1/1/2015 2 Comments Omong Kosong Kepada Polisi Dalam Menindak Kebisingan Knalpot Motor di Malam Tahun Baru Tulisan ini berawal dari kekesalan saya terhadap ulah pengendara motor disetiap sudut jalan yang selalu membuat kebisingan atau polusi suara melalui knalpot motornya. Setiap tahun, polusi suara jenis inilah yang membuat saya kesal jika harus keluar pada malam pergantian tahun. kebetulan, akhir tahun ini saya memilih untuk tidak refreshing keluar dengan alasan menghormati para keluarga atas tragedi jatuhnya air asia QZ8501. Akhirnya, saya pun memilih memanfaatkan waktu dengan cara menuangkan kekesalan atas kondisi pada setiap malam tahun baru kedalam tulisan ini di kost saya karena sepanjang perjalanan sore tadi saya dibuat geram atas sikap dan perilaku para pengendara motor 'bising' yang tak tau malu tersebut. Institusi kepolisian, sebagai institusi yang saya harapkan untuk meredakan polusi suara ini pun juga nampak tak bergeming jika dihadapkan dengan pengendara-pengendara motor seperti ini. Padahal, institusi ini sangat diharapkan untuk mampu mengendalikan pengendara-pengendara "bising" tersebut. namun nihil, nyatanya di malam hari ketika puncak-puncaknya arus lalu lintas padat untuk merayakan tahun baru terjadi, justru institusi ini seperti dibungkam, tenggelam dengan kebiasaan adat masyarakat. Helm tidak digunakan, membawa motor dengan knalpot tidak standar, hingga mengendarai secara bergerombol dan berisik yang mana bisa membahayakan pengguna jalan lain. Ya, Inilah potret pengendara motor nakal yang terjadi di setiap malam tahun baru. Lagipupa, sepanjang pengalaman saya bukan kali ini saja institusi ini dibuat ‘tak berdaya’ dengan keadaan. Saat lebaran idul fitri atau idul adha contohnya. Pada hari pertama perayaan idul fitri, dapat dipastikan hampir seluruh pengendara motor yang melintasi jalan raya di jakarta, bandung atau solo (berdasarkan pengalaman pribadi) mereka pasti mengganti helm mereka dengan peci atau kopeah karena merasa baru saja melaksanakan sholat ied. Polisi yang bertugas saat hari itupun nampak merelakan begitu saja tanpa ada tindakan represif sedikitpun. Sangat disayangkan. Tidak seharusnya aparat penegak hukum mendiamkan keadaan melanggar hukum seperti itu. Menurut ketentuan didalam undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada pasal 15 ayat (1), (2), (3) dan pasal 16 ayat (1) dan (2), secara garis besar kepolisian negara republik indonesia (“polisi”) bertugas untuk menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lain yang dapat meresahkan masyarakat. Jadi, jika terjadi suatu hal yang ‘mengganggu’ tatanan kehidupan bermasyarakat, maka tentu polisi merupakan salah satun lembaga yang diberikan kewenangan oleh negara untuk melindungi masyarakat secara preventif dan represif. Hal ini juga makin ditegaskan dengan falsafah dasar perlindungan keamanan dalam negeri yakni simbol pohon beringin atau sederhananya kita sebut sebagai ‘pengayoman’. Lantas jika kita mengacu pada penjelasan secara garis besar diatas, bagaimana jika kita analogikan bentuk ‘gangguan’ tersebut sebagai polusi udara yang disebabkan knalpot pengendara motor di malam tahun baru yang selama ini meresahkan masyarakat? Tentu jawaban yang paling mudah untuk menjawab pertanyaan tadi ialah belum. Ya, polisi belum mencerminkan pengayoman pada masyarakat saat terjadinya gangguan tersebut. ironis. Diskresi kepolisian Mengacu pada penjelasan diskresi dalam buku karya Kenneth Culp Davis berjudul “discreationary justice”, diskresi Polisi dapat pula diartikan sebagai Polisi yang bertindak berdasarkan penilaiannya sendiri. Ini dimaksudkan agar polisi bisa membuat keputusan dengan cepat dan tepat dengan disandarkan pada norma-norma di tengah masyarakat. (Kenneth Culp Davis; 1969) Secara sederhana, diskresi merupakan kewenangan tersembunyi yang dimiliki polisi untuk membuat keputusan yang memperhatikan kebaikan dan keadilan bagi semua pihak. Diskresi Kepolisian sendiri di Indonesia secara yuridis diatur pada pasal 18 Undang Undang No 2 tahun 2002 yaitu “ Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri “ , hal ini mengandung makna bahwa seorang polisi yang melaksanakan tugasnnya di tengah tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusaan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum. Namun sayang, uraian diatas disalahgunakan polisi untuk berkilah mengapa institusi ini terkesan acuh tak acuh untuk menindak para pelanggar lalu lintas yang berlipat ganda pada malam perayaan tahun baru. Ya, Mungkin saja ada yang ditindak di beberapa tempat, tetapi sayangnya tindakan tersebut tidak dilakukan dengan sistematis. Jadilah para pelanggar ini merasa merdeka dengan diskresi yang dilakukan oleh para polisi tersebut. Implikasinya, makin menjadi saja budaya kebiasaan melanggar lalu lintas di hari-hari besar nasional. Berdasarkan pengamatan saya sendiri, Institusi ini sendiri sering memposisikan diri ketika sedang ada perayaan besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat. dengan mengambil tempat ‘aman’ untuk tidak menindak satupun para pelanggar lalu lintas karena alasan “kebaikan bersama”. Sebuah alasan klise atas nama diskresi yang ditunjukkan oleh aparat penegak hukum di negeri ini. Secara garis besar institusi ini sama sekali belum mencerminkan kewibawaan dari pengayoman atas gangguan yang diderita masyarakat karena bisingnya knalpot pada hari-hari besar nasional. Padahal, masyarakat sangat mendambakan para aparat ini turun kejalan untuk memberikan tindakan tegas terhadap golongan pengendara motor “bising” yang nakal. Namun nihil, aparat justru bungkam atas gangguan tersebut. Minimnya aparat yang bertindak Hanya ada dibeberapa tempat saja saya dapat saya temui aparat yang benar-benar tepat menjalankan tugas dan wewenangnya selama malam tahun baru. Salah satunya di daerah sleman yogyakarta. Tahun lalu ketika saya hendak merayakan tahun baru di jogja, dalam perjalananan hendak menuju ke jogja saya melihat pemandangan yang tak biasa, yakni polisi mengejar para pengendara motor nakal yang ketahuan tidak menggunakan peralatan berkendara yang tidak sesuai standar dan para gerombolan pengendara motor yang menghasilkan suara yang sangat bising. Padahal jam saat itu menunjukkan pukul 22.00 WIB namun polisi di sleman masih bersiaga menjaga dan mengambil tindakan penilangan di tempat kepada para pelanggar lalu lintas. Di solo? Jangan harap. Saya masih sangat kecewa dengan perilaku aparat polisi yang sangat pasif dalam menindak para pelanggar lalu lintas. Padahal para pelanggar tersebut jelas-jelas telah melakukan pelanggaran di depan mata para polisi, namun seolah tak peduli polisi disini justru memilih bungkam, duduk di pos nya dan bercanda gurau dengan rekan sesama polisinya. Sebut saja sepanjang jalan slamet riyadi, perempatan holland bakery roti orion hingga perempatan gravista bengawan sport. Saat saya melewati jalan tersebut nampak aparat hanya duduk di pos polisinya mendiamkan begitu saja kebisingan knalpot para pengendara motor yang melewati pos tersebut. Kemanakah telingamu wahai aparat polisi? Sebuah resolusi di tahun 2015 Melihat kinerja kepolisian yang masih terkesan tebang pilih saat hari-hari besar nasional dapat dijadikan bahan evaluasi bersama. Budaya yang diciptakan masyarakat timbul atas lemahnya pengaturan produk hukum. Sederhananya, pengaturan produk hukum harus berpijak pada norma yang berkembang dimasyarakat dengan tidak mengorbankan dari pengaturan hukum itu sendiri. Institusi kepolisian lahir atas intervensi negara untuk menciptakan keadilan bersama yang hakiki ditengah kehidupan bermasyarakat indonesia. Maka dapat dipastikan dalam tugas dan kewenangannya institusi ini diharapkan dapat menciptakan ketenangan bersama dengan cara preventif maupun represif. Salah satunya ialah mengenai “gangguan” saat berlalu lintas di malam tahun baru ataupun dihari-hari besar lain. Institusi ini merupakan lembaga yang diharapkan masyarakat untuk dapat menjawab keraguan masyarakat atas kinerja penegakkan hukum di negeri ini. Berdasarkan pendapat dari Neta S Pane selaku Ketua Presidium dari Indonesian Police Watch (“IPW”), kinerja kepolisian pada tahun 2014 cenderung buruk. Salah satu yang menjadi poin krisis kepercayaan masyarakat atas buruknya kinerja polisi adalah masih berkembangnya mindset pencitraan di tubuh kepolisian dalam penegakkan hukum. Karena itu, diharapkan di tahun 2015 institusi kepolisian beserta jajarannya dalam bertugas agar senantiasa dapat bersikap adil, serta dapat mampu memberi jaminan keamanan hukum kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak merasa diombangambingkan dengan situasi yang tidak menentu. Contohnya seperti penegakkan hukum yang lemah terhadap pelanggar lalu lintas di malam hari terutama pada malam tahun baru. Masyarakat sudah lelah dengan polarisasi pemikiran bahwa hukum lalu lintas ‘hanya berlaku’ pada siang hari sedangkan pada malam hari tidak. Belum lagi stigma hukum rimba “siapa yang kuat, maka dia yang akan bertahan” yang berlaku di jalanan. Masyarakat sudah lelah dengan perilaku sikap dan kinerja aparat kepolisian yang masih menjadi persoalan klasik yang tak kunjung bisa teratasi dari tahun ke tahun. Karena itu di tahun 2015 kita doakan agar institusi ini dapat segera mengefektifkan amanat dari undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 15 ayat (1), (2), (3) dan pasal 16 ayat (1) dan (2) dimana polisi diharapkan dapat melindungi keamanan dalam negeri sebagai salah satu syarat utama agar terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Daftar Pustaka Kenneth Culp Davis, discreationary justice; London: 1969 Marlina, Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana; Medan: USU Press, 2010; Merry Morash, (February 1984), “Established of javenile police record.” Criminology 0 http://www.tribunnews.com/nasional/2014/12/30/catatan-akhir-tahun-2014-ipw-punya-prestasi-polri-belum-bisa-dipercaya)
2 Comments
2/1/2015 17:41:06
Hai, Ad. Kurasa kamu mesti ganti fontnya. Susah banget dibaca oleh mata minus yang enggan berkacamata. Yang lebih tebel. Ini tipis banget.. (Y)
Reply
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |