Dampak Sistemik : Menyeret berbagai pihak Dewasa ini, berbagai cara yang dilakukan mahasiswa selain melalui bag. pendidikan juga menyebabkan pihak-pihak lain ikut terlibat ke dalam pusaran permasalahan KRS. Pertama, ialah dosen. Siapa yang menampik bahwa salah satu dari kita mungkin pernah meminta (kadang disertai intimidasi) kepada dosen –entah dengan cara apapun- agar bagaimanapun caranya bisa menambah kuota di kelas ajarnya? Tentu salah satu dari kita pasti pernah melakukan cara yang demikian. Caranya, dengan meminta dosen ybs menulis memo tertulis ditujukan untuk bag Pendidikan atau PD 1 untuk menambah kuota kelas. Padahal, di satu sisi tentu kita sadar bahwa dosen bukanlah ‘panitia’ yang mengurusi ikhwal penambahan kuota dsb, dosen hanyalah pengajar yang ditugasi untuk melaksanakan perkuliahan pasca masa KRSan berakhir. Kedua, ialah menyulut perseteruan mahasiswa beda generasi. Siapa dari kita yang dapat mengelak bahwa kita pernah memojokkan salah satu orang / bahkan angkatan tertentu karena ia merupakan pihak yang –kita anggap- bertanggungjawab karena kelas yang ingin kita masuki ternyata penuh? Saya pastikan kita semua pernah melakukan hal yang demikian. Disinilah salah satu permasalahannya, bagi saya perseteruan mahasiswa yang sedang wajib ambil dengan mahasiswa “make up” dan mahasiswa yang “belum ambil makul” selalu terjadi tiap generasi ke generasi. Tak heran, selama bertahun-tahun saya kuliah disini, perseteruan antara kedua jenis mahasiswa ini selalu saja terjadi. Walaupun sebenarnya, Sistem KRS saat ini (2015) sudah dibuat sedemikian rupa untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa lama agar ‘cepat’ lulus melalui system penjadwalan input KRS yang didasarkan pada urutan angkatan teratas hingga angkatan terbawah. Namun fakta dilapangan sering berbicara lain, jumlah mahasiswa yang masih membutuhkan kelas dengan kuota yang diberikan per kelas ternyata belum sebanding. Biasanya, per kelas dengan kisaran jumlah kursi berkisar 40-50 mahasiswa menyediakan 10-20 kursi sebagai “jatah” khusus bagi angkatan lama. Akan tetapi, terkadang system inipun bagi saya belum dapat menyelesaikan masalah. Karena pada akhirnya norma “kebiasaan”lah yang akan dijadikan suatu panutan wajib. Mahasiswa lama kebanyakan lebih mengincar dosen yang mudah memberikan nilai A ketimbang memilih dosen yang mengharuskan mahasiswanya berjuang untuk mendapatkan nilai A. norma kebiasaan tersebut pun juga diamini oleh para mahasiswa baru yang sedang mengambil paket mata kuliah wajib. dampaknya, jika terjadi kuota penuh di suatu mata kuliah (yang kebetulan diampu oleh dosen murah hati). Salah satu alasan yang akan dijadikan justifikasi oleh mahasiswa baru kepada mahasiswa lama adalah “ini semua karena angkatan lama”. Sedangkan disisi lain, mahasiswa lama juga sangat membutuhkan mata kuliah tersebut untuk syarat kelulusan (make up atau belum ambil). Alasan yang digunakan mahasiswa lama agar bisa diadvokasi pun biasanya dapat dengan mudah saya tebak. Biasanya, mahasiswa lama menggunakan analogi (kepada mahasiswa baru) untuk dijadikan justifikasi. Analogi pertama “jika mahasiswa lama bisa segera ambil makul (tanpa ada masalah kuota), artinya mahasiswa lama bisa cepat lulus. Artinya, mahasiswa baru bisa dengan leluasa mengambil makul tanpa ada intervensi mahasiswa lama lagi”. Analogi kedua “mahasiswa baru mengalah saja, biarkan mahasiswa lama mengambil mata kuliah tsb. Karena, jika kalian mengalah, artinya kalian sudah memberikan kemudahan bagi mahasiswa lama agar cepat lulus”. Analogi tersebut juga disertai dengan sedikit intimidasi (agar mahasiswa baru mengalah). Biasanya praktik ini terjadi bukan secara langsung didunia nyata, namun terjadi lewat akun media sosial twitter,FB, dll. Kembali lagi, terkhusus bagi analogi kedua, bagi saya analogi tersebut justru membiarkan praktik -norma kebiasaan- tersebut tumbuh subur. Bayangkan, jika sekarang angkatan 2011 meminta angkatan 2012 utk mengalah. Kedepan angkatan 2012 juga akan meminta kepada angkatan 2013 untuk mengalah. Terus begitu, sehingga Norma kebiasaan tersebut akan Terus muncul hingga angkatan-angkatan seterusnya. Justifikasi tersebut terus menerus akan digunakan sebagai dalih. Yang pada akhirnya akan berdampak pada suburnya praktik senioritas dikalangan mahasiswa. Sebagian kalangan menganggap praktik senoritas adalah hal yang wajar. Bagi saya sendiri, jika senioritas tersebut digunakan dengan didasarkan pada nilai-nilai adat kesopanan dimasyarakat maka hal tersebut saya anggap wajar. Namun jika senioritas sudah dibumbui dengan sikap feodalisme dan pragmatisme? Tentu saja perlu saya tegaskan bahwa saya menentang keras! Toh, pada intinya ini hanya persoalan mengenai suatu mata kuliah. Mengapa bisa sampai berbuntut panjang pada senioritas kelewat batas? Ketiga, BEM/DEMA. pada saat saya aktif sebagai kepala deputi di BEM dan sebagai ketua bidang di DEMA, hampir dapat saya pastikan setiap semester (dimana masa KRSan sedang berlangsung) BEM maupun DEMA selalu saja dijadikan pihak yang dijadikan kambing hitam. Seringkali pernyataan-pernyataan dari luar selalu bernada sumbang dan memojokkan posisi BEM / DEMA. meskipun secara ketatanegaraan seharusnya BEM lah yang melaksanakan fungsi advokasi, namun “kaidah yang hidup” di FH UNS rupanya masih mengandalkan kedua organisasi ini tuk saling bahu membahu mengadvokasi mahasiswa. Karena itu, dalam tulisan ini saya tidak memasukkan unsur ketatanegaraan untuk membedakan BEM maupun DEMA sebagai pihak yang proaktif meng advokasi mahasiswa. Namun sebelum saya melanjutkan lebih lanjut, ada baiknya saya perlu menegaskan satu hal. Bahwa BEM / DEMA yang saya maksud disini ialah didasarkan pada kondisi saat saya menjabat sebagai BEM & DEMA atau bahasa sederhananya BEM & DEMA yang benar-benar bekerja meng-advokasi mahasiswa. Meskipun terlepas dari kekurangan-kekurangan BEM & DEMA pada periode saya terdahulu, namun saya merasa bahwa periode saya (BEM FH UNS 2012-2013) masih lebih baik dan manusiawi dalam mengadvokasi. Bukan seperti BEM & DEMA periode 2015 saat ini yang cenderung “lari dari tanggungjawab” untuk mengadvokasi mahasiswa. Bagi saya (terlepas dari substansi tulisan polemik KRS ini) BEM & DEMA periode 2015 ini betul-betul sangat mengecewakan terkait keproaktifannya dalam mengadvokasi mahasiswa. ---- Kembali lagi, pada umumnya beberapa pernyataan-pernyataan (yang bagi saya tergolong caci maki) tersebut kebanyakan dialamatkan kepada BEM / DEMA jika advokasi tidak berjalan lancar. Maksudnya jika ternyata (setelah) diadvokasi jumlah kuota tidak bertambah, kebanyakan mahasiswa malah justru mencaci maki BEM / DEMA. padahal kita seharusnya mengerti bahwa sulitnya menambah kuota tsb dikarenakan: pertama, kondisi fisik kelas yang tidak memungkinkan (mis: kuota kursi kelas=40 mhs, sedangkan yang menginginkan kelas tsb=100 mhs); kedua, adanya penolakan dari dosen pengampu untuk menambah kuota karena alasan “tidak kondusif”nya kelas jika lebih dari 40 mhs; ketiga, jumlah fisik kelas di FH tidak sebanding dengan jumlah semua mahasiswa FH; keempat, adanya faktor X yakni: kelas lain masih ada kuota kosong, tetapi mahasiswa ybs tidak mau masuk ke kelas lain tsb karena faktor dosennya galak,pelit nilai,dsb; dan kelima, mahasiswa “hanya menginginkan” kelas tsb karena dosen di kelas tsb sangat baik dalam memberi nilai. Akan tetapi tetap saja, kebanyakan mahasiswa seakan tidak memperdulikan faktor-faktor yang demikian dan cenderung menyalahkan pihak-pihak yang tidak berhasil membantunya. Salah satunya adalah BEM & DEMA. Rantai Masalah Yang Sulit Dihindari Sudah sekian lama berbagai solusi telah dilakukan oleh berbagai pihak guna mengatasi ‘kemelut KRS’. Solusi-solusi tersebut mulai dari: (i) pemberlakuan sistem terjadwal input KRS per angkatan; (ii) menambah kuota kelas maks 10-20 mhs dari total kuota awal per makul; (iii) memberlakukan waktu khusus revisi KRS selama 2 hari; (iv) memberlakukan sistem ‘wajib lapor’ ke bag Pendidikan jika mahasiswa ingin menghapus mata kuliah; dsb. Meskipun demikian, pada praktiknya polemik KRS ini tetap tidak bisa diatasi dengan mudah. Mekanisme standar input KRS versi normatif sebagaimana telah dijelaskan di buku pedoman akademik adalah: (i) input KRS per angkatan; (ii) pengesahan KRS ke PA; (iii) menyerahkan masing-masing KRS ke bag. pendidikan & PA. Namun, jika kita mencoba melihat dari sudut pandang kita sebagai mahasiswa.dari segi yang lebih luas, Sebenarnya banyak langkah-langkah yang harus kita lalui terlebih dahulu agar kita bisa sukses input KRS. untuk menyederhanakannnya, saya akan membahas terlebih dahulu step-by-step input KRS berdasarkan golongan mahasiswa lama dan mahasiswa wajib ambil.
Berkaca ke enam poin tersebut, saya berani menyimpulkan bahwasanya sistem siakad dewasa ini untuk pengambilan SKS masih tergolong belum rapih. Masih terdapat banyak celah-celah disana sini sehingga memungkinkan lahirnya sebuah masalah baru. Contohnya saja : mafia jual-beli SKS dengan oknum mahasiswa yang marak terjadi saat KRSan berlangsung. Disamping itu, jika ditelusuri lebih dalam. Sebenarnya akar permasalahannya sudah acap kali di perdebatkan oleh mereka yang “mengerti sistem” dengan pihak fakultas. Misalnya, mengapa jumlah mahasiswa per tahun selalu bertambah, jumlah fisik kelas untuk strata-1 pun juga tidak sebanding dengan jumlah semua angkatan mahasiswa FH UNS, ratio jumlah dosen pengampu dan jumlah mahasiswa juga tidak sebanding, dsb. Namun sayangnya, pihak fakultas sering menyanggah pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut. Berdasarkan pengalaman saya, saya pernah bertanya kepada pak yunanto selaku kasubbag UMKAP pada oktober 2014 ikhwal polemik KRS ini. Awalnya, saya bertanya mengenai sarana prasarana FH UNS yang cenderung tidak terpelihara dan jauh dari kesan world class university. Singkat cerita pertanyaan saya pun mulai mengarah mengapa jumlah mahasiswa terus bertambah padahal jumlah kelas & dosen belum seimbang. Yang saya ingat, jawaban dari pihak fakultas pun juga seolah tumpang tindih dengan perintah dari pusat (univ). Padahal, pihak fakultas menyadari bahwa jumlah mahasiswa memang tidak sebanding dengan jumlah kelas dan jumlah pengajar. Lalu, Pada saat itu, pihak fakultas menjawab kepada saya bahwa jumlah mahasiswa per angkatan tidak mungkin bisa dikurangi dari total jumlah >400 mhs. Pada saat itu ia mencontohkan angkatan 2014 yang baru saja masuk tahun-tahun belakangan ini. Seingat saya, ada dua alasan yang melatar belakangi ucapannya, pertama, untuk mengamankan jaring fiskal universitas. Karena SPP mahasiswa baru atau UKT (uang kuliah tunggal) yang disetor mahasiswa baru tiap semester, masuk ke kategori PNBP (penerimaan negara bukan pajak). Lebih lanjut, ia mengatakan SPP mahasiswa akan kembali lagi kemahasiswa dalam bentuk berbagai macam. Contohnya pembiayaan kegiatan-kegiatan mahasiswa, pemeliharaan sarana-prasarana, dll; kedua, alasan mengapa jumlah mahasiswa banyak adalah karena dari kemendikbud telah menegaskan bahwa tiap-tiap PTN diharuskan menjaring sebanyak-banyaknya mahasiswa baru untuk masuk ke PTN tersebut (sebenarnya ada nominal khusus berapa jumlah mahasiswa baru di suatu PTN yang disebutkan oleh pihak fakultas, tetapi saya lupa berapa angkanya). Harapannya, jika mahasiswa banyak maka akan sebanding dengan jumlah karya ilmiah yang akan dihasilkan mahasiswa S1 di UNS. Berangkat dari jawaban atas pertanyaan saya kepada pihak fakultas tersebut, saya menyimpulkan bahwa rantai masalah KRS ini belum ada solusinya. Artinya, Selama jumlah mahasiswa – jumlah pengajar – dan jumlah kelas belum sebanding, maka polemik KRS selalu akan terulang dari generasi ke generasi. Penutup Bak sebuah mata rantai ekosistem, sistem KRS bagi saya sangat sulit untuk dicarikan jalan keluarnya. Anomali Hukum alam : “Yang kuat yang menang” akan selalu jadi panglima dikalangan mahasiswa selama masa KRSan berlangsung. Bagi mereka yang “kurang beruntung”, otomatis kekalahan tersebut akan berdampak sistemik di pola pikirnya. Ruang-ruang distorsi (memutar balikkan sebuah fakta) akan selalu hidup ditengah sekat-sekat otak kita selama KRSan berlangsung. Si pintar (karena nilai) dan di bodoh (karena proses) selalu bisa kita jadikan sample selama kita menjadi mahasiswa. Kita pun berlomba-lomba agar bagaimanapun caranya kita bisa menjadi si pintar agar cepat lulus. Proses lagi-lagi tidak kita jadikan sebuah prioritas. Orientasi menggapai tujuan akan “hasil bagus” tanpa memperdulikan proses akan terus dijadikan justifikasi terkuat oleh mahasiswa. Karena hasil bagus akan dengan mudah membungkam orang tua kita. Dan hasil bagus juga bisa dijadikan amunisi untuk kita agar cepat mendapat kerja. Padahal entah bagaimana prosesnya (?). Yang penting IPK bagus. Nilai bagus juga bisa kita jadikan modal untuk pergaulan sosial : untuk pamer ke teman-teman, famili hingga digunakan untuk menindas mereka, kawan kita sendiri yang IPK nya rendah. Belum lagi jika didalam masa perkuliahan kita bertemu mereka. Ya, Mereka si kaum marjinal (terpinggirkan) : yakni mahasiswa yang lama lulus karena ia memperdulikan proses ketimbang hasil. Dapat saya pastikan ia akan semakin dijadikan si-bodoh. Stereotip negatif ini akan terus melekat kepada ia. Tak perduli seberapa keras ia menempa diri untuk sebuah proses. Semua turbulensi distorsi dan anomali ini akan selalu merajai alam bawah sadar kita. Kesalahan-kesalahan cara berfikir ini selalu kita diamkan. Keberanian akan melawan kesalahan-cara-berfikir ini seolah semakin absurd jika mau diperbicangkan zaman ini. Melalui tulisan ini saya mencoba mengajak berfikir anda. Apakah anda juga adalah salah satu dari yang saya sebutkan diatas? Beranikah kita memulai berbenah diri? Jika sudah demikian, Ingatkah kita akan pesan Thomas Hobbes bahwa : “Manusia Adalah Serigala Bagi Manusia Yang Lain” (?) Solo, tulisan dibuat dari tanggal 26-28 Feb 2015
Selesai pada 28 Feb pukul 19.52 WIB
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |