Oleh: M. L. Aldila Tanjung., S.H., C.C.D * Polemik dan perdebatan mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) buat saya mencapai antiklimaks pasca dijatuhkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (“Putusan MK 91”) atas UU Cipta Kerja. Kita ingat betul, setelah disahkannya UU Cipta Kerja ini dalam rapat paripurna pada tanggal 5 Oktober 2020, aksi demonstrasi ribuan mahasiswa, buruh, dan aktivis pergerakan seantero negeri seolah menyelimuti UU yang super-kontroversial ini. MK yang sebelumnya diharapkan dapat melakukan penafsiran konstitusional secara adil dan tegas, rupanya mengambil jalan tengah yang menimbulkan pekerjaan rumah baru: inkonstitusional bersyarat. Istilah yang baru dikenal sejak MK berdiri. Pertama-tama saya perlu mengapresiasi Putusan MK 91 ini. Perlu diketahui, Putusan MK 91 ini adalah putusan pertama yang ‘berani’ menyatakan sebuah UU cacat formil atau dalam bahasa hukum disebut sebagai inkonstitusional secara bersyarat. Dengan adanya putusan ini, MK telah mengakui bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja ini memang ‘bermasalah’. Saya pernah menulis betapa buruknya proses pembuatan UU Cipta Kerja ini, salah satunya mengenai RUU yang tidak pernah jelas mana versi yang paling final. Dari versi pertama sejumlah 905 halaman tanggal 5 Oktober, versi kedua 1.052 halaman di tanggal 9 Oktober, versi ketiga 1.035 di tanggal 12 Oktober pagi, versi keempat 812 halaman pada 12 Oktober malam dan terakhir versi kelima berjumlah 1.187 halaman. Saya ulangi, lima versi RUU dan itu semua berbeda-beda jumlah halaman maupun substansinya. Padahal RUU yang final merupakan bentuk pertanggungjawaban tertinggi pemerintah dan DPR dalam membentuk produk hukum yang kelak akan berdampak ke hajat hidup orang banyak sebagaimana tercantum dalam pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945. Masyarakat dapat membaca draf final dan membandingkannya dengan UU lama yang dirubah, dihapus dan ditambah sehingga ruang dialektika dalam arti positif dapat hidup. Namun sayangnya, harapan berbanding terbalik dengan realita. Ini diakui oleh MK dalam pertimbangannya di paragraf 3.17.6. Saya tentu tidak alergi terhadap konsep omnibus law, di tahun 2019 saya pernah menulis bahwa konsep ini merupakan salah satu bentuk transplantasi hukum yang sangat progresif jika diterapkan mengingat kondisi Indonesia yang telah diakui oleh MK dalam Putusan MK 91 disebut sebagai ‘obesitas regulasi’ telah sampai pada fase yang sangat mengkhawatirkan. UU Cipta Kerja sendiri berhasil mengubah dan mencabut 1.228 pasal dalam 79 Undang-Undang ke dalam 1 Undang-Undang. Pencapaian memuaskan ini seolah membenarkan adagium: ‘hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum’. MK sendiri dalam Putusan MK 91 membenarkan inovasi ini. Persoalan Ketidakpastian HukumYang sangat saya persoalkan -dan banyak masyarakat tentunya- sekali lagi adalah soal proses pembentukannya yang menabrak ketentuan dan kaidah hukum (disebut sebagai formil) dan juga substansi dari UU tersebut (disebut sebagai materiil). Guna memudahkan, saya biasa menjelaskan dengan analogi: “bagaimana bisa menikmati sebuah makanan lezat jika ‘memasak’nya saja dengan cara yang salah”. Berangkat dari analogi dimaksud, mengapa saya cukup lantang menolak kehadiran UU Cipta Kerja ini begitu saya mengetahui bahwa proses pembentukannya sangat bermasalah. Bukan berarti seolah orang-orang hukum ini kaku dan tidak fleksibel, namun prosedur pembentukan produk hukum atau lawmaking process adalah nyawa/ruh dari substansi dari produk hukum itu sendiri. Jika proses pembentukannya saja sudah cacat prosedur, saya kira sangat beralasan jika produk hukumnya juga turut cacat secara substansi. Perlu diketahui, merujuk pada pengaturan dalam UUD 1945, pembentukan UU (lawmaking process) adalah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan dan saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu (i) pengajuan RUU; (ii) pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, begitu juga dengan DPD jika bertalian dengan wewenang DPD; (iii) persetujuan bersama antara DPR dan Presiden; (iv) pengesahan RUU menjadi UU; dan terakhir (v) pengundangan. Dari kelima lawmaking process ikhwal pengaturan pembentukan sebuah UU di atas, saya mengapresiasi betul MK yang berani untuk mengukur dan mempertimbangkan setiap tahapan dan standar secara akumulatif sebagaimana diurai dalam pertimbangan MK butir 3.17. Dalam pertimbangannya, jika minimal satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah UU dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya. Dan MK telah melakukan ini meski putusan yang diwarnai dengan perbedaan pendapat (dissenting opinion) -sebagai informasi, 4 dari 9 Majelis Hakim MK berbeda pendapat-. Namun dari Putusan MK 91 ini, saya melihat ada persoalan ‘baru’ yang muncul, yakni perihal efek ketidakpastian hukum yang diciptakan dari vonis ini. Misalnya dalam pertimbangan MK pada butir 3.19 yang menyatakan jika UU Cipta Kerja dinyatakan cacat secara formil namun pada butir 3.20 berikut sub-butirnya, MK seolah menolak pertimbangannya sendiri agar UU Cipta Kerja dibatalkan pada kesempatan pertama dengan dalih: (i) telah banyak dikeluarkan peraturan pelaksana; (ii) telah banyak diimplementasikan ke tataran praktik dan (iii) menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan. Ketidakpastian hukum versi saya justru nampak dari akibat dari pertimbangan-pertimbangan tadi, misalnya dalam pertimbangan MK butir 3.20.2 dan 3.20.3 dan tersirat dalam amar putusan, ada empat poin yang perlu digarisbawahi: (i) MK memberi kesempatan untuk memperbaiki UU Cipta Kerja berdasarkan cara yang benar selama 2 tahun, jika tidak diperbaiki maka UU Cipta Kerja inkonstitusional secara permanen; (ii) jika tidak diperbaiki dalam 2 tahun, maka seluruh ketentuan yang dicabut atau diubah dalam UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali; (iii) MK memerintahkan agar dibentuk landasan hukum yang baku sebagai dasar dari pembentukan UU dengan model ‘omnibus law’; dan (iv) MK memerintahkan agar selama 2 tahun tersebut, peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada UU Cipta Kerja yang secara formil telah inkonstitusional bersyarat. Yang menjadi fokus saya untuk menyatakan Putusan MK 91 ini kontroversial dalam arti menimbulkan efek dahsyat berupa ketidakpastian hukum disini ialah: Pertama, bukankah dengan Putusan MK 91 yang menyatakan UU Cipta Kerja ini cacat formil, maka dengan sendirinya UU ini tidak memiliki kekuatan hukum? Lalu mengapa MK perlu memberi tenggang waktu 2 tahun agar pembentuk UU dapat memperbaiki dan mengakomodir masukan masyarakat? Apakah ini merupakan bentuk ketidaktegasan alih-alih ‘mencegah’ ketidakpastian hukum? Padahal berdasarkan pendapat Prof. Jimly Asshidiqie, jika prosedur formil terbukti secara sah dan meyakinkan cacat hukum, maka secara materiil UU ini seharusnya dengan sendirinya batal demi hukum. Namun nyatanya MK tidak mengkualifikasi pelanggaran prosedur sebagai pelanggaran yang amat parah. Mengutip apa yang disampaikan Prof. Denny Indrayana pada pendapatnya: Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Cipta Kerja, dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang telah dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku. Kedua, dalam pertimbangan hukum dan amar ke-7 vonis, MK menyatakan jika “peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu” kemudian dilanjutkan dengan klausula bridging selanjutnya yang berbunyi “termasuk tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada UU Cipta Kerja yang secara formil telah inkonstitusional bersyarat”. Jika dibedah lebih lanjut, terdapat 2 instruksi MK: (a) peraturan pelaksana ditangguhkan terlebih dahulu; dan (b) tidak dibenarkan jika pemerintah melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas. Yang menjadi soal berikutnya bagi saya adalah, bukankah perintah MK pada huruf a di atas seolah tegas namun sebenarnya tidak? Dalam artian, untuk apa MK memberi saran penangguhan melalui frasa ‘agar’ padahal dalam putusannya, MK menyatakan sudah terbukti secara sah dan meyakinkan terdapat cacat formil dalam UU Cipta Kerja (ketentuan yang lebih tinggi), lalu untuk apa MK masih memberi saran kepada pemerintah untuk menangguhkan peraturan pelaksana yang sudah diundangkan misalnya Peraturan Pemerintah (“PP”) No. 34, 35 dan 36 tahun 2021. Kemudian masalah lain bagi saya yaitu frasa ‘strategis dan berdampak luas’, menjadi aneh jika ukuran dari frasa tadi tidak dijelaskan oleh MK. Padahal, UU Cipta Kerja merupakan UU dengan tingkat kompleksitas tinggi yang mengubah dan mencabut 78 UU lama, ini dikuatkan dengan pasal 4 UU Cipta Kerja yang mengatur bahwa “… Undang-Undang mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja..” sehingga bukankah setiap aturan pelaksana dari UU Cipta Kerja merupakan sebuah aturan yang bersifat ‘strategis dan berdampak luas’? mengutip apa yang disampaikan oleh Prof. Denny Indrayana, Putusan MK 91 ini merupakan tabrakan logika yang serius. Bagaimana bisa MK menghadirkan logika amar putusan yang saling bertabrakan demikian? Ketiga, mengapa Putusan MK 91 ini berbeda ‘standarnya’ dengan putusan MK mengenai judicial review secara formil perubahan UU KPK dan perubahan UU Minerba yang terbukti minimnya ruang partisipasi publik, super kilat dan penuh pasal titipan dalam proses pengundangannya. Bukankah disparitas antara hasil putusan antara UU Cipta Kerja dan kedua UU tersebut teramat jauh? Sebab jika menggunakan logika pertimbangan dan amar yang sama dengan Putusan MK 91, seharusnya perubahan UU KPK dan perubahan UU Minerba dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Apakah ada putusan seperti ini di negara lain?Di belahan bumi lain, tindakan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan sebuah UU karena cacat formil rupanya pernah dilakukan oleh MK Afrika Selatan pada tahun 2006 dalam perkara yang disebut sebagai ‘Doctors for Life’. Diketahui Afrika Selatan pada tahun 2004 s.d. 2005 mengundangkan 3 produk hukum di bidang kesehatan, ketiga produk ini telah dibuat dengan mengabaikan prinsip-prinsip pembuatan pengundangan yang baik (the role of the public in the law-making process). Setelah melalui rangkaian sidang yang melelahkan, MK Afrika Selatan kemudian menyatakan dalam putusannya jika ketiga UU tadi bertentangan dengan konstitusi. Mengutip artikel Stephen Gardbaum berjudul ‘Pushing the Boundaries: Judicial Review of Legislative Procedures in South Africa’, MK Afrika Selatan banyak mengintervensi proses legislasi termasuk membatalkan undang-undang dengan alasan pelanggaran prosedural – yang menurut pendapat Stephen Gardbaum merupakan langkah yang tepat. Alasannya, dalam situasi khususnya ketika asas pemisahan kekuasaan tidak berjalan normal (legislatif gagal mengawasi eksekutif), maka intervensi oleh pengadilan terhadap proses legislasi menjadi memiliki sebuah legitimasi. KonklusiJika membaca situasi kekinian, terdapat dua kubu yang berbeda pendapat. Satu pihak berpandangan UU Cipta Kerja masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun. Pihak lain berpendapat UU Cipta Kerja tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali. Menengahi dua pendapat itu, karena mencari kompromi yang justru terjebak menjadi tidak tegas, putusan MK senyatanya harus dimaknai sebagai putusan yang menimbulkan multi tafsir apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak. Namun apapun itu alasannya, Putusan MK 91 ini sudah final dan berkekuatan hukum tetap (final and binding) dan mau tidak mau, suka tidak suka harus dihormati meski dalam lubuk hati terdalam, harapan agar Putusan MK Indonesia tampil seperti Putusan MK Afrika Selatan yang 'tegas' membatalkan 3 UU sekaligus telah terkubur. Maka sekarang, kita perlu fokus terhadap solusinya, yaitu untuk pembuat undang-undang (Presiden, DPR, dan DPD) untuk segera melakukan perubahan atas Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangan yang dapat mengadopsi metode omnibus law, sehingga UU Cipta Kerja bisa sah secara formil karena sudah ada landasan hukumnya. Lebih penting lagi, secara substansi (materiil), UU Cipta Kerja juga harus sesuai dengan aspirasi kepentingan publik, bukan mengabdi pada kepentingan investor atau golongan-golongan tertentu yang menegasikan kedaulatan rakyat sebagai pemilik tertinggi Republik ini. Sementara kita, rakyat Indonesia selaku pemegang mandat tertinggi Republik ini sekaligus sebagai pihak yang diatur dalam UU Cipta Kerja ini hanya perlu menunggu dan melihat perkembangan serta mengkritisi jika prosesnya tidak sesuai dengan kehendak konstitusi. Kita amati bersama, apakah DPR dan Presiden amanat terhadap Putusan MK 91 atau tidak selama 2 tahun kedepan. Biarlah waktu yang membuktikan sebelum rakyat mengembalikan keadaan. ---- e n d ------ * Pria minang yang mencintai dunia Hukum. Selain meniti karir Hukum di sektor Perbankan, ia juga tergabung sebagai anggota PAHKI (Perkumpulan Ahli Hukum Kontrak Indonesia).
** Pernyataan sanggahan: Publikasi ini dimaksudkan untuk tujuan edukasi dan bukan merupakan saran Hukum. Setiap pandangan yang tertuang merupakan pandangan pribadi dan tidak mewakili badan maupun organisasi manapun. Setiap penggunaan materi yang terkandung di dalamnya adalah risiko pembaca sendiri dan penulis dibebaskan dari segala risiko hukum yang mungkin timbul dikemudian hari.
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |