*oleh: Muhammad L Aldila Ruang diskusi saya belakangan berganti tema menjadi suatu yang kontraproduktif dengan apa yang saya geluti dengan komunitas mootcourt saat kuliah. Jika sebelumnya saya tersesat dalam pemahaman pada tataran implementatif mengenai proses beracara di persidangan, kini saya justru dihadapkan pada sebuah kritik atas proses beracara pada tataran konseptual. Bahwa (salah satu) delusi dalam praktik beracara pidana adalah sengkarutnya kekuasaan penyidikan, kekuasaan yang telah menggeser makna Fair Trial pada fase pra-ajudikasi menjadi (seperti layaknya) False Trial. Diskriminasi, labelisasi, penyiksaan, intimidasi, serta bentuk-bentuk lain dari kekerasan verbal dan non verbal merupakan rentetan bukti bahwa tindakan yang dilakukan anggota kepolisian pada level penyidikan masih 'dipertahankan' hingga saat ini. Pada kelakuan yang demikian, saya menolak untuk mengatakan mereka sebagai 'oknum'. Sebab kesalahan mereka bersifat sistemik. Menyitir pendapat yang disampaikan oleh Fachrizal Afandi, bahwa kesalahan polri dimulai sejak rekrutmen penyidik – pendidikan latihan – hingga pada ranah implementatif. Dan kesemua fase tersebut ditunjang pula dengan standar mental serta kultur law enforcement yang dangkal. Maka semakin paripurnalah anggapan masyarakat indonesia bahwa kepolisian merupakan sarang paling aman bagi mereka: “preman berseragam”.
Meskipun demikian, kini kita patut sedikit berbangga sebab tak jarang media-media arus utama acap menyajikan berita menyangkut topik tersebut. Bahwa pelanggaran (yang tidak jarang menjurus pada) kejahatan yang dilakukan oleh anggota kepolisian terhadap masyarakat kecil merupakan isu bersama yang patut untuk dikawal. Bagi saya tentu ini juga sekaligus upaya yang bagus. Sebab jika melihat kebelakang, polisi sangat lekat dengan 'kekerasan' pada tingkat penyidikan. Misalnya, tengok saja literasi-literasi mengenai 1998 yang banyak beredar di tengah masyarakat. Hampir semuanya menggambarkan bahwa polisi bertindak main hakim sendiri kepada masyarakat kecil. Bukan saja pada level penyidikan, bahkan pada level penangkapan pun tidak jarang aksi yang menjurus pada penyiksaan mewarnai tiap adegan. Bahkan pada tingkatan selanjutnya yang lebih berbahaya, dapat ditemui upaya 'penghilangan' manusia bermotifkan instruksi penguasa. Sungguh, sungguh sangat berbahaya jia tindakan tersebut masih langgeng sampai detik ini. Berkaca dari hal tersebut, kemudian timbul suatu pertanyaan. Apa solusi untuk mengakhiri tindakan sewenang-wenang yang dilakukan polisi tersebut? Utamanya pada tahap penyidikan? Jawabannya tentu sangat sederhana: yakni mengembalikan kewenangan penyidikan dari polisi kepada jaksa penuntut umum. Atau dalam bahasa para ahli peradilan: mengembalikan kewenangan dominus litis (master of litigation) di ranah pra-ajudikasi kepada jaksa. Dominus litis merupakan gagasan yang diserukan peneliti Van Vollenhoven Institute (VVI) dan Kandidat PhD dari Leiden University, Fachrizal Afandi. Ia merupakan dosen hukum acara pidana Universitas Brawijaya sekaligus pemantik diskusi terbatas Epistema Institute 19 agustus 2016 bertemakan “Dominus Litis dan Sengkarut Peradilan Pidana” [video dapat disaksikan disini]. Dalam pemaparannya, Fachrizal menuturkan bahwa Dominus Litis atau Master of Litigation merupakan kewenangan mutlak penegak hukum dalam menangani perkara. Dari sejak dimulainya penyidikan, hingga berakhirnya penuntutan. Pengertian tersebut menunjuk pada peran jaksa sebagai The Real Master of Litigation. Bukan hanya berperan sebagai penuntut dalam persidangan, tapi juga yang mengendalikan alur dan memiliki kontrol penuh atas berkas perkara. Jaksa idealnya mempunyai hulp magistrate (pembantu jaksa) yaitu reserse polisi. Artinya jaksa berperan dalam memimpin perumusan perkara. Tidak seperti sekarang dimana polisi mengambil porsi yang cukup besar dalam perumusan berkas perkara (pra-judikasi), sementara jaksa menurut pasal 30 ayat (1) huruf a UU No 16 tahun 2004 tentang kejaksaan hanya memiliki kewenangan dalam ruang lingkup yang relatif kecil dalam proses judisial: penuntutan. Kalaupun jaksa berperan dalam pra-penuntutan, apalah arti jika jaksa hanya dijadikan peneliti berkas dan juri P-21 atas berkas yang dibuat oleh penyidik polisi. Sampai disini, dapat disimpulkan bahwa peran dan porsi jaksa relatif sangat kecil untuk dapat dinobatkan sebagai master of litigation. Alih-alih menerapkan prinsip diferensiasi fungsional (pemisahan proses hukum) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta UU sektoral kejaksaan dan kepolisian yang memisahkan proses penyidikan dan penuntutan, dibalik itu justru telah terjadi friksi tajam antara kepolisian dan kejaksaan. Sebut saja, (1) penanganan perkara di tingkat penyidikan yang tidak jelas kelanjutannya (SPDP tidak dilaporkan kepada kejaksaan) sehingga berakibat pada timbulnya kebingungan dan kerugian para pihak yang diperiksa; (2) overlapping penyidikan antara kepolisian, kejaksaan yang berakibat pada borosnya waktu, tenaga dan biaya; hingga (3) timbulnya kesewenang-wenangan polisi (menggunakan kekerasan verbal dan non verbal) dalam memeriksa para pihak yang terkait perkara. Mengutip pendapat Fachrizal, bahwa Kesemrawutan peradilan pidana sebagaimana dikemukakan di atas sesungguhnya terjadi karena lemahnya dominus litis yang dimiliki penuntut umum serta absennya kontrol pengawasan kekuasaan yudisial dalam tahap pra ajudikasi. Untuk memahami lebih detil mengapa tiga poin diatas merupakan hambatan penting yang berkelindan dalam sistem peradilan pidana maka kita harus mendalami terlebih dahulu poin per poin seperti yang sudah diuraikan di atas. Untuk poin pertama, mengutip penyajian data dari World Justice Project pada tahun 2015 mengenai Riset Indeks Negara Hukum [1] bahwa sistem peradilan pidana indonesia hanya mampu berada di urutan ke 12 dari 15 negara se asia pasifik di bawah Malaysia di urutan ke 7 dan Thailand d urutan ke 10. Riset tersebut mengukur sejauhmana sistem peradilan pidana berjalan jika dijalankan melalui proses penyidikan yang efektif, proses peradilan yang cepat, efektif, bebas korupsi, bebas dari intervensi politik serta peradilan yang menjamin due procces of law. Temuan tersebut juga dikokohkan oleh hasil riset LBH Jakarta dan MaPPI FH UI [2] yang menemukan fakta bahwa pada kurun waktu 2012 sampai dengan 2014 kepolisian telah melakukan penyidikan tindak pidana sebanyak 643.063 kasus. Dari jumlah itu, hanya 463.697 Surat Perintah Dimulai Penyidikan (SPDP) yang diterima oleh kejaksaan. Itu artinya ada 179.366 penyidikan yang tidak dilaporkan ke kejaksaan. Dari angka tersebut pula ditemukan sebanyak 44.273 berkas perkara yang menggantung pada tahap prapenuntutan. Ini sekaligus membuktikan bahwa terdapat puluhan ribu SPDP per tahunnya yang tidak jelas penanganan perkaranya karena tidak ada tindak lanjut dari penyidik, yang secara tidak langsung dapat diartikulasikan bahwa terdapat puluhan ribu orang terkatung-katung nasibnya karena kesalahan sistemik dalam sistem peradilan pidana. Sebagai informasi, sesuai pasal 109 ayat (1) KUHAP bahwa ketika polisi menerbitkan SPDP artinya secara otomatis polisi memberitahukan proses penyidikan perkara kepada kejaksaan. Namun yang menjadi permasalahan adalah KUHAP tidak mewajibkan polisi dengan kepastian kurun waktu tertentu untuk melaporkan SPDP kepada kejaksaan. Sebab hanya ada klausa karet berupa “.. penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”. Sehingga mengakibatkan ketidaktahuan jaksa penuntut umum bahwa polisi tengah menyidik suatu perkara. Ironisnya lagi, pada tahap demikian banyak ditemukan kasus dimana polisi sengaja menjadikan pihak terlapor sebagai mesin ATM. Kemudian poin kedua, dimana masing-masing institusi pada kejaksaan dan kepolisian menafsirkan pengaturan sistem peradilan pidana dalam KUHAP dan aturan turunannya secara berbeda-beda. Kondisi tersebut bahkan juga meluas dan menjangkiti PPNS yang berada pada naungan kementerian, lembaga dan pemkot/pemda yang memiliki penyidik PNS (PPNS). Alih-alih menerapkan konstruksi division of power (pembagian kekuasaan) dalam integrasi sistem peradilan pidana, justru yang terjadi adalah sebaliknya dimana terjadi overlapping penyidikan antara kepolisian dan kejaksaan, KPK dan kepolisian/kejaksaan, PPNS Perikanan dengan Angkatan Laut (dalam kaitan AL berwenang menangkap dan menindak pelaku TP Perikanan di atas laut), PPNS Kehutanan dan Kepolisian, dan friksi-friksi yang timbul antar penyidik pada semua PPNS di tingkat Pusat dan Daerah yang berjumlah ribuan PPNS (dengan asumsi tiap PPNS Pusat/kementerian sedikitnya memiliki 5 PPNS ditambah setiap PPNS daerah dari 500 kab/kota memiliki 3 orang PPNS). Itu semua sesungguhnya semakin memperpanjang deretan kelemahan sistem peradilan pidana di ranah implementatif. Sebab terdapat diferensiasi perspektif atau perbedaan pemahaman terhadap UU dan diperparah dengan overlapping nya aturan UU Induk, Koordinasi Pusat dan Daerah. Lalu poin ketiga, dimana kesewenang-wenangan polisi sebagai penyidik perkara masih menyisakan persoalan serius terhadap pihak yang terkena kekerasan verbal dan non verbal. Sebab selama ini, tindakan polisi pada tahap penyidikan masih lekat dengan berbagai bentuk dari kekerasan. Menurut catatan Kontras dalam kanal berita CNN Indonesia [3] sellama tahun 2014 Polri merupakan lembaga negara yang paling sering melakukan tindakan penyiksaan. Pada tahun 2014 setidaknya terdapat 35 kasus penyiksaan yang melibatkan aparat kepolisian di berbagai daerah. Temuan Kontras tadi diperkuat oleh data Ombudsman selaku lembaga negara yang mengawasi pelayanan publik. Bahwa mayoritas penyiksaan dalam proses penangkapan atau penahanan terjadi di tingkat polres (66,7%). Ombudsman juga menambahkan bahwa angka kekerasan yang dilakukan oleh polisi di tingkat polres pada tahap penyidikan ternyata berada pada nilai tertinggi (43,4%). Temuan Kontras dan Ombudsman diatas sekaligus semakin melegitimasi opini publik bahwa polres lekat dengan anggapan angker serta menakutkan. Berkaca dari tiga poin kelemahan diatas, artinya sungguh tidak berlebihan anggapan bahwa sistem peradilan pidana indonesia tengah berada pada titik kritis yang lemah dibanding dengan negara lain di asia pasifik. Sehingga mengembalikan kewenangan dominus litis kepada jaksa tentu merupakan salah satu jalan keluar untuk memperbaiki citra peradilan disamping (tentu saja) reformasi kultural bagi para aparat kepolisian. Sebab jika tidak dimulai secepatnya, mau sampai kapan wajah penegakan hukum indonesia masih akan terbenam pada kalimat satir “tajam kebawah tumpul keatas”?. Harapan Tulisan ini memang belum membahas secara detil dan kokoh apakah sistem yang sekarang (polisi sebagai dominus litis) dapat diubah ke arah yang lebih ideal (jaksa sebagai dominus litis). Atau apakah polisi mau kembali menjadi hulp magistrate (pembantu jaksa)? Pun juga belum membahas apakah jaksa sendiri siap untuk menerima kewenangan ini kembali? Sebab dari perspektif yang berbeda jaksa juga tidak luput dari 'sandera' berupa carut marut keorganisasian. Militeristik, sistem komando, KKN, dan deretan masalah lainnya merupakan pengantar dari daftar masalah yang ada di kejaksaan. Maka tidak heran, dalam diskusi yang telah saya ikuti tidak sedikit peserta diskusi yang mengungkapkan rasa pesimistisnya jika kewenangan tersebut dikembalikan kepada kejaksaan. Sampai disini, pembahasan-pembahasan lanjutan tersebut tentu akan jauh lebih kompleks dan akan banyak membutuhkan pijakan ilmu yang tinggi pula. Oleh karena itu, saya mengharapkan anda yang membaca tulisan singkat mengenai sengkarut peradilan pidana ini untuk tergerak menulis lanjutan-lanjutan atas tulisan pembuka ini. Mari kita posisikan hasil temuan saya dalam diskusi mengenai peradilan pidana ini sebagai pembuka lembaran fakta yang selama ini hanya 'terbenam' di bawah tanah. Sekaligus sebagai upaya menyelamatkan para masyarakat kecil yang lebih sering menjadi korban atas semrawutnya sistem judisial. Sebab tanggung jawab kita sebagai masyarakat yang lebih beruntung pernah mengenyam pendidikan kesarjanaan (terutama hukum) patut dipertanggungjawabkan dalam bentuk pengolahan pemikiran. Tujuannya sederhana saja: memperbaiki sistem hukum nasional dan membawa cita keadilan dalam hukum menjadi sebenar-benarnya berpihak pada rakyat untuk menuju reformasi hukum nasional: struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Dan untuk mewujudkan tujuan reformasi tersebut, sebuah adagium yang pernah saya lontarkan pada sebuah forum terbatas sepertinya masih relevan dengan pokok tulisan ini: bahwa “kemungkinan terbesar untuk mengatasi suatu persoalan adalah memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan”. ****** Referensi: [1] Rule of Law Index 2015, http://data.worldjusticeproject.org/#groups/IDN disampaikan oleh Fachrizal dalam diskusi Epistema Institute, 19 Agustus 2016; [2] Ichsan Zikry, et.al Prapenuntutan sekarang, ratusan ribu perkara disimpan, puluhan ribu perkara hilang, LBH Jakarta dan MaPPI FH UI, 2016. disampaikan oleh Fachrizal dalam diskusi Epistema Institute, 19 Agustus 2016. [3] http://www.cnnindonesia.com/politik/20150626090000-32-62513/kisah-kuswanto-korban-salah-tangkap-yang-dibakar-polisi/
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |