Sejak saya resmi masuk menjadi bagian dari FH UNS (2011), hingga kini permasalahan mengenai pengisian KRS-an ini selalu saja menjadi topik hangat yang takkan ada habisnya untuk diperbincangkan oleh semua lapisan kalangan mahasiswa dari generasi ke generasi. Terkhusus di FH UNS. Kemelut pengisian mata kuliah di ke dalam Kartu Rencana Studi (KRS) di siakad.uns.ac.id pun selalu menjadi bahan perdebatan antara sesama mahasiswa, mahasiswa dengan karyawan hingga mahasiswa dengan dosen. Dampaknya, tak pelak terjadi gesekan konflik secara horizontal dan vertikal yang mewarnai masa-masa pengisian KRS di FH UNS. Kemelut KRSan pun pada akhirnya berdampak negatif dan menyisakan kenangan pahit didalam benak mahasiswa. Sehingga, tak berlebihan rasanya jika permasalahan tersebut selalu dijadikan salah satu justifikasi terkuat mengapa mahasiswa menginginkan lulus cepat. Selain itu dari sisi psikologis, dampak dari KRSan rupanya juga telah menambah satu perilaku dari daftar perilaku-perilaku aneh mahasiswa selama ini. Yaitu : buas. Sehingga, Sepertinya benar perkataan dari Thomas hobbes dalam karyanya berjudul Asinaria bahwa “manusia adalah serigala bagi sesama manusianya”. Ungkapan ini rasanya pas jika disematkan pada mahasiswa FH UNS pada masa-masa ‘perang’ KRSan dimulai. Bagaimana tidak? bayangkan saking dasyatnya, pengaruh dari masa KRSan ini rupanya telah menyentuh semua golongan lapisan mahasiswa. Seolah tak ada lagi sekat diantara semuanya, tak ada lagi mahasiswa dari UKM A,B,C , tak ada lagi mahasiswa kupu-kupu, semua bercampur aduk demi kelangsungan hidup satu semester kedepan. Semua mahasiswa mendadak berbondong-bondong menyatakan ‘perang’ antar sesama dalam memperebutkan dosen mata kuliah berpredikat ‘favorit’. Hawa kompetisi pun menguat. Atmosphere di FH UNS mendadak panas kala genderang perang KRSan dimulai hingga masa perang berakhir. Semua jenis mahasiswa pun bercampur aduk, mulai dari mahasiswa yang kesehariannya tak pernah menyentuh organisasi hingga mereka yang kesehariannya sangat aktif di organisasi dalam kurun beberapa waktu kedepan mendadak menanggalkan segala aktifitasnya untuk berdesak-desakan di dunia maya kala sudah mendapatkan jadwal kuliah dan daftar dosen untuk memperebutkan satu tujuan. yakni : agar mendapatkan dosen favorit nan murah hati dalam memberi nilai. Dampaknya, secara sosiopsikologis bagi mereka yang ‘sial’, tentu akan menjadi pukulan yang menyakitkan bagi dirinya karena ia tidak dapat mengambil mata kuliah wajib di semester tsb, pun demikian jika saja ia ‘terpaksa’ mendapatkan dosen yang tidak sesuai dengan keinginannya. Prasangka dan asumsi negative pun berkembang dan tertanam kepada dosen yang ‘terlanjur’ dipilih tersebut. Sehingga, si mahasiswa ‘sial’ inipun -dengan penuh tekanan- menjalani kuliah dengan penuh kecurigaan dan ketakutan. Apalagi, jika seandainya si mahasiswa ‘sial’ ini mendapatkan nilai C atau bahkan D yang mengharuskan ia harus mengulang mata kuliah yang bersangkutan. Pastilah jalan yang ditempuh satu : memblacklist nama dosen tsb di masa KRSan mendatang dan Kemudian langkah selanjutnya bisa ditebak, woro-woro atau mengumumkan kepada rekannya yang belum mengambil mata kuliah ybs atau bahkan mengumumkan ke adik tingkat bahwa dosen tersebut tidak layak untuk diambil, angker, berbahaya dan berbagai macam stereotip buruk yang sesungguhnya hal tersebut justru berawal dari kesalahan kita dalam memahami fenomena KRSan. Namun, sebelum kita mengkaji lebih dalam mengenai fenomena KRS ini, sesungguhnya ada yang perlu saya sampaikan dan perlu saya garisbawahi. Bahwa bukan kapasitas saya untuk (sepenuhnya) menjustifikasi pemikiran seperti yang telah saya tuliskan diatas. Bukan pula saya bermaksud bertindak hipokrit (munafik) dan cenderung bertindak kontraproduktif dengan tulisan saya kali ini. Dan juga, Segala argumen dalam Tulisan ini sesungguhnya berangkat dari sisi pemikiran inkuisitif (keingintahuan) saya. Tidak ada maksud sekalipun dari saya untuk membuat tulisan ini bernada tendensius. Tulisan saya pada kali ini hanya bermaksud untuk menguak pemikiran-pemikiran saya yang dahulu saya anggap tabu untuk diperbincangkan. Anggap saja tulisan saya kali ini hanya sekedar evaluasi yang didasarkan pada pengalaman saya selama 8 semester ini mencicipi pahit-getir KRSan. Syukur-syukur bagi saya jika tulisan kali ini bisa dibaca khalayak ramai hingga dosen-dosen di FH UNS. Lebih lanjut, Melalui tulisan ini juga sejujurnya dapat saya katakan bahwa saya hanya ingin mengajak anda semua berfikir bahwa sebenarnya fenomena KRSan ini bukan hanya sekedar melingkupi permasalahan-permasalahan kuno terkait “kuota yang kurang”, “jumlah kelas kurang”, “mahasiswa kebanyakan” dan sebagainya. Melainkan, melingkupi permasalahan yang tergolong dalam level yang lebih kompleks karena berkaitan dengan berbagai subyek-obyek didalamnya. Selain mahasiswa selaku pemain KRSan yang terbagi lagi dalam golongan mahasiswa baru dan golongan mahasiswa yang ‘kelamaan lulus’, ada juga dosen selaku pengajar mata kuliah ybs, pegawai administrasi (dalam hal ini puskom & bagian pendidikan) selaku ‘panitia’ dibalik KRSan, senat fakultas selaku policy maker, keuangan universitas (yang berasal dari SPP mahasiswa) selaku penunjang financial system siakad, hingga menyentuh permasalahan-permasalahan sepele yakni kehadiran BEM & DEMA selaku tim yang proaktif mengadvokasi mahasiswa. Bagi saya, itu semua saling berkaitan satu sama lain. Tak dapat dipungkiri, mahasiswa membutuhkan system siakad sebagai jalan untuk mengakses SKS, pegawai administrasi dibutuhkan mahasiswa untuk menjalankan siakad secara online & tepat waktu, dosen dibutuhkan untuk mengajar pasca KRSan selesai, keuangan dari bayaran SPP anda per bulan dibutuhkan UNS untuk pemeliharaan system siakad secara online, senat fakultas pun dibutuhkan untuk policy maker agar system perkuliahan pra dan pasca KRSan berjalan lancar, dan yang terpenting dan sering terlupakan : kehadiran BEM & DEMA sangat diperlukan mahasiswa di tengah masa genting KRSan. Berawal dari pergeseran pemahaman Sebelum membahas lebih dalam ikhwal fenomena dan kemelut KRSan, alangkah lebih baiknya jika kita menemukan akar permasalahan yang selama ini (bagi saya) turut ikut andil dalam pusaran masalah KRSan. Yakni : adanya pergeseran pemahaman kita yang berawal dari kesalahan sistem pendidikan kita & lingkungan sekitar dalam menafsirkan sebuah ‘prestasi’. Saya sendiri mengakui, saya merupakan salah satu ‘obyek’ yang ikut terombang-ambing didalam pusaran system pendidikan kontemporer Indonesia. Dimulai dari berlakunya syarat kelulusan yang rigid (ujian sekian jam=menentukan hidup-mati belajar sekian tahun) yakni Ujian Nasional (SD,SMP,SMA), kompetisi SNMPTN memperebutkan kursi PTN, hingga sekarang, kompetisi pengisian KRS dimana antar mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lain saling sikut-menyikut memperebutkan kelas favorit. Saya mengakui, Kesemua kompetisi tersebut didalam hidup saya memang telah membentuk sebuah pola pikir yang tertanam kuat di kepala saya selama ini. Sedari kecil, alam bawah sadar ini memang ditempa sedemikian rupa untuk menjadi jiwa buruh/pekerja, jiwa kompetitor yang berorientasi pada pragmatisme dan jiwa yang menginginkan semuanya serba instan dan cepat. Sehingga dampaknya saya cenderung mengabaikan betapa berharganya sebuah proses jika dijalankan dengan matang dan terarah. Meskipun waktu tempuhnya cenderung lebih lama daripada ‘jalan pintas’ dengan menghalalkan segala cara. Saya pun sadar, saya adalah salah satu ‘korban’ dibalik tumbuh kembang sistem pendidikan indonesia. Dengan meminjam istilah didalam buku karya Eko Prasetyo berjudul orang miskin dilarang sekolah, setidaknya saya mengkategorikan sistem pendidikan kita dewasa ini sebagai sistem yang “membentuk mental pekerja atau mental buruh”. Khususnya, dalam pendidikan formal yang telah kita jalani dikehidupan kita masing-masing. TK,SD,SMP,SMA dan Perkuliahan. Untuk menyederhanakannya, Saya akan mengambil contoh agar lebih jelas. Siapa dari kita yang menampik bahwa alam bawah sadar kita (sebenarnya) cenderung lebih berorientasi pada hasil ketimbang proses? Pada saat kita kecil misalnya, kita dituntut orangtua agar -entah bagaimanapun caranya- kita harus mendapatkan prestasi entah ranking terbaik ataupun nilai sempurna di semua mata pelajaran (Dan mungkin salah satunya adalah di bidang eksak/ terkhusus matematika). Hal tersebut ditanamkan orangtua kita kepada kita sedari kecil. Saya Sadar, Orang tua kita (kebanyakan) justru lebih bangga ketika kita mendapat nilai 10 di bidang pelajaran matematika ketimbang saat kita mendapat nilai 4 di matematika namun kita mendapat nilai 10 di pelajaran berbau sosial. Orangtua kita pun akan lebih fokus menggempur & memporak-porandakan kita (karena nilai kita jelek di eksak) ketimbang memperdulikan nilai bagus kita di mapel sosial. Padahal yang perlu digarisbawahi adalah : tidak semua anak cukup cerdas di bidang matematika/eksak. (Bisa saja anak tsb justru berpotensi dibidang sosial, agama/olahraga) tetapi, bagi -sebagian- orangtua, pelajaran eksak merupakan standar tolak ukur seberapa pintarnya anak di sekolahan. Implikasinya, untuk mengejar nilai bagus cara apapun (kemudian) dihalalkan. Mulai dari si anak akan terbiasa melakukan cara instan (mencontek,-red) untuk mendapatkan nilai bagus hingga yang ter-ekstrem : sogok menyogok agar nilai si-anak ybs terdongkrak. Kebiasaan itupun akan semakin menjadi hingga si-anak tsb tumbuh besar. Saya rasa saat ini sudah menjadi hal yang lumrah jika kejadian ini terjadi disekitar kita. contoh-contoh yang baru saja saya sebut tadi. Kesemuanya itu ditujukan untuk apa? Bagi saya tak lain dan tak bukan Ada dua, (i) Agar si-anak (dengan mengandalkan nilai akhir dan tanpa memperdulikan proses mendapatkan nilai tsb) dapat dengan mudah diterima di jenjang pendidikan sesudahnya, dan (ii) agar orangtua bisa ‘pencitraan’ di kalangan sesama orangtua murid/famili dengan mengatakan “hey, nilai anakku bagus lho”. Alasan sosiologis pun bagi saya pada akhirnya dijadikan justifikasi terkuat. Lagi-lagi, Proses (untuk mendapatkan nilai) tidak lagi dihargai, yang jauh lebih dihargai adalah : nilai akhir (tanpa memperdulikan proses). Itulah paradigma yang (harus saya akui) masih melekat diantara sekat-sekat otak kita! Sistem Yang Belum Sempurna Berdasarkan penelusuran saya didalam buku pedoman akademik yang diterbitkan fakultas hukum setiap tahunnya. Dapat saya pastikan tidak ada mekanisme yang diatur secara komprehensif bilamana terjadi situasi diluar dugaan seperti kekurangan kuota kelas, dsb. Yang ada didalam buku akademik sebagaimana saya kutip dari buku pedoman akademik angkatan 2011 hanyalah mengenai tatacara pendaftaran akademik yang meliputi mekanisme (i) input KRS di siakad; (ii) print out 3 lembar; (iii) minta ttd pengesahan pembimbing akademik (PA); dan terakhir (iv) di stempel dan 1 lembar diberikan ke bagian pendidikan fakultas. Berangkat dari penelusuran saya diatas, bagi saya ketika menafsirkan mekanisme input KRS dari buku pedoman akademik 2011, saya menangkap garis merah yang dapat saya simpulkan : bahwa pihak fakultas (sedari dulu) memang tidak memberikan solusi apabila terjadi hal-hal diluar dugaan terkait pelaksanaan input KRS di siakad. Jadi, apabila terjadi hal-hal diluar dugaan didalam pelaksanaannya, pihak fakultas (hanya bisa) menyerahkan sepenuhnya terhadap mahasiswa ybs. Apakah mahasiswa ybs mau melakukan advokasi sendiri memperjuangkan penambahan kuota kelas (dengan dibantu BEM/DEMA: mengemis ke bag.pendidikan atau ke dosen ybs) atau, memilih konsekwensi terburuk yakni tidak mengambil mata kuliah ybs. Hal tersebut belum lagi ditambah dengan rentang waktu yang sempit. Dimulai dari masa-masa input KRS (berdasarkan angkatan) hingga masa revisi KRS. Jika saya bedah, masa input KRS masing-masing hanya diberikan jatah waktu satu hari untuk satu angkatan untuk dapat menginput KRS. Dengan asumsi demikian, dijabarkan dari angkatan 2008-2012 hanya diberikan masa input selama: 1 hari; 2013: 1 hari; dan 2014: 1 hari plus masa revisi KRS 2 hari maka total waktu input KRS diperkirakan hanya 5 hari kerja saja. Kesimpulannya, jika terdapat permasalahan terkait kuota penuh,dll kita hanya diberikan kesempatan oleh sistem : interval waktu sekitar 2 hari untuk dapat memaksimalkan perbaikan dan revisi KRS. Lagipula, bagi saya sistim KRS di siakad pada tahun ini sebenarnya sudah sangat berbeda dengan sistim terdahulu. Lalu mengapa masih saja ada permasalahan terkait pelaksanaan teknisnya? Dulu, jika saya salah mengambil kelas saat jadwal angkatan saya sedang input, maka saya bisa langsung menghapus kelas tsb dari daftar isian KRS di siakad tanpa harus menunggu masa revisi KRS (yang hanya 2 hari) ataupun meminta izin menghapus mata kuliah ke bag. Pendidikan. Memang, disatu sisi saya sangat mendukung adanya pemberlakuan sistem tersebut karena hal tersebut untuk mengurangi mafia jual-beli KRS yang dilakukan oknum mahasiswa. Tetapi, hal tersebut justru malah mengurangi waktu tempuh kita untuk melakukan advokasi ataupun melakukan lobbying ke dosen ybs / ke pembantu dekan 1 (PD 1) agar dapat bersedia menyetujui penambahan kuota kelas makul tertentu. Misalnya, jika kelas penuh pada saat masa input KRS angkatan A sedang berlangsung dan kita ingin melakukan advokasi ke bag Pendidikan untuk menambah kuota, jawaban dari bag Pendidikan pun hanya satu : “tunggu masa revisi ya”. Hal tersebut kemudian berdampak pada menumpuknya jumlah mahasiswa di depan bag Pendidikan yang meminta kejelasan apakah ada penambahan kuota dari kelas ybs atau tidak. Sehingga, mahasiswa lain yang sekiranya membutuhkan jasa bag Pendidikan untuk legalisir akta,ijazah,pengurusan wisuda,dsb pastilah akan terganggu dengan menumpuknya jumlah massa di depan bag Pendidikan dikarenakan fokus pegawai bag Pendidikan lebih terkuras pada mahasiswa yang meminta advokasi. Dulu, jika terdapat masalah terkait kuota kelas kurang dsb, beberapa saat kemudian BEM bisa langsung mendatangi ke bag pendidikan maupun pihak-pihak terkait untuk dimintakan penambahan kuota kelas. Bandingkan jika sekarang. Kita diharuskan menunggu, menunggu, dan menunggu sesuatu yang tidak jelas terkait waktu revisi KRS yang pada akhirnya malah hanya menyebabkan tenaga kita terkuras, serta menyebabkan waktu dan emosi kita terbuang.
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |