Siang itu terik sekali, setelah saya berangkat dari kost menuju kampus, saya menyusuri tangga menuju ruang sidang II lantai tiga FH UNS. Saya pun duduk di tempat duduk paling belakang. Ya, hari itu H-14 menuju keberangkatan kami tim MCC FH UNS ke event national moot court competition piala bulaksumur II di UGM. Sebenarnya tidak ada yang spesial pada hari itu, namun pada hari tersebutlah ada saat dimana saya terpaksa untuk menyelami kembali masa lalu, ada moment dimana rasanya dimensi pikiran saya diputarbalikkan untuk dapat disusuri kembali jejak-jejak masa lalu saya. Saya dengan sangat terpaksa harus membuka ruang labirin masa lalu saya. Moment tersebut sendiri tercipta ketika kedua rekan wanita saya saling bercerita dan kebetulan saya yang saat itu berada di kursi belakang kelas tak sengaja mendengarnya, salah satu dari mereka menceritakan pada temannya bahwa ia baru saja menyaksikan sebuah lanjutan dari sebuah film yangmana film sebelumnya terakhir produksi pada tahun 2002. Ia bercerita dengan heboh hingga saya yang pada saat itu sedang membaca buku pun dibuat ‘terpaksa’ menyimak ceritanya tersebut. Benak saya pun pada saat itu bertanya ‘memangnya film apa? Mengapa harus menunggu 12 tahun dulu baru ada lanjutannya?’. Akhirnya pertanyaan saya pun terjawab ketika rekan wanita saya yang lain dari tempat berbeda memotong pembicaraan kedua rekan saya sambil berkata ‘pasti AADC ya? Wah bagus banget tau’. Seketika ketika mendengar jawaban AADC pun saya langsung bertanya pada diri sendiri, disatu sisi tentu saya mengetahui AADC karena walau pada tahun 2002 saya masih berumur 9 tahun namun saat itu saya telah menonton beberapa film-film indonesia dari kegemaran abang-abang saya mengoleksi CD film. Waktu itu saya ingat sekali menonton bersama keluarga saya. Ya, pada era awal 2000-an memang sangat booming sekali ditiap rumah ada VCD player. Dapat dipastikan pada era tersebut hampir semua rumah memiliki VCD player terutama rumah saya. Baik, kembali lagi. Walau disatu sisi saya dahulu telah menonton AADC namun disisi lain saya penasaran untuk menonton kembali film tersebut karena jujur, anak umur 9 tahun seperti saya pada tahun 2002 tidak mungkin mengerti dan masih hafal tiap scene dari film AADC tersebut, apalagi rentang waktu 12 tahun bagi saya tentu bukan perkara mudah untuk menghafal dengan detail scene per scene dari AADC. Belum lagi, rasa penasaran ini memuncak ketika rekan-rekan wanita saya makin asyik dan antusias bercerita pengalaman kisahnya dulu pada umur 9 tahun menonton AADC. Setelah dihinggapi rasa penasaran yang cukup besar akhirnya saya pun memutuskan untuk menonton lanjutan dari AADC 2002 tersebut di youtube, ketika saya menonton mini drama AADC tersebut di youtube perasaan saya campur aduk sekali, entah mau senang atau sedih karena jujur saya tidak tahu mengapa cinta (salah satu peran di AADC) berkata pada rangga “memangnya 1 purnama di new york beda dengan di jakarta?”. Pertanyaan saya pun muncul, ‘apa itu purnama? Mengapa 1 purnama?’. Ya, saya pun berfikir sejenak sehabis saya menonton mini drama AADC tersebut, rasa-rasanya bukan kepuasan karena mengalahkan rasa penasaran yang saya dapatkan melainkan malah pertanyaan yang lebih besar yakni ‘emangnya film AADC dulu kaya gimana sih?’. Akhirnya saya pun memutuskan untuk menjawab pertanyaan kepada diri saya sendiri nanti. Ya, nanti ketika saya memiliki waktu lebih untuk download film AADC 2002 dan menontonnya, mengingat begitu padatnya jadwal saya akhir-akhir ini. Keesokan harinya di tempat dan keadaan yang sama akhirnya saya berhasil download AADC versi 2002 dan 2014, tak sabar rasanya untuk segera menonton versi yang jadul dulu. Namun keinginan tersebut harus tertunda karena padatnya jadwal saya hingga event ini tiba ya kira-kira H-13 hari lagi. Namun, keesokan harinya akhirnya saya dapat menyaksikan film AADC 2002 tersebut. Padahal saya berencana untuk menontonnya nanti karena saya menganggap bukanlah sesuatu yang urgent sekali bagi saya untuk sesegera mungkin menontonnya. Simple rasanya alasan mengapa saya memutuskan menonton pada hari ini, hal tersebut dikarenakan adanya message dari LINE yang mengatakan bahwa film AADC 2002 dan 2014 akan diputar di kompas TV malam ini jam 18.30 (saat itu saya membaca message pukul 18.00). seketika membaca message tersebut saya pun berkelakar ‘ah, andaikan di kost saya ini bisa nonton TV’ maklum karena memang di kost saya yang terbilang sederhana ini saya menggunakan TV tunner yang disambungkan dengan monitor komputer, walau telah dipasang antenna dalam ruangan pun menurut saya percuma, mengingat TV tunner saya sendiri lebih seperti TV mainan karena lemahnya menangkap sinyal dari antenna dalam ruangan. Keadaan di kost saya pun tergolong mendukung untuk menonton sebuah film, saat itu keadaan sedang hujan deras. Saya yang sebelumnya berkeinginan untuk keluar mencari udara segar dengan seseorang pun harus tertahan di kamar kost. Suatu quality time yang menurut saya sangat jarang saya lakukan mengingat padatnya jadwal saya diluar kost. Kembali lagi, singkat cerita akhirnya sekitar pukul 21.00 saya pun memutuskan menonton AADC 2002 kemudian disambung versi 2014. Durasi film tersebut jika ditotal kira-kira 2,5 jam. Saya pun melahap AADC versi 2002 dan versi 2014 secara bergiliran. Hingga kira-kira selesai pukul 23.15. selesai menonton kedua versi tersebut saya merasa terenyuh. Bukan dikarenakan filmnya yang bagus karena mengisahkan dua anak manusia yang sedang falling in love dan harus berpisah karena sebuah pilihan, namun lebih kepada sebuah pesan moril yang mendalam dan soft penyampaiannya. Yakni adalah tekad & prinsip! Kita tahu, sebagai manusia kita pribadi memiliki sebuah tujuan atas dasar keyakinan, kemauan & pilihan kita tempo dulu. Pilihan kita hari ini lah yang akan menentukan kedepannya kita akan menjadi apa. Di film AADC 2002 saya dapat menemukan makna perjuangan mempertahankan idealis dengan perspektif tahun 2000-an. Rasanya film tersebut menyiratkan kepada penonton bahwa pada dasarnya manusia diciptakan untuk sebuah tujuan, sebuah capaian yang besar. Dan capaian yang besar itu selalu datangnya dari dalam benak diri kita sendiri, bukan dari orang lain. Film AADC 2002 tersebut berhasil membawa saya menyelami ruang dan waktu dimulai pada saat saya masih berumur 9 tahun hingga sekarang, dimulai dari sifat kekanakkan, egois, mau menang sendiri dan segudang watak & sifat lain. Itulah saya. Sekilas ketika menonton film tersebut emosi saya seperti terbawa ke era putih abu-abu dahulu. Walau memang masa putih abu saya bukanlah seperti pada era 2000-an tapi tetap saja sama menurut saya. Saya sendiri seperti terombang-ambing dibuatnya. Saat menonton film tersebutlah saya merasa seperti memasuki ruang & dimensi waktu yang telah saya lewati sebelumhya. 1 jam 45 menit tersebut berhasil membuat saya terbius dengan amat cantik karena lewat film ini, kedepannya saya menyadari bahwa saya bukanlah siapa-siapa tanpa sebuah tekad yang kuat dan komitment yang teguh. Tengoklah kedalam film AADC versi 2002, sudah berapa kali saya melihat scene dimana rangga ataupun cinta bersikukuh dengan prinsipnya? Atau ketika rangga mengatakan pada cinta tentang pemikiran ayahnya yang radikal & subversif sehingga menyebabkan ayahnya ‘dibungkam’ oleh penguasa pada era itu? Atau ketika rangga seumur hidupnya mengatakan rahasia besarnya hanya kepada pak wardiman (tukang sapu SMA) dan cinta mengenai kondisi broken home nya karena ibu dan kakak-kakaknya lebih memilih cerai dan meninggalkan rangga karena ibunya takut dengan pemikiran radikal serta betapa berbahayanya ayah rangga tentang sebuah prinsip melawan kelaliman penguasa atas ‘kebenaran yang hakiki’? Ya,itu adalah sebagian kecil dari pesan moril yang luput oleh pantauan sineas film dimana sebenarnya tersirat dari si pembuat film AADC 2002. Jenius menurut saya, pesan moril tersebut telah berhasil disisipkan di film remaja ABG pada tahun tersebut, namun sayang sekali pada waktu itu saya belum cukup cerdas untuk mengerti secara mendalam film AADC 2002 tersebut, saat itu yang saya ingat saya lebih tenggelam pada euphoria para sineas perfilman indonesia, wajar karena saat itu semua orang banyak yang memuji film tersebut. namun sangat disayangkan perspektif pujian yang digunakan dari para penonton AADC 2002 lebih kepada percintaan dan romantisme kisah anak manusia. Jujur saya agak sedikit menyayangkan pemikiran tersebut. Karena menurut saya alangkah lebih baiknya bila menonton sebuah film haruslah dikupas dari berbagai perspektif kritis terutama mengenai pesan moril dari film tersebut. Tapi, yasudahlah tentu saya tidak mau membahas terlalu panjang mengenai pemikiran saya ini. Baik, kembali ke topik. Kesemua contoh scene AADC 2002 yang tadi saya sampaikan adalah beberapa contoh yang dapat dipetik dan malah hal tersebut dapat dijadikan boomerang ke diri kita bahwa hingga saat in sudah berapa kuatkah kamu menggenggam prinsip dengan tekadmu demi tujuan yang hendak kau bangun dahulu wahai pemuda?. Ask your self now! Setelah menonton AADC 2002 pun saya dibuat penasaran kembali mengenai kelanjutan kisah dari hubungan dua anak manusia tersebut. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk menonton lagi mini drama AADC 2014. Tentu saja, saya menonton dengan satu catatan! Yakni saya akan menonton lagi karena saya telah tahu base story yang akan digunakan sebagai lanjutan dari AADC versi 2002. Setelah menontonnya pun kembali saya merasa terenyuh. Disatu sisi akhirnya saya senang karena ‘tahu maksudnya apa’ dan di sisi lain ada sebuah capaian yang luar biasa dari tokoh-tokoh fiktif di film tersebut. Bayangkan, selama tempo 12 tahun tidak bertemu tokoh-tokoh di mini drama AADC 2014 tersebut telah menjadi orang sukses atas kemauan mereka sendiri! Namun tentu saja frase ‘sukses’ menurut perspektif saya bukanlah ketika kita memiliki segalanya atas materi dan jabatan semu, namun lebih kepada capaian pribadi yang berhasil di laksanakan didasarkan pada cita-cita terdahulu. Lalu, contoh suksesnya seperti apa? Kita lihat saja kedua tokoh utama di mini drama tersebut! Sepanjang analisis saya, tokoh utama cinta yang diperankan oleh dian sastrowardoyo di mini drama AADC 2014 telah sukses menjadi ‘orang’ di salah satu perusahaan pers skala multinasional di jakarta. Mengingat cinta dahulu saat masih duduk di bangku SMA memang memiliki hobi di ekstrakulikuler pers siswa, sedangkan tokoh rangga yang diperankan apik oleh nicholas saputra juga berhasil sukses menjadi jurnalis skala internasional di new york mengingat dahulu saat SMA rangga memang merupakan anak yang terbiasa dengan kata-kata emas diatas kertas. Dan walau ke-4 sahabat dari cinta tidak dijelaskan secara eksplisit apa pekerjaannya namun nampak dari pakaian, tutur kata, bahasa tubuh dan wibawa mereka, mereka juga berhasi menjadi orang sesuai bidang yang dicita-citakan sejak dahulu. Ya, sekali lagi. Inilah keadaan yang saya sebut sebagai konstan dalam melangkah. Melangkah dalam hidup kedepan. Konsisten dalam mengambil sebuah pilihan. Karena prinsip adalah prinsip. Dan prinsip tentu berawal dari mimpi. prinsip takkan hidup tanpa tekad kita untuk terus memperjuangkannya. Saya analogikan prinsip sebagai lilin maka lilin itu harus tetap dijaga. Dijaga hingga lilin tersebut akhirnya mati. Bukan mati karena dipaksa, dibungkam oleh materi duniawi, dibungkam karena pekeweuh, apalagi dibungkam karena takut penguasa yang dewasa ini telah banyak bertransformasi dengan berbagai rupa & jenis terutama bertransformasi menjadi orang-orang terdekat kita. Namun mati karena memang sudah saatnya untuk mati. Sebuah renungan untuk saya, inilah sebuah keadaan pengenalan diri saya kembali melalui film AADC 2002 & 2014. Saya tidak ingin membahas hanya dari perspektif cinta-cintaan karena memang menurut saya sangat maninstream jika hanya membahas cinta-cintaan saja. Oke intinya Saya benci dengan AADC mini drama 2014, mengapa harus muncul sekarang? Mengapa bukan esok saja? Karena dengan begitu tentu saya tidak perlu lelah-lelah untuk memasuki dimensi ruang & waktu pengalaman-pengalaman saya yang terdahulu selama hampir saya jalani 12 tahun. Waktu terasa begitu cepat dan saya pun tidak punya waktu untuk ‘menengok’ kembali kebelakang! saya pun juga tidak perlu lelah-lelah untuk mengevaluasi diri ini menjadi lebih baik. Film ini menurut saya memang adalah salah satu cara ampuh untuk mengevaluasi diri. Karena dengan film saya sendiri merasa seperti masuk ke time warp dimana saya diharuskan untuk merunutkan kembali pengalaman-pengalam saya, dimana saya harus sadari kembali kesalahan-kesalahan di masa lalu yang saya lakukan bahwa saya harus menang melawan arus waktu yang selalu maju ini! ah, rupanya saya memang harus betul-betul membenci munculnya AADC 2014! Karenanya, saya dapat mengkoreksi diri menjadi lebih baik lagi. Waktu 12 tahun yang telah berlalu akan menjadi bekal pelajaran dan peluru saya dimulai dari hari ini untuk selamanya! Saya adalah pejuang dan pejuang, tidak pernah kalah dan menyerah dalam medan tempur! (10 November 2014)
0 Comments
2/11/2014 0 Comments Pengadilan Hak Asasi Manusia Sebagai Hadiah Politik Atas Paksaan Situasi Politik Dalam Negeri Dan Desakan Dunia Internasional Pengadilan HAM merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik dengan menggunakan istilah pengadilan HAM. Mengenai kewenangannya pun pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu. Pengaturan yang sifatnya khusus tersebut didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya extraordinary crime sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang seharusnya juga sifatnya khusus. Harapan atas adanya pengaturan yang sifatnya khusus ini adalah dapat berjalannya proses peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara kompeten dan fair. UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM telah dijalankan dengan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Namun dalam prakteknya, pengadilan HAM ad hoc ini mengalami banyak kendala terutama berkaitan dengan lemahnya atau kurang memadainya instumen hukum. UU No. 26 Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang diatur dan tidak adanya mekanisme hukum acara secara eksplisit. Sejak kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah memercikkan berbagai gagasan guna memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang lebih baik (Jimly Asshiddiqie, 2006). Sehingga menjadi hal yang lumrah jika berbagai tuntutan atas tiap-tiap pelanggaran HAM secepatnya harus diselesaikan tanpa tebang pilih. Hal ini jugalah yang kemudian melatar belakangi berdirinya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) di Indonesia (R. Wiyono, 2006). Pembentukan KOMNAS HAM sesungguhnya sejalan dengan tujuan yang tertera pada ketentuan pasal 44 TAP MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. Sejalan kemudian dengan semangat penegakan HAM yang efektif ditetapkanlah UU Nomor 39 tahun 1999. Namun mengingat terdapat berbagai kelemahan yang ada, maka pada perkembangan selanjutnya ditetapkanlah PP pengganti UU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Walau kemudian diganti dengan ditetapkannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Adanya beberapa ketentuan pasal didalam UU Nomor 26 Tahun 2000 yang membatasi tugas dan wewenang Komnas HAM dan penyempitan terhadap pelanggaran HAM juga ikut memberikan dampak akan ketidakefektifan implementasinya. Sejauh ini pengadilan HAM Ad Hoc seperti yang diamanatkan dalam undang-undang belum tercapai atau terbentuk. Padahal kasus kejahatan HAM berat telah terjadi sejak lama. Semisal dalam hal ini ialah kasus peristiwa penembakan misterius (petrus), peristiwa Tanjung Priok, dll. Di luar itu, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui UU No. 11 Tahun 2005. Namun dalam ketentuan pasal yang ada didalam UU pengadilan HAM hanyalah pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik saja yang telah diratifikasi. Sedangkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Padahal kalau melihat beberapa kasus yang ada, pelanggaran HAM berat juga ada yang dilatar belakangi oleh faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Mengingat pergeseran pemahaman HAM dewasa ini memang menjadi salah satu kebiasaan baru di pergaulan dunia. melihat deskripsi diatas tentunya menjadi sebuah kemirisan yang amat sangat, mengingat aturan yang telah mengaturnya sudah ada dan mempunyai kekuatan hukum tetap, namun faktanya pembentukan pengadilan HAM belum juga dibentuk dan keberadaan KOMNAS HAM juga terkesan tumpul serta kurang berjalan dengan optimal. Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, maka masalah yang muncul dapat dirumuskan, mengapa aturan hukum yang terkandung dalam UU No. 26 Tahun 2000 belum dapat dijadikan sebagai solusi penegakan HAM di Indonesia secara optimal?, petanyaan selanjutnya dalah bagaimana langkah-langkah hukum yang dapat dilakukan dalam menegakan HAM di Indonesia agar berjalan lebih efektif? Permasalahan Penegakkan HAM melalui Peradilan HAM ad hoc Faktanya, penegakkan HAM memang menunjukkan bahwa sering kali hukum tidak mempunyai otonomi yang kuat, karena energinya lebih lemah yang disebabkan energi subsistem politiknya. Sehingga yang dapat dilihat dalam proses pembuatannya yang sering kali dipolitisasi. Sehingga hukum sebagai petunjuk dan sebagai representasi keadilan yang hakiki menjadi terabaikan. Dari fakta tersebut di atas, yang seperti itulah kemudian muncul teori hukum sebagai produk kekuasaan (politik) (Moh. Mahfud MD, 1999). Berdasarkan perspektif ini terlihat bahwa dalam hubungan antara politik dan hukum, jika hukum harus dihadapkan dengan politik, maka hukum pasti berada pada kedudukan yang lebih lemah (Satjipto Rahardjo, 1985). Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pengadilan HAM Di dalam Pasal 104 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat, seperti pembunuhan masal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination) yang sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 “Rome Statute of the International Criminal Court”. Salah satu implementasi dari diberlakukannya UU tentang HAM tersebut ialah secepatnya dibentuk Pengadilan HAM. Dengan adanya pertimbangan desakan perkembangan situasi politik dalam negeri dan desakan dunia internasional, khususnya pasca jajak pendapat di Timor Timur pada akhir bulan Agustus 1999, maka dalam situasi yang amat memaksa, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM pada tanggal 8 Oktober 1999. Perppu ini dipersiapkan pemerintah dalam keadaan tergesa-gesa, sehubungan dengan terbentuknya pendapat umum baik di dalam maupun luar negeri tentang peristiwa yang terjadi di Timor Timur setelah jajak pendapat yang diperkirakan dapat menyudutkan posisi Indonesia dalam pergaulan antar bangsa (Yusril Ihza Mahendra, 2000). Berdirinya Pengadilan HAM di Indonesia dengan pemberlakuan UU No. 26 Tahun 2000 merupakan bagian dari program strategis pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa Indonesia dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dengan sistem hukum nasional yang berlaku dan dilaksanakan oleh bangsa sendiri. Hal ini merupakan kebijakan pemerintah dalam menjalankan politik hukumnya dalam mewujudkan supremasi hukum yang berasaskan nilai-nilai HAM. Hal ini pula didasari adanya pengaturan mengenai HAM karena adanya konfigurasi politik tentang pengangkatan wacana HAM dalam UUD 1945, yang kemudian diatur dengan UU mengenai HAM serta UU mengenai Pengadilan HAM itu sendiri. Kekurangan dan Kelemahan UU No. 26 Tahun 2000 Terlepas dari penjelasan mengenai upaya penegakkan HAM diatas, Dibentuklah undang-undang tentang pengadilan HAM dimana UU tersebut diciptakan agar tercapainya keadilan dalam kasus pelanggaran HAM dan terselesaikannya permasalahan HAM di Indonesia. Namun romantisme idealisme yang dibangun dari undang-undang tersebut lebih bersifat pseudo dan semu. Hal tersebut nampak dari tidak sejalannya UU dengan fakta yang terjadi dilapangan, hal ini terkait beberapa fakor yang melingkupinya, seperti proses pembentukan undang-undangnya maupun ketentuan-ketentuan pasal yang ada didalamnya dan sempitnya definisi pelanggaran HAM yang dapat ditangani oleh Komnas HAM, Kejaksaan Agung (kejagung), dan Pengadilan HAM. Seperti diketahui bahwa pembentukan undang-undang tersebut terjadi ketika terungkapnya fakta telah terjadi pelanggaran HAM berat di indonesia, sehingga muncul desakan dari PBB untuk segera diadili pelaku-pelakunya. Mengingat pada waktu itu Indonesia belum mempunyai instrumen hukumnya, maka muncul pula adanya upaya dari PBB agar pelakunya diadili melalui pengadilan HAM internasional atau Mahkamah Internasional HAM. Negara Indonesia yang mempunyai kewajiban untuk mengantisipasi hal tersebut kemudian mengemukakan asumsi untuk menyelamatkan pelaku pelanggaran HAM berat agar tidak diadili di Mahakamah Pidana Internasioanl, maka pemerintah dengan langkah konkritnya kemudian membentuk Undang-undang yang mengatur tentang pengadilan HAM yaitu UU No. 26 Tahun 2000. Artinya, pemerintah indonesia dalam proses pembentukan instrumen tersebut sangatlah terkesan mendadak dan terburu-buru. Sehingga kesan yang ditimbulkan ialah pemerintah seolah-olah bermaksudk untuk melindungi dan para pelaku pelanggaran HAM berat agar terhindar dari Mahkamah Pidana internasional. Kemudian apabila kita melihat ketentuan Pasal 7 dan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, jelas bahwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM yang berat hanyalah pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik saja. Sedangkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Padahal apabila kita memperhatikan kebanyakan kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik yang terjadi di Indonesia, pada umumnya dilatarbelakangi oleh pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, seperti perampasan tanah-tanah masyarakat adat yang berujung penembakan terhadap masyarakat sipil, atau pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahan transnasional yang berujung penangkapan dan penyiksaan terhadap masyarakat sipil. Padahal Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui UU No. 11 Tahun 2005. Sehingga tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk tidak mengakui pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai pelanggaran HAM yang berat. Berdasarkan hal itu maka definisi pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur di dalam pasal 7, 8, dan 9 UU No. 26 Tahun 2000 sudah tidak layak lagi dan sudah seharusnya pasal-pasal tersebut direvisi dengan memperluas definisi pelanggaran HAM berat. Sehingga nantinya definisi pelanggaran HAM yang berat tidak hanya mencakup pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik saja, namun semua pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, budaya juga harus diakui sebagai bagian dari pelanggaran HAM yang berat. Faktor lain yang membuat UU No. 26 Tahun 2000 tidak efektif adalah pembatasan terhadap tugas dan wewenang Komnas HAM yang hanya dapat melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur di dalam Pasal 18, 19, dan 20 UU No. 26 Tahun 2000 (Ibid). Sehingga dalam praktiknya, seringkali hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dipatahkan pihak Kejagung yang di dalam undang-undang ini bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum. Sebenarnya, sebagai salah satu ‘produk’ reformasi yang sejak lama diperjuangkan, kehadiran Peradilan HAM cukup membawa angin segar bagi upaya penegakan HAM di tanah air, juga sekaligus sebagai bukti dan upaya agar indonesia bisa masuk kategori sebagai bangsa yang dianggap menghormati dan memberi apresiasi pada Hak Asasi Manusia. Hal ini mengingat track-record negara kita yang selalu terpuruk dalam hal penegakan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, ternyata pihak-pihak yang berusaha menghambat pelaksanaan yang konsisten dari UU Peradilan HAM juga tidak sedikit, mereka ada di semua sudut baik dikalangan legislatif, eksekutif/birokrasi, militer ataupun pihak yudikatif sendiri. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa permasalahan atau kelemahan dari Undang-undang Peradilan HAM itu bisa terdiri dari perundang-undangannya dan aparat pelaksana-nya sekaligus. kelemahan dari perundang-undangannya itu sendiri disebabkan oleh pengadopsian dari instrumen-instrumen internasional yang tidak lengkap dan terdapat kesalahan dalam penerjemahannya. DAFTAR PUSTAKA Undang-undang Undang-undang dasar 1945 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM Keppres Nomor 53 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Buku-buku Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jilid 1, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi. Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, 2005, cet. II, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara. Ihza Mahendra, Yusril, 2000, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia: Catatan dan Gagasan Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM. Mahfud MD, Moh, 2001, Politik Hukum Di Indonesia cet. Ke-2, Jakarta: Pustaka LP3ES. Manan, Bagir, 2006, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Bandung: P.T. Alumni. Wiyono, R, 2006, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Jurnal, Makalah dan Internet Marzuki, Suparman, 2010, Politik Hukum Penyelesaian pelanggaran HAM Masa lalu:melanggengkan impunity, Jurnal Hukum, Vol. 17 NO.2, 2010: 3-4. Santoso, Budi, 2003, Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM, Makalah Disampaikan pada“Workshop Merumuskan Amandemen Undang-Undang Peradilan HAM’ yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII, Yogyakarta, pada tanggal 26 Agustus 2003. Progress Report pemantauan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke-10, tanggal 28 Januari 2003. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |