Ditengah proses hukum yang mendera kedua lembaga penegak hukum KPK & Polri, baru saja pada pukul 21.09 WIB, 25 januari 2015 presiden melangsungkan jumpa pers membahas isu panas perseteruan dua intitusi besar KPK & Polri. Di istana negara, Presiden didampingi oleh 6 tokoh senior kenamaan indonesia. sebutlah Prof Jimly Asshidiqie hingga Prof Hikmahanto Juwana hadir dalam konferensi pers resmi kenegaraan tersebut.
Presiden dalam keterangan persnya pada intinya mejelaskan bahwa beliau menegaskan tidak akan mencampuri urusan hukum yang mendera personel KPK & Polri. Kemudian, untuk mengakhiri pidato singkatnya yang tak kurang dari 10 menit tersebut, presiden menyempatkan diri untuk memberitahu pada awak media bahwa yang berada di belakangnya ini merupakan orang-orang “pendamping” beliau untuk memberi masukan-masukan terkait isu KPK vs Polri ini. Setelah presiden berpidato, giliran prof Jimly yang memberi keterangan pers. Keterangan pers beliau pun terkesan menegaskan bahwa memang benar ke-6 nya merupakan tim independen yang dibentuk presiden untuk mengatasi permasalahan yang melanda tubuh kepolisian & KPK ini. Hal ini seperti yang telah saya harapkan di artikel saya sebelumnya disini bahwa presiden dengan kewenangannya pasti akan mengambil langkah “aman” agar semua pihak yang menekan beliau dari atas & bawah dapat dibuat tenang dengan pilihannya tersebut. Presiden dalam hal ini (belum) cukup sanggup untuk men-SP3-kan kasus Bambang Widjojanto atau bahkan membentuk tik investigasi untuk membersihkan pandangan publik atas kinerja KPK yang terkesan “aneh” dalam penetapan status tersangka terhadap Budi Gunawan. Maka dari itu, presiden kemudian membentuk tim independen yang berisikan tokoh-tokoh kenamaan mulai dari mantan ketua MK, mantan wakil ketua KPK hingga pakar akademisi hukum kenamaan nasional. Langkah tersebut diambil presiden untuk meredam tekanan publik yang makin hari makin kuat menekan presiden untuk segera bertindak. Karena, jika saja presiden lupa atau bahkan pura-pura lupa tekanan publik diluar sangat besar kepada beliau. Bukan tidak mungkin presiden akan kehilangan dukungan dari masyarakat yang memilihnya. Dampaknya? Bisa dibayangkan bagaimana nanti bargaining public trust yang coba dibangun diatas pondasi popularitas seorang Jokowi Dodo bisa hancur dalam waktu sepersekian hari saja. Ingat, zaman ini bukan seperti zaman soeharto dimana pada era soeharto diperlukan waktu lama untuk mengumpulkan banyak massa guna melaksanakan agenda reformasi. Pada zaman ini? Hanya diperlukan beberapa jam saja melalui media-media online untuk menjaring massa sebanyak-banyaknya yang diperlukan untuk menyikapi satu isu. Contohnya? Tengok saja saat penangkapan Bambang Widjajanto kemarin oleh kabareksrim. Selang beberapa jam pasca kabar itu dinyatakan benar oleh humas Mabes Polri, gedung KPK langsung penuh disesaki puluhan orang yang peduli terhadap KPK. puluhan bahkan ratusan orang kemudian berbondong-bondong datang ke gedung KPK untuk menyatakan dukungan terhadap KPK. saya menjadi saksi mata bagaimana luar biasanya respon publik melalui media online saat ini. Luar biasa. Ya, itulah satu gambaran yang bisa saya utarakan lewat tulisan ini. Itulah juga contoh kekuatan konkrit masyarakat yang tidak bisa dinafikan oleh seorang presiden Jokowi. Namun, dari semua drama yang coba dipertontonkan ke khalayak umum pada hari ini. Kita patut berbangga, presiden masih mampu membentuk tim independen yang berisikan orang-orang terpercaya yang tentu sepak terjang dari masing-masingnya tidak perlu diragukan lagi. Hanya saja, masih ada beberapa hal yang luput dari drama politik yang diperlihatkan presiden. Apa saja hal itu? Pertama, presiden lupa bahwa ia adalah seorang panglima tertinggi di negeri ini. Ia bisa saja membuat pernyataan bahwa semua orang sama dimata hukum. Tetapi, perkataannya itu justru malah bisa membuat boomerang bagi ia sendiri. Prinsip equality before the law pada intinya memang harus disematkan pada tiap kasus/perkara yang akar permasalahannya memang murni sebuah hukum. Tanpa ada unsur politisasi didalamnya. Namun, dalam kasus BG ataupun BW, atau bahkan APP (Adnan Pandu Praja). Tentu orang awam pun akan sadar, bahwa ketiga kasus tersebut sangat sarat akan muatan politis. Belum lagi jika melihat dari berbagai serangan yang mendera KPK, mulai dari foto mesra Abraham dan tuduhan Hasto –Plt Sekjen PDIP- yang menyebutkan bahwa AS telah bermain politik saat pemilu 2014. Tentu orang yang sangat-sangat buta akan hukum dan politik pun akan sadar betapa kentalnya politisasi di kasus-kasus tersebut. Maka dari itu, tentu sangatlah bijak jika kita meminta presiden jokowi untuk turun tangan langsung menengahi perkara-perkara yang bermuatan politis ini. Tapi, kita lihat sendiri.. presiden justru menggunakan perpanjangan tanggannya (tim independen, Red) untuk mengatasi peliknya polemik KPK vs Polri ini. Kedua, presiden lupa pada janji-janjinya pada kampanye terdahulu bahwa ia hanya tunduk pada konstitusi dan bukan pada kepentingan-kepentingan tertentu. Tapi, apa yang selama ini kita lihat? Banyak kepentingan-kepentingan politik 5-tahunan terselubung yang hadir di setiap sela kebijakan-kebijakan politik & strategis seorang presiden. Drama bagi-bagi jabatan politik nampak sekali dalam tiap pilihan yang diambil presiden. Dari itu semua, sadarkah presiden jokowi bahwa ia bukan adalah presiden indonesia dan bukan presiden partai pendukungnya? Ketiga, semula banyak yang mengira bahwa pidato kedua presiden pada minggu ini merupakan jawaban ketegasan seorang kepala negara dalam mengambil kebijakan terkait kisruh KPK vs Polri. Namun, apa yang kita harapkan ini ternyata tak sebanding dengan apa yang terjadi. Nampak sekali presiden telah “mencuci tangan” posisi nya sendiri dengan menggunakan tim independen. Presiden tak ingin menyakiti perasaan partai-partai koalisinya dan masyarakat. Karena itu presiden mengambil langkah “tak tegas” dalam mengambil sikap. Yakni : membentuk tim independen. Keempat, entah mengapa baru beberapa bulan presiden jokowi memimpin indonesia, saya masih melihat kebijakan-kebijakan jokowi yang bersifat trial & error. Artinya, kebijakan tersebut masih uji coba. Padahal, status jabatan yang dijabat oleh beliau bukan lagi setingkat walikota atau gubernur lagi. Melainkan jabatan presticious yang mengharuskan beliau mengambil langkah tegas untuk bangsa indonesia. contohnya, dalam pidato beliau pada malam ini, saya banyak melihat cara beliau berkomunikasi yang memperlihatkan bahwa dirinya seolah-olah bersikap tenang dalam mengambil kebijakan. Kata “seolah-olah” ini bukan tanpa maksud saya simpulkan, presiden pada pidato yang pertama pada kasus KPK vs Polri ini mengatakan bahwa beliau tidak akan mengintervensi proses hukum yang berjalan baik di KPK maupun Polri. Kemudian, pasca beliau berpidato? Tentu saja masyarakat berreaksi, banyak yang menyayangkan sikap kepala negara yang terkesan acuh-tak-acuh tersebut. Lalu, dalam kesempatan pidato kedua presiden kemudian membentuk tim independen yang meski belum diberi status formal namun pada intinya tim ini memang sengaja dipersiapkan untuk mengatasi isu KPK vs Polri yang sedang hangat diperbincangkan. Intinya? Tentu saja telah terjadi langkah trial and error dimana sebelumnya presiden mencoba mengelak, kemudian karena publik dibuat geram presiden pun membentuk tim untuk meredam keinginan publik tersebut. Sebuah langkah yang tidak tegas menurut saya. Tidak elok seorang kepala negara melakukan kebijakan uji-coba. Kelima, bagi saya diseluruh negara manapun yang menganut sistem demokrasi. Tentulah, seorang kepala negara pasti dituntut untuk mengintervensi secara hukum semua perkara-perkara yang sarat atau bahkan berlumuran kepentingan politis didalamnya. Seorang kepala negara harus hadir berdasarkan kehendak rakyat untuk menjawab pertanyaan atas suatu perkara yang tak kunjung usai karena tarik menarik kepentingan-kepentingan didalamnya. Pun demikian dengan indonesia, sejujurnya saya sangat mengharapkan presiden dapat hadir untuk memberikan kepastian hukum bagi tiap perkara-perkara yang bermuatan politis didalamnya. Tidak terkecuali dengan polemik KPK vs Polri ini. Rasanya tidak terlalu muluk jika seandainya kita mengharapkan presiden dapat turut serta aktif menengahi polemik KPK vs Polri ini. Beberapa tahun belakangan masih segar ingatan kita pada polemik cicak vs buata jilid 1 dimana pimpinan KPK diserang oleh polri. Kemudian, presiden SBY selaku kepala negara saat itu langsung membentuk tim independen yangmana tim tersebut bertugas untuk membuat rekomendasi kepada presiden langkah apa saja yang dapat dijalani presiden selaku kepala negara untuk menyelamatkan kedua institusi tersebut. Mungkin sekilas langkah ini hampir serupa seperti yang dilakukan oleh presiden jokowi saat ini. Namun, yang menjadi berbeda ialah. Pada saat itu situasi politik tidak sepanas saat ini dimana presiden jokowi di satu sisi saat ini (masih) merupakan kader dari salah satu partai pengusungnya (PDIP, red) . hal tersebut belum ditambah dengan kehadiran ketua umum PDIP yakni Megawati Soekarnoputri dimana secara tidak langsung telah memberikan “intervensi” di tiap pilihan-pilihan jokowi. Tengoklah pada saat partai demokrat berkuasa di bawah pimpinan SBY selaku ketua umum Partai Demokrat. Hampir seluruh kebijakan partai selama SBY berkuasa selalu berjalan mulus tanpa hambatan. Mengapa demikian? Karena SBY merupakan ketua umum partai demokrat saat beliau berkuasa. Berbeda dengan presiden jokowi saat ini yang merupakan kader dari ketua umum PDIP, Megawati Soekarnoputri anak sang proklamator. SBY pada eranya bisa mengendalikan dengan mudah mesin partai & kekuatan politiknya untuk mendukung kebijakan strategisnya. Jokowi? masih sangat sulit jika ia tidak mengubah style nya ini. Karena budaya ewuh pekewuh wong jowo pasti masih sangat melekat kuat di benak jokowi sehingga sulit bagi beliau untuk melepaskan pengaruh sang ketum PDIP di tiap langkahnya. Karena itu, sungguh tak elok rasanya jika presiden jokowi saat ini belum dapat melepas pengaruh PDIP di tiap-tiap langkahnya. Jakarta, 26 Januari 2015 oo.19 WIB
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |