Oleh: M. L. Aldila * Tulisan kali ini saya dedikasikan untuk situasi bangsa yang belakangan kian mencekam terhitung sejak penyelenggaraan pilpres 2019 dimulai. Bahwa perpecahan di tengah masyarakat bagi saya sudah mulai masuk ke fase yang mengkhawatirkan. Sebelum lebih jauh tenggelam dalam tulisan ini, izinkan saya memberikan disclaimer terlebih dahulu. Tulisan ini barangkali akan sedikit menyinggung anda apabila anda merupakan fanatik garis keras terhadap isu agama, calon presiden tertentu atau bagi anda yang tidak mampu menerima pendapat orang. Sebab setiap ide yang tertuang dalam tulisan ini murni didorong dari alam bawah sadar saya, anda sangat boleh sependapat dengan ide tersebut atau justru tidak sama sekali. Saya yang kebetulan berlatar belakang pendidikan hukum adalah sampel tentang bagaimana mekanisme akal saya dibentuk untuk bersikap objektif dan berusaha mengintegrasikan adagium 'seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan' ciptaan Pramoedya A. Toer ketika saya memandang suatu kasus atau peristiwa hukum. Maka tidak heran dalam beberapa kesempatan, tidak jarang saya berseberangan pendapat dengan para rekan sejawat, kawan, kerabat, atasan dan bahkan keluarga saya sendiri. Karena selayaknya saya bersikap seperti seorang hakim, meskipun sangat sulit namun sikap adil hendaklah kita produksi terus menerus sejak dalam pikiran. Kata ‘seharusnya’ sebagaimana terdapat dalam judul tulisan ini wajib dipahami sebagai pandangan saya pribadi. Semua orang bebas menafsirkan pandangannya terhadap bagaimana seharusnya kita memandang sebuah perbedaan, tapi kali ini giliran saya yang manggung dan anda wajib menonton pertunjukan dan menikmati kudapan dari saya. "Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan" -Pramoedya A. Toer **** Terus terang saya tergelitik membaca tajuk opini dari tulisan wartawan CNN Indonesia, Arif Hulwan Muzayyin dalam salah satu tulisannya. Dalam tulisan berjudul ‘grup WA keluarga, hoaks soal Jokowi dan lebaran 2019’, ia berhasil memaparkan betapa mengerikannya propaganda yang di desain sedemikian rupa melalui grup WA keluarga. Tergelitiknya saya juga karena dipengaruhi kenyataan pahit bahwa orang tua saya juga adalah salah dua korban dari kedahsyatan masifnya propaganda modern ini. Saya sebut korban karena orang tua saya berhasil membenci paslon lawan sepaket dengan para pembela-pembelanya. Masih menurut tulisan tadi, situasi perpecahan demikian dijelmakan dalam Istilah firehose of falsehood / FoF (semburan dusta) yang diciptakan pada 2016 oleh Christoper Paul dan Miriam Matthews dari Rand Corporation. Prinsipnya, FoF memiliki ciri suara yang berisik atau pesan yang bising; berulang; terus-menerus lewat banyak saluran; tidak punya kesetiaan pada objektivitas dan tidak konsisten. Strategi yang berhasil mengantarkan Trump menang pilpres di Amerika Serikat dan Brexit di Inggris. Dalam riuhnya pilpres 2019, sosial media merupakan sarana yang paling berperan penting dalam menyebarkan virus perpecahan. Untuk kali ini, fokus saya adalah media WA yang merupakan sarana ‘akar rumput’ paling membumi di Indonesia setidaknya sampai tulisan ini saya tulis. Saat masa kampanye, ibu dan ayah saya termasuk jurkam (juru kampanye) militan yang mensyiarkan pesan-pesan broadcast WA mengenai heroisme paslon 02 yang dominan berbumbu agama. Sayangnya jika diperhatikan, narasi yang timbul tidak jauh dari penggambaran situasi di ambang kehancuran jika negara dipimpin paslon 01, sampai-sampai ilustrasi bahwa pilpres dianggap sebagai medan pertempuran dimana umat muslim diminta memilih, surga / neraka. Pun demikian dengan paslon 01 terhadap 02 di media sosial lain, saya melihat dan membaca betapa narasi yang digaungkan tidak jauh berbeda dengan narasi 02 dari tentang perundungan pribadi yang sama sekali tidak ada kaitan secara langsung dengan pilpres sampai olok-olok yang tidak substantial mengenai program-program yang akan diusung 02. Fakta bahwa siapa dan apa latar belakang mereka yang menyebarkan ujaran kebencian atau berita bohong kampanye kedua paslon patut juga tak kalah penting untuk dibahas. Mereka yang bergelar akademis mentereng, jabatan wah di suatu instansi, sampai profesi-profesi penuh wibawa justru turut andil dalam memperlebar jurang perbedaan yang berujung pada pertikaian. Padahal sebagai seorang professional yang ahli di bidangnya masing-masing, sudah sepantasnya kewajiban bersikap bijaksana itu dijalankan. Mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah, Komarudin Hidayat dalam keterangannya menjelaskan bahwa berita bohong hadir dari sikap mental yang mengesampingkan integritas, apalagi jika hoax yang muncul mengatasnamakan agama. Jahatnya, apabila dibiarkan hoax dapat berujung pada pembunuhan karakter seseorang bahkan dalam beberapa kasus langka, benar-benar membunuh nyawa seseorang. "Berita bohong hadir dari sikap mental yang mengesampingkan integritas, apalagi jika hoax yang muncul mengatasnamakan agama" -Komarudin Hidayat Tengok misalnya, kasus berita bohong Ratna Sarumpaet yang di goreng habis-habisan oleh kedua paslon sampai ke para pendukung masing-masing di akar rumput. Andai Ratna tidak mengaku, saya meyakini pertikaian akan masuk ke fase yang lebih serius. Di India, kebencian yang dipicu oleh berita bohong via grup WA pernah sampai pada titik nadir terendah. Kasus bermula dari penyebaran potongan video iklan tentang penculikan anak, isu yang sejak semula sudah dipastikan kepolisian setempat sebagai berita hoax justru diblow up terus menerus oleh media mainstream hingga menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat. Buntutnya, beredar pesan berantai di WA grup tentang hilangnya puluhan anak kecil secara misterius dan ditemukan beberapa mayat anak kecil yang organ tubuhnya sudah tidak utuh. Tak berapa lama kemudian, hoax tadi berakhir menjadi kasus pembunuhan seorang pria yang dituduh massa sebagai penculik anak. Dan anda harus tahu, ia dibunuh dengan metode yang sebaiknya tidak saya utarakan disini karena terlalu sadis dan mengerikan.
Baik dari kasus Ratna Sarumpaet atau kasus pembunuhan di India tadi, kita dapat menarik benang merah utama yang membentang. Bahwa berita bohong dapat menimbulkan perpecahan. Sementara berawal dari perpecahan, seseorang mampu bertikai satu sama lain. Dan akar dari unsur-unsur yang sudah saya sebutkan tadi adalah: perbedaan. Sampai pada titik ini, timbul satu pertanyaan mendasar: apakah sedemikian bencinya kita terhadap suatu perbedaan? Kecenderungan untuk membenci Saya hidup di lingkungan yang multikultural sedari kecil. Meski lahir dan dibesarkan di keluarga minang tulen -yang dikenal begitu islami, namun saya sudah merasakan bergaul dan bersosialisasi dengan masyarakat lintas agama dan budaya. SD sampai SMP saya di Jakarta, SMA di Bandung dan Pendidikan Tinggi saya di Solo. Di semua lini Pendidikan saya pasti bergaul dengan mereka yang sama sekali berbeda dengan saya. Yang paling membekas dalam ingatan, saat saya di Solo misalnya, saya memiliki teman dekat yang kebetulan beragama Kristen dan memiliki kultur budaya Jawa tulen. Bersamanya saya banyak berdiskusi mengenai pandangan ia terhadap Islam dan begitu juga sebaliknya. Diskusi sehat tersebut tidak sedikit telah mempengaruhi cara pandang saya terhadap kehidupan keberagaman di Indonesia. Tentang bagaimana ia diperlakukan tidak adil oleh muslim di daerahnya, pandangannya terhadap kelompok islam radikal, ketakutan saat ia beribadah, sampai pada tindakan mengerikan oknum muslim di daerahnya yang meracun beberapa anjingnya yang begitu ia sayangi. Perilaku kebencian terhadapnya (seharusnya) telah membentuk kepribadiannya agar membenci muslim, tapi ia memilih tidak melakukan itu. Alih-alih membenci, ia justu mengaku telah memaafkan perbuatan mereka. Seperti yang diucapkan Jusuf Hamka, pengurus Wihara Dharma Bakti di Petak Sembilan, Jakarta Barat dalam liputan BBC Indonesia berjudul ‘Wihara sajikan buka puasa gratis di bulan Ramadan’ bahwa minoritas harus merangkul mayoritas. Baginya yang Indonesia perlukan persatuan dan kesatuan tanpa embel-embel pribumi dan non-pribumi. Sungguh, menyimak perilaku penuh toleransi tadi telah membuat hati saya bergetar dan terharu bahwa nyatanya masih ada orang-orang yang merawat keberagaman Indonesia di tengah memanasnya situasi politik identitas belakangan ini.
Kehidupan multikultural saya belakangan sayangnya berubah pasca keberadaan saya di lingkungan yang homogen agama. Sebagaimana kita ketahui, setiap dimensi kehidupan selalu memiliki ruang terang dan gelap. Belakangan saya menikmati situasi pendalaman agama islam yang konsisten karena memperdalam keimanan saya, namun saya tidak menikmati dan cenderung mengecam mengapa kita rela melabelisasi orang-orang yang berbeda dengan kita dengan sebutan-sebutan yang menurut perkembangan zaman kekinian malah digunakan untuk menyuburkan kebencian?. Kafir contohnya, semua muslim paham istilah tersebut tercantum dalam ayat suci dan tidak dapat digantikan. Namun tengok keadaan kekinian dimana istilah tersebut buat saya justru lebih pas digunakan sebagai suatu pembenaran atas kebencian kita terhadap seseorang / sekelompok orang. Saya seolah (kembali) diingatkan tentang istilah Pribumi & Non-Pribumi, PKI & Non-PKI dan seolah (kembali) diingatkan untuk bersikap hipokrit terhadap orang / sekelompok orang yang kebetulan berbeda dengan saya. Tentang bagaimana saya mengagung-agungkan kelompok saya dan tentang bagaimana saya menjatuhkan orang / kelompok orang karena cara pandang mereka yang berbeda dengan saya di belakang mereka. Terhadap hal yang demikian, saya harap anda setuju bahwa pemikiran tersebut sesungguhnya telah menyuburkan praktik intoleransi yang belakangan mengokoh seiring dengan menguatnya poros politik identitas (khususnya islam) di tatanan nasional. "Penguatan poros politik identitas islam sayangnya tidak dibarengi dengan niat mempersatukan bangsa dalam perbedaan (unity in diversity)" Penguatan poros politik identitas islam sayangnya tidak dibarengi dengan niat mempersatukan bangsa dalam perbedaan (unity in diversity), tengok betapa identitas putih-putih (baju koko / gamis) menjadi tren kekinian baru yang mirisnya digunakan untuk menggerakan mobokrasi (gerombolan orang yang tidak teratur dan tidak tahu seluk-beluk pemerintahan) demi kepentingan demonstrasi. Tengok betapa aksi-aksi besar dengan ciri khas angka telah menebar kebencian begitu mendalam terhadap perbedaan. Tengok bagaimana sepak terjang para tokoh-tokoh organisasi islam garis keras (HTI, FPI, GNPF MUI, dll) dalam menggiring massa alumni aksi angka-angka menjadi suatu system terkoordinir non-politik yang siap ‘pasang badan’ membentuk suatu opini yang memecah belah kerukunan bangsa. Atau tengok kembali berita BBC Indonesia yang mengerikan pada bulan Mei 2017 tentang segerombolan anak-anak yang diajarkan dan diperalat meneriakkan yel-yel ‘bunuh si Ahok’ saat pawai obor menyambut Ramadan. Kesemua peristiwa tadi mestinya dapat dipahami bahwa lonceng perpecahan sudah dibunyikan sejak lama. Meski saya tidak mengesampingkan serangkaian kesalahan Ahok, tetapi harus saya akui tensi politik islam nasional begitu menguat -dan mirisnya disalahgunakan pasca dipicu kasus Ahok.
Saya kira saya bukan orang yang tepat jika mengutip atau mendalilkan suatu kutipan ayat suci maupun pandangan para ulama karena keterbatasan kompetensi agama saya -yang saya akui sangat rendah. Tetapi yang perlu saya tegaskan adalah islam yang saya anut adalah islam yang satu kesatuan dengan istilah rahmatan lil’alamin yang memiliki makna kasih sayang / agama yang mengajarkan kasih sayang. Sejauh ini saya sangat sependapat dengan pandangan seorang pengasuh pondok pesantren Al-Fatah, ustad Arif Nur Safri dalam liputan BBC Indonesia, bahwa adalah hal lumrah jika manusia memiliki kecenderungan untuk memusuhi apa yang mereka belum pahami atau memiliki kecenderungan memusuhi suatu hal yang berbeda. Untuk mengobati hal tersebut, ustad Arif menyarankan kita untuk melakukan hal yang sederhana, dimulai dengan memahami orang yang berbeda melalui komunikasi dan dialog. Sesederhana mengenali dan berusaha memahami bahwa setiap orang memiliki pandangannya sendiri. Kita tidak boleh memaksakan kehendak kita terhadap orang lain. Ini sejalan dengan apa yang sudah para pendiri bangsa ini lakukan dahulu kala ketika meletakkan pijakan bangsa ini kedalam ruh bernama Pancasila dan NKRI. Di dalamnya terkandung ruh ‘kesatuan’ yang bermakna filosofis magis mengenai nilai-nilai keberagaman dan kekayaan budaya nusantara. Maka jangan heran, seharusnya perdebatan mengenai siapa yang perlu mendominasi, apakah islam atau bukan sebagaimana digaungkan para tokoh dibalik poros politik identitas islam belakangan ini sudah usai puluhan tahun lalu. Kita, seharusnya mewarisi semangat para pendiri bangsa dalam menjaga keutuhan negara. Merawat perbedaan dalam nama Indonesia. Bagi saya, apa yang diutarakan ustad Arif di atas tadi adalah fase paling tinggi seseorang dalam menerapkan Islam rahmatan lil’alamin. Tentang betapa kita sebagai manusia saling menyayangi dalam perbedaan, dan tentang kita sebagai anak bangsa menjaga keutuhan keberagaman budaya Indonesia. Bagaimana? Apa anda siap satu barisan dengan saya? ******** * Seorang Yuris, amat mencintai dunia Hukum.
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |