Mengingat buruknya pelayanan yang dilakukan oleh dekanat kita selama mereka menjabat maka tentulah kita sebagai mahasiswa harus turun tangan untuk memecahkan masalah serta mencari solusi : bagaimana caranya memperbaiki FH UNS. Karena, melalui pemilihan dekanat di tahun 2015 lah satu pintu utama dari semua pintu ‘solusi’ permasalahan yang membelengu FH UNS telah kita buka. Apabila isu pemilihan dekanat dapat kita kawal maka bukan tidak mungkin atmosfer FH UNS akan lebih kondusif, penerapan customer satisfication sebagaimana tertuang dalam A.C.T.I.V.E dapat lebih efektif diterapkan dan segudang harapan lain entah dari mulut mahasiswa atau staff-staff administrasi di FH UNS dapat bisa diwujudkan oleh pimpinan baru FH UNS. Pensejajaran Kedudukan Mahasiswa dengan Dekanat isu ini sebenarnya sudah sempat saya gulirkan di depan mas dimas, FH 2008 (mantan DEMA 2010-2011) dan mas rahmat, FH 2010 (mantan ketua Novum 2013). Dalam diskusi singkat tersebut saya mengutarakan bahwa perkembangan zaman dewasa ini sudah tidak relevan lagi dengan keadaan KMFH masa lalu. Situasi FH saat ini menuntut kita, KMFH untuk dapat mengambil sikap lebih tegas dan tentunya dengan persiapan yang matang. Salah satunya dengan mensejajarkan kedudukan mahasiswa FH UNS dengan dekanat. Bagaimana tidak, fakta dilapangan telah berbicara. Seringkali dalam mengambil sebuah kebijakan pihak fakultas seperti mengenyampingkan suara-suara KMFH. Suara KMFH lebih sering dianggap angin lalu oleh pihak fakultas. Jika suara KMFH telah diutarakan lebih dari 2x barulah akhirnya pihak fakultas mau mengakomodir kepentingan KMFH. Saran saya, melalui pemilihan dekanat 2015. Pihak DEMA sebagai perwakilan dari KMFH sebaiknya mulai melakukan pendekatan-pendekatan kepada calon dekanat FH 2015. Galilah informasi sebanyak-banyaknya ke dosen yang memiliki sumber terpercaya siapa saja calon-calonnya tersebut. Contohnya lakukanlah riset secara mendalam ke pak bambang santoso sebagai senat. Jika sudah, dekati dan buat kesepakatan politik yang mengikat dengan para calon apabila mereka telah terpilih menjadi dekanat baru. Karena melalui pendekatan-pendekatan semacam itulah fase baru akan kita tempuh : yakni pensejajaran kedudukan KMFH dengan dekanat. Konkritnya melalui apa? Banyak cara, salah satunya ialah dengan pencatutan nama dekan atau pembantunya pada konstitusi KMFH. Namun bukan sekedar catut-mencatut saja, harus tetap ada perwakilan pihak fakultas atas nama dekanat yang hadir pada proses pengundangan konstitusi KMFH. Karena, jika saja hal ini dapat terwujud tentu saja di setiap kebijakan-kebijakan fakultas akan ada pihak mahasiswa yang hadir untuk memberikan masukan serta pendapat dari perspektif mahasiswa. Cara lain juga ada, yakni dengan dibuatnya kontrak politik antara pihak KMFH dengan diwakili DEMA dengan pihak fakultas berisikan poin-poin pensejajaran mahasiswa dengan dekanat pasca pemilihan dekanat 2015. Ya minimal kita telah memberlakukan asas dalam hukum kontrak yakni pacta sunt servanda (perjanjian berlaku sebagai sebuah undang-undang yang mengikat bagi para pihak). Karena itu, bagi DEMA 2015. Mulailah lakukan lobi politik dengan calon-calon dekanat baru kita, buatlah isu ini menjadi isu sentral dan penting bagi dekanat 2015. Buat isu ini menjadi isu prioritas calon dekanat kita. Kartu parkir Pasca diadakannya jumpa civitas akademik (“JCA”) oleh DEMA pada tahun 2012,Booming kartu parkir pun muncul. Kehadiran kartu parkir juga bukan tanpa sebab, karena dalam salah satu tuntutan yang dilayangkan KMFH pada JCA 2012 mahasiswa meminta agar penataan parkir dapat lebih tertata dan agar dapat mencegah terjadinya tindak pidana curanmor maka KMFH meminta pengadaan suatu alat yang dapat mencegah curanmor dan dapat mendidik mahasiswa agar tertib parkir dapat terlaksana. Maklum, karena pada tahun 2012 banyak motor dan helm yang hilang di parkiran gedung satu. Saya ingat sekali, tahun 2012 akhir. Pihak fakultas kemudian mulai melakukan pengadaan kartu parkir untuk setiap mahasiswa yang ingin parkir di gedung satu. Singkat cerita kartu parkir pun dibagikan dan segera dicoba untuk parkir. Namun sayang, ekspektasi saya yang begitu tinggi terhadap pengadaan kartu parkir pun tak sebanding dengan fakta yang ada di lapangan. Kartu parkir sederhananya hanyalah sebagai alat pengganti dari kertas parkir yang selama ini diberikan petugas parkir kepada mahasiswa. tak lebih. Ekspektasi untuk merasakan tertib parkir pun hanya omong kosong. Mahasiswa tetap hanya diberikan kartu parkir dan itu pun terlihat hanya formalitas belaka. Padahal dalam tuntutan KMFH pada JCA 2012 dijelaskan, bahwa KMFH menginginkan tertib parkir sebagaimana telah ada di FT atau FE (pada tahun 2012 belum menjadi FEB). Jika di FT kita dapat melihat bagaimana ketatnya mahasiswa yang hendak parkir karena selain menggunakan kartu parkir, mahasiswa pun tetap dimintakan STNK sebagai tanda bahwa motor tersebut ialah miliknya, pun seperti itu juga yang terjadi di FE. Pengamanan parkir di ketua fakultas tersebut juga menurut kami profesional, berbeda seperti di FH. Sangat berbeda. Padahal, pengadaan kartu parkir menurut saya dapat dimaksimalkan. Tidak seperti sekarang, pengadaan kartu parkir nampak seperti program omong kosong untuk memuaskan birahi kritis mahasiswa saja. Padahal, anggaran untuk pengadaan kartu parkir pun saya tergolong cukup besar, seingat saya hampir mencapai >10 juta untuk mahasiswa se-FH! Dalam suatu kesempatan di tahun 2014, saya pernah berbincang dengan pak yunanto selaku kepala sub bagian Umum & Perlengkapan (“umkap”) yang berwenang mengurusi pengelolaan parkir. Pak yunanto kemudian mengatakan ada beberapa alasan mengapa pelaksanaan kartu parkir tidak dapat maksimal. Salah satunya ialah karena petugasnya, petugas di gedung satu menurut beliau sudah pernah untuk memintai kartu kepada mahasiswa saat awal-awal peluncuran kartu parkir. Namun, banyak mahasiswa yang masih beralasan belum mempunyai kartu parkir ataupun beralasan sedang buru-buru karena mau UKD. Akhirnya lama kelamaan petugas di gedung satu pun tidak melanjutkan pekerjaannya memintai kartu parkir. Alasan klise menurut saya, hal tersebut dikarenakan tidak adaya sanksi kepada petugas maupun kepada mahasiswa yang hendak parkir. Tengoklah keadaan di FT. disana, jika petugas lalai meminta maka sanksi kepada petugas pun jelas. Begitu juga dengan mahasiswa, jika tidak segera menunjukkan kartu parkir maka jangan harap mahasiswa tersebut dapat keluar dari area parkir tersebut. Perbedaan yang cukup signifikan bukan? Namun, menurut saya alasan terbesar mengapa pengelolaan parkir mangkrak justru bukan terdapat pada petugas ataupun pak yunanto selaku pelaksana pengelolaan parkir. Tetapi terletak pada lemahnya pengawasan dari pimpinan tertinggi fakultas hukum atau dekanat. Bayangkan, sejak 2012 hingga sekarang. Apakah pernah pengelolaan parkir menjadi perbincangan serius dikalangan dekanat? Belum, bahkan cenderung tidak. Sepertinya memang kita harus kehilangan 3 motor terlebih dulu seperti yang terjadi di tahun 2012 untuk dapat serius menanggapinya. Inilah kelemahan besar yang ada di fakultas hukum. Tunggu dulu kejadiannya, barulah ada penanganannya. Hal yang memalukan ditunjukkan oleh orang-orang hukum yang tau hukum. Semoga DEMA 2015 dapat segera merealisasikannya. Atau jika pun tak terlaksana semoga siapapun itu dapat menyelesaikan permasalahan semu ini. Mensolidkan Irama Gerakan KMFH Untuk PR yang satu ini sepertinya sudah lama kita jadikan topik perbincangan di tiap diskusi-diskusi kecil antar sesama mahasiswa FH UNS namun topik perbincangan tersebut pasti pada akhirnya hanya menjadi guyonan bahkan berakhir pada wacana-wacana ‘kosong’ belaka. Bagaimana tidak, mulai dari anggota UKM/Komunitas hingga mahasiswa biasa pasti pernah mengeluh bagaimana buruknya irama gerakan KMFH kita ini. Contohnya, tengoklah peristiwa yang sempat terjadi pada masa osmaru 2014. Pada osmaru tersebut, semua UKM, komunitas hingga angkatan bersatu padu untuk mensukseskan rangkaian acara osmaru 2014. Singkat cerita, rangkaian osmaru pun diwarnai dengan aksi boikot yang dilakukan panitia. Namun sayang sekali, panitia membubarkan diri tanpa mengikutsertakan KMFH didalam keputusannya. Aksipun tetap berjalan hingga osmaru pun selesai, di dalam aksi tersebut hanya terdapat suara-suara panitia mahasiswa angkatan 2011 dengan segudang sikap yang tertuang di dalam MMT panjang yang dipajang di depan parkiran lama gedung satu. Cukup disayangkan, mengapa? Padahal isu osmaru merupakan isu sentral bersama. Bagaimana tidak, sekitar 400 an mahasiswa baru masuk dan acara osmaru pun adalah acara bersama KMFH, namun mengapa yang terlibat pasca peristiwa itu hanya rekan-rekan panitia saja? Kemanakah DEMA atau BEM? Apa hanya tidur siang di sekre saja? Ironis. Itulah satu peristiwa dari sekian banyak peristiwa lain yang mengingatkan kita bahwa arah gerakan KMFH belum konkrit. Belum seirama dan sangat tidak jelas. Masing-masing dari KMFH masih berjalan sendiri-sendiri. Bahkan cenderung memisahkan diri. Masih ingatkah ketika presiden BEM kabinet SOMASI lulus dengan menteri-menterinya padahal masa jabatannya belum berakhir? Ataupun masih ingatkah ketika KDFH meminta sekre untuk mempermudah urusan KDFH namun pada akhirnya isu KDFH ini berakhir pada pertengkaran dalam ‘kesunyian’? ya, masih sangat banyak urusan-urusan internal di KMFH yang belum dapat terselesaikan di DEMA periode saya. Karena itu, harapan saya. Semoga DEMA dapat lebih menitikberatkan pada sifat grassroot atau merumput kebawah. Sekiranya apa saja yang menjadi permasalahan mengapa arah gerakan KMFH begitu berantakan dan tidak terarah. Saran saya, buatlah sebuah forum yang berisikan para pimpinan-pimpinan BEM, UKM dan komunitas. Gulirkanlah isu bahwa kita sebagai KMFH harus bersatu padu dalam irama gerakan. Carilah apa saja permasalahan-permasalahan yang mendasari mengapa sulit sekali menyatukan KMFH. Serta jadikanlah isu penyatu paduan KMFH ini sebagai visi misi KMFH bersama. Ingat, kita berdiri dibawah satu bendera fakultas hukum universitas sebelas maret. Sudah bukan era nya lagi kita berjalan masing-masing tanpa memperdulikan sekeliling. Mahasiswa FH Itu banyak, bukan hanya ada UKM, BEM, DEMA ataupun komunitas saja. KMFH itu adalah wadah gerakan bersama sebagaimana tertuang dalam mukadimah konstitusi KMFH. Ayo satu padukan gerakan KMFH! Perlahan tapi pasti, buatlah ini menjadi sebuah kenyataan DEMA 2015! Merapihkan struktur ketatanegaraan KMFH PR yang satu ini saya akui cukup berat jika yang bergerak hanya DEMA seorang. Perlu adanya kegelisahan bersama yang melahirkan momentum revitalisasi struktur ketatanegaraan KMFH. Namun tetap saja, harus ada persiapan yang matang untuk menggulirkan isu ini menjadi isu bersama se-KMFH. Minimal DEMA periode 2015 dapat mengkonsepkan bagaimana sekiranya struktur ketatanegaraan yang baik untuk dapat disesuaikan dengan masyarakat KMFH sendiri. Pendapat saya, implementasikanlah prinsip trias politica berdasarkan checks and balances sebagaimana dipopulerkan oleh Montesquie dan Prof. Jimly Asshidiqie. Mengingat kita ini adalah orang-orang cerdas yang tau hukum. Maka buatlah tertib hukum dimulai dari struktur ketatanegaraan KMFH. Buatlah masterplan bagaimana struktur KMFH yang baik dan dapat segera diimplementasikan. Jangan lagi berkembang pemahaman bahwa DEMA merupakan lembaga tertinggi negara KMFH. Karena menurut saya hal tersebut sudah tak relevan dengan perkembangan ketatanegaraan KMFH. Buatlah konsep dimana kedudukan eksekutif sejajar dengan legislatif karena sama-sama dipilih langsung oleh mahasiswa. dan lakukanlah lobi-lobi politik dengan para UKM dan Komunitas. Sebaiknya berada dimakanakah kedudukan mereka di struktur ketatanegaraan KMFH. Mengingat fungsi dari UKM dan Komunitas sendiri hanya merupakan sebagai wadah minat dan bakat mahasiswa maka idealnya UKM & Komunitas harus rela untuk berada dibawah wewenang BEM untuk dikoordinasi. Ingatlah bahwa kita adalah mahasiswa hukum, maka sudah barang tentu bahwa dalam kehidupan organisasi mahasiswa juga harus selaras dengan tertib ketatanegaraan. Tidak seperti sekarang, konstitusi KMFH dibiarkan diundangkan tanpa persetujuan KMFH didalamnya. Dan tidak pernah terlaksananya wacana penggodokan Rancangan Undang-Undang UKM dan Komunitas karena ketakutan semu anggota DEMA untuk menggulirkan isu ‘revitalisasi struktur ketatanegaraan KMFH’. Sudah saatnya menurut saya, dimasukkannya invisible political hand kedalam sendi-sendi kehidupan ketatanegaraan KMFH. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan sekat-sekat yang masih mencengkram kuat antar sesama organisasi KMFH. Sangat tidak baik jika masih tetap dibiarkan. Semoga saja DEMA 2015 dapat perlahan melakukan lobi politik kepada semua UKM & Komunitas untuk melepaskan ‘warna jaket’ dan ‘kepentingan’ untuk membangun KMFH bersama. Mencerdaskan DEMA se-UNS perihal revitalisasi gerakan KBM UNS Sebagai lanjutan dari tulisan saya yang sebelumnya dimana mengarah hanya kepada KMFH, sebenarnya ada tugas yang selalu terlewatkan oleh DEMA FH UNS dari periode ke periode. Yakni turut aktif merapihkan ketatanegaraan Keluarga Besar Mahasiswa (“KBM”) UNS. Sebenarnya PR yang satu ini sudah coba saya pecahkan saat saya menjabat sebagai anggota DEMA 2013. Saat itu saya menggulirkan sebuah wacana pelaksanaan pemilu se-UNS yang serentak kepada DEMA se-UNS melalui sebuah forum diskusi atau yang saya sebut sebagai Focused Group Discussion (“FGD”). Sederhana saja, saat itu analogi hemat saya mengatakan bahwa arah gerakan BEM dan DEMA se-UNS memang belum kompak bahkan cenderung saling tumpuk menumpuk tidak terarah. Hal tersebut dilatarbelakangi pengalaman saya selama 1,5 tahun di BEM FH UNS kabinet berani tahun 2012-2013. Saat saya masih di BEM dan kebetulan saya dipercaya sebagai kepala deputi jaringan dan propaganda yang manifestasi dai pelbagai isu skala lokal,nasional maupun internasional. Saya memang disibukkan dengan berbagai kegiatan yang mengharuskan saya berkoordinasi dengan BEM se-UNS. Namun, berkali-kali saya dibuat kesal pada saat itu karena saya tidak mendapati sebuah kekompakan dalam gerakan BEM se-UNS ini. Gerakan BEM se-UNS yang digaungkan dalam nama Forbes pun hanya digerakkan oleh orang-orang eksternal yang terlalu bangga dengan jabatan semu nya tersebut. Maklum karena isi BEM UNS yang katanya merupakan koordinator BEM se-UNS memang di kuasai oleh KAMMI. Sehingga, dalam teknis pekerjaan berbagai pekerjaan yang menyangkut BEM se-UNS pun menjadi terkendala karena tingginya ego yang menyertai para BEM se-UNS. Apalagi saya juga bukan siapa-siapa dan saya juga takkan mau jadi siapa-siapa di KAMMI, maka jadilah setiap omongan saya di forbes hanya menjadi omong kosong belaka mengingat sebagian besar isi dari forbes adalah orang KAMMI. Ya, penyakit akut di UNS memang seperti ini. Singkat cerita, saya pun menemukan salah satu poin permasalahan besar yang dapat dipecahkan secara bersama. Ialah melakukan pemilu se-UNS secara serentak. Bayangkan saja, jika di analogikan. Pres BEM FH yang resmi bekerja bulan januari apakah akan sama kadar ilmunya dengan pres BEM UNS yang resmi bekerja pada bulan september? Tentu tidak bukan, idealnya dikarenakan semua BEM se-UNS ini memiliki kedudukan yang sejajar (sebagaimana terdapat jabatan presiden di tiap BEM se-UNS) maka sudah barang tentu jika proses pemilihannya dilakukan dengan serentak. Jika telah serentak maka satu solusi pun sudah terpecahkan yakni mudahnya berkoordinasi dan samanya kadar ilmu dari BEM se-UNS. Inilah alasan yang melatar belakangi saya untuk membuat FGD tentang perlunya pemilu se-UNS secara serentak. Namun, lagi-lagi saya mendengar suara sumbang di tiap BEM dan DEMA se-UNS yang kami undang sebagai pembicara ataupun sebagai peserta diskusi. Kebanyakan dari mereka menganggap “kenapa malah FH yang membuat diskusi semacam ini? Kan seharusnya DEMA UNS?” ataupun suara-suara sumbang lain yang mengatakan kita belum pantas untuk pemilu secara serentak karena sulitnya berkoordinasi antara sesama DEMA se-UNS. Ironis memang, ditengah semangat kami untuk memperbaiki struktur KBM agar arah gerakan lebih terarah. Justru malah dihadang dengan segudang pertanyaan yang memundurkan niat kita untuk memperbaiki KBM. Apalagi, dengan minimnya keikutsertaan DEMA UNS untuk urun rembug membicarakan perihal revitalisasi struktur ketatanegaraan KBM UNS. Semakin lengkaplah rasanya ketidakmajuan UNS untuk dapat mensejajarkan diri dengan struktur ketatanegaraan di ITB ataupun UI. Harapan saya, melalui DEMA 2015. Karena kita adalah mahasiswa hukum yang mengetahui hukum dengan lebih komprehensif. Saya harapkan hal in dapat menjadi salah satu cita-cita DEMA hingga 5-10 tahun mendatang. Jangan hanya kita berfikir rapihkan KMFH, namun kita juga harus berfikir lebih jauh. Yakni rapihkan KBM UNS! Buat kontribusi nyata untuk KBM UNS! Tunjukkan bahwa kita mahasiswa fakultas hukum dapat berkontribusi nyata dibidang hukum untuk UNS! Karena DEMA FH UNS juga adalah satu dari sekian lembaga yang paling saya harapkan untuk memulai gerakan revitalisasi KBM UNS ini. Semoga! Terakhir namun bukan bermaksud mengakhiri, yakni buatlah KMFH dan KBM UNS sadar bahwa DEMA itu ‘ada’ Tulisan saya yang satu ini bukan hanya ditujukan untuk DEMA FH UNS semata, melainkan untuk DEMA se-UNS. Karena kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa keberadaan DEMA masih dipandang sebelah mata entah di skala universitas maupun fakultas. Keberadaan DEMA masih dianggap sebagai pelengkap ditengah berkembangnya BEM sebagai lini terdepan penggerak mahasiswa. wajar memang, mengingat kedudukan DEMA yang hanya berwenang sebagai legislator dan kewenangan BEM sebagai eksekutor hukum yang dibuat oleh DEMA. Istilah good students governance pun hanya menjadi jargon omong kosong belaka bila kita masih menganut pemahaman usang bahwa BEM lah yang berjasa besar untuk mahasiswa. sesungguhnya, DEMA dan BEM ini satu paket dalam pergerakannya. Memang domainnya saja yang berbeda. Kedua lembaga ini pun sama-sama dapat membuka kantong aspirasi yang mana dapat segera di tindaklanjuti, yang membuat beda hanyalah bentuk output produk atas aspirasi yang terserap. Jika BEM pasca terserapnya aspirasi akan membuat aksi turun kejalan (contoh: aksi UKT), hal berbeda akan terasa jika DEMA yang dihadapkan dengan aspirasi. DEMA akan membuat produk politik atas isu yang berkembang di masyarakat, sama seperti DPR RI. Hukum yang diciptakan oleh DPR didasarkan pada perkembangan isu yang terjadi ditengah masyarakat. Contohnya penggodokan RUU perlindungan pembantu rumah tangga, DPR menggodok RUU tersebut dikarenakan maraknya tindak pidana yang dilakukan majikan terhadap pembantu rumah tangga. Seperti itulah analogi singkat kewenangan DPR yang sama dengan DEMA perihal tindakan atas aspirasi masyarakat. Maka dari itu, selayaknya produk hukum yang diciptakan DEMA kedepannya haruslah diakui baik secara yuridis, filosofis, sosial maupun politik ditiap-tiap kelompok masyarakat. (i) Yuridis disini dimaksudkan agar tiap produk hukum DEMA dapat berlaku dan dapat dijadikan rujukan dasar hukum bagi lembaga semacam BEM, UKM atau Komunitas hingga mahasiswa umum sekalipun; (ii) filosofis disini dimaksudkan agar tiap produk hukum yang diciptakan oleh DEMA dapat dipahami dan dijadikan dasar secara adat dan alami oleh seluruh unsur KMFH; (iii) sosial disini dimaksudkan agar setiap produk hukum DEMA dapat dipatuhi masyarakat KMFH dan dapat menjadi salah satu sendi yang mengikat masyarakat mahasiswa dalam kehidupan bernegara KMFH; dan (iv) politik, dimana hal ini dimaksudkan agar tiap produk peraturan perundang-undangan DEMA dapat mengikat dan ‘memaksa’ seseorang untuk patuh. Mengingat anggota DEMA telah terpilih secara politik-konstitusional. Terutama agar dapat mengikat secara politik ke tiap-tiap lembaga yang ada di KMFH. Karena jika saja secara politik DEMA telah berhasil mengikat melalui produknya bukan tidak mungkin cita-cita bersama kita yakni : revitalisasi KMFH segera dapat terwujud. Kekuatan berlakunya produk hukum DEMA harus efektif dan valid! Kesimpulan Mungkin itulah sedikit isu-isu yang belum sempat terrealisasi pada zaman saya menjabat sebagai DEMA FH UN 2013-2014. Dari semua isu tadi sebenarnya masih ada isu kecil lainnya yang belum sempat saya bahas di tulisan kali ini. Sebut saja, mengenai posisi komunitas di KMFH; papan-papan informasi di FH UNS yang kurang friendly dan ramah terhadap para pencari informasi; posisi tawar Jumpa Civitas Akademik yang semakin merosot dimata mahasiswa; masih berkembangnya sifat skeptis-apatis di tengah mahasiswa FH; kurangnya partisipasi aktif seluruh elemen KMFH dalam mensukseskan rangkaian pemilu KMFH; minimnya kontribusi nyata para ketua UKM & Komunitas untuk menyatu padukan gerakan KMFH; masih berkembangnya paradigma usang “BEM & DEMA itu lembaga ekslusif” di tengah mahasiswa FH; minimnya partisipasi KMFH dalam pernyataan sikap FH terhadap isu luar; minimnya pengetahuan KMFH mengenai gerakan mahasiswa; kurangnya koordinasi antar sesama lembaga KMFH; dan segudang permasalahan KMFH yang masih menghantui keberjalanan kehidupan bernegara di KMFH. Harapan saya pribadi, semoga yang membaca tulisan ini dan menjadikan tulisan ini sebagai pemantik diskusi kecil bukan hanya ada pada DEMA 2015, melainkan pada DEMA 2016, 2017 .. hingga seterusnya. Karena, gerakan ini tidak akan bisa terselesaikan hanya dalam satu tahun saja. Di ITB, berdasarkan obroal saya dengan abang kandung saya yang kebetulan pres bem KM ITB 2011, beliau mengatakan jika ITB bisa ‘merapihkan’ ketatanegaraannya karena telah menghabiskan waktu selama 10 tahun! Luar biasa menurut saya. Bagaimana tidak, gerakan revitalisasi KM ITB dimulai dari tulisan-tulisan sederhana seperti tulisan saya yang satu ini, kemudian berlanjut ke diskusi kecil hingga berlanjut ke forum-forum skala universitas yang berkomposisikan pihak rektorat, dekanat dan seluruh elemen KM ITB! Betapa luar biasanya ITB, pantas saja struktur ketatanegaraan ITB sering dijadikan rujukan oleh kampus-kampus lain. Dan, ITB juga dapat disejajarkan dengan UI yang notabene nya sama-sama kampus besar. Lantas, UNS kapan? Tentu saja saya jawab dengan sekarang bung! Bukan lagi meununggu-nunggu esok untuk memulai. Sekarang lah waktu yang tepat untuk memulai penyeragaman irama gerakan se-UNS. Dimulai dari lingkup fakultas terlebih dahulu tentunya. Tentu tak lupa dengan tetap ber ikhtiar dan konsisten pada gerakan besar ini. Harapan ini bagi saya takkan pernah padam. Karena saya masih mencintai UNS sebagaimana saya mencintai hidup saya sendiri. Terimakasih, sampai bertemu lagi di tulisan-tulisan saya yang lainnya. Hidup Mahasiswa!
1 Comment
|
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |