Dalam sejarah adat minangkabau, terdapat hukum positif tertulis yang berlaku dan bersumber dari hukum islam. Sedikitnya terdapat dua buah undang-undang yang secara pokoknya disusun oleh kedua ahli hukum Minangkabau yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpati Nan Sabatang (Gusti Asnan, 2007: 55). Keduanya pada era 1950-an merupakan Pendiri partai Adat Rakyat dimana partai tersebut berhasil menanamkan adat minangkabau untuk kemudian dapat disesuaikan dengan kondisi nasional pada era tersebut. Kedua pendiri tersebut pada era itu juga berhasil melakukan lompatan yang sangat jauh dan sangat berbeda, yakni partai tersebut meyakini bahwa indonesia hidup, berkembang dan dianut macam-macam agama. Partai tersebut kemudian tumbuh bersama rakyat minangkabau dan seiring perkembangan waktu rakyat pun mulai meyakini dan mentaati azas partai tersebut. Dalam perkembangannya, kedua pendiri partai tersebut kemudian membuat hukum positif yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan adat minangkabau. Dalam hukum positif undang-undang tersebut tidak disebutkan ancaman hukuman badan, karena ancaman hukuman terhadap pribadi yang melakukan pelanggaran hukum, hal tersebut tidak sesuai dengan sistem masyarakat komunal minangkabau yang berasaskan kolektivisme. Hukuman menurut adat minang bukanlah hukuman badan melainkan hukuman “jiwa”. Hinaan adalah hukuman yang tidak tertahankan oleh jiwa orang Minang, Adapun yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seseorang secara berurutan adalah kaum, kampung, dan sukunya sendiri. Hukum positif tersebut sendiri bernama Undang-undang nan duo puluah (Undang-undang yang dua puluh) atau yang populer disebut undang-undang minangkabau. Undang-undang yang dua puluh sendiri merupakan undang-undang yang mengatur persoalan hukum pidana, mengenai berbagai bentuk kejahatan dengan sanksi tertentu, dan bukti terjadinya kejahatan serta cara pembuktiannya., dimana UU tersebut terdiri dari dua bagian yaitu: (i) Undang nan salapan (cemo bakaadaan); dan (ii) Undang-undang nan duo bale (tuduh nan bakatunggangan). Menurut Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi). (Franc Sefenfoldism, 2010 – diakses pada tanggal 1 november 2014 pukul 22.06 WIB). Didasari pada pendapat Suroyo Wignojodipuro diatas dapat penulis tarik simpulan, jika setiap konsensus masyarakat baik tertulis maupun tidak tentu sangat memerlukan sanksi hukum untuk menjaga undang-undang itu agar ditaati oleh semua pihak, tidak terkecuali adat Minangkabau yang mengurus dan menjaga seluruh masyarakat hukum adat, tentu sangat diperlukan peraturan dan undang-undang yang sifatnya dapat memaksa dan mengawasi masyarakat hukum adat minangkabau. Beruntung, UU minangkabau tersebut ternyata dalam perkembangannya hingga kini masih ditaati ditengah-tengah rakyat suku minang meskipun fakta dilapangan UU minangkabau telah tergantikan oleh hukum positif nasional. Karena, faktanya masih banyak urang awak (sebutan bagi orang minang yang merantau) yang rela untuk menyebarkan azas-azas hukum adat minangkabau tersebut melalui muluik ka muluik (mulut-ke-mulut). Contoh konkritnya yaitu ajaran dari orangtua penulis kepada penulis untuk mentaati hukum adat minangkabau. Meski penulis tidak lahir di tanah minang namun berdasarkan cerita orangtua penulis yang merupakan orang asli minang, adat minangkabau ternyata memang mengajari kita bahwasanya hukum adat sangat perlu untuk dipelajari terutama adat yang bersumber dari bahaso mamak (ungkapan untuk menggambarkan kita adalah orang minang asli). Penulis sangat merasakan dampak bahwa mempelajari minang memang telah membuat penulis makin mencintai keberagaman yang ada di indonesia. meski didalam UU minangkabau tersebut hanya mengatur mengenai ketentuan hukum pidana secara umum namun falsafah-falsafah yang hidup didalam UU Minang tersebut patut dijaga hingga kini. Karena falsafah-falsafah tersebut tentu telah lahir jauh daripada UU minangkabau tersebut lahir. Falsafah itu sendiri yang penulis sebut sebagai hukum tidak tertulis dimana mengatur mengenai hajat urang awak maupun orang asli minang. Penulis sendiri hingga kini masih meyakini falsafah-falsafah minang yang hidup di dalam proses pembuatan UU minang tersebut. Salah satunya adalah falsafah mengenai dima bumi dipijak, disitu langik dijunjung yang artinya dimanapun kamu berpijak, kamu harus sadar bahwa kamu tidak hidup sendirian. Tetapi hidup bersama-sama. maka, hormatilah kebudayaan, serta bahasa orang-orang sekitarmu. Ya, itulah sebuah contoh konkrit bagaimana falsafah minang telah merasuki diri dan jiwa penulis meskipun falsafah tersebut hingga kini tidak ada lagi norma tertulisnya. Kesimpulan yang dapat penulis ambil yaitu hukum adat minangkabau dewasa ini memang tetap berlaku ditengah masyarakat minangkabau baik non-perantau ataupun perantau meskipun hukum tersebut tidak diatur lagi secara yuridis atau secara valid oleh pembuat hukum. Bahasa sederhananya, hukum minangkabau meski tidak legitimate namun tetap berlaku effective dimasyarakat suku minang. ReRe Pustaka Arifin, Busthanul, Haji, 1996. Pelembagaan hukum islam di indonesia: akar sejarah, hambatan dan prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta: Gusti Asnan, 2007, Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia Jakarta. Hallean, Jerio, 2010, contoh hukum adat yang berlaku sebagai hukum positif karena yurisprudensi putusan MA, Http://academia.edu/6858068/contoh_hukum_adat_yang_berlaku_sebagai_h huku_positif_karena_yurisprudensi_putusan_MA_ diakses tanggal 1 november 2014 pukul 23.06 WIB
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |