oleh: Muhammad L Aldi Republik Rwanda (“Rwanda”) merupakan negara yang terletak di afrika tengah dengan penduduk sekitar 7,4 juta jiwa dan merupakan negara terpadat se-Afrika. Negara ini terletak beberapa derajat dibawah garis khatulistiwa dan berbatasan dengan Uganda, Tanzania, Buruni Dan Republik Demokratik Kongo. [1] Rwanda secara resmi merdeka dari jajahan Belgium pada tahun 1962. Negara dengan luas total 26,338 km2 ini disokong sistem multi-partai dalam sistem pemerintahan yang dominan presidensiilnya yang lebih kuat (executive heavy), namun juga resmi menggunakan sistem parlementer sejak pemilu transisional tahun 2003 [2]. Artinya, selain memiliki satu presiden sebagai kepala negara, rwanda juga memiliki satu perdana menteri untuk menjalankan roda pemerintahan sebagai kepala pemerintahan. Selain itu, bentuk pemerintahan Rwanda adalah Republik.
Transisi sistem pemerintahan rwanda dari era presidensiil dengan gaya kepemimpinan politik totaliter menuju era demokrasi-presidensiil (executive heavy) berjalan alot dan sangat dramatis bahkan hingga menimbulkan perpecahan dan pertumpahan darah. Dimulai dari perang sipil pada tahun 1990 antara pemerintahan yang dipimpin suku Hutu dan pemberontak the Rwandan Patriotic Front (RPF). Perang sipil ini pun kemudian disusul dengan lahirya Arusha Declaration di tanzania pada tahun 1990 yang secara garis besar mengamanatkan agar rwanda segera meredam konflik sipil dan mengganti sistem politik totaliternya. namun, rupanya situasi geopolitik pada tahun-tahun awal deklarasi itu cukup darurat sehingga deklarasi tersebut dinyatakan belum cukup mampu untuk segera dilaksanakan. Salah satu pemicu mengapa amanat deklarasi tersebut tidak dapat segera terlaksana ialah karena Juvénal Habyarimana –selaku presiden yang berkuasa pada saat itu- tewas pada 6 april 1994 karena pesawatnya ditembah jatuh dekat bandara internasional kigali. Pesawat yang ia tumpangi juga membawa Presiden tetangga negara Burundi, dan negara Cyprien Ntaryamira. Pembunuhan ini pun memicu ketegangan etnis suku tutsu dan hutu di rwanda dan menjadi pemicu utama pembantaian dengan genosida secara massal yang menewaskan 1 juta warga negara rwanda pada juli 1994 [3]. Tampuk kepemimpinan pun kosong pasca presiden rwanda tewas dibunuh dan menyebabkan negara-negara internasional campur tangan untuk menekan rwanda agar menghentikan perang sipilnya. Salah satunya ialah belgia yang notabenenya merupakan negara bekas penjajah rwanda. Pada agustus 1995, perpecahan suku pun berakhir. Dengan difasilitasi oleh belgia, rwanda pun memilih untuk menjalankan kembali amanat Arusha Declaration guna mengakhiri perang antar suku dengan cara memilih sistem pemerintahan presidensiil (executive heavy) secara demokratis dengan kehadiran perdana menteri sebagai kepala pemerintahan [4]. Pemilu pertama secara demokratis pun berhasil berlangsung pada 2003 dan menghasilkan Presiden Paul Kagame dari partai Front Patriotik Rwanda (FPR). Sebenarnya Ia berkuasa tanpa legitimasi konstitusional sejak tahun 2000 tanpa sokongan partai, namun tahun 2003, ia terpilih kembali melalui pemilu yang artinya menlegitimasi jabatannya. Artinya, ia telah berkuasa 15 tahun lamanya. Sedangkan perdana menteri yang ditunjuk oleh presiden ialah Anastase Murekezi dari partai Social Democratic Party yang menggantikan Pierre Habumeremyi sejak 2011. Masa jabatan seorang presiden rwanda berlaku selama 7 tahun dan dapat dipilih kembali dalam pemilihan umum di rwanda. DPR dan DPRD di rwanda memiliki ciri dan sistem rekrutmen yang sama dengan indonesia. yang menarik, MPR atau Senat rwanda memiliki 26 anggota yang dipilih atau ditunjuk untuk jangka waktu delapan tahun: 12 orang senat dipilih oleh dewan provinsi dan sektoral, 8 ditunjuk oleh presiden untuk memastikan representasi masyarakat terpinggirkan, 4 oleh Forum politik formasi dan 2 dipilih oleh staf universitas. Yang unik, Mantan presiden dapat meminta diri untuk menjadi anggota senat tambahan. Rwanda adalah negara yang kekuasaannya didominasi satu partai meskipun rwanda adalah negara penganut multi-partai. Partai-partai oposisi diperbolehkan ada dan terwakili di parlemen, namun secara nyata tersirat, partai oposisi tersebut dipastikan tidak akan memiliki ruang gerak untuk mendapatkan jabatan politik di eksekutif. Itu karena kebiasaan rwanda yang hanya memberi kesempatan 1 partai untuk menguasai jabatan-jabatan penting dan strategis [5]. Seorang kepala negara rwanda memiliki beragam wewenang layaknya kewenangan kepala negara pada umumnya di negara-negara lain. Mulai dari mengkomandoi angkatan bersenjata, menegosiasikan dan meratifikasi traktat, menyatakan perang atau menyatakan negara dalam keadaan darurat dan satu kewenangan tambahan yang baru ada sejak amandemen konstitusi dijalankan. ialah prerogatif belas kasihan. Prerogatif tersebut diberikan atas amandemen konstitusi pada tahun 2003. Kewenangan ini merupakan kewenangan yang sebelumnya ada dan diterapkan oleh kerajaan rwanda dalam memberikan ampunan kepada terpidana mati, namun cara ini sempat vakum dan tidak digunakan untuk sekian lamanya. Prerogatif belas kasihan ini pun kembali digunakan kembali pasca perang dunia kedua di negara-negara afrika –yang salah satunya adalah rwanda- dengan beberapa perubahan didalamnya. Jika sebelumnya kewenangan ini khusus berlaku untuk terpidana mati, kali ini prerogatif belas kasihan diperuntukkan juga untuk memberi keringanan hukuman atau denda terhadap seorang terpidana. Kembali lagi kepada sistem pemerintahan rwanda. Layaknya negara indonesia, rwanda pun kadang memiliki hubungan Check And Balances yang memanas antara eksekutif dan legislatif. Hal tersebut dikarenakan ideologi partai yang berada di tubuh eksekutif maupun legislatif saling bertentangan. Mirip dengan apa yang terjadi di indonesia, koalisi partai oposisi dan koalisi partai pro-pemerintahan selalu memanas kala terdapat kebijakan yang dicurigai berdampak pada stabilitas nasional didalamnya. Meskipun tidak sepanas yang terjadi di indonesia, namun dapat dikatakan gejolak politik di rwanda cukup seru. Pada januari 2013 misalnya, presiden Paul Kagame yang merupakan tokoh kesayangan barat, sedang berada dalam masalah serius kala PBB menuduh rwanda mendukung pemberontakan di negara tetangganya, republik demokratik kongo dengan membuat dan mendukung kelompok pemberontak yang bernama “M23” untuk menggulingkan pemerintahan kongo yang terpilih secara demokratis, Presiden Joseph Kabila. Paul Kagame pun mendapat tentangan keras dari lawan politiknya untuk mengklarifikasi benarkah tuduhan dari PBB tersebut. Dampak dari tuduhan itu pun cukup membuat negara rwanda kewalahan. Pasalnya, beberapa investor yang sedianya menyediakan pasokan dana untuk rwanda pada tahun 2013 terpaksa menahan uang untuk pembiayaan proyek-proyek pembangunan rwanda menyusul tuduhan PBB tersebut. Akibatnya, menteri keuangan negara tersebut terpaksa menurunkan rencana proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk 2013 [6]. Meskipun demikian, segala pertentangan yang ada antara eksekutif dan legislatif tidak sampai membuat konflik yang berkepanjangan. Konflik selalu bisa diredam karena negara rwanda (sepertinya) sadar, bahwa negaranya sedang tumbuh berkembang menuju negara demokratis dan maju. Ya, mengingat rwanda kini sedang dalam proses memperbaiki diri pasca peristiwa suram genosida massal yang menewaskan 1 juta orang pada 1994 silam [7]. “kami selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan harapan rakyat rwanda” Itu yang diucapkan presiden Paul Kagame yang sudah berkuasa 15 tahun untuk membangkitkan rasa optimisme melawan berbagai tantangan yang dihadapinya sebagai kepala negara [8]. Mungkin itulah juga salah satu alasan mengapa motto rwanda berbunyi "Ubumwe, Umurimo, Gukunda Igihugu" atau “Persatuan, Kerja, Patriotisme”. Bunyi motto tersebut nampaknya betul-betul mencengkram kuat dalam mental bangsa rwanda dalam menghadapi berbagai tantangan. Ya, setidaknya itu tercermin dari langkah mereka untuk bangkit pasca masa suram peristiwa berdarah genosida 1994 silam. Optimisme mereka telah menjawab segala keraguan dunia terhadap rwanda. Lalu bagaimana dengan indonesia? Tentu kita masih ingat dengan kejahatan superserius pada tahun 1965 dimana pembantaian (yang katanya konstitusional) secara besar-besaran terjadi ataupun kejahatan-kejahatan HAM lain yang hingga saat ini belum jelas juga kemana arah penegakan hukumnya. Entah kasus marsinah, tanjung priuk, wartawan udin hingga munir. Pada masa kampanye, kita masih ingat dengan salah satu janji jokowi untuk membantu menyelesaikan kasus penghilangan 13 aktivis dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Ia waktu itu berjanji untuk berdiri di posisi menegakkan HAM. Bukan sebaliknya. Namun kini, janji tinggal sekedar janji. ia lenyap tak berbekas. Presiden nampaknya lebih respek untuk menatap kedepan dengan membantu DPR membangun gedung baru atau lebih respek memotong masa tahanan korupsi atau lebih respek membebaskan pollycarpus ketimbang membangunkan dan menuntut “monster HAM yang sedang tertidur”. Ya, inilah presiden kita dengan segala atribut pencitraannya. Ia memang sama seperti presiden-presiden sebelumnya. Sangat cepat lupa akan janjinya. **** Melihat rwanda dengan cara nya untuk bangkit dari masa kelam memang menjadi catatan menarik tersendiri bagi kita. Jika dikaitkan dengan indonesia, memang kita harus mengakui bahwa agenda penegakan kasus HAM memang berjalan amat dan sangat lambat. Namun, alangkah bijaknya jika kita masing tetap optimis untuk menatap kedepan sambil terus mengepalkan tangan keudara. Agenda #MenolakLupa masih harus tetap kita kawal sampai kapanpun. Bahkan hingga tangan ini tak mampu lagi tuk terangkat keudara. Dan bahkan hingga udara bebas ini sudah tidak mampu lagi untuk kita hirup. Ya, inilah agenda dan tugas kita. Bukan hanya teruntukmu mahasiswa. Melainkan untuk masyarakat luas yang masih berharap adanya keadilan untuk menegakkan kasus pelanggaran HAM di bumi pertiwi ini. Karena penegakan HAM adalah harga mati. Titik! Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! Referensi [1] http://www.mapnall.com/id/Peta-Rwanda_48452.html [2] Florian Bieber, Stefan Wolff; The Ethnopolitics of Elections; University of Bath, United Kingdom; 2013 [3] http://en.wikipedia.org/wiki/Rwandan_Genocide [4] Florian Bieber, Stefan Wolff; The Ethnopolitics of Elections; University of Bath, United Kingdom; 2013 [5] http://en.wikipedia.org/wiki/Politics_of_Rwanda [6] http://amanpour.blogs.cnn.com/2013/01/28/rwandas-president-kagame-we-have-a-problem/ [7] Allan Thompson; The Media and the Rwanda Genocide; International Development Research centre; Uganda, Pluto Press, First Publish 2007 [8] http://amanpour.blogs.cnn.com/2013/01/28/rwandas-president-kagame-we-have-a-problem/
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |