Oleh : Muhammad L. Aldi Ditengah dinamika perkembangan ketatanegaraan indonesia, publik dikejutkan dengan pelimpahan berkas perkara korupsi Komjen Budi Gunawan (BG) oleh kejaksaan agung kepada kepolisian. Pelimpahan ini selain merupakan preseden buruknya sistem penegakan antikorupsi juga merupakan kali pertama lempar-melempar kasus diantara trisula penegak hukum -Kepolisian, Kejaksaan, KPK- berlangsung dan mungkin bisa dikatakan kali pertama terjadi dalam sejarah bangsa. Banyak kalangan menilai, perkara yang melilit BG tersebut tidak lagi murni perkara ‘hukum’, melainkan perkara yang telah banyak dinodai dan berlumuran muatan politis. Hal itu yang menjadikan perkara BG ini diistilahkan sebagai perkara hukum setengah politik. Polemik berkepanjangan perkara hukum setengah politik ini menjadi bukti nyata rapuhnya komitmen pemberantasan korupsi sejumlah institusi negara. Padahal sejak awal disadari, keberhasilan agenda pemberantasan korupsi akan ditentukan oleh dukungan politik parlemen dan pimpinan tertinggi di eksekutif, aturan hukum, penegak hukum, dan dukungan masyarakat.
Namun, kini perlahan tetapi pasti semangat memberantas korupsi mulai memudar. Buktinya, dengan kewenangan legislasi, sejumlah undang-undang yang punya semangat memberantas korupsi mulai kembali dipermasalahkan. Bahkan, revisi undang-undang tersebut telah masuk kedalam daftar prolegnas 2015-2019. Di eksekutif, hal yang sama juga terjadi. Memulai dengan nawacita “melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi”, semangat Presiden Jokowi untuk memberantas korupsi kian memudar. Setidaknya, pemudaran itu dapat dilihat dari ketidakjelasan sikap atas kriminalisasi yang menimpa unsur pimpinan (nonaktif) KPK, Bambang Widjojanto-Abraham Samad, yang berlangsung cukup lama dan sistematis. Dengan dalih ”tak mau mencampuri proses hukum”, Presiden Jokowi membiarkan KPK porak- peranda. Karena itu, pembentukan Tim 9 dinilai sebagai pilihan yang terlambat. Bukti lain, kini Kejaksaan dengan gagah berani telah melimpahkan kasus ini ke bareskrim. Alasannya, karena bareskrim pernah menangani kasus yang sama pada tahun 2010. Sampai di titik ini, lagi-lagi kita harus menelan pil pahit realita bahwa inilah salah satu potret baru lemahnya penegakan pemberantasan korupsi di bumi pertiwi. Karena itulah, nampak sesuai rasanya jika kini agenda pemberantasan korupsi negeri tidak lagi berada di persimpangan jalan, tetapi sudah bergerak menuju titik nadir terrendah. Tersandera Lingkaran Setan Harus diakui bahwa alasan pelimpahan berkas perkara kepada kepolisian merupakan langkah yang tidak tepat. Selain karena pelimpahan ini dilakukan ditengah menguatnya isu pelemahan pemberantasan korupsi, langkah tersebut juga telah membuat penegakan hukum menjadi tidak optimal. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Lawrence M. Friedman, bahwa tak akan optimal penegakan hukum apabila tidak memenuhi ketiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Dalam konteks pemberantasan korupsi. apa yang telah dilakukan selama ini barulah menyentuk aspek struktur hukum, sementara penegakan substansi hukum dinilai belum berhasil, apalagi terhadap budaya hukum. Budaya organisasi di banyak lembaga penegak hukum saja masih menunjukan birokrasi penegakan hukum yang terkesan lambat dan cenderung ‘main aman’, sehingga menyebabkan penegakan hukum berjalan tidak optimal dan terkesan tebang pilih. Terutama untuk perkara hukum setengah politik ini. Lebih lanjut jika diamati, pelimpahan perkara oleh kejaksaan juga telah membuktikan bahwa Jaksa Agung gagal melakukan pengoptimalan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi sebagaimana diamanatkan Inpres no 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bagaikan lingkaran setan, antara oknum satu dengan lainnya saling bekerja sama, menutupi dan melindungi, bahkan tak jarang saling mengancam agar sama-sama tidak membuka kedok hitam praktik koruptif yang mereka jalankan selama ini. Apabila sirkulasi kotor ini terus-menerus terjadi dan dipertahankan, maka akan selamanya pula rantai korupsi akan sulit diputus dan dibersihkan. Belum lagi terhadap pemegang kebijakan atau pimpinan lembaga yang memang sejak awal telah ”tersandera”, sudah dipastikan tidak akan berani mengambil langkah tegas memberangus praktik korupsi. Oleh karena itulah muncul ungkapan, ”tak mungkin membersihkan lantai kotor dengan menggunakan sapu yang kotor juga”. Sekelumit ilustrasi di atas setidaknya menggambarkan betapa sulitnya memberangus korupsi secara sistemik. Korupsi memang sangat sulit ditumpas hingga titik nol. Namun demikian, optimisme, upaya, dan usaha pemberantasannya tidak pernah boleh berhenti sedikit pun. Satu hal yang perlu kita yakini bahwa setiap langkah penyelesaian apapun itu bentuk dan caranya, sudah pasti akan memiliki konsekuensi, keunggulan, dan kelemahannya masing-masing. Oleh sebab itu, prasyarat utama yang diperlukan untuk menghentikan berlarut-larutnya penyakit berkepanjangan ini yaitu komitmen tinggi dan ketegasan mutlak dari pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini untuk mengawal langsung perang melawan korupsi dari garis terdepan. Apabila tidak, pemberantasan korupsi tentu akan terus berputar melewati velodrome yang sama tanpa ujung. Jangan sampai terjadi lagi, lemahnya memberantas korupsi dalam kasus-kasus hukum setengah politik lainnya. Karena pemberantasan korupsi itu harga mati. Muhammad L Aldi Aktivis AntiKorupsi Penggiat PUSTAPAKO (Pusat Studi Transparansi Pulik dan Anti Korupsi) UNS Pengkaji Hukum Tata Negara di FH UNS
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |