1/9/2015 4 Comments Sekelumit Kisah dan Realita Profesi dan Organisasi Advokat, Kehakiman & Kejaksaan*oleh: muhammad l aldila belakangan ini saya betul-betul disibukkan dengan tugas negara di pengadilan negeri karanganyar. Di pengadilan ini, mau tidak mau saya dituntut untuk terus memantau jalannya persidangan serta mempelajari alur beracara dengan seksama. Hari-hari pun berlalu dan saya mulai mengenal dan berdiskusi lebih dalam dengan para aparatur yang terlibat di PN ini. Dan diantara berbagai profesi yang ada di dalam PN, entah mengapa salah satu profesi yang paling membekas di benak saya (karena memberikan saya banyak pencerahan mengenai profesi litigasi) adalah hakim. Bagi saya, diantara berbagai profesi yang berbincang santai dengan saya, hakimlah yang menurut saya betul-betul bisa diajak berbincang santai dengan objektif. Mulai dari membicarakan sisi-sisi gelap profesi hukum lain sampai membicarakan hal-hal yang (seharusnya) tidak boleh diperbincangkan oleh profesi hakim karena melanggar kode etik. Misalnya memperbincangkan isi putusan hakim lain yang menyedot perhatian khalayak nasional.
Melalui berbagai diskusi singkat selama saya menjalani tugas kenegaraan di PN karanganyar ini, amat banyak cerita-cerita yang benar-benar baru saya dengar mengenai perkembangan hukum nasional dewasa ini. Selain membicarakan pelbagai hal baru yang bertemakan hukum acara, banyak juga pembicaraan lain yang 'menyerempet' membahas mengenai sisi-sisi lain dari profesi hukum maupun organisasi yang bersangkutan. Misalnya, ketika salah satu hakim di PN ini berujar pada saya bahwa sistim kerja di kejaksaan mirip dengan sistim komando di kepolisian atau TNI yakni tegas lurus instruksi atasan. Menurutnya, sistim komando tersebut berakibat pada tidak memungkinkannya sang jaksa untuk bertindak mandiri. Contohnya yang sempat diutarakan, saking sistematisnya komando instruksi atasan tersebut, sampai-sampai penyusunan amar tuntutan pun harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan atasannya alias kepala kejaksaan negeri (Kepala Kejari) yang bersangkutan. Uniknya bahkan di beberapa kasus, jika saja kasus yang ditangani oleh JPU menyedot perhatian publik nasional, bukan tidak mungkin penyusunan amar tersebut harus dikoordinasikan hingga kepala kejaksaan tinggi atau mungkin kejaksaan agung. Itu semua pada akhirnya akan berakibat (secara tidak langsung) pada sikap maupun ketegasan dari JPU tersebut untuk menyusun dakwaan ataupun tuntutan. Belum selesai sampai disana, sang hakim tadi juga mengisahkan, bahwa sepanjang pengalamannya berkiprah sebagai hakim rupanya terdapat semacam 'aturan tidak tertulis' di tengah profesi jaksa. Info ini ia dapat dari perbincangan beliau dengan jaksa yang bersangkutan. Yakni, sistim 'auto-pilot' tanggapan putusan hakim. Sebelumnya, tentu kita ingat ada tiga tanggapan JPU pasca pembacaan putusan. Menerima (putusan hakim), pikir-pikir, atau mengajukan upaya hukum banding. Disinilah yang menarik. Karena ternyata, 'aturan tidak tertulis' yang berlaku diantara para jaksa penuntut umum mengatur bahwa: jaksa akan mengajukan banding jika putusan kurang dari ½ amar tuntutan jaksa. Misal jaksa menuntut hukuman pidana penjara selama 10 tahun dan majelis hakim hanya mengabulkan 3 tahun, maka bisa diprediksi secara 'otomatis' jaksa akan mengajukan upaya hukum banding. Selain bercerita mengenai aturan tidak tertulis kejaksaan, beberapa hakim disini juga bercerita mengenai rekrutmen jaksa yang (masih cukup) jauh dari kata transparan dan akuntabel. Contohnya, ada beberapa hakim yang bercerita mengenai pengalamannya lolos dan diterima sebagai jaksa namun diharuskan membayar sejumlah uang yang nominalnya sangat-sangat besar. Sistim rekrutmen tersebut juga masih marak dengan Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Contoh singkat, di lingkungan kejaksaan sudah sangat lumrah ditemui calon jaksa yang lolos karena 'dibantu' karena memiliki orang tua, famili atau kenalan di lingkup internal. Sehingga berakibat, kualitas terabaikan dan kapabilitas sang jaksa digadaikan. Itu semua tentu berakibat pada berbahayanya proses rekrutmen jaksa. Inilah proses yang luput dari perhatian kita. Selain proses rekrutmen, seluk beluk tata organisasi jaksa lainnya juga banyak dikritisi oleh para hakim. Sistim mutasi yang masih 'abu-abu' alias tidak jelas juga sempat dibahas. Menurut penuturan para hakim, sistim mutasi di lingkup kejaksaan masih relatif tidak jelas. Sangat berbeda dengan mutasi di lingkup hakim. Para hakim juga tak lupa mencontohkan. Di lingkup kejari karanganyar, banyak jaksa yang sudah lewat 5 tahun berada disana tetapi belum juga di mutasi. Berbagai alasan tentu melatarbelakangi, dan alasan yang bagi saya cukup lucu ialah karena faktor politis. 'semakin anda mengenal orang-orang di pusat, artinya semakin besar pula mutasi anda plus “bonus” nya' begitu kata hakim tersebut. Selesai membicarakan mengenai jaksa, perbincangan pun mulai merembet profesi pengacara. Profesi yang bagi sebagian mahasiswa hukum merupakan profesi yang diidam-idamkan karena menawarkan mimpi menjadi terkenal, kaya, dan tentunya keren. Profesi advokat memang merupakan jenis profesi yang menawarkan ritme kerja yang sungguh berbeda dari ritme kerja kejaksaan maupun kehakiman. Perbedaan yang mendasar ialah ritme kerja advokat yang benar-benar fleksibel. Beda seperti kejaksaan ataupun kehakiman yang cenderung vague (kaku). Dari obrolan saya ke beberapa profesi, termasuk juga langsung ke pengacara ybs. Menjadi pengacara memang merupakan suatu tantangan nyata tersendiri. Bagaimana tidak, menjadi pengacara tidaklah mudah. Diharuskan mengikuti serangkaian PKPA (pendidikan khusus profesi advokat), kemudian mengikuti ujian, sebelum dilantik diwajibkan magang terlebih dahulu selama kurun waktu tertentu dengan syarat harus menangani beberapa jenis perkara tertentu, kemudian barulah sang calon advokat dilantik dan disumpah profesi. Serangkaian proses ini memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Yang memungkinkan terjadinya 'gesekan-gesekan' tertentu. Bagi anda yang kurang paham, artinya anda sama tidak pahamnya seperti saya pertama kali mendengar kata 'gesekan'. Menurut beberapa advokat yang berbincang santai dengan saya, gesekan dalam hal ini memiliki maksud tertentu yang ditujukan untuk kepentingannya sendiri. Dan celakanya, kepentingan yang dimaksud ialah kepentingan yang negatif. Misalnya pasca anda lulus ujian advokat. Seperti yang saya utarakan diatas, setelah anda lulus. Anda diwajibkan untuk melalui proses magang terlebih dahulu di kantor advokat untuk mendapatkan suatu rekomendasi yang menyatakan bahwa anda telah menangani beberapa perkara pidana, perdata, TUN yang dimaksud. Akan tetapi, terkadang ada beberapa kantor yang memberikan jalur khusus bagi sang calon advokat yang sedang melaksanakan magang untuk segera dilantik. Tujuannya? Tentu jelas. Sang senior advokat ataupun para associates, merasa 'tertarik' kepada sang calon advokat karena ia bisa melakukan 'manuver-manuver' yang tidak biasa guna memenangkan perkara. Misalnya saja, jika sang calon advokat merupakan anak dari orang yang berkepentingan yang duduk di pemerintahan atau bahkan mungkin karakter sang calon merupakan orang 'nekat' yang biasa menempuh jalan super pintas untuk menggapai suatu tujuan. Maka sudah barang tentu nasib sang calon advokat tersebut semulus jalan tol. Menurut beberapa advokat disini, memang kantor-kantor yang 'bersedia' menawarkan jalus super khusus tersebut kebanyakan merupakan kantor besar di jakarta yang menangani berbagai perkara skala nasional. Karena itulah, jika saja sang calon advokat mengenali bahwa dirinya ialah orang yang nekat dan terbiasa berlaku curang. Maka jalan menuju ketenaran dan kekayaan pasti akan dilalui dengan jalan yang mulus. Tentu dengan cara-cara yang kotor. Ini biasa disebut sebagai 'black lawyer'. itulah salah satu potret betapa (masih) hitamnya profesi advokat ditangan para oknum-oknum. Terlebih banyak kasus dimana sang calon advokat yang berintegritas justru tertahan di pelantikan dan pengambilan sumpah advokat. Alasannya Sederhana. Karena DPP Peradi belum “memustuskan” bahwa si advokat integritas tadi sudah layak dilantik dan diangkat sumpah advokat. kasus Garry sang anak buah OC Kaligis misalnya. Ia dilantik dengan sangat cepat. Jika normalnya, seorang calon baru akan dilantik memakan waktu misalnya 3 tahun, ia justru sudah dilantik kurang dari 2 tahun. Suatu proses yang 'janggal' yang harus di kritisi lebih dalam. Terlebih di sisi lain, hingga saat ini (29/08/2015) DPP Peradi masih 'pecah'. Belum terjadi suksesi kepemimpinan yang hakiki. Perkara perpecahan peradi memang merupakan lagu lama sejak awal mula diberi mandat oleh UU sebagai satu-satunya organisasi yang berhak menyelenggarakan PKPA dan melantik advokat-advokat baru. Bagaimana tidak, organisasi-organisasi lain yang juga konsen di tata organisasi advokat seperti AAI, IAI, dsb memang cenderung tidak suka sepak terjang dari Peradi. Alasannya beragam, mulai dari Peradi yang sudah terjerumus kedalam kehidupan politik, isu korupsi, dsb. Sudah sejak lama antar organisasi-organisasi advokat tersebut terlibat dalam perang dingin yang tidak kunjung usai. Padahal, sangat dibutuhkan suatu rekonsiliasi dan penyatuan kembali visi misi demi tercapainya pemulihan organisasi advokat yang berkredibilitas dan berkapabilitas tinggi demi tegaknya hukum nasional. selesai membicarakan kedua profesi tersebut, sungguh tak lengkap rasanya jika tak membicarakan profesi hakim langsung dari kacamata sang praktisi. Khusus pembicaraan tentang hakim narasumber saya memang hanya satu. Yakni dari hakim itu sendiri. Sedikitnya ada 7 hakim dari 10 hakim yang saya ajak diskusi lebih dalam. Ada berbagai pembicaraan menarik yang sebelumnya tidak pernah saya dengar ketika berada didalam kelas saat perkuliahan. Saya masih ingat ketika salah satu hakim mengutarakan bahwa ia prihatin dengan hakim sarpin yang menyidangkan praperadilan budi gunawan. Bagaimana tidak, perkara budi gunawan sejatinya merupakan perkara skala nasional yang melibatkan lembaga-lembaga negara terkait. Polri, KPK, DPR, bahkan presiden. Semuanya menunggu putusan dari hakim tunggal sarpin rizaldi. Karena ditangan sarpinlah, diibaratkan masa depan penegakan hukum di indonesia dipertaruhkan. Karena, 'meluaskan' kewenangan UU tentu akan berpotensi terjadinya pergolakan hembusan angin hukum baru. Hingga akhirnya putusan telah diketuk dan angin badai yang tidak diinginkan pun tiba. Para pihak yang kontra menyalahkan sarpin habis-habisan. Seolah apapun yang dilakukan sarpin adalah sebuah dosa. Hingga puncaknya, beberapa tokoh kenamaan nasional mulai terang-terangan menyatakan ketidaksetujuan atas putusan sarpin. Dan berdampak pada hujatan. Bukan hanya kepada isi pertimbangan putusan, melainkan pribadi sarpin. Dari contoh diatas, dapat disimak dari kacamata seorang hakim bahwa wajar apabila hakim sarpin mengabulkan permohonan budi gunawan. Terlepas dari segala frame yang dibentuk oleh media. Alasannya cukup jelas: yakni seorang hakim sapin tidak cukup yakin atas bukti-bukti yang diajukan oleh KPK untuk menguatkan dalil hukumnya. Ketidakyakinan hakimlah yang dijadikan suatu pijakan oleh seorang hakim untuk membuat suatu putusan. Seringkali didalam teori, kita seringkali mengabaikan keyakinan hakim. Padahal di dunia praktisi, keyakinan hakim merupakan amunisi utama untuk menggapai suatu keadilan bagi masyarakat dalam bentu putusan. Terlebih, sejak pasca reformasi hakim memang tidak lagi diidentikan dengan 'corong undang-undang'. Maka itulah, dalam membuat putusan hakim hanya perlu berpijak pada ketentuan UU sebagai sandaran. Bukan sebagai suatu alat ukur yang pasti. Di poin pembicaraan lain, saya juga menemukan hal-hal menarik yang tidak saya temukan di mata kuliah manapun. Yakni kewenangan hakim untuk membuat hukum baru atau bahasa populernya yakni penemuan hukum. Memang, dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang. Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang. Karena undang-undang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas maka dalam hal ini penegak hukum (hakim) haruslah mencari, menggali dan mengkaji hukumnya, hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Proses penemuan hukum inilah yang banyak dilakukan oleh hakim-hakim yang memiliki pandangan progresif yang bagus. Salah satunya dilakukan oleh hakim-hakim di PN karanganyar ini. Hakim di PN karanganyar ini misalnya, berdasarkan pengamatan saya. ada beberapa penemuan hukum dalam kasus-kasus tertentu. Misalnya saja mengenai persamaan nama. Jika ditelusuri, Peraturan perUU positif manapun dapat dipastikan tidak akan ada pengaturan yang jelas mengenai pengaturan persamaan nama. Padahal, kondisi dilapangan sudah sebegitu cepatnya berevolusi. Kasus persamaan nama memang merupakan kasus yang (mungkin) hanya ada di pulau jawa. Ada nama kecil dan nama tua (biasanya setelah menduda atau menjanda). Atau mungkin perbedaan nama di akta kelahiran, KK dan ijazah. Yang berakibat pada sulitnya sang pencari keadilan mendapatkan pekerjaan atau mengurus syarat administrasi tertentu. Inilah yang dijadikan suatu peluang penemuan hukum oleh hakim di PN karanganyar ini. Dengan disertai bukti-bukti serta saksi-saksi terkait, maka perkara persamaan nama pun akan usai. Selain hal-hal tersebut diatas, ada satu hal menarik yang rasanya sayang jika luput tak saya tulis disini. Ialah mengenai perseteruan MA dan KY. Hakim-hakim disini pada dasarnya memang memiliki garis koordinatif dengan MA, namun yang saya sukai ialah tidak sedikit hakim-hakim disini yang berpandangan berbeda. Berpandangan yang tidak lazim. Disatu sisi menyalahkan KY, tetapi di satu sisi pun juga menyalahkan MA karena keras kepalanya. Salah satu yang saya ingat yakni mengenai dualisme rekrutmen hakim oleh MA dan KY. Memang sejak KY terbentuk pasca reformasi, KY seolah dianggap sebagai 'penyelamat' atas buruknya kinerja kekuasaaan kehakiman pada rezim orde baru. Ia diposisikan layaknya obat penawar bagi orang yang keracunan. Suatu analogi sederhana yang menggambarkan betapa besarnya ketidakpercayaan masyarakat atas kinerja kehakiman. Tetapi itu dulu. Sekarang, itu semua sudah berubah. Perlahan lembaga kehakiman inipun mengalami perombakan besar dari segi tata organisasi. Akuntabilitas, transparansi digalakkan dimana-mana. Itu terbukti misalnya saat rekrutmen hakim melalui MA. Semua hakim yang mengikuti proses seleksi cakim pasca reformasi acapkali bercerita: “Tidak sepeserpun uang keluar saat proses berlangsung. Semua dibiayai negara”. Semua dapat dilihat secara transparan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Namun sayangnya, kelihaian MA tersebut rupanya belum menjalar ke sifat koordinasi lembaga. Ya, harmonisasi dengan KY selaku 'pengawas' mereka misalnya. Contohnya saja tentang rekrutmen hakim. Ikhwal rekrutmen ini, sejak rekrutmen tidak lagi dipegang oleh menteri kehakiman, memang sejak MA lah yang memegang kendali. Namun sejak UU memberikan kewenangan yang lebih besar pada KY untuk mengadakan rekrutmen hakim, rupanya MA merasa tersaingi. Ranah yang seharusnya menjadi kewenangannya, diserobot dengan begitu saja. Ini yang banyak dikritisi oleh hakim disini. Selain mengenai organisasi kehakiman, para hakim disini ternyata juga memberikan bocoran bahwa nyatanya rekrutmen hakim faktanya (masih) diliputi oleh nepotisme. Para hakim-hakim senior yang memiliki anak ataupun famili yang ingin mengikuti rekrutmen hakim nyatanya lebih 'diperhatikan' ketimbang mereka yang tidak memiliki famili siapapun di pusat. Memang, sangat sulit untuk membuktikan dalil ini. Tetapi, berkali-kali saya berhasil diyakinkan oleh narasumber saya alias hakim disini bahwa nepotisme masih ada dan masih berlaku di MA. Miris. Itulah sekiranya setitik cerita mengenai profesi-profesi hukum yang berhasil saya tulis kembali melalui tulisan singkat saya kali ini. Semoga saja dari tulisan singkat ini, kita kembali bisa memahami bahwa teori yang dikemukakan oleh friedman tentang 'keseimbangan hukum' bisa tercapai. Caranya ialah struktur hukum (peraturan perUUan, hakim, jaksa, polisi, advokat) harus bisa seimbang sama teratur dengan budaya hukum. Budaya hukum lah yang bisa kita ciptakan bersama tanpa perlu menjadi penguasa. Karena dengan budaya hukum yang lahir dari masyarakat biasalah, bangsa ini bisa menjadi bangsa yang besar. Mungkin kita ingat betapa hebatnya dongeng dari negara cina dan jepang dalam hal 'auto-pilot' menghukum diri sendiri jika terbukti melanggar hukum. Bagi mereka, melanggar hukum sama saja dengan meludahi budaya etika mereka yang telah tumbuh beratus-ratus tahun. Dan tentu mereka melakukan hal tersebut bukan tanpa dasar, mereka melakukan tersebut untuk membiasakan sesuatu yang akan dipetik 20-40 tahun mendatang oleh anak cucu mereka. Ialah budaya sadar etika. Mengapa budaya sadar etika? Karena dimulai dari kesadaran kita akan etika, secara otomatis kita juga akan sadar hukum. Jadi, tunggu apalagi? :) Muhammad L Aldila *Pegiat Pusat Studi Transparansi Publik dan Anti Korupsi (PUSTAPAKO) UNS kandidat S.H di Universitas Sebelas Maret Pernah Bertugas di komisi III DPR-RI
4 Comments
Sailing across the sky
23/9/2020 15:02:50
Terimakasih ulasan ini sangat membuka wawasaan dan membuat sadar tentang bagaimana kinerja lembaga negara selama ini
Reply
Admin
30/11/2020 17:45:43
Terima kasih atas jejak komentarnya. Betul, dibalik hingar bingar lembaga tinggi negara, dapat dipastikan tersimpan 'cerita' dari sudut pandang yang lain.
Reply
rahmad anggian
30/11/2020 14:24:55
Terimakasih atas informasinya, sangat membuka pandangan saya mengenai profesi hukum, khususnya kepada saya seorang mahasiswa hukum yang saat ini masih bepemikiran "idealis".
Reply
Admin
30/11/2020 17:46:23
Terima kasih sudah berkenan berkunjung. Semoga sukses di dunia belantara hukum ini.
Reply
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |