2/11/2014 0 Comments Pengadilan Hak Asasi Manusia Sebagai Hadiah Politik Atas Paksaan Situasi Politik Dalam Negeri Dan Desakan Dunia Internasional Pengadilan HAM merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik dengan menggunakan istilah pengadilan HAM. Mengenai kewenangannya pun pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu. Pengaturan yang sifatnya khusus tersebut didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya extraordinary crime sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang seharusnya juga sifatnya khusus. Harapan atas adanya pengaturan yang sifatnya khusus ini adalah dapat berjalannya proses peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara kompeten dan fair. UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM telah dijalankan dengan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Namun dalam prakteknya, pengadilan HAM ad hoc ini mengalami banyak kendala terutama berkaitan dengan lemahnya atau kurang memadainya instumen hukum. UU No. 26 Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang diatur dan tidak adanya mekanisme hukum acara secara eksplisit. Sejak kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah memercikkan berbagai gagasan guna memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang lebih baik (Jimly Asshiddiqie, 2006). Sehingga menjadi hal yang lumrah jika berbagai tuntutan atas tiap-tiap pelanggaran HAM secepatnya harus diselesaikan tanpa tebang pilih. Hal ini jugalah yang kemudian melatar belakangi berdirinya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) di Indonesia (R. Wiyono, 2006). Pembentukan KOMNAS HAM sesungguhnya sejalan dengan tujuan yang tertera pada ketentuan pasal 44 TAP MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. Sejalan kemudian dengan semangat penegakan HAM yang efektif ditetapkanlah UU Nomor 39 tahun 1999. Namun mengingat terdapat berbagai kelemahan yang ada, maka pada perkembangan selanjutnya ditetapkanlah PP pengganti UU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Walau kemudian diganti dengan ditetapkannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Adanya beberapa ketentuan pasal didalam UU Nomor 26 Tahun 2000 yang membatasi tugas dan wewenang Komnas HAM dan penyempitan terhadap pelanggaran HAM juga ikut memberikan dampak akan ketidakefektifan implementasinya. Sejauh ini pengadilan HAM Ad Hoc seperti yang diamanatkan dalam undang-undang belum tercapai atau terbentuk. Padahal kasus kejahatan HAM berat telah terjadi sejak lama. Semisal dalam hal ini ialah kasus peristiwa penembakan misterius (petrus), peristiwa Tanjung Priok, dll. Di luar itu, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui UU No. 11 Tahun 2005. Namun dalam ketentuan pasal yang ada didalam UU pengadilan HAM hanyalah pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik saja yang telah diratifikasi. Sedangkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Padahal kalau melihat beberapa kasus yang ada, pelanggaran HAM berat juga ada yang dilatar belakangi oleh faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Mengingat pergeseran pemahaman HAM dewasa ini memang menjadi salah satu kebiasaan baru di pergaulan dunia. melihat deskripsi diatas tentunya menjadi sebuah kemirisan yang amat sangat, mengingat aturan yang telah mengaturnya sudah ada dan mempunyai kekuatan hukum tetap, namun faktanya pembentukan pengadilan HAM belum juga dibentuk dan keberadaan KOMNAS HAM juga terkesan tumpul serta kurang berjalan dengan optimal. Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, maka masalah yang muncul dapat dirumuskan, mengapa aturan hukum yang terkandung dalam UU No. 26 Tahun 2000 belum dapat dijadikan sebagai solusi penegakan HAM di Indonesia secara optimal?, petanyaan selanjutnya dalah bagaimana langkah-langkah hukum yang dapat dilakukan dalam menegakan HAM di Indonesia agar berjalan lebih efektif? Permasalahan Penegakkan HAM melalui Peradilan HAM ad hoc Faktanya, penegakkan HAM memang menunjukkan bahwa sering kali hukum tidak mempunyai otonomi yang kuat, karena energinya lebih lemah yang disebabkan energi subsistem politiknya. Sehingga yang dapat dilihat dalam proses pembuatannya yang sering kali dipolitisasi. Sehingga hukum sebagai petunjuk dan sebagai representasi keadilan yang hakiki menjadi terabaikan. Dari fakta tersebut di atas, yang seperti itulah kemudian muncul teori hukum sebagai produk kekuasaan (politik) (Moh. Mahfud MD, 1999). Berdasarkan perspektif ini terlihat bahwa dalam hubungan antara politik dan hukum, jika hukum harus dihadapkan dengan politik, maka hukum pasti berada pada kedudukan yang lebih lemah (Satjipto Rahardjo, 1985). Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pengadilan HAM Di dalam Pasal 104 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat, seperti pembunuhan masal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan (arbitary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination) yang sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 “Rome Statute of the International Criminal Court”. Salah satu implementasi dari diberlakukannya UU tentang HAM tersebut ialah secepatnya dibentuk Pengadilan HAM. Dengan adanya pertimbangan desakan perkembangan situasi politik dalam negeri dan desakan dunia internasional, khususnya pasca jajak pendapat di Timor Timur pada akhir bulan Agustus 1999, maka dalam situasi yang amat memaksa, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM pada tanggal 8 Oktober 1999. Perppu ini dipersiapkan pemerintah dalam keadaan tergesa-gesa, sehubungan dengan terbentuknya pendapat umum baik di dalam maupun luar negeri tentang peristiwa yang terjadi di Timor Timur setelah jajak pendapat yang diperkirakan dapat menyudutkan posisi Indonesia dalam pergaulan antar bangsa (Yusril Ihza Mahendra, 2000). Berdirinya Pengadilan HAM di Indonesia dengan pemberlakuan UU No. 26 Tahun 2000 merupakan bagian dari program strategis pemerintah untuk menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa Indonesia dapat menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM dengan sistem hukum nasional yang berlaku dan dilaksanakan oleh bangsa sendiri. Hal ini merupakan kebijakan pemerintah dalam menjalankan politik hukumnya dalam mewujudkan supremasi hukum yang berasaskan nilai-nilai HAM. Hal ini pula didasari adanya pengaturan mengenai HAM karena adanya konfigurasi politik tentang pengangkatan wacana HAM dalam UUD 1945, yang kemudian diatur dengan UU mengenai HAM serta UU mengenai Pengadilan HAM itu sendiri. Kekurangan dan Kelemahan UU No. 26 Tahun 2000 Terlepas dari penjelasan mengenai upaya penegakkan HAM diatas, Dibentuklah undang-undang tentang pengadilan HAM dimana UU tersebut diciptakan agar tercapainya keadilan dalam kasus pelanggaran HAM dan terselesaikannya permasalahan HAM di Indonesia. Namun romantisme idealisme yang dibangun dari undang-undang tersebut lebih bersifat pseudo dan semu. Hal tersebut nampak dari tidak sejalannya UU dengan fakta yang terjadi dilapangan, hal ini terkait beberapa fakor yang melingkupinya, seperti proses pembentukan undang-undangnya maupun ketentuan-ketentuan pasal yang ada didalamnya dan sempitnya definisi pelanggaran HAM yang dapat ditangani oleh Komnas HAM, Kejaksaan Agung (kejagung), dan Pengadilan HAM. Seperti diketahui bahwa pembentukan undang-undang tersebut terjadi ketika terungkapnya fakta telah terjadi pelanggaran HAM berat di indonesia, sehingga muncul desakan dari PBB untuk segera diadili pelaku-pelakunya. Mengingat pada waktu itu Indonesia belum mempunyai instrumen hukumnya, maka muncul pula adanya upaya dari PBB agar pelakunya diadili melalui pengadilan HAM internasional atau Mahkamah Internasional HAM. Negara Indonesia yang mempunyai kewajiban untuk mengantisipasi hal tersebut kemudian mengemukakan asumsi untuk menyelamatkan pelaku pelanggaran HAM berat agar tidak diadili di Mahakamah Pidana Internasioanl, maka pemerintah dengan langkah konkritnya kemudian membentuk Undang-undang yang mengatur tentang pengadilan HAM yaitu UU No. 26 Tahun 2000. Artinya, pemerintah indonesia dalam proses pembentukan instrumen tersebut sangatlah terkesan mendadak dan terburu-buru. Sehingga kesan yang ditimbulkan ialah pemerintah seolah-olah bermaksudk untuk melindungi dan para pelaku pelanggaran HAM berat agar terhindar dari Mahkamah Pidana internasional. Kemudian apabila kita melihat ketentuan Pasal 7 dan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, jelas bahwa yang diakui sebagai pelanggaran HAM yang berat hanyalah pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik saja. Sedangkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Padahal apabila kita memperhatikan kebanyakan kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik yang terjadi di Indonesia, pada umumnya dilatarbelakangi oleh pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, seperti perampasan tanah-tanah masyarakat adat yang berujung penembakan terhadap masyarakat sipil, atau pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahan transnasional yang berujung penangkapan dan penyiksaan terhadap masyarakat sipil. Padahal Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui UU No. 11 Tahun 2005. Sehingga tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk tidak mengakui pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai pelanggaran HAM yang berat. Berdasarkan hal itu maka definisi pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur di dalam pasal 7, 8, dan 9 UU No. 26 Tahun 2000 sudah tidak layak lagi dan sudah seharusnya pasal-pasal tersebut direvisi dengan memperluas definisi pelanggaran HAM berat. Sehingga nantinya definisi pelanggaran HAM yang berat tidak hanya mencakup pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik saja, namun semua pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, budaya juga harus diakui sebagai bagian dari pelanggaran HAM yang berat. Faktor lain yang membuat UU No. 26 Tahun 2000 tidak efektif adalah pembatasan terhadap tugas dan wewenang Komnas HAM yang hanya dapat melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur di dalam Pasal 18, 19, dan 20 UU No. 26 Tahun 2000 (Ibid). Sehingga dalam praktiknya, seringkali hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dipatahkan pihak Kejagung yang di dalam undang-undang ini bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum. Sebenarnya, sebagai salah satu ‘produk’ reformasi yang sejak lama diperjuangkan, kehadiran Peradilan HAM cukup membawa angin segar bagi upaya penegakan HAM di tanah air, juga sekaligus sebagai bukti dan upaya agar indonesia bisa masuk kategori sebagai bangsa yang dianggap menghormati dan memberi apresiasi pada Hak Asasi Manusia. Hal ini mengingat track-record negara kita yang selalu terpuruk dalam hal penegakan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, ternyata pihak-pihak yang berusaha menghambat pelaksanaan yang konsisten dari UU Peradilan HAM juga tidak sedikit, mereka ada di semua sudut baik dikalangan legislatif, eksekutif/birokrasi, militer ataupun pihak yudikatif sendiri. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa permasalahan atau kelemahan dari Undang-undang Peradilan HAM itu bisa terdiri dari perundang-undangannya dan aparat pelaksana-nya sekaligus. kelemahan dari perundang-undangannya itu sendiri disebabkan oleh pengadopsian dari instrumen-instrumen internasional yang tidak lengkap dan terdapat kesalahan dalam penerjemahannya. DAFTAR PUSTAKA Undang-undang Undang-undang dasar 1945 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM Keppres Nomor 53 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Buku-buku Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jilid 1, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi. Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, 2005, cet. II, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara. Ihza Mahendra, Yusril, 2000, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia: Catatan dan Gagasan Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra, Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM. Mahfud MD, Moh, 2001, Politik Hukum Di Indonesia cet. Ke-2, Jakarta: Pustaka LP3ES. Manan, Bagir, 2006, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Bandung: P.T. Alumni. Wiyono, R, 2006, Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Jurnal, Makalah dan Internet Marzuki, Suparman, 2010, Politik Hukum Penyelesaian pelanggaran HAM Masa lalu:melanggengkan impunity, Jurnal Hukum, Vol. 17 NO.2, 2010: 3-4. Santoso, Budi, 2003, Evaluasi Kritis Atas Kelemahan UU Peradilan HAM, Makalah Disampaikan pada“Workshop Merumuskan Amandemen Undang-Undang Peradilan HAM’ yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII, Yogyakarta, pada tanggal 26 Agustus 2003. Progress Report pemantauan pengadilan HAM ad hoc Elsam ke-10, tanggal 28 Januari 2003.
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |