21/3/2015 6 Comments "Ah, Yakin BEM FH UNS Bisa Aksi ?" *oleh Muhammad Aldi "hidup mahasiswa!!” begitu kira-kira pekikan lantang salah seorang orator memecahkan kegaduhan bunyi lalu lalang kendaraan di boulevard kampus. Jumat itu (20/3/2015), kebetulan saya sedang melintas melalui boulevard kampus. Saya melihat ada segerombolan mahasiswa sedang melakukan aksi. Mereka membawa MMT yang sekelebat saya baca terdapat kata “jokowi” dan “pulang kampung”. Seketika saya pun teringat jarkom via media sosial beberapa hari sebelumnya, bahwa pasca pelantikan pengurus BEM UNS, akan ada aksi mengkritisi kebijakan jokowi sekaligus deklarasi poros aksi mahasiswa (Porsima) oleh BEM se-UNS. Porsima sendiri, selain merupakan nama populer sekretariat dari BEM UNS, juga kebetulan merupakan nama kabinet dari BEM UNS 2015. Sebetulnya didalam pelantikan tersebut saya ingin hadir. Namun, sayang sekali, saya tidak dapat hadir dikarenakan ada kewajiban mempersiapkan “masa depan” di tempat lain yang tidak bisa saya tinggalkan.
6 Comments
13/3/2015 0 Comments Puncak Acara Dies Natalis, UNS Anugerahkan Gelar Doktor Honoris Causa ke Chairul Tanjung Sebagai acara puncak dari serangkaian kegiatan Dies Natalis ke 39 Universitas Sebelas Maret (UNS) yang telah diselenggarakan sejak jumat (6/03), UNS menganugerahkan UNS Award kepada 11 alumni berprestasi dan 34 dosen yang telah lulus program doktoral di dalam dan luar negeri lulusan tahun 2015 melalui sidang senat terbuka Dies Natalis ke-39 UNS pada rabu, (11/03). Dampak Sistemik : Menyeret berbagai pihak Dewasa ini, berbagai cara yang dilakukan mahasiswa selain melalui bag. pendidikan juga menyebabkan pihak-pihak lain ikut terlibat ke dalam pusaran permasalahan KRS. Pertama, ialah dosen. Siapa yang menampik bahwa salah satu dari kita mungkin pernah meminta (kadang disertai intimidasi) kepada dosen –entah dengan cara apapun- agar bagaimanapun caranya bisa menambah kuota di kelas ajarnya? Tentu salah satu dari kita pasti pernah melakukan cara yang demikian. Caranya, dengan meminta dosen ybs menulis memo tertulis ditujukan untuk bag Pendidikan atau PD 1 untuk menambah kuota kelas. Padahal, di satu sisi tentu kita sadar bahwa dosen bukanlah ‘panitia’ yang mengurusi ikhwal penambahan kuota dsb, dosen hanyalah pengajar yang ditugasi untuk melaksanakan perkuliahan pasca masa KRSan berakhir. Kedua, ialah menyulut perseteruan mahasiswa beda generasi. Siapa dari kita yang dapat mengelak bahwa kita pernah memojokkan salah satu orang / bahkan angkatan tertentu karena ia merupakan pihak yang –kita anggap- bertanggungjawab karena kelas yang ingin kita masuki ternyata penuh? Saya pastikan kita semua pernah melakukan hal yang demikian. Disinilah salah satu permasalahannya, bagi saya perseteruan mahasiswa yang sedang wajib ambil dengan mahasiswa “make up” dan mahasiswa yang “belum ambil makul” selalu terjadi tiap generasi ke generasi. Tak heran, selama bertahun-tahun saya kuliah disini, perseteruan antara kedua jenis mahasiswa ini selalu saja terjadi. Walaupun sebenarnya, Sistem KRS saat ini (2015) sudah dibuat sedemikian rupa untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa lama agar ‘cepat’ lulus melalui system penjadwalan input KRS yang didasarkan pada urutan angkatan teratas hingga angkatan terbawah. Namun fakta dilapangan sering berbicara lain, jumlah mahasiswa yang masih membutuhkan kelas dengan kuota yang diberikan per kelas ternyata belum sebanding. Biasanya, per kelas dengan kisaran jumlah kursi berkisar 40-50 mahasiswa menyediakan 10-20 kursi sebagai “jatah” khusus bagi angkatan lama. Akan tetapi, terkadang system inipun bagi saya belum dapat menyelesaikan masalah. Karena pada akhirnya norma “kebiasaan”lah yang akan dijadikan suatu panutan wajib. Mahasiswa lama kebanyakan lebih mengincar dosen yang mudah memberikan nilai A ketimbang memilih dosen yang mengharuskan mahasiswanya berjuang untuk mendapatkan nilai A. norma kebiasaan tersebut pun juga diamini oleh para mahasiswa baru yang sedang mengambil paket mata kuliah wajib. dampaknya, jika terjadi kuota penuh di suatu mata kuliah (yang kebetulan diampu oleh dosen murah hati). Salah satu alasan yang akan dijadikan justifikasi oleh mahasiswa baru kepada mahasiswa lama adalah “ini semua karena angkatan lama”. Sedangkan disisi lain, mahasiswa lama juga sangat membutuhkan mata kuliah tersebut untuk syarat kelulusan (make up atau belum ambil). Alasan yang digunakan mahasiswa lama agar bisa diadvokasi pun biasanya dapat dengan mudah saya tebak. Biasanya, mahasiswa lama menggunakan analogi (kepada mahasiswa baru) untuk dijadikan justifikasi. Analogi pertama “jika mahasiswa lama bisa segera ambil makul (tanpa ada masalah kuota), artinya mahasiswa lama bisa cepat lulus. Artinya, mahasiswa baru bisa dengan leluasa mengambil makul tanpa ada intervensi mahasiswa lama lagi”. Analogi kedua “mahasiswa baru mengalah saja, biarkan mahasiswa lama mengambil mata kuliah tsb. Karena, jika kalian mengalah, artinya kalian sudah memberikan kemudahan bagi mahasiswa lama agar cepat lulus”. Analogi tersebut juga disertai dengan sedikit intimidasi (agar mahasiswa baru mengalah). Biasanya praktik ini terjadi bukan secara langsung didunia nyata, namun terjadi lewat akun media sosial twitter,FB, dll. Kembali lagi, terkhusus bagi analogi kedua, bagi saya analogi tersebut justru membiarkan praktik -norma kebiasaan- tersebut tumbuh subur. Bayangkan, jika sekarang angkatan 2011 meminta angkatan 2012 utk mengalah. Kedepan angkatan 2012 juga akan meminta kepada angkatan 2013 untuk mengalah. Terus begitu, sehingga Norma kebiasaan tersebut akan Terus muncul hingga angkatan-angkatan seterusnya. Justifikasi tersebut terus menerus akan digunakan sebagai dalih. Yang pada akhirnya akan berdampak pada suburnya praktik senioritas dikalangan mahasiswa. Sebagian kalangan menganggap praktik senoritas adalah hal yang wajar. Bagi saya sendiri, jika senioritas tersebut digunakan dengan didasarkan pada nilai-nilai adat kesopanan dimasyarakat maka hal tersebut saya anggap wajar. Namun jika senioritas sudah dibumbui dengan sikap feodalisme dan pragmatisme? Tentu saja perlu saya tegaskan bahwa saya menentang keras! Toh, pada intinya ini hanya persoalan mengenai suatu mata kuliah. Mengapa bisa sampai berbuntut panjang pada senioritas kelewat batas? Ketiga, BEM/DEMA. pada saat saya aktif sebagai kepala deputi di BEM dan sebagai ketua bidang di DEMA, hampir dapat saya pastikan setiap semester (dimana masa KRSan sedang berlangsung) BEM maupun DEMA selalu saja dijadikan pihak yang dijadikan kambing hitam. Seringkali pernyataan-pernyataan dari luar selalu bernada sumbang dan memojokkan posisi BEM / DEMA. meskipun secara ketatanegaraan seharusnya BEM lah yang melaksanakan fungsi advokasi, namun “kaidah yang hidup” di FH UNS rupanya masih mengandalkan kedua organisasi ini tuk saling bahu membahu mengadvokasi mahasiswa. Karena itu, dalam tulisan ini saya tidak memasukkan unsur ketatanegaraan untuk membedakan BEM maupun DEMA sebagai pihak yang proaktif meng advokasi mahasiswa. Namun sebelum saya melanjutkan lebih lanjut, ada baiknya saya perlu menegaskan satu hal. Bahwa BEM / DEMA yang saya maksud disini ialah didasarkan pada kondisi saat saya menjabat sebagai BEM & DEMA atau bahasa sederhananya BEM & DEMA yang benar-benar bekerja meng-advokasi mahasiswa. Meskipun terlepas dari kekurangan-kekurangan BEM & DEMA pada periode saya terdahulu, namun saya merasa bahwa periode saya (BEM FH UNS 2012-2013) masih lebih baik dan manusiawi dalam mengadvokasi. Bukan seperti BEM & DEMA periode 2015 saat ini yang cenderung “lari dari tanggungjawab” untuk mengadvokasi mahasiswa. Bagi saya (terlepas dari substansi tulisan polemik KRS ini) BEM & DEMA periode 2015 ini betul-betul sangat mengecewakan terkait keproaktifannya dalam mengadvokasi mahasiswa. ---- Kembali lagi, pada umumnya beberapa pernyataan-pernyataan (yang bagi saya tergolong caci maki) tersebut kebanyakan dialamatkan kepada BEM / DEMA jika advokasi tidak berjalan lancar. Maksudnya jika ternyata (setelah) diadvokasi jumlah kuota tidak bertambah, kebanyakan mahasiswa malah justru mencaci maki BEM / DEMA. padahal kita seharusnya mengerti bahwa sulitnya menambah kuota tsb dikarenakan: pertama, kondisi fisik kelas yang tidak memungkinkan (mis: kuota kursi kelas=40 mhs, sedangkan yang menginginkan kelas tsb=100 mhs); kedua, adanya penolakan dari dosen pengampu untuk menambah kuota karena alasan “tidak kondusif”nya kelas jika lebih dari 40 mhs; ketiga, jumlah fisik kelas di FH tidak sebanding dengan jumlah semua mahasiswa FH; keempat, adanya faktor X yakni: kelas lain masih ada kuota kosong, tetapi mahasiswa ybs tidak mau masuk ke kelas lain tsb karena faktor dosennya galak,pelit nilai,dsb; dan kelima, mahasiswa “hanya menginginkan” kelas tsb karena dosen di kelas tsb sangat baik dalam memberi nilai. Akan tetapi tetap saja, kebanyakan mahasiswa seakan tidak memperdulikan faktor-faktor yang demikian dan cenderung menyalahkan pihak-pihak yang tidak berhasil membantunya. Salah satunya adalah BEM & DEMA. Rantai Masalah Yang Sulit Dihindari Sudah sekian lama berbagai solusi telah dilakukan oleh berbagai pihak guna mengatasi ‘kemelut KRS’. Solusi-solusi tersebut mulai dari: (i) pemberlakuan sistem terjadwal input KRS per angkatan; (ii) menambah kuota kelas maks 10-20 mhs dari total kuota awal per makul; (iii) memberlakukan waktu khusus revisi KRS selama 2 hari; (iv) memberlakukan sistem ‘wajib lapor’ ke bag Pendidikan jika mahasiswa ingin menghapus mata kuliah; dsb. Meskipun demikian, pada praktiknya polemik KRS ini tetap tidak bisa diatasi dengan mudah. Mekanisme standar input KRS versi normatif sebagaimana telah dijelaskan di buku pedoman akademik adalah: (i) input KRS per angkatan; (ii) pengesahan KRS ke PA; (iii) menyerahkan masing-masing KRS ke bag. pendidikan & PA. Namun, jika kita mencoba melihat dari sudut pandang kita sebagai mahasiswa.dari segi yang lebih luas, Sebenarnya banyak langkah-langkah yang harus kita lalui terlebih dahulu agar kita bisa sukses input KRS. untuk menyederhanakannnya, saya akan membahas terlebih dahulu step-by-step input KRS berdasarkan golongan mahasiswa lama dan mahasiswa wajib ambil.
Berkaca ke enam poin tersebut, saya berani menyimpulkan bahwasanya sistem siakad dewasa ini untuk pengambilan SKS masih tergolong belum rapih. Masih terdapat banyak celah-celah disana sini sehingga memungkinkan lahirnya sebuah masalah baru. Contohnya saja : mafia jual-beli SKS dengan oknum mahasiswa yang marak terjadi saat KRSan berlangsung. Disamping itu, jika ditelusuri lebih dalam. Sebenarnya akar permasalahannya sudah acap kali di perdebatkan oleh mereka yang “mengerti sistem” dengan pihak fakultas. Misalnya, mengapa jumlah mahasiswa per tahun selalu bertambah, jumlah fisik kelas untuk strata-1 pun juga tidak sebanding dengan jumlah semua angkatan mahasiswa FH UNS, ratio jumlah dosen pengampu dan jumlah mahasiswa juga tidak sebanding, dsb. Namun sayangnya, pihak fakultas sering menyanggah pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut. Berdasarkan pengalaman saya, saya pernah bertanya kepada pak yunanto selaku kasubbag UMKAP pada oktober 2014 ikhwal polemik KRS ini. Awalnya, saya bertanya mengenai sarana prasarana FH UNS yang cenderung tidak terpelihara dan jauh dari kesan world class university. Singkat cerita pertanyaan saya pun mulai mengarah mengapa jumlah mahasiswa terus bertambah padahal jumlah kelas & dosen belum seimbang. Yang saya ingat, jawaban dari pihak fakultas pun juga seolah tumpang tindih dengan perintah dari pusat (univ). Padahal, pihak fakultas menyadari bahwa jumlah mahasiswa memang tidak sebanding dengan jumlah kelas dan jumlah pengajar. Lalu, Pada saat itu, pihak fakultas menjawab kepada saya bahwa jumlah mahasiswa per angkatan tidak mungkin bisa dikurangi dari total jumlah >400 mhs. Pada saat itu ia mencontohkan angkatan 2014 yang baru saja masuk tahun-tahun belakangan ini. Seingat saya, ada dua alasan yang melatar belakangi ucapannya, pertama, untuk mengamankan jaring fiskal universitas. Karena SPP mahasiswa baru atau UKT (uang kuliah tunggal) yang disetor mahasiswa baru tiap semester, masuk ke kategori PNBP (penerimaan negara bukan pajak). Lebih lanjut, ia mengatakan SPP mahasiswa akan kembali lagi kemahasiswa dalam bentuk berbagai macam. Contohnya pembiayaan kegiatan-kegiatan mahasiswa, pemeliharaan sarana-prasarana, dll; kedua, alasan mengapa jumlah mahasiswa banyak adalah karena dari kemendikbud telah menegaskan bahwa tiap-tiap PTN diharuskan menjaring sebanyak-banyaknya mahasiswa baru untuk masuk ke PTN tersebut (sebenarnya ada nominal khusus berapa jumlah mahasiswa baru di suatu PTN yang disebutkan oleh pihak fakultas, tetapi saya lupa berapa angkanya). Harapannya, jika mahasiswa banyak maka akan sebanding dengan jumlah karya ilmiah yang akan dihasilkan mahasiswa S1 di UNS. Berangkat dari jawaban atas pertanyaan saya kepada pihak fakultas tersebut, saya menyimpulkan bahwa rantai masalah KRS ini belum ada solusinya. Artinya, Selama jumlah mahasiswa – jumlah pengajar – dan jumlah kelas belum sebanding, maka polemik KRS selalu akan terulang dari generasi ke generasi. Penutup Bak sebuah mata rantai ekosistem, sistem KRS bagi saya sangat sulit untuk dicarikan jalan keluarnya. Anomali Hukum alam : “Yang kuat yang menang” akan selalu jadi panglima dikalangan mahasiswa selama masa KRSan berlangsung. Bagi mereka yang “kurang beruntung”, otomatis kekalahan tersebut akan berdampak sistemik di pola pikirnya. Ruang-ruang distorsi (memutar balikkan sebuah fakta) akan selalu hidup ditengah sekat-sekat otak kita selama KRSan berlangsung. Si pintar (karena nilai) dan di bodoh (karena proses) selalu bisa kita jadikan sample selama kita menjadi mahasiswa. Kita pun berlomba-lomba agar bagaimanapun caranya kita bisa menjadi si pintar agar cepat lulus. Proses lagi-lagi tidak kita jadikan sebuah prioritas. Orientasi menggapai tujuan akan “hasil bagus” tanpa memperdulikan proses akan terus dijadikan justifikasi terkuat oleh mahasiswa. Karena hasil bagus akan dengan mudah membungkam orang tua kita. Dan hasil bagus juga bisa dijadikan amunisi untuk kita agar cepat mendapat kerja. Padahal entah bagaimana prosesnya (?). Yang penting IPK bagus. Nilai bagus juga bisa kita jadikan modal untuk pergaulan sosial : untuk pamer ke teman-teman, famili hingga digunakan untuk menindas mereka, kawan kita sendiri yang IPK nya rendah. Belum lagi jika didalam masa perkuliahan kita bertemu mereka. Ya, Mereka si kaum marjinal (terpinggirkan) : yakni mahasiswa yang lama lulus karena ia memperdulikan proses ketimbang hasil. Dapat saya pastikan ia akan semakin dijadikan si-bodoh. Stereotip negatif ini akan terus melekat kepada ia. Tak perduli seberapa keras ia menempa diri untuk sebuah proses. Semua turbulensi distorsi dan anomali ini akan selalu merajai alam bawah sadar kita. Kesalahan-kesalahan cara berfikir ini selalu kita diamkan. Keberanian akan melawan kesalahan-cara-berfikir ini seolah semakin absurd jika mau diperbicangkan zaman ini. Melalui tulisan ini saya mencoba mengajak berfikir anda. Apakah anda juga adalah salah satu dari yang saya sebutkan diatas? Beranikah kita memulai berbenah diri? Jika sudah demikian, Ingatkah kita akan pesan Thomas Hobbes bahwa : “Manusia Adalah Serigala Bagi Manusia Yang Lain” (?) Solo, tulisan dibuat dari tanggal 26-28 Feb 2015
Selesai pada 28 Feb pukul 19.52 WIB Sejak saya resmi masuk menjadi bagian dari FH UNS (2011), hingga kini permasalahan mengenai pengisian KRS-an ini selalu saja menjadi topik hangat yang takkan ada habisnya untuk diperbincangkan oleh semua lapisan kalangan mahasiswa dari generasi ke generasi. Terkhusus di FH UNS. Kemelut pengisian mata kuliah di ke dalam Kartu Rencana Studi (KRS) di siakad.uns.ac.id pun selalu menjadi bahan perdebatan antara sesama mahasiswa, mahasiswa dengan karyawan hingga mahasiswa dengan dosen. Dampaknya, tak pelak terjadi gesekan konflik secara horizontal dan vertikal yang mewarnai masa-masa pengisian KRS di FH UNS. Kemelut KRSan pun pada akhirnya berdampak negatif dan menyisakan kenangan pahit didalam benak mahasiswa. Sehingga, tak berlebihan rasanya jika permasalahan tersebut selalu dijadikan salah satu justifikasi terkuat mengapa mahasiswa menginginkan lulus cepat. Selain itu dari sisi psikologis, dampak dari KRSan rupanya juga telah menambah satu perilaku dari daftar perilaku-perilaku aneh mahasiswa selama ini. Yaitu : buas. Sehingga, Sepertinya benar perkataan dari Thomas hobbes dalam karyanya berjudul Asinaria bahwa “manusia adalah serigala bagi sesama manusianya”. Ungkapan ini rasanya pas jika disematkan pada mahasiswa FH UNS pada masa-masa ‘perang’ KRSan dimulai. Bagaimana tidak? bayangkan saking dasyatnya, pengaruh dari masa KRSan ini rupanya telah menyentuh semua golongan lapisan mahasiswa. Seolah tak ada lagi sekat diantara semuanya, tak ada lagi mahasiswa dari UKM A,B,C , tak ada lagi mahasiswa kupu-kupu, semua bercampur aduk demi kelangsungan hidup satu semester kedepan. Semua mahasiswa mendadak berbondong-bondong menyatakan ‘perang’ antar sesama dalam memperebutkan dosen mata kuliah berpredikat ‘favorit’. Hawa kompetisi pun menguat. Atmosphere di FH UNS mendadak panas kala genderang perang KRSan dimulai hingga masa perang berakhir. Semua jenis mahasiswa pun bercampur aduk, mulai dari mahasiswa yang kesehariannya tak pernah menyentuh organisasi hingga mereka yang kesehariannya sangat aktif di organisasi dalam kurun beberapa waktu kedepan mendadak menanggalkan segala aktifitasnya untuk berdesak-desakan di dunia maya kala sudah mendapatkan jadwal kuliah dan daftar dosen untuk memperebutkan satu tujuan. yakni : agar mendapatkan dosen favorit nan murah hati dalam memberi nilai. Dampaknya, secara sosiopsikologis bagi mereka yang ‘sial’, tentu akan menjadi pukulan yang menyakitkan bagi dirinya karena ia tidak dapat mengambil mata kuliah wajib di semester tsb, pun demikian jika saja ia ‘terpaksa’ mendapatkan dosen yang tidak sesuai dengan keinginannya. Prasangka dan asumsi negative pun berkembang dan tertanam kepada dosen yang ‘terlanjur’ dipilih tersebut. Sehingga, si mahasiswa ‘sial’ inipun -dengan penuh tekanan- menjalani kuliah dengan penuh kecurigaan dan ketakutan. Apalagi, jika seandainya si mahasiswa ‘sial’ ini mendapatkan nilai C atau bahkan D yang mengharuskan ia harus mengulang mata kuliah yang bersangkutan. Pastilah jalan yang ditempuh satu : memblacklist nama dosen tsb di masa KRSan mendatang dan Kemudian langkah selanjutnya bisa ditebak, woro-woro atau mengumumkan kepada rekannya yang belum mengambil mata kuliah ybs atau bahkan mengumumkan ke adik tingkat bahwa dosen tersebut tidak layak untuk diambil, angker, berbahaya dan berbagai macam stereotip buruk yang sesungguhnya hal tersebut justru berawal dari kesalahan kita dalam memahami fenomena KRSan. Namun, sebelum kita mengkaji lebih dalam mengenai fenomena KRS ini, sesungguhnya ada yang perlu saya sampaikan dan perlu saya garisbawahi. Bahwa bukan kapasitas saya untuk (sepenuhnya) menjustifikasi pemikiran seperti yang telah saya tuliskan diatas. Bukan pula saya bermaksud bertindak hipokrit (munafik) dan cenderung bertindak kontraproduktif dengan tulisan saya kali ini. Dan juga, Segala argumen dalam Tulisan ini sesungguhnya berangkat dari sisi pemikiran inkuisitif (keingintahuan) saya. Tidak ada maksud sekalipun dari saya untuk membuat tulisan ini bernada tendensius. Tulisan saya pada kali ini hanya bermaksud untuk menguak pemikiran-pemikiran saya yang dahulu saya anggap tabu untuk diperbincangkan. Anggap saja tulisan saya kali ini hanya sekedar evaluasi yang didasarkan pada pengalaman saya selama 8 semester ini mencicipi pahit-getir KRSan. Syukur-syukur bagi saya jika tulisan kali ini bisa dibaca khalayak ramai hingga dosen-dosen di FH UNS. Lebih lanjut, Melalui tulisan ini juga sejujurnya dapat saya katakan bahwa saya hanya ingin mengajak anda semua berfikir bahwa sebenarnya fenomena KRSan ini bukan hanya sekedar melingkupi permasalahan-permasalahan kuno terkait “kuota yang kurang”, “jumlah kelas kurang”, “mahasiswa kebanyakan” dan sebagainya. Melainkan, melingkupi permasalahan yang tergolong dalam level yang lebih kompleks karena berkaitan dengan berbagai subyek-obyek didalamnya. Selain mahasiswa selaku pemain KRSan yang terbagi lagi dalam golongan mahasiswa baru dan golongan mahasiswa yang ‘kelamaan lulus’, ada juga dosen selaku pengajar mata kuliah ybs, pegawai administrasi (dalam hal ini puskom & bagian pendidikan) selaku ‘panitia’ dibalik KRSan, senat fakultas selaku policy maker, keuangan universitas (yang berasal dari SPP mahasiswa) selaku penunjang financial system siakad, hingga menyentuh permasalahan-permasalahan sepele yakni kehadiran BEM & DEMA selaku tim yang proaktif mengadvokasi mahasiswa. Bagi saya, itu semua saling berkaitan satu sama lain. Tak dapat dipungkiri, mahasiswa membutuhkan system siakad sebagai jalan untuk mengakses SKS, pegawai administrasi dibutuhkan mahasiswa untuk menjalankan siakad secara online & tepat waktu, dosen dibutuhkan untuk mengajar pasca KRSan selesai, keuangan dari bayaran SPP anda per bulan dibutuhkan UNS untuk pemeliharaan system siakad secara online, senat fakultas pun dibutuhkan untuk policy maker agar system perkuliahan pra dan pasca KRSan berjalan lancar, dan yang terpenting dan sering terlupakan : kehadiran BEM & DEMA sangat diperlukan mahasiswa di tengah masa genting KRSan. Berawal dari pergeseran pemahaman Sebelum membahas lebih dalam ikhwal fenomena dan kemelut KRSan, alangkah lebih baiknya jika kita menemukan akar permasalahan yang selama ini (bagi saya) turut ikut andil dalam pusaran masalah KRSan. Yakni : adanya pergeseran pemahaman kita yang berawal dari kesalahan sistem pendidikan kita & lingkungan sekitar dalam menafsirkan sebuah ‘prestasi’. Saya sendiri mengakui, saya merupakan salah satu ‘obyek’ yang ikut terombang-ambing didalam pusaran system pendidikan kontemporer Indonesia. Dimulai dari berlakunya syarat kelulusan yang rigid (ujian sekian jam=menentukan hidup-mati belajar sekian tahun) yakni Ujian Nasional (SD,SMP,SMA), kompetisi SNMPTN memperebutkan kursi PTN, hingga sekarang, kompetisi pengisian KRS dimana antar mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lain saling sikut-menyikut memperebutkan kelas favorit. Saya mengakui, Kesemua kompetisi tersebut didalam hidup saya memang telah membentuk sebuah pola pikir yang tertanam kuat di kepala saya selama ini. Sedari kecil, alam bawah sadar ini memang ditempa sedemikian rupa untuk menjadi jiwa buruh/pekerja, jiwa kompetitor yang berorientasi pada pragmatisme dan jiwa yang menginginkan semuanya serba instan dan cepat. Sehingga dampaknya saya cenderung mengabaikan betapa berharganya sebuah proses jika dijalankan dengan matang dan terarah. Meskipun waktu tempuhnya cenderung lebih lama daripada ‘jalan pintas’ dengan menghalalkan segala cara. Saya pun sadar, saya adalah salah satu ‘korban’ dibalik tumbuh kembang sistem pendidikan indonesia. Dengan meminjam istilah didalam buku karya Eko Prasetyo berjudul orang miskin dilarang sekolah, setidaknya saya mengkategorikan sistem pendidikan kita dewasa ini sebagai sistem yang “membentuk mental pekerja atau mental buruh”. Khususnya, dalam pendidikan formal yang telah kita jalani dikehidupan kita masing-masing. TK,SD,SMP,SMA dan Perkuliahan. Untuk menyederhanakannya, Saya akan mengambil contoh agar lebih jelas. Siapa dari kita yang menampik bahwa alam bawah sadar kita (sebenarnya) cenderung lebih berorientasi pada hasil ketimbang proses? Pada saat kita kecil misalnya, kita dituntut orangtua agar -entah bagaimanapun caranya- kita harus mendapatkan prestasi entah ranking terbaik ataupun nilai sempurna di semua mata pelajaran (Dan mungkin salah satunya adalah di bidang eksak/ terkhusus matematika). Hal tersebut ditanamkan orangtua kita kepada kita sedari kecil. Saya Sadar, Orang tua kita (kebanyakan) justru lebih bangga ketika kita mendapat nilai 10 di bidang pelajaran matematika ketimbang saat kita mendapat nilai 4 di matematika namun kita mendapat nilai 10 di pelajaran berbau sosial. Orangtua kita pun akan lebih fokus menggempur & memporak-porandakan kita (karena nilai kita jelek di eksak) ketimbang memperdulikan nilai bagus kita di mapel sosial. Padahal yang perlu digarisbawahi adalah : tidak semua anak cukup cerdas di bidang matematika/eksak. (Bisa saja anak tsb justru berpotensi dibidang sosial, agama/olahraga) tetapi, bagi -sebagian- orangtua, pelajaran eksak merupakan standar tolak ukur seberapa pintarnya anak di sekolahan. Implikasinya, untuk mengejar nilai bagus cara apapun (kemudian) dihalalkan. Mulai dari si anak akan terbiasa melakukan cara instan (mencontek,-red) untuk mendapatkan nilai bagus hingga yang ter-ekstrem : sogok menyogok agar nilai si-anak ybs terdongkrak. Kebiasaan itupun akan semakin menjadi hingga si-anak tsb tumbuh besar. Saya rasa saat ini sudah menjadi hal yang lumrah jika kejadian ini terjadi disekitar kita. contoh-contoh yang baru saja saya sebut tadi. Kesemuanya itu ditujukan untuk apa? Bagi saya tak lain dan tak bukan Ada dua, (i) Agar si-anak (dengan mengandalkan nilai akhir dan tanpa memperdulikan proses mendapatkan nilai tsb) dapat dengan mudah diterima di jenjang pendidikan sesudahnya, dan (ii) agar orangtua bisa ‘pencitraan’ di kalangan sesama orangtua murid/famili dengan mengatakan “hey, nilai anakku bagus lho”. Alasan sosiologis pun bagi saya pada akhirnya dijadikan justifikasi terkuat. Lagi-lagi, Proses (untuk mendapatkan nilai) tidak lagi dihargai, yang jauh lebih dihargai adalah : nilai akhir (tanpa memperdulikan proses). Itulah paradigma yang (harus saya akui) masih melekat diantara sekat-sekat otak kita! Sistem Yang Belum Sempurna Berdasarkan penelusuran saya didalam buku pedoman akademik yang diterbitkan fakultas hukum setiap tahunnya. Dapat saya pastikan tidak ada mekanisme yang diatur secara komprehensif bilamana terjadi situasi diluar dugaan seperti kekurangan kuota kelas, dsb. Yang ada didalam buku akademik sebagaimana saya kutip dari buku pedoman akademik angkatan 2011 hanyalah mengenai tatacara pendaftaran akademik yang meliputi mekanisme (i) input KRS di siakad; (ii) print out 3 lembar; (iii) minta ttd pengesahan pembimbing akademik (PA); dan terakhir (iv) di stempel dan 1 lembar diberikan ke bagian pendidikan fakultas. Berangkat dari penelusuran saya diatas, bagi saya ketika menafsirkan mekanisme input KRS dari buku pedoman akademik 2011, saya menangkap garis merah yang dapat saya simpulkan : bahwa pihak fakultas (sedari dulu) memang tidak memberikan solusi apabila terjadi hal-hal diluar dugaan terkait pelaksanaan input KRS di siakad. Jadi, apabila terjadi hal-hal diluar dugaan didalam pelaksanaannya, pihak fakultas (hanya bisa) menyerahkan sepenuhnya terhadap mahasiswa ybs. Apakah mahasiswa ybs mau melakukan advokasi sendiri memperjuangkan penambahan kuota kelas (dengan dibantu BEM/DEMA: mengemis ke bag.pendidikan atau ke dosen ybs) atau, memilih konsekwensi terburuk yakni tidak mengambil mata kuliah ybs. Hal tersebut belum lagi ditambah dengan rentang waktu yang sempit. Dimulai dari masa-masa input KRS (berdasarkan angkatan) hingga masa revisi KRS. Jika saya bedah, masa input KRS masing-masing hanya diberikan jatah waktu satu hari untuk satu angkatan untuk dapat menginput KRS. Dengan asumsi demikian, dijabarkan dari angkatan 2008-2012 hanya diberikan masa input selama: 1 hari; 2013: 1 hari; dan 2014: 1 hari plus masa revisi KRS 2 hari maka total waktu input KRS diperkirakan hanya 5 hari kerja saja. Kesimpulannya, jika terdapat permasalahan terkait kuota penuh,dll kita hanya diberikan kesempatan oleh sistem : interval waktu sekitar 2 hari untuk dapat memaksimalkan perbaikan dan revisi KRS. Lagipula, bagi saya sistim KRS di siakad pada tahun ini sebenarnya sudah sangat berbeda dengan sistim terdahulu. Lalu mengapa masih saja ada permasalahan terkait pelaksanaan teknisnya? Dulu, jika saya salah mengambil kelas saat jadwal angkatan saya sedang input, maka saya bisa langsung menghapus kelas tsb dari daftar isian KRS di siakad tanpa harus menunggu masa revisi KRS (yang hanya 2 hari) ataupun meminta izin menghapus mata kuliah ke bag. Pendidikan. Memang, disatu sisi saya sangat mendukung adanya pemberlakuan sistem tersebut karena hal tersebut untuk mengurangi mafia jual-beli KRS yang dilakukan oknum mahasiswa. Tetapi, hal tersebut justru malah mengurangi waktu tempuh kita untuk melakukan advokasi ataupun melakukan lobbying ke dosen ybs / ke pembantu dekan 1 (PD 1) agar dapat bersedia menyetujui penambahan kuota kelas makul tertentu. Misalnya, jika kelas penuh pada saat masa input KRS angkatan A sedang berlangsung dan kita ingin melakukan advokasi ke bag Pendidikan untuk menambah kuota, jawaban dari bag Pendidikan pun hanya satu : “tunggu masa revisi ya”. Hal tersebut kemudian berdampak pada menumpuknya jumlah mahasiswa di depan bag Pendidikan yang meminta kejelasan apakah ada penambahan kuota dari kelas ybs atau tidak. Sehingga, mahasiswa lain yang sekiranya membutuhkan jasa bag Pendidikan untuk legalisir akta,ijazah,pengurusan wisuda,dsb pastilah akan terganggu dengan menumpuknya jumlah massa di depan bag Pendidikan dikarenakan fokus pegawai bag Pendidikan lebih terkuras pada mahasiswa yang meminta advokasi. Dulu, jika terdapat masalah terkait kuota kelas kurang dsb, beberapa saat kemudian BEM bisa langsung mendatangi ke bag pendidikan maupun pihak-pihak terkait untuk dimintakan penambahan kuota kelas. Bandingkan jika sekarang. Kita diharuskan menunggu, menunggu, dan menunggu sesuatu yang tidak jelas terkait waktu revisi KRS yang pada akhirnya malah hanya menyebabkan tenaga kita terkuras, serta menyebabkan waktu dan emosi kita terbuang. 25/12/2014 1 Comment Segudang PR untuk Dewan Mahasiswa Baru Semoga saja saya belum terlambat untuk menulis apa saja pekerjaan rumah kedepan untuk DEMA 2015. Mengingat DEMA 2015 telah dilantik pada jumat lalu tanggal 19 desember 2014. Sebelumnya saya ucapkan selamat bekerja kepada DEMA 2015. Selamat karena rekan-rekan sekalian telah rela melepas sebagian ego diluar untuk dapat berkontribusi secara nyata bagi Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum (“KMFH”) serta juga rela untuk melanjutkan perjuangan kami, DEMA periode 2013/2014 untuk KMFH yang belum sempat terrealisasi. Mengingat tingginya ego pada masing-masing dari kami. Di dalam tulisan saya kali ini saya hanya ingin menyebutkan apa saja sekiranya PR umum bagi DEMA baru dimulai di tahun 2015 yang mana dari tahun ke tahun selalu terkendala banyak permasalahan entah dari intern DEMA sendiri ataupun dari keadaan ekstern DEMA. Pemilihan Dekanat FH UNS 2015 Pada tahun 2015, akan diadakan pemilihan dekanat baru periode 2015-2018 (perkiraan saya 4 tahun). Didalam pemilihannya, tidak akan langsung terpilih dekan, pembantu dekan (“PD”) 1, PD 2 dan PD 3 secara serentak. Yang ada hanyalah pemilihan berdasarkan jabatan tertinggi, yakni dekan. Setalah dekan terpilih barulah PD 1, PD 2 dan PD 3 merupakan kewenangan dekan untuk memilih. Sistematika pemilihan dekanat berbeda seperti sistem pemilu KMFH dimana seluruh lapisan mahasiswa dapat memilih presiden BEM dan anggota DEMA secara langsung. Dalam pemilihan dekanat berbeda, dekan akan terlebih dahulu diusulkan oleh masing-masing unsur senat fakultas dan kemudian dipilih berdasarkan hasil sidang senat fakultas. Tentunya dengan fit and proper test internal terlebih dahulu. Dalam bahasa sederhana, senat fakultas dapat dikatakan merupakan forum tertinggi fakultas hukum yang memiliki komposisi berasal dari pelbagai unsur-unsur akademisi FH. Tapi tenang saja, saya tidak mau membahas lebih dalam karena tulisan ini bukan untuk membahas senat. Saya pribadi lebih menyukai sistematika pemilihan yang transparan yang artinya dapat diketahui oleh mahasiswa. apapun caranya saya sepakat asalkan dalam keberjalanannya dapat menerapkan prinsip transparan sebaik-baiknya, maksudnya mahasiswa dapat dilibatkan secara aktif dalam prosesnya meski mahasiswa tidak mempunyai hak suara sepeserpun. Jika kita sandingkan dengan kampus lain seperti contoh di UIN Syarif Hidayatullah, disana sebelum dekanat terpilih akan diselengarakan terlebih dahulu acara semacam debat calon dekan. Didalam acara tersebut, para calon dekan akan memaparkan visi misi untuk fakultasnya. Disertai pula dengan tanya jawab interaktif yang menuntut para calon dekan untuk menggali visi misinya. Lain halnya seperti di universitas airlangga, disana kedudukan mahasiswa sangan dihargai karena salah satu unsur dari senat universitasnya adalah mahasiswa yang diwakili oleh BEM. Sehingga memungkinkan unsur mahasiswa dapat menggunakan hak suaranya untuk memilih rektor, pun begitu dengan dekan di fakultas-fakultasnya. Implikasi yang timbul, rektor dan dekan terpilih di unair akan bekerja dengan terarah karena mereka diawasi dan karena telah ada kesepakatan politik dengan semua unsur-unsur civitas akademika universitas. Hmm, Sistem pemilihan yang menarik. Hal berbeda justru kita temui di FH UNS, menurut informan saya yang terpercaya pada era pemilihan dekanat prof. Hartiniwingsih, FH justru cenderung introvert dan sama sekali belum memperlihatkan pemilihan yang demokratis dan transparan. Hal ini terlihat dari sedikitnya informasi kredibel yang dapat diakses oleh seluruh civitas akademik pada masa-masa pemilihan dekanat tersebut. sangat disayangkan. Maka inilah PR pertama di tahun 2015. Kawal lah keberjalanan pemilihan dekanat dengan terarah dan konstan. Buatlah inovasi yang tidak pernah dibuat KMFH sebelumnya yakni kampanye dialogis para calon dekanat di tahun 2015 atau inovasi lainnya yang masih relevan dengan topik “mengawal pemilihan dekanat”. Karena sadari atau tidak, pemilihan dekanat 2015 merupakan isu dan momen penting yang tidak boleh sampai terlewati. Mengingat buruknya pelayanan yang dilakukan oleh dekanat kita selama mereka menjabat maka tentulah kita sebagai mahasiswa harus turun tangan untuk memecahkan masalah serta mencari solusi : bagaimana caranya memperbaiki FH UNS. Karena, melalui pemilihan dekanat di tahun 2015 lah satu pintu utama dari semua pintu ‘solusi’ permasalahan yang membelengu FH UNS telah kita buka. Apabila isu pemilihan dekanat dapat kita kawal maka bukan tidak mungkin atmosfer FH UNS akan lebih kondusif, penerapan customer satisfication sebagaimana tertuang dalam A.C.T.I.V.E dapat lebih efektif diterapkan dan segudang harapan lain entah dari mulut mahasiswa atau staff-staff administrasi di FH UNS dapat bisa diwujudkan oleh pimpinan baru FH UNS. Pensejajaran Kedudukan Mahasiswa dengan Dekanat isu ini sebenarnya sudah sempat saya gulirkan di depan mas dimas, FH 2008 (mantan DEMA 2010-2011) dan mas rahmat, FH 2010 (mantan ketua Novum 2013). Dalam diskusi singkat tersebut saya mengutarakan bahwa perkembangan zaman dewasa ini sudah tidak relevan lagi dengan keadaan KMFH masa lalu. Situasi FH saat ini menuntut kita, KMFH untuk dapat mengambil sikap lebih tegas dan tentunya dengan persiapan yang matang. Salah satunya dengan mensejajarkan kedudukan mahasiswa FH UNS dengan dekanat. Bagaimana tidak, fakta dilapangan telah berbicara. Seringkali dalam mengambil sebuah kebijakan pihak fakultas seperti mengenyampingkan suara-suara KMFH. Suara KMFH lebih sering dianggap angin lalu oleh pihak fakultas. Jika suara KMFH telah diutarakan lebih dari 2x barulah akhirnya pihak fakultas mau mengakomodir kepentingan KMFH. Saran saya, melalui pemilihan dekanat 2015. Pihak DEMA sebagai perwakilan dari KMFH sebaiknya mulai melakukan pendekatan-pendekatan kepada calon dekanat FH 2015. Galilah informasi sebanyak-banyaknya ke dosen yang memiliki sumber terpercaya siapa saja calon-calonnya tersebut. Contohnya lakukanlah riset secara mendalam ke pak bambang santoso sebagai senat. Jika sudah, dekati dan buat kesepakatan politik yang mengikat dengan para calon apabila mereka telah terpilih menjadi dekanat baru. Karena melalui pendekatan-pendekatan semacam itulah fase baru akan kita tempuh : yakni pensejajaran kedudukan KMFH dengan dekanat. Konkritnya melalui apa? Banyak cara, salah satunya ialah dengan pencatutan nama dekan atau pembantunya pada konstitusi KMFH. Namun bukan sekedar catut-mencatut saja, harus tetap ada perwakilan pihak fakultas atas nama dekanat yang hadir pada proses pengundangan konstitusi KMFH. Karena, jika saja hal ini dapat terwujud tentu saja di setiap kebijakan-kebijakan fakultas akan ada pihak mahasiswa yang hadir untuk memberikan masukan serta pendapat dari perspektif mahasiswa. Cara lain juga ada, yakni dengan dibuatnya kontrak politik antara pihak KMFH dengan diwakili DEMA dengan pihak fakultas berisikan poin-poin pensejajaran mahasiswa dengan dekanat pasca pemilihan dekanat 2015. Ya minimal kita telah memberlakukan asas dalam hukum kontrak yakni pacta sunt servanda (perjanjian berlaku sebagai sebuah undang-undang yang mengikat bagi para pihak). Karena itu, bagi DEMA 2015. Mulailah lakukan lobi politik dengan calon-calon dekanat baru kita, buatlah isu ini menjadi isu sentral dan penting bagi dekanat 2015. Buat isu ini menjadi isu prioritas calon dekanat kita. Kartu parkir Pasca diadakannya jumpa civitas akademik (“JCA”) oleh DEMA pada tahun 2012,Booming kartu parkir pun muncul. Kehadiran kartu parkir juga bukan tanpa sebab, karena dalam salah satu tuntutan yang dilayangkan KMFH pada JCA 2012 mahasiswa meminta agar penataan parkir dapat lebih tertata dan agar dapat mencegah terjadinya tindak pidana curanmor maka KMFH meminta pengadaan suatu alat yang dapat mencegah curanmor dan dapat mendidik mahasiswa agar tertib parkir dapat terlaksana. Maklum, karena pada tahun 2012 banyak motor dan helm yang hilang di parkiran gedung satu. Saya ingat sekali, tahun 2012 akhir. Pihak fakultas kemudian mulai melakukan pengadaan kartu parkir untuk setiap mahasiswa yang ingin parkir di gedung satu. Singkat cerita kartu parkir pun dibagikan dan segera dicoba untuk parkir. Namun sayang, ekspektasi saya yang begitu tinggi terhadap pengadaan kartu parkir pun tak sebanding dengan fakta yang ada di lapangan. Kartu parkir sederhananya hanyalah sebagai alat pengganti dari kertas parkir yang selama ini diberikan petugas parkir kepada mahasiswa. tak lebih. Ekspektasi untuk merasakan tertib parkir pun hanya omong kosong. Mahasiswa tetap hanya diberikan kartu parkir dan itu pun terlihat hanya formalitas belaka. Padahal dalam tuntutan KMFH pada JCA 2012 dijelaskan, bahwa KMFH menginginkan tertib parkir sebagaimana telah ada di FT atau FE (pada tahun 2012 belum menjadi FEB). Jika di FT kita dapat melihat bagaimana ketatnya mahasiswa yang hendak parkir karena selain menggunakan kartu parkir, mahasiswa pun tetap dimintakan STNK sebagai tanda bahwa motor tersebut ialah miliknya, pun seperti itu juga yang terjadi di FE. Pengamanan parkir di ketua fakultas tersebut juga menurut kami profesional, berbeda seperti di FH. Sangat berbeda. Padahal, pengadaan kartu parkir menurut saya dapat dimaksimalkan. Tidak seperti sekarang, pengadaan kartu parkir nampak seperti program omong kosong untuk memuaskan birahi kritis mahasiswa saja. Padahal, anggaran untuk pengadaan kartu parkir pun saya tergolong cukup besar, seingat saya hampir mencapai >10 juta untuk mahasiswa se-FH! Dalam suatu kesempatan di tahun 2014, saya pernah berbincang dengan pak yunanto selaku kepala sub bagian Umum & Perlengkapan (“umkap”) yang berwenang mengurusi pengelolaan parkir. Pak yunanto kemudian mengatakan ada beberapa alasan mengapa pelaksanaan kartu parkir tidak dapat maksimal. Salah satunya ialah karena petugasnya, petugas di gedung satu menurut beliau sudah pernah untuk memintai kartu kepada mahasiswa saat awal-awal peluncuran kartu parkir. Namun, banyak mahasiswa yang masih beralasan belum mempunyai kartu parkir ataupun beralasan sedang buru-buru karena mau UKD. Akhirnya lama kelamaan petugas di gedung satu pun tidak melanjutkan pekerjaannya memintai kartu parkir. Alasan klise menurut saya, hal tersebut dikarenakan tidak adaya sanksi kepada petugas maupun kepada mahasiswa yang hendak parkir. Tengoklah keadaan di FT. disana, jika petugas lalai meminta maka sanksi kepada petugas pun jelas. Begitu juga dengan mahasiswa, jika tidak segera menunjukkan kartu parkir maka jangan harap mahasiswa tersebut dapat keluar dari area parkir tersebut. Perbedaan yang cukup signifikan bukan? Namun, menurut saya alasan terbesar mengapa pengelolaan parkir mangkrak justru bukan terdapat pada petugas ataupun pak yunanto selaku pelaksana pengelolaan parkir. Tetapi terletak pada lemahnya pengawasan dari pimpinan tertinggi fakultas hukum atau dekanat. Bayangkan, sejak 2012 hingga sekarang. Apakah pernah pengelolaan parkir menjadi perbincangan serius dikalangan dekanat? Belum, bahkan cenderung tidak. Sepertinya memang kita harus kehilangan 3 motor terlebih dulu seperti yang terjadi di tahun 2012 untuk dapat serius menanggapinya. Inilah kelemahan besar yang ada di fakultas hukum. Tunggu dulu kejadiannya, barulah ada penanganannya. Hal yang memalukan ditunjukkan oleh orang-orang hukum yang tau hukum. Semoga DEMA 2015 dapat segera merealisasikannya. Atau jika pun tak terlaksana semoga siapapun itu dapat menyelesaikan permasalahan semu ini. Mensolidkan Irama Gerakan KMFH Untuk PR yang satu ini sepertinya sudah lama kita jadikan topik perbincangan di tiap diskusi-diskusi kecil antar sesama mahasiswa FH UNS namun topik perbincangan tersebut pasti pada akhirnya hanya menjadi guyonan bahkan berakhir pada wacana-wacana ‘kosong’ belaka. Bagaimana tidak, mulai dari anggota UKM/Komunitas hingga mahasiswa biasa pasti pernah mengeluh bagaimana buruknya irama gerakan KMFH kita ini. Contohnya, tengoklah peristiwa yang sempat terjadi pada masa osmaru 2014. Pada osmaru tersebut, semua UKM, komunitas hingga angkatan bersatu padu untuk mensukseskan rangkaian acara osmaru 2014. Singkat cerita, rangkaian osmaru pun diwarnai dengan aksi boikot yang dilakukan panitia. Namun sayang sekali, panitia membubarkan diri tanpa mengikutsertakan KMFH didalam keputusannya. Aksipun tetap berjalan hingga osmaru pun selesai, di dalam aksi tersebut hanya terdapat suara-suara panitia mahasiswa angkatan 2011 dengan segudang sikap yang tertuang di dalam MMT panjang yang dipajang di depan parkiran lama gedung satu. Cukup disayangkan, mengapa? Padahal isu osmaru merupakan isu sentral bersama. Bagaimana tidak, sekitar 400 an mahasiswa baru masuk dan acara osmaru pun adalah acara bersama KMFH, namun mengapa yang terlibat pasca peristiwa itu hanya rekan-rekan panitia saja? Kemanakah DEMA atau BEM? Apa hanya tidur siang di sekre saja? Ironis. Itulah satu peristiwa dari sekian banyak peristiwa lain yang mengingatkan kita bahwa arah gerakan KMFH belum konkrit. Belum seirama dan sangat tidak jelas. Masing-masing dari KMFH masih berjalan sendiri-sendiri. Bahkan cenderung memisahkan diri. Masih ingatkah ketika presiden BEM kabinet SOMASI lulus dengan menteri-menterinya padahal masa jabatannya belum berakhir? Ataupun masih ingatkah ketika KDFH meminta sekre untuk mempermudah urusan KDFH namun pada akhirnya isu KDFH ini berakhir pada pertengkaran dalam ‘kesunyian’? ya, masih sangat banyak urusan-urusan internal di KMFH yang belum dapat terselesaikan di DEMA periode saya. Karena itu, harapan saya. Semoga DEMA dapat lebih menitikberatkan pada sifat grassroot atau merumput kebawah. Sekiranya apa saja yang menjadi permasalahan mengapa arah gerakan KMFH begitu berantakan dan tidak terarah. Saran saya, buatlah sebuah forum yang berisikan para pimpinan-pimpinan BEM, UKM dan komunitas. Gulirkanlah isu bahwa kita sebagai KMFH harus bersatu padu dalam irama gerakan. Carilah apa saja permasalahan-permasalahan yang mendasari mengapa sulit sekali menyatukan KMFH. Serta jadikanlah isu penyatu paduan KMFH ini sebagai visi misi KMFH bersama. Ingat, kita berdiri dibawah satu bendera fakultas hukum universitas sebelas maret. Sudah bukan era nya lagi kita berjalan masing-masing tanpa memperdulikan sekeliling. Mahasiswa FH Itu banyak, bukan hanya ada UKM, BEM, DEMA ataupun komunitas saja. KMFH itu adalah wadah gerakan bersama sebagaimana tertuang dalam mukadimah konstitusi KMFH. Ayo satu padukan gerakan KMFH! Perlahan tapi pasti, buatlah ini menjadi sebuah kenyataan DEMA 2015! Merapihkan struktur ketatanegaraan KMFH PR yang satu ini saya akui cukup berat jika yang bergerak hanya DEMA seorang. Perlu adanya kegelisahan bersama yang melahirkan momentum revitalisasi struktur ketatanegaraan KMFH. Namun tetap saja, harus ada persiapan yang matang untuk menggulirkan isu ini menjadi isu bersama se-KMFH. Minimal DEMA periode 2015 dapat mengkonsepkan bagaimana sekiranya struktur ketatanegaraan yang baik untuk dapat disesuaikan dengan masyarakat KMFH sendiri. Pendapat saya, implementasikanlah prinsip trias politica berdasarkan checks and balances sebagaimana dipopulerkan oleh Montesquie dan Prof. Jimly Asshidiqie. Mengingat kita ini adalah orang-orang cerdas yang tau hukum. Maka buatlah tertib hukum dimulai dari struktur ketatanegaraan KMFH. Buatlah masterplan bagaimana struktur KMFH yang baik dan dapat segera diimplementasikan. Jangan lagi berkembang pemahaman bahwa DEMA merupakan lembaga tertinggi negara KMFH. Karena menurut saya hal tersebut sudah tak relevan dengan perkembangan ketatanegaraan KMFH. Buatlah konsep dimana kedudukan eksekutif sejajar dengan legislatif karena sama-sama dipilih langsung oleh mahasiswa. dan lakukanlah lobi-lobi politik dengan para UKM dan Komunitas. Sebaiknya berada dimakanakah kedudukan mereka di struktur ketatanegaraan KMFH. Mengingat fungsi dari UKM dan Komunitas sendiri hanya merupakan sebagai wadah minat dan bakat mahasiswa maka idealnya UKM & Komunitas harus rela untuk berada dibawah wewenang BEM untuk dikoordinasi. Ingatlah bahwa kita adalah mahasiswa hukum, maka sudah barang tentu bahwa dalam kehidupan organisasi mahasiswa juga harus selaras dengan tertib ketatanegaraan. Tidak seperti sekarang, konstitusi KMFH dibiarkan diundangkan tanpa persetujuan KMFH didalamnya. Dan tidak pernah terlaksananya wacana penggodokan Rancangan Undang-Undang UKM dan Komunitas karena ketakutan semu anggota DEMA untuk menggulirkan isu ‘revitalisasi struktur ketatanegaraan KMFH’. Sudah saatnya menurut saya, dimasukkannya invisible political hand kedalam sendi-sendi kehidupan ketatanegaraan KMFH. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan sekat-sekat yang masih mencengkram kuat antar sesama organisasi KMFH. Sangat tidak baik jika masih tetap dibiarkan. Semoga saja DEMA 2015 dapat perlahan melakukan lobi politik kepada semua UKM & Komunitas untuk melepaskan ‘warna jaket’ dan ‘kepentingan’ untuk membangun KMFH bersama. Mencerdaskan DEMA se-UNS perihal revitalisasi gerakan KBM UNS Sebagai lanjutan dari tulisan saya yang sebelumnya dimana mengarah hanya kepada KMFH, sebenarnya ada tugas yang selalu terlewatkan oleh DEMA FH UNS dari periode ke periode. Yakni turut aktif merapihkan ketatanegaraan Keluarga Besar Mahasiswa (“KBM”) UNS. Sebenarnya PR yang satu ini sudah coba saya pecahkan saat saya menjabat sebagai anggota DEMA 2013. Saat itu saya menggulirkan sebuah wacana pelaksanaan pemilu se-UNS yang serentak kepada DEMA se-UNS melalui sebuah forum diskusi atau yang saya sebut sebagai Focused Group Discussion (“FGD”). Sederhana saja, saat itu analogi hemat saya mengatakan bahwa arah gerakan BEM dan DEMA se-UNS memang belum kompak bahkan cenderung saling tumpuk menumpuk tidak terarah. Hal tersebut dilatarbelakangi pengalaman saya selama 1,5 tahun di BEM FH UNS kabinet berani tahun 2012-2013. Saat saya masih di BEM dan kebetulan saya dipercaya sebagai kepala deputi jaringan dan propaganda yang manifestasi dai pelbagai isu skala lokal,nasional maupun internasional. Saya memang disibukkan dengan berbagai kegiatan yang mengharuskan saya berkoordinasi dengan BEM se-UNS. Namun, berkali-kali saya dibuat kesal pada saat itu karena saya tidak mendapati sebuah kekompakan dalam gerakan BEM se-UNS ini. Gerakan BEM se-UNS yang digaungkan dalam nama Forbes pun hanya digerakkan oleh orang-orang eksternal yang terlalu bangga dengan jabatan semu nya tersebut. Maklum karena isi BEM UNS yang katanya merupakan koordinator BEM se-UNS memang di kuasai oleh KAMMI. Sehingga, dalam teknis pekerjaan berbagai pekerjaan yang menyangkut BEM se-UNS pun menjadi terkendala karena tingginya ego yang menyertai para BEM se-UNS. Apalagi saya juga bukan siapa-siapa dan saya juga takkan mau jadi siapa-siapa di KAMMI, maka jadilah setiap omongan saya di forbes hanya menjadi omong kosong belaka mengingat sebagian besar isi dari forbes adalah orang KAMMI. Ya, penyakit akut di UNS memang seperti ini. Singkat cerita, saya pun menemukan salah satu poin permasalahan besar yang dapat dipecahkan secara bersama. Ialah melakukan pemilu se-UNS secara serentak. Bayangkan saja, jika di analogikan. Pres BEM FH yang resmi bekerja bulan januari apakah akan sama kadar ilmunya dengan pres BEM UNS yang resmi bekerja pada bulan september? Tentu tidak bukan, idealnya dikarenakan semua BEM se-UNS ini memiliki kedudukan yang sejajar (sebagaimana terdapat jabatan presiden di tiap BEM se-UNS) maka sudah barang tentu jika proses pemilihannya dilakukan dengan serentak. Jika telah serentak maka satu solusi pun sudah terpecahkan yakni mudahnya berkoordinasi dan samanya kadar ilmu dari BEM se-UNS. Inilah alasan yang melatar belakangi saya untuk membuat FGD tentang perlunya pemilu se-UNS secara serentak. Namun, lagi-lagi saya mendengar suara sumbang di tiap BEM dan DEMA se-UNS yang kami undang sebagai pembicara ataupun sebagai peserta diskusi. Kebanyakan dari mereka menganggap “kenapa malah FH yang membuat diskusi semacam ini? Kan seharusnya DEMA UNS?” ataupun suara-suara sumbang lain yang mengatakan kita belum pantas untuk pemilu secara serentak karena sulitnya berkoordinasi antara sesama DEMA se-UNS. Ironis memang, ditengah semangat kami untuk memperbaiki struktur KBM agar arah gerakan lebih terarah. Justru malah dihadang dengan segudang pertanyaan yang memundurkan niat kita untuk memperbaiki KBM. Apalagi, dengan minimnya keikutsertaan DEMA UNS untuk urun rembug membicarakan perihal revitalisasi struktur ketatanegaraan KBM UNS. Semakin lengkaplah rasanya ketidakmajuan UNS untuk dapat mensejajarkan diri dengan struktur ketatanegaraan di ITB ataupun UI. Harapan saya, melalui DEMA 2015. Karena kita adalah mahasiswa hukum yang mengetahui hukum dengan lebih komprehensif. Saya harapkan hal in dapat menjadi salah satu cita-cita DEMA hingga 5-10 tahun mendatang. Jangan hanya kita berfikir rapihkan KMFH, namun kita juga harus berfikir lebih jauh. Yakni rapihkan KBM UNS! Buat kontribusi nyata untuk KBM UNS! Tunjukkan bahwa kita mahasiswa fakultas hukum dapat berkontribusi nyata dibidang hukum untuk UNS! Karena DEMA FH UNS juga adalah satu dari sekian lembaga yang paling saya harapkan untuk memulai gerakan revitalisasi KBM UNS ini. Semoga! Terakhir namun bukan bermaksud mengakhiri, yakni buatlah KMFH dan KBM UNS sadar bahwa DEMA itu ‘ada’ Tulisan saya yang satu ini bukan hanya ditujukan untuk DEMA FH UNS semata, melainkan untuk DEMA se-UNS. Karena kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa keberadaan DEMA masih dipandang sebelah mata entah di skala universitas maupun fakultas. Keberadaan DEMA masih dianggap sebagai pelengkap ditengah berkembangnya BEM sebagai lini terdepan penggerak mahasiswa. wajar memang, mengingat kedudukan DEMA yang hanya berwenang sebagai legislator dan kewenangan BEM sebagai eksekutor hukum yang dibuat oleh DEMA. Istilah good students governance pun hanya menjadi jargon omong kosong belaka bila kita masih menganut pemahaman usang bahwa BEM lah yang berjasa besar untuk mahasiswa. sesungguhnya, DEMA dan BEM ini satu paket dalam pergerakannya. Memang domainnya saja yang berbeda. Kedua lembaga ini pun sama-sama dapat membuka kantong aspirasi yang mana dapat segera di tindaklanjuti, yang membuat beda hanyalah bentuk output produk atas aspirasi yang terserap. Jika BEM pasca terserapnya aspirasi akan membuat aksi turun kejalan (contoh: aksi UKT), hal berbeda akan terasa jika DEMA yang dihadapkan dengan aspirasi. DEMA akan membuat produk politik atas isu yang berkembang di masyarakat, sama seperti DPR RI. Hukum yang diciptakan oleh DPR didasarkan pada perkembangan isu yang terjadi ditengah masyarakat. Contohnya penggodokan RUU perlindungan pembantu rumah tangga, DPR menggodok RUU tersebut dikarenakan maraknya tindak pidana yang dilakukan majikan terhadap pembantu rumah tangga. Seperti itulah analogi singkat kewenangan DPR yang sama dengan DEMA perihal tindakan atas aspirasi masyarakat. Maka dari itu, selayaknya produk hukum yang diciptakan DEMA kedepannya haruslah diakui baik secara yuridis, filosofis, sosial maupun politik ditiap-tiap kelompok masyarakat. (i) Yuridis disini dimaksudkan agar tiap produk hukum DEMA dapat berlaku dan dapat dijadikan rujukan dasar hukum bagi lembaga semacam BEM, UKM atau Komunitas hingga mahasiswa umum sekalipun; (ii) filosofis disini dimaksudkan agar tiap produk hukum yang diciptakan oleh DEMA dapat dipahami dan dijadikan dasar secara adat dan alami oleh seluruh unsur KMFH; (iii) sosial disini dimaksudkan agar setiap produk hukum DEMA dapat dipatuhi masyarakat KMFH dan dapat menjadi salah satu sendi yang mengikat masyarakat mahasiswa dalam kehidupan bernegara KMFH; dan (iv) politik, dimana hal ini dimaksudkan agar tiap produk peraturan perundang-undangan DEMA dapat mengikat dan ‘memaksa’ seseorang untuk patuh. Mengingat anggota DEMA telah terpilih secara politik-konstitusional. Terutama agar dapat mengikat secara politik ke tiap-tiap lembaga yang ada di KMFH. Karena jika saja secara politik DEMA telah berhasil mengikat melalui produknya bukan tidak mungkin cita-cita bersama kita yakni : revitalisasi KMFH segera dapat terwujud. Kekuatan berlakunya produk hukum DEMA harus efektif dan valid! Kesimpulan Mungkin itulah sedikit isu-isu yang belum sempat terrealisasi pada zaman saya menjabat sebagai DEMA FH UN 2013-2014. Dari semua isu tadi sebenarnya masih ada isu kecil lainnya yang belum sempat saya bahas di tulisan kali ini. Sebut saja, mengenai posisi komunitas di KMFH; papan-papan informasi di FH UNS yang kurang friendly dan ramah terhadap para pencari informasi; posisi tawar Jumpa Civitas Akademik yang semakin merosot dimata mahasiswa; masih berkembangnya sifat skeptis-apatis di tengah mahasiswa FH; kurangnya partisipasi aktif seluruh elemen KMFH dalam mensukseskan rangkaian pemilu KMFH; minimnya kontribusi nyata para ketua UKM & Komunitas untuk menyatu padukan gerakan KMFH; masih berkembangnya paradigma usang “BEM & DEMA itu lembaga ekslusif” di tengah mahasiswa FH; minimnya partisipasi KMFH dalam pernyataan sikap FH terhadap isu luar; minimnya pengetahuan KMFH mengenai gerakan mahasiswa; kurangnya koordinasi antar sesama lembaga KMFH; dan segudang permasalahan KMFH yang masih menghantui keberjalanan kehidupan bernegara di KMFH. Harapan saya pribadi, semoga yang membaca tulisan ini dan menjadikan tulisan ini sebagai pemantik diskusi kecil bukan hanya ada pada DEMA 2015, melainkan pada DEMA 2016, 2017 .. hingga seterusnya. Karena, gerakan ini tidak akan bisa terselesaikan hanya dalam satu tahun saja. Di ITB, berdasarkan obroal saya dengan abang kandung saya yang kebetulan pres bem KM ITB 2011, beliau mengatakan jika ITB bisa ‘merapihkan’ ketatanegaraannya karena telah menghabiskan waktu selama 10 tahun! Luar biasa menurut saya. Bagaimana tidak, gerakan revitalisasi KM ITB dimulai dari tulisan-tulisan sederhana seperti tulisan saya yang satu ini, kemudian berlanjut ke diskusi kecil hingga berlanjut ke forum-forum skala universitas yang berkomposisikan pihak rektorat, dekanat dan seluruh elemen KM ITB! Betapa luar biasanya ITB, pantas saja struktur ketatanegaraan ITB sering dijadikan rujukan oleh kampus-kampus lain. Dan, ITB juga dapat disejajarkan dengan UI yang notabene nya sama-sama kampus besar. Lantas, UNS kapan? Tentu saja saya jawab dengan sekarang bung! Bukan lagi meununggu-nunggu esok untuk memulai. Sekarang lah waktu yang tepat untuk memulai penyeragaman irama gerakan se-UNS. Dimulai dari lingkup fakultas terlebih dahulu tentunya. Tentu tak lupa dengan tetap ber ikhtiar dan konsisten pada gerakan besar ini. Harapan ini bagi saya takkan pernah padam. Karena saya masih mencintai UNS sebagaimana saya mencintai hidup saya sendiri. Terimakasih, sampai bertemu lagi di tulisan-tulisan saya yang lainnya. Hidup Mahasiswa! |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |