Oleh : M L Aldila *) Menghormati Putusan lembaga yudikatif adalah hal mutlak, saya paham bahwa asas hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur yang berarti “putusan hakim harus dianggap benar” adalah suatu kebenaran. Tapi alam bawah sadar saya dengan sendirinya menolak muatan asas dimaksud atas isu yang sedang hangat baru-baru ini. Yakni perihal diperbolehkannya eks-narapidana korupsi menjadi bacaleg. Tulisan yang gak banyak-banyak amat ini akan saya paparkan menggunakan perspektif saya. Setidaknya ada 2 (dua) hal yang menjadi bahasan utama saya, yakni (1) mengapa isu ini perlu banget kisanak pahami; dan (2) apa nih solusi alternatif terhadap isu tersebut. Persoalan multidimensi
Presiden Jokowi dalam pidatonya di World Economics Forum ASEAN tanggal 11-13 September 2018 di Vietnam menyebutkan bahwa situasi ekonomi dunia saat ini dapat dianalogikan seperti alur permasalahan di film fiksi Superhero Avengers : Infinity War. Digambarkannya bahwa situasi yang tengah berlangsung merupakan imbas dari persoalan yang multidimensi. Penggambaran demikian saya kira persis dengan apa yang seharusnya kisanak pahami dalam persoalan eks-narapidana korupsi yang diperbolehkan nyaleg. Pertama, mesti banget kisanak pahami bahwa apabila putusan MA tersebut ditelaah, salah satu pertimbangan hukum Majelis Hakim adalah Pasal 4 ayat (3) Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Prov & Kab/Kota yang berbunyi : “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi” dinyatakan bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi : “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan.... (g) tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Dari petikan pertentangan ketentuan di atas, majelis hakim MA memang telah memutus sesuai dengan porsinya. Persis yang dimaksud pada pasal 31 UU Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Nah, keluar dari bahasan dari MA nih. Pernah gak kisanak memikirkan, sebenarnya sejauh mana batasan dari ketentuan pada pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu khususnya klausul “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”?. Jawabannya tidak ada kisanak. Tidak ada. Kalaupun melihat penjelasan atas pasal tersebut dalam UU Pemilu pun hanya ada penjelasan “cukup jelas” yang mengartikan bahwa klausul tersebut tidak ada penjelasan lebih detil dari si pembuat UU. Artinya, bahkan dari UU nya sendiri, permasalahan ini sebenarnya sudah timbul. Nah, sekarang kedua. Beralih ke si pembuat UU. Siapakah pembuat UU tersebut kisanak? Jawabannya adalah pemerintah dan DPR secara bersama-sama. Apakah memang pada saat pembahasan pasal tersebut ayat dimaksud sengaja dilewati? Bisa jadi. Karena sekali lagi. Ketiadaan batasan atas klausul “secara terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” itu seolah disengaja. Darimana kita tau bahwa ketika yang bersangkutan-si-mantan-terpidana itu sudah dipublikasi kepada publik maka dengan sendirinya yang bersangkutan sudah-kembali-bersih dan seolah telah dimaafkan segala tindakan melawan hukum yang pernah diperbuatnya?. Hal inilah yang saya kira terlewatkan dipikirkan oleh para pembuat UU. Mungkin boleh kiranya jika analogi yang dianut oleh para pembuat UU bahwa sistem pemasyarakatan sudah mengganti sistem pemenjaraan bagi para terpidana sehingga para eks-terpidana dapat menjadi bacaleg. Namun bagi saya hal tersebut tidak dapat dibenarkan bagi kejahatan-kejahatan yang terkategorisasi kejahatan luar biasa. KPU sudah memulai langkah yang luar biasa dengan menafsirkannya dengan 3 (tiga) jenis kejahatan : pengedar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi. Meski sayangnya tidak ditangkap dengan baik oleh pembuat UU untuk setidak-tidaknya jika tidak bisa merevisi UU Pemilu dimaksud maka bisa mendukung langkah progresif KPU. Anehnya lagi, Presiden Jokowi selaku pihak eksekutif (pembuat UU) pernah memberikan pernyataan di salah satu media bahwa beliau menyayangkan putusan MA atas persoalan dimaksud. Padahal kita paham, beliau lah yang membuat UU tersebut, kenapa beliau sendiri seolah-olah berpendapat dari perspektif orang ketiga? Kemana saja beliau ketika perumusan UU Pemilu? Apakah jajaran dibawahnya memanipulasi informasi mengenai hal ini? Hanya Tuhan dan rumput liar tetangga yang tahu. Ketiga, mendiamkan persoalan ini sama saja membiarkan pemilu ternodai dan semakin melanggengkan idiom “masyarakat indonesia, masyarakat yang pemaaf dan pelupa”. Saya kira kisanak semua paham bahwa perbuatan kejahatan-apalagi yang tergolong kejahatan luar biasa patut untuk dihukum melalui peradilan formal dan non-formal. Khusus peradilan non-formal dalam bahasa saya, adalah sanksi sosial. Bisa saja sebenarnya kampanye “jangan pilih caleg eks-koruptor” digadang-gadangkan menjadi suatu gerakan. Tapi, jika bicara realita riil di lapangan. Mudah saja bagi para caleg kotor tersebut untuk memanipulasi gerakan dimaksud. Karena tipikal sebagian masyarakat pemilih kita yang masih mementingkan idiom “saya dapat imbalan sebesar ini, maka saya akan memilih caleg ini”. Hal tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa pemilihan legislatif dianggap tidak berpengaruh banyak terhadap hajat hidup orang secara pribadi. Berbeda seperti pemilu eksekutif dimana seorang calon ketika proses kampanye dan ketika sudah terpilih dapat langsung terlihat dampak yang dirasakan seorang masyarakat. Pada titik inilah, penting kiranya pendidikan politik untuk mendewasakan masyarakat Indonesia bahwa proses pemilu merupakan proses krusial yang baik secara langsung maupun tidak langsung berdampak serius terhadap masa depan bangsa. Keempat, kembali lagi soal putusan MA. Pada bahasan poin pertama. Saya katakan bahwa memang benar MA telah memutus sesuai porsi, karena apa yang diperintahkan oleh UU Mahkamah Agung adalah peraturan dibawah UU. Artinya yang boleh ditafsirkan sesuai kewenangannya hanya sebatas peraturan dibawah UU. Tidak boleh UU nya karena itu tugas dari Mahkamah Konstitusi. Suka tidak suka, penafsiran saya pun demikian meski alam bawah sadar saya menolak. Meskipun bisa saja dinarasikan jajaran majelis hakim dapat memutuskan lebih dari apa yang dimohonkan (ultra petita) tapi saya pesimis terobosan tersebut dapat dilakukan oleh MA mengingat rekam jejak MA di kewenangannya menguji peraturan dibawah UU tergolong minim pro-terhadap semangat anti-korupsi. Oleh karena itu sekarang, bagi saya bola ada di MK yang berdasarkan kewenangannya berwenang menafsirkan UU serta menguji UU atas Undang-Undang Dasar. Selain MK dianggap sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution), MK memiliki rekam jejak mumpuni dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya yang bermuatan semangat anti-korupsi. Karena rumusan UU idealnya haruslah diatur secara rinci (lex certa) dan tidak multitafsir (lex stricta) serta memuat penjelasan yang lengkap. Saya kira Ini juga dapat disesuaikan dengan makna pada asas hukum pidana nullum crimen sine lege stricta yang artinya suatu ketentuan pidana tidak boleh menimbulkan penafsiran lain yang terlalu luas dan berpotensi disalahgunakan. Putusan Mahkamah yang gak Agung-Agung amat Bagi saya, MA berada pada posisi dilematis. Di satu sisi benar bahwa kewenangannya memutus dibatasi oleh UU. Sementara masyarakat yang meminta sanksi berkelanjutan terhadap para bacaleg eks-koruptor perlu diakomodir. Oleh sebab itu patut kiranya memikirkan langkah hukum sementara yang dapat dilakukan dengan memperhatikan ketentuan lanjutan terkait putusan MA. Adapun situasi terkini adalah KPU belum mengubah peraturan KPU tersebut dikarenakan belum memperoleh salinan putusan MA sehingga belum memutuskan langkah lanjutan apa yang akan diambil. Pertama, mari kita cermati Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil bahwa setelah MA memutus mengenai uji materi suatu peraturan terhadap UU, badan yang mengeluarkan peraturan dimaksud tidak serta merta dapat langsung menjalankan isi petitum dari putusan MA tersebut. Mekanisme yang ditetapkan adalah setelah diputus, minutasi putusan (proses admnistrasi meliputi pengetikan, pembendelan serta pengesahan suatu perkara) oleh panitera, lalu pengiriman kepada badan yang mengeluarkan, kemudian diberi waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah salinan putusan tersebut diterima untuk menjalankan putusan. Apabila lebih dari 90 (sembilan puluh) hari tersebut tidak dijalankan maka demi hukum peraturan dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum. Sampai pada titik ini, artinya dapat dipahami bahwa sepanjang peraturan KPU dimaksud tidak dirubah oleh KPU, maka tetap berlaku selama 90 (sembilan puluh) hari bahkan lebih pasca putusan diputus MA pada 13 September 2018 mengingat proses minutasi putusan oleh panitera umumnya juga memakan waktu sendiri. Kedua, sementara disisi lain. Jika dicermati dari jadwal yang ditetapkan KPU, bahwa penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) adalah 20 (dua puluh) September 2018 yang bahkan kurang dari 90 (sembilan puluh) hari sejak gugatan dikabulkan oleh MA pada 13 September 2018. Sehingga demi hukum, peraturan KPU yang lama tetap berlaku dan caleg eks-koruptor tersebut tetap tidak bisa nyaleg Dalam dunia hukum, hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah segala sesuatu yang secara umum sudah diketahui (fakta noir), seperti matahari terbit di ufuk timur dan terbenam di ufuk barat, kemudian seperi Presiden Jokowi yang menggunakan stunt-man dalam aksinya melompati truk, Tempe tidak melulu seperti pernyataan Cawapres Sandiaga Uno yang katanya setipis kartu ATM, juga Putusan Mahkamah Agung tentang bacaleg eks-koruptor yang gak Agung-Agung (mulia) amat itu. Which is eks-koruptor itu harusnya tetap diberikan sanksi sosial, eh literally malah dikasih Golden Ticket kaya Indonesian Idol buat ke panggung politik di Senayan. *************** *) penulis menaruh perhatian yang besar terhadap penegakan hukum. Khususnya pada isu seputar hukum Konstitusi, Pidana, Politik, Anti Korupsi dan Transparansi Publik. Saat ini penulis aktif sebagai Legal Industrial Relation pada PT Bank BNI Syariah . Rencana mau buat komunitas hukum yang bertujuan mengedukasi masyarakat. Sila tinggalkan komentar dibawah jika sepemikiran dengan penulis.
1 Comment
Anonim
17/9/2018 23:20:31
Setuju banget!!! Yuk buat gerakan!
Reply
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |