13/2/2015 0 Comments Mengapa Komisi III ngotot ingin mengutak-atik KPK melalui Revisi UU No 30 tahun 2002 ? Belakangan ini publik sedang memberikan perhatian khusus terhadap proses praperadilan yang dimohonkan oleh komjen pol Budi Gunawan kepada institusi Komisi Pemberantasan Korupsi. Proses praperadilan sendiri merupakan proses yang dilindungi oleh undang-undang sebagaimana termaktub dalam pasal 63 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang pada intinya menjelaskan bahwa jika seseorang dirugikan atas proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK, maka orang ybs berhak untuk mengajukan gugatan praperadilan ke pengadilan negeri. Proses praperadilan yang dimohonkan oleh Budi Gunawan inilah yang telah menyita perhatian publik. Namun, sadarkah kita ditengah kemelut panjang antara Kepolisian, KPK, presiden, serta sejumlah pihak-pihak yang “seolah-olah” terkait, ternyata terdapat isu yang tak kalah penting yang sebenarnya patut untuk dijadikan perbicangan di masyarakat. Ialah Dewan Perwakilan Rakyat melalui komisi III yang membidangi hukum yang telah menggulirkan isu ini untuk kesekian kalinya. Komisi III DPR RI kembali berusaha merivisi dua undang-undang yang menyangkut kinerja institusi KPK. ialah Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan UU nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Senin (9/2/2015) lalu DPR melalui Rapat Paripurna DPR memutuskan akan merevisi UU tentang KPK dan UU tentang Tipikor. Keputusan untuk merevisi (legislative review) kedua UU tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (“Prolegnas”) 2015-2019. Dalam daftar prolegnas tersebut, UU Tipikor ada di nomor 37, sedangkan UU KPK di nomor 63. Artinya, kedua revisi UU tersebut tak menjadi prioritas tahun 2015 ini. Tetapi, meskipun tidak menjadi prioritas ditahun 2015 ini kita harus tetap waspada terhadap cara-cara politik seperti ini. Berdasarkan pengalaman saya ketika terlibat “langsung” di komisi III DPR RI, wacana legislative preview UU KPK sudah sangat santer terdengar diluar rapat. Maklum, mungkin karena mereka cukup terusik dengan kinerja KPK yang seolah tampil bak superhero –tak tersentuh hukum- ketika menetapkan status TSK terhadap calon tunggal kapolri komjen pol budi gunawan. Tetapi Yang menarik adalah, bukan kali ini saja DPR ingin merevisi Undang-undang tentang KPK dan UU tentang Tipikor. Menurut penelusuran saya, telah terjadi setidaknya 3x wacana legislative preview terhadap kedua UU tersebut. Masing-masing Pada Oktober 2010, Juli 2012, dan yang terakhir pada februari 2013. Pada oktober 2010 usulan legislative review tersebut mentok di tingkat I atau di tingkat Komisi, kemudian pada juli 2012 usulan revisi UU tersebut sempat mengalami perkembangan yang cukup serius. Legislative review UU KPK disetujui 7 dari 9 fraksi yang ada (pada waktu itu belum lahir fraksi partai nasdem). Pasca menyetujui dalam rapat pleno atau rapat pengambilan keputusan di tingkat komisi, revisi UU KPK oleh komisi III pun dilanjutkan ke badan legislatif DPR untuk dapat diproses alias dimantapkan menjadi UU KPK versi “terbaru”. Namun , perjuangan para anggota dewan pun kandas tatkala RUU KPK dihapuskan dari daftar Prolegnas 2013 pada akhir masa sidang di tahun 2012 melalui rapat paripurna atau rapat tingkat II DPR RI. Kemudian selanjutnya pada februari 2013, seolah masih menyimpan ‘hasrat’ untuk mengamandemen UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Beberapa anggota Komisi III DPR pada hari rabu (06/2/2013) dengan memanfaatkan rapat kerja (Raker) bersama KPK, sejumlah anggota komisi III DPR justru mengungkit-ungkit hasrat ingin mengamandemen UU KPK. beberapa anggota Dewan rupanya masih berusaha meyakinkan bahwa amandemen adalah jalan yang perlu ditempuh untuk memperkuat KPK. Namun lagi-lagi usaha ini tak membuahkan hasil. Sampai berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014, revisi atas UU KPK dan UU tentang Tipikor itu tak terdengar lagi kabarnya. Hingga pada Senin (9/2/2015) lalu wacana merevisi dua UU tersebut kembali disuarakan. Lantas mengapa komisi III begitu ngotot ingin merevisi UU KPK dan UU tentang tipikor? Adakah agenda terselubung dibalik kalimat manis ingin memperkuat KPK? mengingat KPK memang merupakan lembaga terkuat memberangus korupsi berdasarkan presentase kepercayaan masyarakat atas kinerja trisula penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, KPK). Dan, yang juga tak kalah penting ialah dasar hukum KPK yang begitu kuat dan terkesan berada satu level diatas kepolisian dan kejaksaan. Bagaimana tidak, KPK diberikan kewenanangan yang begitu luas dan fleksibel. Sangat berbeda dibandingkan kewenangan kepolisian dan kejaksaan yang terkesan rigid dan mudah untuk diintervensi dengan SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan/penyelidikan. Di dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat beberapa pasal yang menurut beberapa anggota DPR cukup mengganggu. Salah satunya adalah pasal 12 ayat (1) huruf a yang menyebutkan bahwa “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c UU KPK, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan” Artinya, untuk mengumpulkan bukti yang cukup melalui proses penyelidikan, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan guna dijadikan bukti permulaan yang cukup untuk mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). Akan tetapi, Hal tersebut justru seolah dipatahkan oleh oknum anggota dewan. Dengan menggunakan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD atau yang familiar disebut UU MD3 tepatnya pada pasal 224 ayat (1), (2), (5), (6) dan (7) yang pada intinya menyebutkan bahwa “terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya, segala pemanggilan dan permintaan keterangan (oleh KPK) harus mendapat persetujuan secara tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (“MKD”)” Dari klausul pasal tersebut para oknum anggota DPR ini berlindung, mereka membela diri saat dirinya sedang bertugas bahkan ketika sang anggota DPR tersebut sedang memberikan suatu pernyataan melalui perbincangan via telepon seluler. Pun ketika para anggota ini sedang membicarakan suatu “proyek” dengan mitra kerja komisi nya, mereka berlindung dibalik kata-kata ‘sedang bekerja’ dengan mitra kerjanya. Sehingga kesan yang ditimbulkan adalah para anggota dewan tidak dapat tersentuh –penyadapan- ketika mereka sedang bekerja. Para oknum anggota dewan ini merasa risih, mengapa KPK mendapatkan kewenangan yang sungguh luar biasa ini tanpa ada batasan. Dengan cara berlindung dibalik kalimat “ini ranah privasi saya sebagai personal ketika sedang menelepon” para oknum anggota dewan ini berusaha menambah klausa Pasal 6 huruf c UU KPK dari yang sebelumnya : KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, menjadi : KPK (atas persetujuan dari pejabat yang berwenang di instansinya) dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Bayangkan bagaimana jika seandainya klausul ini berhasil ditambahkan secara politik oleh oknum-oknum anggota dewan? Belum selesai disana, (seandainya) jika DPR berhasil menambah klausul pasal 6 huruf c UU KPK maka otomatis ketentuan didalam pasal 224 ayat (1), (2), (5), (6) dan (7) UU MD3 pun diperkuat oleh pasal 191 ayat (7) dan (8) peraturan DPR tentang tata tertib DPR periode 2014-2019 yang pada intinya mengatakan bahwa “MKD harus memproses dan memberikan putusan atas surat pemohonan -penyadapan yang diajukan KPK- dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah permohonan tersebut diterima dan jika permohonan tersebut ditolak, maka surat -penyadapan terhadap anggota DPR- dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum atau batal demi hukum” Sehingga dapat saya simpulkan DPR dalam menegakkan panji pemberantasan Korupsi Kolusi Nepotisme didalam lex generalis hingga lex specialis yang tertuang di UU KPK, UU MD3 hingga Tatib DPR tergolong belum seirama dan masih lemah penegakkannya alias belum memiliki kesamaan tujuan. Alangkah eloknya jika DPR tidak mengusik UU KPK terutama kewenangan penyadapan yang dimilikinya dan meskipun asas hukum lex specialis derogat legi generalis diperbolehkan namun saya berpandangan DPR dalam hal ini melalui UU MD3 dan Tatib DPR, tidak mencerminkan semangat pemberantasan KKN di lingkungan internal DPR dan cenderung menafikan pemberantasan KKN dengan berlindung dibalik kalimat “penyadapan itu melanggar hak privasi saya”. Sangat ironis memang. Ditengah kriminalisasi yang dilakukan sejumlah oknum terhadap KPK dan Polri, DPR melalui komisi III justru telah menunjukan kepada kita bahwa anggota DPR masih secara gamblang menyatakan diri “(nanti saja) berperang terhadap korupsi-nya”. Pada akhirnya masyarakatlah yang dijadikan korban atas kesewenang-wenangan oknum anggota DPR yang menggunakan hak-hak anggota dewannya dengan berusaha merevisi UU KPK dan UU Tipikor. Belum lagi, seandainya terdapat anggota yang tersangkut masalah korupsi, dengan menggunakan istilah Presumption of Innocence atau praduga tidak bersalah, anggota DPR (masih) berusaha berkilah dengan mengharuskan KPK meminta izin terlebih dahulu ke MKD jika ingin memanggil dan dimintai keterangan di depan penyidik atau pengadilan. Bukankah langkah-langkah tersebut justru memperlambat upaya pemberangusan korupsi di tubuh DPR? Sejujurnya sah saja jika DPR ingin melakukan legislative review atas UU KPK serta UU Tipikor. Namun, sebaiknya ubahlah jika memang ditujukan untuk memperkuat KPK. Contohnya lubang-lubang di dalam UU No. 30 tahun 2002 yang sudah tak relevan lagi dengan perkembangan zaman, salah satunya di terkait belum terdapatnya aturan mengenai rekrutmen penyidik mandiri oleh KPK. Di satu sisi, penyidik dan penuntut KPK disebut masih berstatus pegawai asal instansi, yakni kepolisian dan kejaksaan. Namun di sisi lain, KPK bisa merekrut dan memberhentikan penyelidik, penyidik, dan penuntut. Pasal 39 ayat (3) UU KPK menyebutkan: ”Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK”. Kemudian, Pasal 43 ayat (1) menyebutkan, “Penyelidik adalah penyelidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK”. Lalu, Pasal 51 ayat (1) menyebutkan, “Penuntut adalah penuntut umum pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK”. Melalui legislative review, KPK tak lagi menghadapi masalah ketergantungan sumber daya manusia penyelidik, penyidik dan penuntut seperti yang terjadi sekarang. Apalagi, dewasa ini KPK merupakan lembaga hukum yang precticious dalam memberantas KKN. Maka diperlukanlah legislative review UU KPK untuk memberi kewenangan KPK untuk melakukan proses rekrutmen yang mandiri. Itulah salah satu contoh bagaimana seharusnya DPR bisa melakukan legislative review UU KPK dengan tujuan memperkuat kewenangan KPK. Bukan justru memperlemah penegakan pemberantasan korupsi di indonesia. DPR harus berbenah, ketika rakyat sedang dipertontonkan drama KPK vs Polri DPR sebaiknya menunjukkan sisi kenegarawanan dengan memperkuat kedudukan dan kewenangan KPK. Bukan justru mengebiri KPK dengan jurus-jurus politik sakti di senayan sana. Sudah terlalu sering telinga ini mendengar isu-isu miring di senayan sana. Pengalaman saya kemarin terjun langsung di DPR sudah cukup mengajarkan saya bahwa sesungguhnya masih banyak anggota DPR yang benar-benar serius berada di pihak rakyat. Mereka masih ada, namun sayang nama mereka kalah pamor dengan oknum-oknum anggota DPR yang bersua kencang meneriakkan ‘serang ini, serang itu’. Mereka anggota DPR yang memiliki integritas terpuji memang seringkali terpinggirkan tatkala rekan sejawatnya lebih diincar wartawan untuk memberikan keterangan terkait suatu masalah hukum. Maklum saja, karena media kita memang lebih mementingkan berita kontroversi ketimbang mengangkat sisi-sisi optimisme dibalik suatu masalah hukum. Mata ini sudah sering melihat mereka para anggota DPR yang memiliki intergritas tinggi –terutama terhadap penegakan pemberantasan korupsi- justru banyak bersua lantang dan pedas di suatu forum rapat di komisi III DPR. Akan tetapi, justru media “seolah” luput dan pada akhirnya tidak memberitakannya di media massa. Implikasinya? Tentu kita hanya melihat wajah yang itu-itu saja yang hadir di media massa. Kemudian, masyarakat akan kembali pesimis terhadap institusi legislatif sekaliber DPR-RI ini. Pengalaman singkat saya di komisi III DPR RI kemarin pada akhirnya malah membuat saya mengambil suatu pandangan bijak yang sebelumnya tak pernah terbesit di bayangan saya sebelumnya. Sebelum kita menunjuk kesalahan orang apalagi mengutuk suatu lembaga negara, sadarilah yang kita tunjuk kadang cuma cerminan diri kita sendiri. Sangat mudah bagi kita mencari kesalahan-kesalahan. Sadarkah ketika kita mengutuk kesalahan justru hal tersebut didasarkan pada emosi sesaat yang bersumber dari judul media yang subyektif? Sadarkah dari sekian banyak berita provokatif sesungguhnya ada hal-hal yang lebih penting diangkat ketimbang mengutuk suatu kesalahan? Kalo saya rasa DPR perlu diubah, saya juga sadar bahwa yang seharusnya berubah adalah saya dulu, perbaiki dulu kadar keilmuan saya. baru perpolitikan indonesia terutama DRP bisa saya ubah. Dan yang terpenting, tumbuhkan dulu frame optimis di diri saya. Baru saya bisa mengubah mereka-mereka yang pesimis menjadi optimis bahwa DPR tidak seburuk yang orang-orang bayangkan. Solo, 13 Februari 2015
Muhammad. L. Aldi
0 Comments
28/1/2015 0 Comments Senyapnya Manuver Politik MegawatiEntah disengaja atau tidak, di tengah rimbun dan panasnya ketegangan politik belakangan ini yang dihadapi oleh presiden jokowi, sang ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri seperti hilang ditelan bumi. Padahal, sang ketua umum ini biasanya selalu saja muncul dan tak pernah absen kala ada permasalahan yang melanda kader-kader PDIP-nya. Namun, memang sepertinya si ‘sutradara’ PDIP ini nampaknya memang (masih) tetap memegang kendali dari balik layar. Tentunya dengan kendali cengkraman politik yang dasyat di balik layar serta dengan tetap menjadi pengambil keputusan yang kadang kala ‘mengganggu’ kinerja sang presiden.
Aktivitas spionase dan gerilya politik memang sangatlah cocok disematkan pada megawati selaku sang ‘sutradara’ partai. Meskipun tak pernah lagi terlihat di muka publik, namun nampaknya sang ‘sutradara’ masih sangat sibuk memimpin sejumlah pertemuan. Megawati memang masih kerap bertemu dengan sejumlah pimpinan parpol KIH semenjak kasus calon kapolri Budi Gunawan ini mencuat. Meski presiden jokowi belakangan ini dihadapkan dengan posisi sulit terkait penunjukan komjen budi gunawan menjadi calon kapolri. Dan ditambah dengan terbentuknya opini publik bahwa “BG adalah titipan megawati” namun, megawati nampak tak gamang. Ia tetap memainkan perannya sebagai sutradara partai di balik layar mengendalikan “wayang-wayang”nya. Buktinya, sedari komjen budi gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK hingga sekarang, elit-elit PDIP masih saja bersikukuh dan menampik kabar bahwa BG adalah titipan megawati. Hebat bukan? Tentu saja. Sebegitu hebatnya manuver sang ‘sutradara’ partai ini rupanya mampu menghipnotis elit-elit partainya dan partai lainnya untuk bersama-sama menjadikan diri sebagai ‘aktor’ film dalam drama KPK vs Polri. Dimulai dari penetapan secara (sangat) mendadak status tersangka terhadap BW, konferensi pers si Plt Sekjend PDIP memgenai dugaan politisasi AS pada pemilu 2014, laporan dugaan kasus saham palsu terhadap APP pada tahun 2010, hingga kasus yang baru akan dilaporkan besok (rabu, 28 januari 2015) terkait kriminalisasi yang dilakukan oleh Z pada tahun 2010. Kesemuanya tersebut pada akhirnya memang telah menimbulkan stigma publik : sebenarnya ada skenario apa dibalik ini semua ? dan, siapa tokoh yang menghimpun ‘aktor-aktor’ agar bisa memainkan perannya? Apalagi, belakangan situasi kenegaraan sedang hangat-hangatnya memberitakan kasus cicak vs buaya jilid II. Tentu dengan sangat mudah saya dapat mengamati secara “live” bagaimana situasi politik di senayan sana. Lebih lanjut, kasus cicak vs buaya jilid II ini pada akhirnya malah menjadikan presiden jokowi dalam keadaan serba terjepit. Antara harus memilih suara rakyat, atau memilih suara parpol pendukungnya yang tergabung di KIH atau memilih suara dari ibunda megawati?. Namun, siapa sangka situasi sejuk yang hadir di dua kubu KIH & KMP mendadak berubah menjadi panas pasca penetapan status tersangka terhadap BG. Apalagi, status tersangka disematkan satu hari sebelum BG melakukan fit and proper test di komisi III DPR RI. Mendadak, pada malam hari sebelum fit and proper test berlangsung, rumah megawati pun terasa penuh akan lalu lalang petinggi-petinggi partai koalisinya. Tercatat ketua partai NasDem surya paloh dan para petinggi lain sering hadir mulai dari malam sebelum fit and proper test hingga hari dimana BG dinyatakan lolos oleh DPR RI. Kunjungan-kunjungan tersebut tetap berlangsung hingga pada akhirnya, Presiden memutuskan untuk menunda pelantikan komjen BG sebagai kapolri. Meskipun presiden menegaskan bahwa dirinya hanya menunda dan bukan untuk membatalkan, tetapi tetap saja, tekanan-tekanan dari partai silih berganti menghantam presiden, mendesak presiden untuk segera melantik kapolri BG. Para elit pendukung Jokowi-JK, Hendropriyono misalnya, bahkan dengan lantang mendorong pelantikan komjen BG sebagai ‘jalan keluar’ untuk menyelesaikan persoalan secara politik. Namun bukankah pernyataan Hendropriyono ini malah mengandung seribu makna? Perhatikan.. Apa maksud pernyataannya? Apa maksud kalimat “jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan secara politik”? mari.. silahkan kita interpretasikan masing-masing. Kemudian, pasca presiden menunda pelantikan BG, presiden secara terpisah juga memberhentikan kapolri jenderal sutarman & menunjuk wakapolri komjen badrodin haiti menjadi pelaksana tugas sementara kapolri. Menurut banyak pihak, keputusan presiden ini “blunder” dan telah mensaratkan bahwa presiden telah mengalami turbulensi tekanan politik yang sangat kuat dari berbagai pihak. Belum lagi dengan pemberhentian komjen suhardi alius dari kabareskrim, banyak pihak juga menyayangkan keputusan ini. Karena, presiden mengganti komjen suhardi dengan komjen budi waseso yang dikenal “orang dekat” dari komjen budi gunawan. Banyak pihak memprediksi akan terjadi situasi yang semakin rumit kedepannya. Logikanya : Budi gunawan adalah orang dekat megawati, Budi waseso adalah orang dekat Budi Gunawan, kesimpulannya secara tidak langsung budi waseso (bisa jadi) telah aktik memainkan perannya sebagaimana arahan dari sang sutradara partai, megawati. Namun, tak berselang lama rupanya kabar itu dengan cepat menjadi sebuah fakta. Keputusan-keputusan presiden jokowi ternyata memang tak menyelesaikan persoalan. Situasi kemudian menjadi semakin panas setelah bareskrim menangkap BW pada jumat, 23 januari 2015. Oleh banyak pihak hal ini disebut kriminalisasi atas buntut dari penundaan pelantikan komjen BG menjadi kapolri. Pasca hal tersebut, presiden pun menggelar jumpa pers yang pada pokok pidato yang tak kurang dari 5 menit itu presiden memperingatkan kepada KPK & Polri agar tidak saling bergesekan. Oleh banyak pihak, (lagi-lagi) presiden dinilai tidak menyelesaikan masalah dan malah justru sangat terlihat bahwa presiden jokowi sangat lembek dalam menyelesaikan persoalan. Pasca pidato pertama presiden ikhwal kisruh KPK vs Polri pun, lagi-lagi presiden mendapat cemoohan dari berbagai pihak. Tak terkecuali masyarakat yang sebagian merasa kecewa dengan perilakunya yang terkesan lembek dan ‘gampang diatur’. Setelah itu, presiden pun menggelar jumpa pers yang kedua dengan ditambah dengan pembentukan tim independent sebagai langkah ter-aman ditengah kisruh KPK vs Polri ini. Pada akhirnya, Sang ‘sutradara’ pun hanya cukup duduk manis di rumahnya. Mengendalikan drama politik berbalut hukum ini. Mengamati kapan momentum yang pas untuk melakukan aksi berikutnya. Lambat laun, langkah presiden sepertinya semakin terbaca. Cara-cara yang diambil oleh presiden memang terkesan sebagai cara “nyilih tangan nggo nabok wong” atau bahasa indonesianya “pinjam tangan untuk nabok orang” ini menurut saya sebagai langkah kedua, langkap pertama dilakukannya saat menetapkan BG menjadi tersangka. Presiden sepertinya tidak setuju dengan BG menjadi kapolri, maka ditempuhlah cara meminjam KPK untuk menghentikan langkahnya. Pun demikian dengan sekarang, ia membentuk tim independen sebagai langkah penyelamatnya. Alih-alih mengikuti langkah presiden terdahulu, malah justru menjadikan caranya ini kian terbuka. Ia seperti berusaha menyampaikan ke publik bahwa “saya tidak suka pilihan PDIP. Saya tidak ingin menyakiti perasaan elit partai yang mendukung saya dulu di pilpres. Demikian juga dengan kalian rakyatku. Karena itu saya meminjam tangan orang untuk mengamankan posisi saya” hal tersebut dikuatkan dengan budaya wong jowo yang sangat-sangat lembut untuk menegaskan suatu hal. Inilah yang saya tidak sukai dari presiden jokowi. caranya ini pada akhirnya malah justru menjerumuskan beliau sendiri di tengah “tangan” sang sutradara partai. Semoga presiden jokowi dapat melepaskan diri dari manuver senyap sang ibu megawati. Jakarta, 28 januari 2015 00.37 WIB. Ditengah proses hukum yang mendera kedua lembaga penegak hukum KPK & Polri, baru saja pada pukul 21.09 WIB, 25 januari 2015 presiden melangsungkan jumpa pers membahas isu panas perseteruan dua intitusi besar KPK & Polri. Di istana negara, Presiden didampingi oleh 6 tokoh senior kenamaan indonesia. sebutlah Prof Jimly Asshidiqie hingga Prof Hikmahanto Juwana hadir dalam konferensi pers resmi kenegaraan tersebut.
Presiden dalam keterangan persnya pada intinya mejelaskan bahwa beliau menegaskan tidak akan mencampuri urusan hukum yang mendera personel KPK & Polri. Kemudian, untuk mengakhiri pidato singkatnya yang tak kurang dari 10 menit tersebut, presiden menyempatkan diri untuk memberitahu pada awak media bahwa yang berada di belakangnya ini merupakan orang-orang “pendamping” beliau untuk memberi masukan-masukan terkait isu KPK vs Polri ini. Setelah presiden berpidato, giliran prof Jimly yang memberi keterangan pers. Keterangan pers beliau pun terkesan menegaskan bahwa memang benar ke-6 nya merupakan tim independen yang dibentuk presiden untuk mengatasi permasalahan yang melanda tubuh kepolisian & KPK ini. Hal ini seperti yang telah saya harapkan di artikel saya sebelumnya disini bahwa presiden dengan kewenangannya pasti akan mengambil langkah “aman” agar semua pihak yang menekan beliau dari atas & bawah dapat dibuat tenang dengan pilihannya tersebut. Presiden dalam hal ini (belum) cukup sanggup untuk men-SP3-kan kasus Bambang Widjojanto atau bahkan membentuk tik investigasi untuk membersihkan pandangan publik atas kinerja KPK yang terkesan “aneh” dalam penetapan status tersangka terhadap Budi Gunawan. Maka dari itu, presiden kemudian membentuk tim independen yang berisikan tokoh-tokoh kenamaan mulai dari mantan ketua MK, mantan wakil ketua KPK hingga pakar akademisi hukum kenamaan nasional. Langkah tersebut diambil presiden untuk meredam tekanan publik yang makin hari makin kuat menekan presiden untuk segera bertindak. Karena, jika saja presiden lupa atau bahkan pura-pura lupa tekanan publik diluar sangat besar kepada beliau. Bukan tidak mungkin presiden akan kehilangan dukungan dari masyarakat yang memilihnya. Dampaknya? Bisa dibayangkan bagaimana nanti bargaining public trust yang coba dibangun diatas pondasi popularitas seorang Jokowi Dodo bisa hancur dalam waktu sepersekian hari saja. Ingat, zaman ini bukan seperti zaman soeharto dimana pada era soeharto diperlukan waktu lama untuk mengumpulkan banyak massa guna melaksanakan agenda reformasi. Pada zaman ini? Hanya diperlukan beberapa jam saja melalui media-media online untuk menjaring massa sebanyak-banyaknya yang diperlukan untuk menyikapi satu isu. Contohnya? Tengok saja saat penangkapan Bambang Widjajanto kemarin oleh kabareksrim. Selang beberapa jam pasca kabar itu dinyatakan benar oleh humas Mabes Polri, gedung KPK langsung penuh disesaki puluhan orang yang peduli terhadap KPK. puluhan bahkan ratusan orang kemudian berbondong-bondong datang ke gedung KPK untuk menyatakan dukungan terhadap KPK. saya menjadi saksi mata bagaimana luar biasanya respon publik melalui media online saat ini. Luar biasa. Ya, itulah satu gambaran yang bisa saya utarakan lewat tulisan ini. Itulah juga contoh kekuatan konkrit masyarakat yang tidak bisa dinafikan oleh seorang presiden Jokowi. Namun, dari semua drama yang coba dipertontonkan ke khalayak umum pada hari ini. Kita patut berbangga, presiden masih mampu membentuk tim independen yang berisikan orang-orang terpercaya yang tentu sepak terjang dari masing-masingnya tidak perlu diragukan lagi. Hanya saja, masih ada beberapa hal yang luput dari drama politik yang diperlihatkan presiden. Apa saja hal itu? Pertama, presiden lupa bahwa ia adalah seorang panglima tertinggi di negeri ini. Ia bisa saja membuat pernyataan bahwa semua orang sama dimata hukum. Tetapi, perkataannya itu justru malah bisa membuat boomerang bagi ia sendiri. Prinsip equality before the law pada intinya memang harus disematkan pada tiap kasus/perkara yang akar permasalahannya memang murni sebuah hukum. Tanpa ada unsur politisasi didalamnya. Namun, dalam kasus BG ataupun BW, atau bahkan APP (Adnan Pandu Praja). Tentu orang awam pun akan sadar, bahwa ketiga kasus tersebut sangat sarat akan muatan politis. Belum lagi jika melihat dari berbagai serangan yang mendera KPK, mulai dari foto mesra Abraham dan tuduhan Hasto –Plt Sekjen PDIP- yang menyebutkan bahwa AS telah bermain politik saat pemilu 2014. Tentu orang yang sangat-sangat buta akan hukum dan politik pun akan sadar betapa kentalnya politisasi di kasus-kasus tersebut. Maka dari itu, tentu sangatlah bijak jika kita meminta presiden jokowi untuk turun tangan langsung menengahi perkara-perkara yang bermuatan politis ini. Tapi, kita lihat sendiri.. presiden justru menggunakan perpanjangan tanggannya (tim independen, Red) untuk mengatasi peliknya polemik KPK vs Polri ini. Kedua, presiden lupa pada janji-janjinya pada kampanye terdahulu bahwa ia hanya tunduk pada konstitusi dan bukan pada kepentingan-kepentingan tertentu. Tapi, apa yang selama ini kita lihat? Banyak kepentingan-kepentingan politik 5-tahunan terselubung yang hadir di setiap sela kebijakan-kebijakan politik & strategis seorang presiden. Drama bagi-bagi jabatan politik nampak sekali dalam tiap pilihan yang diambil presiden. Dari itu semua, sadarkah presiden jokowi bahwa ia bukan adalah presiden indonesia dan bukan presiden partai pendukungnya? Ketiga, semula banyak yang mengira bahwa pidato kedua presiden pada minggu ini merupakan jawaban ketegasan seorang kepala negara dalam mengambil kebijakan terkait kisruh KPK vs Polri. Namun, apa yang kita harapkan ini ternyata tak sebanding dengan apa yang terjadi. Nampak sekali presiden telah “mencuci tangan” posisi nya sendiri dengan menggunakan tim independen. Presiden tak ingin menyakiti perasaan partai-partai koalisinya dan masyarakat. Karena itu presiden mengambil langkah “tak tegas” dalam mengambil sikap. Yakni : membentuk tim independen. Keempat, entah mengapa baru beberapa bulan presiden jokowi memimpin indonesia, saya masih melihat kebijakan-kebijakan jokowi yang bersifat trial & error. Artinya, kebijakan tersebut masih uji coba. Padahal, status jabatan yang dijabat oleh beliau bukan lagi setingkat walikota atau gubernur lagi. Melainkan jabatan presticious yang mengharuskan beliau mengambil langkah tegas untuk bangsa indonesia. contohnya, dalam pidato beliau pada malam ini, saya banyak melihat cara beliau berkomunikasi yang memperlihatkan bahwa dirinya seolah-olah bersikap tenang dalam mengambil kebijakan. Kata “seolah-olah” ini bukan tanpa maksud saya simpulkan, presiden pada pidato yang pertama pada kasus KPK vs Polri ini mengatakan bahwa beliau tidak akan mengintervensi proses hukum yang berjalan baik di KPK maupun Polri. Kemudian, pasca beliau berpidato? Tentu saja masyarakat berreaksi, banyak yang menyayangkan sikap kepala negara yang terkesan acuh-tak-acuh tersebut. Lalu, dalam kesempatan pidato kedua presiden kemudian membentuk tim independen yang meski belum diberi status formal namun pada intinya tim ini memang sengaja dipersiapkan untuk mengatasi isu KPK vs Polri yang sedang hangat diperbincangkan. Intinya? Tentu saja telah terjadi langkah trial and error dimana sebelumnya presiden mencoba mengelak, kemudian karena publik dibuat geram presiden pun membentuk tim untuk meredam keinginan publik tersebut. Sebuah langkah yang tidak tegas menurut saya. Tidak elok seorang kepala negara melakukan kebijakan uji-coba. Kelima, bagi saya diseluruh negara manapun yang menganut sistem demokrasi. Tentulah, seorang kepala negara pasti dituntut untuk mengintervensi secara hukum semua perkara-perkara yang sarat atau bahkan berlumuran kepentingan politis didalamnya. Seorang kepala negara harus hadir berdasarkan kehendak rakyat untuk menjawab pertanyaan atas suatu perkara yang tak kunjung usai karena tarik menarik kepentingan-kepentingan didalamnya. Pun demikian dengan indonesia, sejujurnya saya sangat mengharapkan presiden dapat hadir untuk memberikan kepastian hukum bagi tiap perkara-perkara yang bermuatan politis didalamnya. Tidak terkecuali dengan polemik KPK vs Polri ini. Rasanya tidak terlalu muluk jika seandainya kita mengharapkan presiden dapat turut serta aktif menengahi polemik KPK vs Polri ini. Beberapa tahun belakangan masih segar ingatan kita pada polemik cicak vs buata jilid 1 dimana pimpinan KPK diserang oleh polri. Kemudian, presiden SBY selaku kepala negara saat itu langsung membentuk tim independen yangmana tim tersebut bertugas untuk membuat rekomendasi kepada presiden langkah apa saja yang dapat dijalani presiden selaku kepala negara untuk menyelamatkan kedua institusi tersebut. Mungkin sekilas langkah ini hampir serupa seperti yang dilakukan oleh presiden jokowi saat ini. Namun, yang menjadi berbeda ialah. Pada saat itu situasi politik tidak sepanas saat ini dimana presiden jokowi di satu sisi saat ini (masih) merupakan kader dari salah satu partai pengusungnya (PDIP, red) . hal tersebut belum ditambah dengan kehadiran ketua umum PDIP yakni Megawati Soekarnoputri dimana secara tidak langsung telah memberikan “intervensi” di tiap pilihan-pilihan jokowi. Tengoklah pada saat partai demokrat berkuasa di bawah pimpinan SBY selaku ketua umum Partai Demokrat. Hampir seluruh kebijakan partai selama SBY berkuasa selalu berjalan mulus tanpa hambatan. Mengapa demikian? Karena SBY merupakan ketua umum partai demokrat saat beliau berkuasa. Berbeda dengan presiden jokowi saat ini yang merupakan kader dari ketua umum PDIP, Megawati Soekarnoputri anak sang proklamator. SBY pada eranya bisa mengendalikan dengan mudah mesin partai & kekuatan politiknya untuk mendukung kebijakan strategisnya. Jokowi? masih sangat sulit jika ia tidak mengubah style nya ini. Karena budaya ewuh pekewuh wong jowo pasti masih sangat melekat kuat di benak jokowi sehingga sulit bagi beliau untuk melepaskan pengaruh sang ketum PDIP di tiap langkahnya. Karena itu, sungguh tak elok rasanya jika presiden jokowi saat ini belum dapat melepas pengaruh PDIP di tiap-tiap langkahnya. Jakarta, 26 Januari 2015 oo.19 WIB 14/1/2015 0 Comments Menjadi Saksi Mata di Komisi III DPR-RI : Intrik dan skenario politik di proses fit and propertest calon kapolri Budi Gunawan Pagi ini, telah dilangsungkan prosesi sakral berupa fit and proper test calon kepolisian republik indonesia (“Cakapolri”) dengan disertai pengambilan keputusan seluruh fraksi di tingkat komisi III DPR-RI di ruang rapat komisi III DPR-RI. Fit and proper test sendiri terlambat dari jadwal yang ditetapkan kemarin saat rapat pleno (13 januari 2015). Fit and proper test dimulai kurang lebih sekitar pukul 09.40 WIB meleset 40 menit dari perkiraan jadwal yang sebenarnya dijadwalkan. Begitu rapat dinyatakan dibuka dengan ditandai dengan pengetukan palu oleh ketua komisi III, pimpinan komisi III pak azis syamsudin langsung memulai dengan mempersilahkan pak Budi Gunawan (“BG”) untuk memaparkan program-program unggulan, dan visi misinya. Pemaparan satu persatu pun dijelaskan dengan jelas. Poin per poin program prioritas pun dijelaskan. Sedikitnya terdapat lebih dari 70 poin dan ratusan sub point yang dipaparkan di slide power point dan hardcopy buku oleh cakapolri BG ini. Pemaparan visi misi ini banyak mendaur ulang program-program yang sudah berjalan selama ini, baik oleh program kapolri sebelumnya (sutarman) hingga pendaur ulangan program nawa cita presiden jokowi dodo saat mencalonkan diri menjadi capres. Kemudian pasca pemaparan program dan visi misi selesai, agenda dilanjutkan dengan pertanyaan dari para fraksi. Jumlah fraksi yang ada di komisi III ada 10. Namun, dari 10 fraksi yang ada ternyata mendadak ada 1 fraksi yang menyatakan menarik diri dari proses fit and proper test. Yakni ialah fraksi partai demokrat. Padahal, dalam rapat kemarin (13 januari 2015), saya sangat ingat pandangan fraksi partai demokrat menyatakan “ya” tetap ikut dalam proses fit and proper test namun, dengan catatan harus ada rapat kerja dengan mitra komisi III yakni KPK untuk menjelaskan poin-poin terkait penetapan status Tersangka terhadap BG. Namun, sekali lagi perlu saya tegaskan.. inilah politik parlemen di negeri ini. Yang namanya politik, pastilah bersifat sangat dinamis dan diplomatis. Mendadak pada rapat hari ini pun, fraksi demokrat memilih untuk bersikap tidak setuju dan menolak fit and proper test. Entah tapi sepertinya ada gerak-gerik mencurigakan dari fraksi partai demokrat terkait penetapan status TSK terhadap BG. Nuansa politik sangat kental dibalik pengunduran diri fraksi partai demokrat ini secara tiba-tiba ini. Akhirnya, dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan dari para fraksi-fraksi anggota dewan komisi III ini, acara rapat pun ditunda pada pukul 12.00 WIB untuk ISHOMA. Forum rapat pun setuju untuk melanjutkan agenda rapat pada pukul Jam 13.00 WIB dengan agenda mendengarkan jawaban dari BG atas pertanyaan-pertanyaan seluruh fraksi. Pada pukul 13.04 WIB yang artinya meleset 4 menit dari jadwal, rapat dimulai kembali. Namun ada yang menarik dari pembukaan rapat pasca istirahat yang satu ini. Jumlah para anggota dewan merosot tajam. Dari sebelumnya hampir lebih dari 35 anggota dewan komisi III yang hadir (tanpa fraksi demokrat), rapat pasca ISHOMA ini ‘hanya’ menyisakan setidaknya 7 anggota dewan yang sudah bersiap untuk rapat. Dari unsur pimpinan rapat pun hanya ada bapak azis syamsudin selaku pimpinan rapat, wakil ketua komisi entah berada dimana. Akan tetapi, Walaupun dalam keberjalanan rapat ini perlahan para anggota dewan hadir satu per satu namun tetap saja bagi saya, ada sedikit kekecewaan terhadap sikap para politisi ini. Sikap mereka dibenak saya malah menimbulkan stigma negatif bahwa para anggota dewan ini memang tak bisa terlepas dari sifat feodal. Atau sifat -semau gue- yang selalu ingin dihormati. Hal itu terscermin dari sikap inkonsisten dan kontradiksinya sikap para anggota dewan ini saat diliput media ataupun tidak diliput media. Kemarin saat saya mengikuti rapat internal pembahasan fit and proper test yang notabene nya tertutup dari media, hampir sebagian besar anggota dewan ini melangsungkan rapat dengan sangat santai, bahkan kemarin saya melihat ada anggota dewan yang kedapatan merokok di dalam ruang rapat. Walaupun memang rapat telah selesai tetapi tak elok rasanya melihat wakil rakyat kita yang terhormat ini memberi contoh yang tidak baik kepada khalayak. Beda lagi ceritanya ketika rapat dilihat oleh umum. Contohnya saja hari ini, Ketika diliput live oleh media. Para anggota ini seakan-akan berlomba-lomba unjuk gigi didepan forum. Padahal substansi pertanyaan telah ditanyakan oleh anggota lain. ataupun substansi pertanyaan sebenarnya justru telah dijawab di awal pemaparan visi misi dari cakapolri ini. Miris memang, tapi inilah faktanya dibalik liputan media massa yang banyak menghiasi layar kaca kita. Suasana kentalnya politik pun saya rasa tercemar jika saya teman-teman saya yang membaca tulisan ini dapat hadir langsung disini untuk merasakan bagaimana atmosphere disini. Setelah itu, Rapat fit and proper test pun kemudian dilanjutkan dengan agenda menjawab semua pertanyaan dari fraksi-fraksi partai di komisi III. Berbagai pertanyaan dari fraksi-fraksi partai kepada cakapolri pun dijawab satu per satu oleh cakapolri. Jawaban dari cakapolri ini sendiri menurut saya bersifat general dan cukup diplomatis atau bahasa sederhananya ‘main aman’. Mengingat jabatan presticious dari kapolri memang erat kaitannya dengan kekuatan politik parlemen. Kekuatan kapolri notabene nya memang membutuhkan kekuatan politik didalamnya, termasuk dari legislatif dan eksekutif. Bayangkan saja BG sesaat lagi akan memegang sebuah jabatan struktural tertinggi di korps bhayangkara, jabatan instasi kepolisian yang menjadi pucuk tertinggi yang membawahi seluruh jajaran polisi se-antero indonesia. Tentulah bukan perkara mudah untuk seorang BG bisa duduk di kursi panas, kursi fit and proper test tersebut. Karena itu, menurut saya jika dipandang dari segi politik pasti BG telah menyiapkan bekingan di parlemen sebagai ban serep seandaikan terjadi masalah ekternal. Contohnya sekarang, pasca penetapan status TSK oleh KPK, BG masih santai dan seolah tidak terjadi apa-apa diluar sana. Sepintas, tadi saya pun cukup was-was manakala pertanyaan satu demi satu dilontarkan anggota dewan kepada cakapolri. Bagaimana tidak, nampak sekali alur skenario yang dibuat sedemikian rupa dengan sangat matang dan sangat presisi hingga berhasil meyakinkan publik bahwa institusi DPR ‘layak’ untuk melanjutkan dan menyetujui proses uji kepatutan dan uji kelayakan terhadap cakapolri ini. Jawaban-jawaban BG atas pertanyaan para fraksi sendiri menurut saya memang sangat terlihat sekali ‘main aman’ nya. Sehingga dari jawaban ‘main aman’ tersebut, kemudian lahir lah reward dari para anggota dewan. Seperti yang tercermin dari pernyataan bpk abubakar dari fraksi PKS. Bpk abubakar mengatakan “baru kali ini saya melihat cakapolri yang sangat meyakinkan. Pemaparannya sangat bagus”. -Hahaha- saya hanya bisa tertawa di tempat duduk saya. Begitu mudahnya anggota parlemen ini di ‘jilat’ oleh jawaban-jawaban BG yang diplomatis tersebut. Berdasarkan catatan saya tadi, Dari sekian banyak klarifikasi terdapat beberapa jawaban yang kurang ‘memuaskan’ telinga saya. Salah satunya janji jika saja cakapolri terpilih, cakapolri BG akan melakukan cara represif dalam penyikapan suatu isu-isu yang berkembang ditengah masyarakat dengan cara mendekati para tokoh masyarakat, kemudian hal-hal lain yang saya nilai cukup memberikan nilai minus untuk seorang cakapolri adalah jawaban atas pertanyaan dari dari bpk junimart ginsang fraksi partai PDIP. Kira-kira Beliau bertanya seperti ini “apa langkah bapak jika sudah terpilih sebagai kapolri terkait demonstrasi anarkis oleh mahasiswa?” Namun yang cukup saya sayangkan, pertanyaan ini rupanya tidak dijawab oleh BG. Selain pertanyaan barusan, ada lagi pertanyaan yang sepertinya ‘sengaja’ untuk dilewati. Seperti pertanyaan dari fraksi partai PKS dapil sumatera utara yang pada pokoknya beliau menanyakan seperti ini “pada Tahun 2005-2007, Kira-kira dimana posisi bapak BG? Karena, Ini untuk membuktikan apa pernah saudara BG terlibat gratifikasi sebagaimana disebutkan KPK?” namun rupanya pertanyaan ini luput dari jawaban. Jawaban BG pun tergolong sangat diplomatis untuk menjawab pertanyaan anggota dewan dari fraksi PKS tadi. Beliau hanya menjawab “tidak, saya tidak terlibat itu”. Kemudian pertanyaan lainnya yang tidak terjawab adalah “apakah surat dari kabareskrim tentang laporan transaksi keuangan BG yang sehat sampai sekarang masih berlaku? Artinya, apakah pernah ada surat pencabutan dari kabareksrim untuk membatalkan dasar hukum tersebut?” pertanyaan tersebut diajukan oleh fraksi partai golkar. Namun sekali lagi, nihil untuk dijawab. Alias BG memilih untuk tidak menjawabnya. Rapat diakhiri kira-kira pukul 14.11 dengan diakhiri oleh kata penutup dari cakapolri BG. Kata penutup ini sendiri menurut saya sarat dengan muatan politis. Bagaimana tidak, berkali-kali ia menyebutkan bahwa ia tidak terlibat dan tidak ada kaitannya dengan penetapan TSK oleh KPK karena BG merasa tidak pernah diperiksa oleh KPK, dan BG merasa KPK belum menyebutkan perkiraan pasal apa yang disangkakan dilanggar oleh BG, sehingga BG merasa KPK telah salah dalam menerapkan status TSK kepada dirinya. BG merasa ada upaya-upaya yang bersifat ‘memaksa’ untuk menjegal dia H-1 di proses fit and proper test nya. Penutupan rapat kemudian disertai dengan ketukan palu oleh pimpinan rapat sebagai tanda sidang diskors dari pimpinan sidang. Agenda rapat selanjutnya ialah rapat pleno yang bersifat rahasia dari media massa dan umum. Rapat pleno sendiri memiliki agenda berupa pandangan dari fraksi-fraksi komisi III minus fraksi partai demokrat terkait fit and proper test calon kapolri Budi Gunawan. Pun selanjutnya, rapat pleno akan dilanjutkan pada pukul 14.30 WIB dan berakhir pada sekitar pukul 15.27 WIB. Rapat pleno pun menghasilkan keputusan bahwa saudara BG disetujui oleh komisi III DPR-RI sebagai kapolri 2015-2017 secara aklamasi. Artinya apa? Seluruh fraksi setuju atas penetapan BG sebagai kapolri. Hasil rapat ini akan dibawa pada sidang paripurna besok (15 januari 2015). disini terdapat beberapa skenario politik yang bisa saya gambarkan. beberapa diantaranya adalah:
Kemudian untuk mengakhiri tulisan ini, cobalah kita berfikir logis sejenak. Kira-kira bagaimanakah nasib kelanjutan BG sebagai kapolri 2015-2017 yang sudah disetujui oleh komisi III DPR-RI? Entah akan direview ulang oleh presiden jokowi dodo yang artinya akan ada calon kapolri baru untuk menggantikan BG karena telah ada proses hukum dari KPK? atau... malah sidang paripurna besok malah semakin akan me-legitimasikan lagi status BG sebagai kepala kepolisian republik indonesia yang baru periode 2015-2017. lebih baik kita tunggu saja nasibnya besok. Tunggu postingan saya lainnya. Terimakasih Jakarta, 14 januari 2015 23.48 WIB 25/12/2014 1 Comment Segudang PR untuk Dewan Mahasiswa Baru Semoga saja saya belum terlambat untuk menulis apa saja pekerjaan rumah kedepan untuk DEMA 2015. Mengingat DEMA 2015 telah dilantik pada jumat lalu tanggal 19 desember 2014. Sebelumnya saya ucapkan selamat bekerja kepada DEMA 2015. Selamat karena rekan-rekan sekalian telah rela melepas sebagian ego diluar untuk dapat berkontribusi secara nyata bagi Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum (“KMFH”) serta juga rela untuk melanjutkan perjuangan kami, DEMA periode 2013/2014 untuk KMFH yang belum sempat terrealisasi. Mengingat tingginya ego pada masing-masing dari kami. Di dalam tulisan saya kali ini saya hanya ingin menyebutkan apa saja sekiranya PR umum bagi DEMA baru dimulai di tahun 2015 yang mana dari tahun ke tahun selalu terkendala banyak permasalahan entah dari intern DEMA sendiri ataupun dari keadaan ekstern DEMA. Pemilihan Dekanat FH UNS 2015 Pada tahun 2015, akan diadakan pemilihan dekanat baru periode 2015-2018 (perkiraan saya 4 tahun). Didalam pemilihannya, tidak akan langsung terpilih dekan, pembantu dekan (“PD”) 1, PD 2 dan PD 3 secara serentak. Yang ada hanyalah pemilihan berdasarkan jabatan tertinggi, yakni dekan. Setalah dekan terpilih barulah PD 1, PD 2 dan PD 3 merupakan kewenangan dekan untuk memilih. Sistematika pemilihan dekanat berbeda seperti sistem pemilu KMFH dimana seluruh lapisan mahasiswa dapat memilih presiden BEM dan anggota DEMA secara langsung. Dalam pemilihan dekanat berbeda, dekan akan terlebih dahulu diusulkan oleh masing-masing unsur senat fakultas dan kemudian dipilih berdasarkan hasil sidang senat fakultas. Tentunya dengan fit and proper test internal terlebih dahulu. Dalam bahasa sederhana, senat fakultas dapat dikatakan merupakan forum tertinggi fakultas hukum yang memiliki komposisi berasal dari pelbagai unsur-unsur akademisi FH. Tapi tenang saja, saya tidak mau membahas lebih dalam karena tulisan ini bukan untuk membahas senat. Saya pribadi lebih menyukai sistematika pemilihan yang transparan yang artinya dapat diketahui oleh mahasiswa. apapun caranya saya sepakat asalkan dalam keberjalanannya dapat menerapkan prinsip transparan sebaik-baiknya, maksudnya mahasiswa dapat dilibatkan secara aktif dalam prosesnya meski mahasiswa tidak mempunyai hak suara sepeserpun. Jika kita sandingkan dengan kampus lain seperti contoh di UIN Syarif Hidayatullah, disana sebelum dekanat terpilih akan diselengarakan terlebih dahulu acara semacam debat calon dekan. Didalam acara tersebut, para calon dekan akan memaparkan visi misi untuk fakultasnya. Disertai pula dengan tanya jawab interaktif yang menuntut para calon dekan untuk menggali visi misinya. Lain halnya seperti di universitas airlangga, disana kedudukan mahasiswa sangan dihargai karena salah satu unsur dari senat universitasnya adalah mahasiswa yang diwakili oleh BEM. Sehingga memungkinkan unsur mahasiswa dapat menggunakan hak suaranya untuk memilih rektor, pun begitu dengan dekan di fakultas-fakultasnya. Implikasi yang timbul, rektor dan dekan terpilih di unair akan bekerja dengan terarah karena mereka diawasi dan karena telah ada kesepakatan politik dengan semua unsur-unsur civitas akademika universitas. Hmm, Sistem pemilihan yang menarik. Hal berbeda justru kita temui di FH UNS, menurut informan saya yang terpercaya pada era pemilihan dekanat prof. Hartiniwingsih, FH justru cenderung introvert dan sama sekali belum memperlihatkan pemilihan yang demokratis dan transparan. Hal ini terlihat dari sedikitnya informasi kredibel yang dapat diakses oleh seluruh civitas akademik pada masa-masa pemilihan dekanat tersebut. sangat disayangkan. Maka inilah PR pertama di tahun 2015. Kawal lah keberjalanan pemilihan dekanat dengan terarah dan konstan. Buatlah inovasi yang tidak pernah dibuat KMFH sebelumnya yakni kampanye dialogis para calon dekanat di tahun 2015 atau inovasi lainnya yang masih relevan dengan topik “mengawal pemilihan dekanat”. Karena sadari atau tidak, pemilihan dekanat 2015 merupakan isu dan momen penting yang tidak boleh sampai terlewati. Mengingat buruknya pelayanan yang dilakukan oleh dekanat kita selama mereka menjabat maka tentulah kita sebagai mahasiswa harus turun tangan untuk memecahkan masalah serta mencari solusi : bagaimana caranya memperbaiki FH UNS. Karena, melalui pemilihan dekanat di tahun 2015 lah satu pintu utama dari semua pintu ‘solusi’ permasalahan yang membelengu FH UNS telah kita buka. Apabila isu pemilihan dekanat dapat kita kawal maka bukan tidak mungkin atmosfer FH UNS akan lebih kondusif, penerapan customer satisfication sebagaimana tertuang dalam A.C.T.I.V.E dapat lebih efektif diterapkan dan segudang harapan lain entah dari mulut mahasiswa atau staff-staff administrasi di FH UNS dapat bisa diwujudkan oleh pimpinan baru FH UNS. Pensejajaran Kedudukan Mahasiswa dengan Dekanat isu ini sebenarnya sudah sempat saya gulirkan di depan mas dimas, FH 2008 (mantan DEMA 2010-2011) dan mas rahmat, FH 2010 (mantan ketua Novum 2013). Dalam diskusi singkat tersebut saya mengutarakan bahwa perkembangan zaman dewasa ini sudah tidak relevan lagi dengan keadaan KMFH masa lalu. Situasi FH saat ini menuntut kita, KMFH untuk dapat mengambil sikap lebih tegas dan tentunya dengan persiapan yang matang. Salah satunya dengan mensejajarkan kedudukan mahasiswa FH UNS dengan dekanat. Bagaimana tidak, fakta dilapangan telah berbicara. Seringkali dalam mengambil sebuah kebijakan pihak fakultas seperti mengenyampingkan suara-suara KMFH. Suara KMFH lebih sering dianggap angin lalu oleh pihak fakultas. Jika suara KMFH telah diutarakan lebih dari 2x barulah akhirnya pihak fakultas mau mengakomodir kepentingan KMFH. Saran saya, melalui pemilihan dekanat 2015. Pihak DEMA sebagai perwakilan dari KMFH sebaiknya mulai melakukan pendekatan-pendekatan kepada calon dekanat FH 2015. Galilah informasi sebanyak-banyaknya ke dosen yang memiliki sumber terpercaya siapa saja calon-calonnya tersebut. Contohnya lakukanlah riset secara mendalam ke pak bambang santoso sebagai senat. Jika sudah, dekati dan buat kesepakatan politik yang mengikat dengan para calon apabila mereka telah terpilih menjadi dekanat baru. Karena melalui pendekatan-pendekatan semacam itulah fase baru akan kita tempuh : yakni pensejajaran kedudukan KMFH dengan dekanat. Konkritnya melalui apa? Banyak cara, salah satunya ialah dengan pencatutan nama dekan atau pembantunya pada konstitusi KMFH. Namun bukan sekedar catut-mencatut saja, harus tetap ada perwakilan pihak fakultas atas nama dekanat yang hadir pada proses pengundangan konstitusi KMFH. Karena, jika saja hal ini dapat terwujud tentu saja di setiap kebijakan-kebijakan fakultas akan ada pihak mahasiswa yang hadir untuk memberikan masukan serta pendapat dari perspektif mahasiswa. Cara lain juga ada, yakni dengan dibuatnya kontrak politik antara pihak KMFH dengan diwakili DEMA dengan pihak fakultas berisikan poin-poin pensejajaran mahasiswa dengan dekanat pasca pemilihan dekanat 2015. Ya minimal kita telah memberlakukan asas dalam hukum kontrak yakni pacta sunt servanda (perjanjian berlaku sebagai sebuah undang-undang yang mengikat bagi para pihak). Karena itu, bagi DEMA 2015. Mulailah lakukan lobi politik dengan calon-calon dekanat baru kita, buatlah isu ini menjadi isu sentral dan penting bagi dekanat 2015. Buat isu ini menjadi isu prioritas calon dekanat kita. Kartu parkir Pasca diadakannya jumpa civitas akademik (“JCA”) oleh DEMA pada tahun 2012,Booming kartu parkir pun muncul. Kehadiran kartu parkir juga bukan tanpa sebab, karena dalam salah satu tuntutan yang dilayangkan KMFH pada JCA 2012 mahasiswa meminta agar penataan parkir dapat lebih tertata dan agar dapat mencegah terjadinya tindak pidana curanmor maka KMFH meminta pengadaan suatu alat yang dapat mencegah curanmor dan dapat mendidik mahasiswa agar tertib parkir dapat terlaksana. Maklum, karena pada tahun 2012 banyak motor dan helm yang hilang di parkiran gedung satu. Saya ingat sekali, tahun 2012 akhir. Pihak fakultas kemudian mulai melakukan pengadaan kartu parkir untuk setiap mahasiswa yang ingin parkir di gedung satu. Singkat cerita kartu parkir pun dibagikan dan segera dicoba untuk parkir. Namun sayang, ekspektasi saya yang begitu tinggi terhadap pengadaan kartu parkir pun tak sebanding dengan fakta yang ada di lapangan. Kartu parkir sederhananya hanyalah sebagai alat pengganti dari kertas parkir yang selama ini diberikan petugas parkir kepada mahasiswa. tak lebih. Ekspektasi untuk merasakan tertib parkir pun hanya omong kosong. Mahasiswa tetap hanya diberikan kartu parkir dan itu pun terlihat hanya formalitas belaka. Padahal dalam tuntutan KMFH pada JCA 2012 dijelaskan, bahwa KMFH menginginkan tertib parkir sebagaimana telah ada di FT atau FE (pada tahun 2012 belum menjadi FEB). Jika di FT kita dapat melihat bagaimana ketatnya mahasiswa yang hendak parkir karena selain menggunakan kartu parkir, mahasiswa pun tetap dimintakan STNK sebagai tanda bahwa motor tersebut ialah miliknya, pun seperti itu juga yang terjadi di FE. Pengamanan parkir di ketua fakultas tersebut juga menurut kami profesional, berbeda seperti di FH. Sangat berbeda. Padahal, pengadaan kartu parkir menurut saya dapat dimaksimalkan. Tidak seperti sekarang, pengadaan kartu parkir nampak seperti program omong kosong untuk memuaskan birahi kritis mahasiswa saja. Padahal, anggaran untuk pengadaan kartu parkir pun saya tergolong cukup besar, seingat saya hampir mencapai >10 juta untuk mahasiswa se-FH! Dalam suatu kesempatan di tahun 2014, saya pernah berbincang dengan pak yunanto selaku kepala sub bagian Umum & Perlengkapan (“umkap”) yang berwenang mengurusi pengelolaan parkir. Pak yunanto kemudian mengatakan ada beberapa alasan mengapa pelaksanaan kartu parkir tidak dapat maksimal. Salah satunya ialah karena petugasnya, petugas di gedung satu menurut beliau sudah pernah untuk memintai kartu kepada mahasiswa saat awal-awal peluncuran kartu parkir. Namun, banyak mahasiswa yang masih beralasan belum mempunyai kartu parkir ataupun beralasan sedang buru-buru karena mau UKD. Akhirnya lama kelamaan petugas di gedung satu pun tidak melanjutkan pekerjaannya memintai kartu parkir. Alasan klise menurut saya, hal tersebut dikarenakan tidak adaya sanksi kepada petugas maupun kepada mahasiswa yang hendak parkir. Tengoklah keadaan di FT. disana, jika petugas lalai meminta maka sanksi kepada petugas pun jelas. Begitu juga dengan mahasiswa, jika tidak segera menunjukkan kartu parkir maka jangan harap mahasiswa tersebut dapat keluar dari area parkir tersebut. Perbedaan yang cukup signifikan bukan? Namun, menurut saya alasan terbesar mengapa pengelolaan parkir mangkrak justru bukan terdapat pada petugas ataupun pak yunanto selaku pelaksana pengelolaan parkir. Tetapi terletak pada lemahnya pengawasan dari pimpinan tertinggi fakultas hukum atau dekanat. Bayangkan, sejak 2012 hingga sekarang. Apakah pernah pengelolaan parkir menjadi perbincangan serius dikalangan dekanat? Belum, bahkan cenderung tidak. Sepertinya memang kita harus kehilangan 3 motor terlebih dulu seperti yang terjadi di tahun 2012 untuk dapat serius menanggapinya. Inilah kelemahan besar yang ada di fakultas hukum. Tunggu dulu kejadiannya, barulah ada penanganannya. Hal yang memalukan ditunjukkan oleh orang-orang hukum yang tau hukum. Semoga DEMA 2015 dapat segera merealisasikannya. Atau jika pun tak terlaksana semoga siapapun itu dapat menyelesaikan permasalahan semu ini. Mensolidkan Irama Gerakan KMFH Untuk PR yang satu ini sepertinya sudah lama kita jadikan topik perbincangan di tiap diskusi-diskusi kecil antar sesama mahasiswa FH UNS namun topik perbincangan tersebut pasti pada akhirnya hanya menjadi guyonan bahkan berakhir pada wacana-wacana ‘kosong’ belaka. Bagaimana tidak, mulai dari anggota UKM/Komunitas hingga mahasiswa biasa pasti pernah mengeluh bagaimana buruknya irama gerakan KMFH kita ini. Contohnya, tengoklah peristiwa yang sempat terjadi pada masa osmaru 2014. Pada osmaru tersebut, semua UKM, komunitas hingga angkatan bersatu padu untuk mensukseskan rangkaian acara osmaru 2014. Singkat cerita, rangkaian osmaru pun diwarnai dengan aksi boikot yang dilakukan panitia. Namun sayang sekali, panitia membubarkan diri tanpa mengikutsertakan KMFH didalam keputusannya. Aksipun tetap berjalan hingga osmaru pun selesai, di dalam aksi tersebut hanya terdapat suara-suara panitia mahasiswa angkatan 2011 dengan segudang sikap yang tertuang di dalam MMT panjang yang dipajang di depan parkiran lama gedung satu. Cukup disayangkan, mengapa? Padahal isu osmaru merupakan isu sentral bersama. Bagaimana tidak, sekitar 400 an mahasiswa baru masuk dan acara osmaru pun adalah acara bersama KMFH, namun mengapa yang terlibat pasca peristiwa itu hanya rekan-rekan panitia saja? Kemanakah DEMA atau BEM? Apa hanya tidur siang di sekre saja? Ironis. Itulah satu peristiwa dari sekian banyak peristiwa lain yang mengingatkan kita bahwa arah gerakan KMFH belum konkrit. Belum seirama dan sangat tidak jelas. Masing-masing dari KMFH masih berjalan sendiri-sendiri. Bahkan cenderung memisahkan diri. Masih ingatkah ketika presiden BEM kabinet SOMASI lulus dengan menteri-menterinya padahal masa jabatannya belum berakhir? Ataupun masih ingatkah ketika KDFH meminta sekre untuk mempermudah urusan KDFH namun pada akhirnya isu KDFH ini berakhir pada pertengkaran dalam ‘kesunyian’? ya, masih sangat banyak urusan-urusan internal di KMFH yang belum dapat terselesaikan di DEMA periode saya. Karena itu, harapan saya. Semoga DEMA dapat lebih menitikberatkan pada sifat grassroot atau merumput kebawah. Sekiranya apa saja yang menjadi permasalahan mengapa arah gerakan KMFH begitu berantakan dan tidak terarah. Saran saya, buatlah sebuah forum yang berisikan para pimpinan-pimpinan BEM, UKM dan komunitas. Gulirkanlah isu bahwa kita sebagai KMFH harus bersatu padu dalam irama gerakan. Carilah apa saja permasalahan-permasalahan yang mendasari mengapa sulit sekali menyatukan KMFH. Serta jadikanlah isu penyatu paduan KMFH ini sebagai visi misi KMFH bersama. Ingat, kita berdiri dibawah satu bendera fakultas hukum universitas sebelas maret. Sudah bukan era nya lagi kita berjalan masing-masing tanpa memperdulikan sekeliling. Mahasiswa FH Itu banyak, bukan hanya ada UKM, BEM, DEMA ataupun komunitas saja. KMFH itu adalah wadah gerakan bersama sebagaimana tertuang dalam mukadimah konstitusi KMFH. Ayo satu padukan gerakan KMFH! Perlahan tapi pasti, buatlah ini menjadi sebuah kenyataan DEMA 2015! Merapihkan struktur ketatanegaraan KMFH PR yang satu ini saya akui cukup berat jika yang bergerak hanya DEMA seorang. Perlu adanya kegelisahan bersama yang melahirkan momentum revitalisasi struktur ketatanegaraan KMFH. Namun tetap saja, harus ada persiapan yang matang untuk menggulirkan isu ini menjadi isu bersama se-KMFH. Minimal DEMA periode 2015 dapat mengkonsepkan bagaimana sekiranya struktur ketatanegaraan yang baik untuk dapat disesuaikan dengan masyarakat KMFH sendiri. Pendapat saya, implementasikanlah prinsip trias politica berdasarkan checks and balances sebagaimana dipopulerkan oleh Montesquie dan Prof. Jimly Asshidiqie. Mengingat kita ini adalah orang-orang cerdas yang tau hukum. Maka buatlah tertib hukum dimulai dari struktur ketatanegaraan KMFH. Buatlah masterplan bagaimana struktur KMFH yang baik dan dapat segera diimplementasikan. Jangan lagi berkembang pemahaman bahwa DEMA merupakan lembaga tertinggi negara KMFH. Karena menurut saya hal tersebut sudah tak relevan dengan perkembangan ketatanegaraan KMFH. Buatlah konsep dimana kedudukan eksekutif sejajar dengan legislatif karena sama-sama dipilih langsung oleh mahasiswa. dan lakukanlah lobi-lobi politik dengan para UKM dan Komunitas. Sebaiknya berada dimakanakah kedudukan mereka di struktur ketatanegaraan KMFH. Mengingat fungsi dari UKM dan Komunitas sendiri hanya merupakan sebagai wadah minat dan bakat mahasiswa maka idealnya UKM & Komunitas harus rela untuk berada dibawah wewenang BEM untuk dikoordinasi. Ingatlah bahwa kita adalah mahasiswa hukum, maka sudah barang tentu bahwa dalam kehidupan organisasi mahasiswa juga harus selaras dengan tertib ketatanegaraan. Tidak seperti sekarang, konstitusi KMFH dibiarkan diundangkan tanpa persetujuan KMFH didalamnya. Dan tidak pernah terlaksananya wacana penggodokan Rancangan Undang-Undang UKM dan Komunitas karena ketakutan semu anggota DEMA untuk menggulirkan isu ‘revitalisasi struktur ketatanegaraan KMFH’. Sudah saatnya menurut saya, dimasukkannya invisible political hand kedalam sendi-sendi kehidupan ketatanegaraan KMFH. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan sekat-sekat yang masih mencengkram kuat antar sesama organisasi KMFH. Sangat tidak baik jika masih tetap dibiarkan. Semoga saja DEMA 2015 dapat perlahan melakukan lobi politik kepada semua UKM & Komunitas untuk melepaskan ‘warna jaket’ dan ‘kepentingan’ untuk membangun KMFH bersama. Mencerdaskan DEMA se-UNS perihal revitalisasi gerakan KBM UNS Sebagai lanjutan dari tulisan saya yang sebelumnya dimana mengarah hanya kepada KMFH, sebenarnya ada tugas yang selalu terlewatkan oleh DEMA FH UNS dari periode ke periode. Yakni turut aktif merapihkan ketatanegaraan Keluarga Besar Mahasiswa (“KBM”) UNS. Sebenarnya PR yang satu ini sudah coba saya pecahkan saat saya menjabat sebagai anggota DEMA 2013. Saat itu saya menggulirkan sebuah wacana pelaksanaan pemilu se-UNS yang serentak kepada DEMA se-UNS melalui sebuah forum diskusi atau yang saya sebut sebagai Focused Group Discussion (“FGD”). Sederhana saja, saat itu analogi hemat saya mengatakan bahwa arah gerakan BEM dan DEMA se-UNS memang belum kompak bahkan cenderung saling tumpuk menumpuk tidak terarah. Hal tersebut dilatarbelakangi pengalaman saya selama 1,5 tahun di BEM FH UNS kabinet berani tahun 2012-2013. Saat saya masih di BEM dan kebetulan saya dipercaya sebagai kepala deputi jaringan dan propaganda yang manifestasi dai pelbagai isu skala lokal,nasional maupun internasional. Saya memang disibukkan dengan berbagai kegiatan yang mengharuskan saya berkoordinasi dengan BEM se-UNS. Namun, berkali-kali saya dibuat kesal pada saat itu karena saya tidak mendapati sebuah kekompakan dalam gerakan BEM se-UNS ini. Gerakan BEM se-UNS yang digaungkan dalam nama Forbes pun hanya digerakkan oleh orang-orang eksternal yang terlalu bangga dengan jabatan semu nya tersebut. Maklum karena isi BEM UNS yang katanya merupakan koordinator BEM se-UNS memang di kuasai oleh KAMMI. Sehingga, dalam teknis pekerjaan berbagai pekerjaan yang menyangkut BEM se-UNS pun menjadi terkendala karena tingginya ego yang menyertai para BEM se-UNS. Apalagi saya juga bukan siapa-siapa dan saya juga takkan mau jadi siapa-siapa di KAMMI, maka jadilah setiap omongan saya di forbes hanya menjadi omong kosong belaka mengingat sebagian besar isi dari forbes adalah orang KAMMI. Ya, penyakit akut di UNS memang seperti ini. Singkat cerita, saya pun menemukan salah satu poin permasalahan besar yang dapat dipecahkan secara bersama. Ialah melakukan pemilu se-UNS secara serentak. Bayangkan saja, jika di analogikan. Pres BEM FH yang resmi bekerja bulan januari apakah akan sama kadar ilmunya dengan pres BEM UNS yang resmi bekerja pada bulan september? Tentu tidak bukan, idealnya dikarenakan semua BEM se-UNS ini memiliki kedudukan yang sejajar (sebagaimana terdapat jabatan presiden di tiap BEM se-UNS) maka sudah barang tentu jika proses pemilihannya dilakukan dengan serentak. Jika telah serentak maka satu solusi pun sudah terpecahkan yakni mudahnya berkoordinasi dan samanya kadar ilmu dari BEM se-UNS. Inilah alasan yang melatar belakangi saya untuk membuat FGD tentang perlunya pemilu se-UNS secara serentak. Namun, lagi-lagi saya mendengar suara sumbang di tiap BEM dan DEMA se-UNS yang kami undang sebagai pembicara ataupun sebagai peserta diskusi. Kebanyakan dari mereka menganggap “kenapa malah FH yang membuat diskusi semacam ini? Kan seharusnya DEMA UNS?” ataupun suara-suara sumbang lain yang mengatakan kita belum pantas untuk pemilu secara serentak karena sulitnya berkoordinasi antara sesama DEMA se-UNS. Ironis memang, ditengah semangat kami untuk memperbaiki struktur KBM agar arah gerakan lebih terarah. Justru malah dihadang dengan segudang pertanyaan yang memundurkan niat kita untuk memperbaiki KBM. Apalagi, dengan minimnya keikutsertaan DEMA UNS untuk urun rembug membicarakan perihal revitalisasi struktur ketatanegaraan KBM UNS. Semakin lengkaplah rasanya ketidakmajuan UNS untuk dapat mensejajarkan diri dengan struktur ketatanegaraan di ITB ataupun UI. Harapan saya, melalui DEMA 2015. Karena kita adalah mahasiswa hukum yang mengetahui hukum dengan lebih komprehensif. Saya harapkan hal in dapat menjadi salah satu cita-cita DEMA hingga 5-10 tahun mendatang. Jangan hanya kita berfikir rapihkan KMFH, namun kita juga harus berfikir lebih jauh. Yakni rapihkan KBM UNS! Buat kontribusi nyata untuk KBM UNS! Tunjukkan bahwa kita mahasiswa fakultas hukum dapat berkontribusi nyata dibidang hukum untuk UNS! Karena DEMA FH UNS juga adalah satu dari sekian lembaga yang paling saya harapkan untuk memulai gerakan revitalisasi KBM UNS ini. Semoga! Terakhir namun bukan bermaksud mengakhiri, yakni buatlah KMFH dan KBM UNS sadar bahwa DEMA itu ‘ada’ Tulisan saya yang satu ini bukan hanya ditujukan untuk DEMA FH UNS semata, melainkan untuk DEMA se-UNS. Karena kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa keberadaan DEMA masih dipandang sebelah mata entah di skala universitas maupun fakultas. Keberadaan DEMA masih dianggap sebagai pelengkap ditengah berkembangnya BEM sebagai lini terdepan penggerak mahasiswa. wajar memang, mengingat kedudukan DEMA yang hanya berwenang sebagai legislator dan kewenangan BEM sebagai eksekutor hukum yang dibuat oleh DEMA. Istilah good students governance pun hanya menjadi jargon omong kosong belaka bila kita masih menganut pemahaman usang bahwa BEM lah yang berjasa besar untuk mahasiswa. sesungguhnya, DEMA dan BEM ini satu paket dalam pergerakannya. Memang domainnya saja yang berbeda. Kedua lembaga ini pun sama-sama dapat membuka kantong aspirasi yang mana dapat segera di tindaklanjuti, yang membuat beda hanyalah bentuk output produk atas aspirasi yang terserap. Jika BEM pasca terserapnya aspirasi akan membuat aksi turun kejalan (contoh: aksi UKT), hal berbeda akan terasa jika DEMA yang dihadapkan dengan aspirasi. DEMA akan membuat produk politik atas isu yang berkembang di masyarakat, sama seperti DPR RI. Hukum yang diciptakan oleh DPR didasarkan pada perkembangan isu yang terjadi ditengah masyarakat. Contohnya penggodokan RUU perlindungan pembantu rumah tangga, DPR menggodok RUU tersebut dikarenakan maraknya tindak pidana yang dilakukan majikan terhadap pembantu rumah tangga. Seperti itulah analogi singkat kewenangan DPR yang sama dengan DEMA perihal tindakan atas aspirasi masyarakat. Maka dari itu, selayaknya produk hukum yang diciptakan DEMA kedepannya haruslah diakui baik secara yuridis, filosofis, sosial maupun politik ditiap-tiap kelompok masyarakat. (i) Yuridis disini dimaksudkan agar tiap produk hukum DEMA dapat berlaku dan dapat dijadikan rujukan dasar hukum bagi lembaga semacam BEM, UKM atau Komunitas hingga mahasiswa umum sekalipun; (ii) filosofis disini dimaksudkan agar tiap produk hukum yang diciptakan oleh DEMA dapat dipahami dan dijadikan dasar secara adat dan alami oleh seluruh unsur KMFH; (iii) sosial disini dimaksudkan agar setiap produk hukum DEMA dapat dipatuhi masyarakat KMFH dan dapat menjadi salah satu sendi yang mengikat masyarakat mahasiswa dalam kehidupan bernegara KMFH; dan (iv) politik, dimana hal ini dimaksudkan agar tiap produk peraturan perundang-undangan DEMA dapat mengikat dan ‘memaksa’ seseorang untuk patuh. Mengingat anggota DEMA telah terpilih secara politik-konstitusional. Terutama agar dapat mengikat secara politik ke tiap-tiap lembaga yang ada di KMFH. Karena jika saja secara politik DEMA telah berhasil mengikat melalui produknya bukan tidak mungkin cita-cita bersama kita yakni : revitalisasi KMFH segera dapat terwujud. Kekuatan berlakunya produk hukum DEMA harus efektif dan valid! Kesimpulan Mungkin itulah sedikit isu-isu yang belum sempat terrealisasi pada zaman saya menjabat sebagai DEMA FH UN 2013-2014. Dari semua isu tadi sebenarnya masih ada isu kecil lainnya yang belum sempat saya bahas di tulisan kali ini. Sebut saja, mengenai posisi komunitas di KMFH; papan-papan informasi di FH UNS yang kurang friendly dan ramah terhadap para pencari informasi; posisi tawar Jumpa Civitas Akademik yang semakin merosot dimata mahasiswa; masih berkembangnya sifat skeptis-apatis di tengah mahasiswa FH; kurangnya partisipasi aktif seluruh elemen KMFH dalam mensukseskan rangkaian pemilu KMFH; minimnya kontribusi nyata para ketua UKM & Komunitas untuk menyatu padukan gerakan KMFH; masih berkembangnya paradigma usang “BEM & DEMA itu lembaga ekslusif” di tengah mahasiswa FH; minimnya partisipasi KMFH dalam pernyataan sikap FH terhadap isu luar; minimnya pengetahuan KMFH mengenai gerakan mahasiswa; kurangnya koordinasi antar sesama lembaga KMFH; dan segudang permasalahan KMFH yang masih menghantui keberjalanan kehidupan bernegara di KMFH. Harapan saya pribadi, semoga yang membaca tulisan ini dan menjadikan tulisan ini sebagai pemantik diskusi kecil bukan hanya ada pada DEMA 2015, melainkan pada DEMA 2016, 2017 .. hingga seterusnya. Karena, gerakan ini tidak akan bisa terselesaikan hanya dalam satu tahun saja. Di ITB, berdasarkan obroal saya dengan abang kandung saya yang kebetulan pres bem KM ITB 2011, beliau mengatakan jika ITB bisa ‘merapihkan’ ketatanegaraannya karena telah menghabiskan waktu selama 10 tahun! Luar biasa menurut saya. Bagaimana tidak, gerakan revitalisasi KM ITB dimulai dari tulisan-tulisan sederhana seperti tulisan saya yang satu ini, kemudian berlanjut ke diskusi kecil hingga berlanjut ke forum-forum skala universitas yang berkomposisikan pihak rektorat, dekanat dan seluruh elemen KM ITB! Betapa luar biasanya ITB, pantas saja struktur ketatanegaraan ITB sering dijadikan rujukan oleh kampus-kampus lain. Dan, ITB juga dapat disejajarkan dengan UI yang notabene nya sama-sama kampus besar. Lantas, UNS kapan? Tentu saja saya jawab dengan sekarang bung! Bukan lagi meununggu-nunggu esok untuk memulai. Sekarang lah waktu yang tepat untuk memulai penyeragaman irama gerakan se-UNS. Dimulai dari lingkup fakultas terlebih dahulu tentunya. Tentu tak lupa dengan tetap ber ikhtiar dan konsisten pada gerakan besar ini. Harapan ini bagi saya takkan pernah padam. Karena saya masih mencintai UNS sebagaimana saya mencintai hidup saya sendiri. Terimakasih, sampai bertemu lagi di tulisan-tulisan saya yang lainnya. Hidup Mahasiswa! |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |