31/12/2015 0 Comments Menggugat Indonesia*Oleh : Muhammad L Aldi Baru saja kemarin, bangsa ini larut dalam hingar bingar pilpres dua kubu yang memecah persatuan masyarakat secara sistematis. Baru saja kemarin juga rasanya bangsa ini menitipkan harapan bagi presiden terpilih agar bekerja dengan sungguh-sungguh selama 5 tahun kedepan di perayaan tahun baru 2015. meskipun begitu, satu pembahasan yang selalu muncul dalam setiap perayaan tahun baru ialah mengulang-ulang kembali bahwasanya sejauh ini indonesia belum merasakan 'pembaruan'. Pada akhir tahun 2014 lalu, detak nadi pembaruan sebenarnya mulai menampakkan dirinya pasca suksesi kepemimpinan terjadi. Proses yang diidamkan banyak orang oleh karena presiden sebelumnya dinilai terlalu banyak bermain aman melalui kebijakan polittik “thousand friend, zero enemy” akhirnya terlaksana. Tapi sekali lagi, isu-isu 'stagnansi non pembaruan' masih merupakan isu pinggiran yang patut untuk diangkat dalam pergantian tahun ini. Sekalipun hanya sempat terbesit pada momen-momen tertentu melalui media sosial, isu bawah tanah ini rupanya tampil untuk kemudian menohok kenyataan yang kontras dengan cita-cita konstitusi.
Dengan sangat jelas, isu stagnansi non pembaruan memang muncul sebagai sebuah realitas historis , bahwa sejak negara ini dikuasai oleh orde baru korupsi kolusi nepotisme, privatisasi, kapitalisme, neo-liberalisme, serta keadaan dehumanisasi berhasil dikukuhkan hingga liang lahat otak masyarakat kita. Seolah-olah setiap kesempatan merupakan keadaan yang memaksa (overmacht) sehingga sah-sah saja pelanggaran maupun kejahatan hukum terjadi. Realitas inilah yang hingga kini masih diwarisi sebagian besar dari kita yang pada akhirnya berhasil membuat momentum pembaruan indonesia terasa hilang. Dahulu, ketika kemerdekaan dikumandangkan, terkristal kesadaran bahwa secara geografis indonesia merupakan bentangan jamrud khatulistiwa. Tak sedikit dari para pendiri bangsa menyebut indonesia sebagai sepotong surga yang diletakkan Tuhan di muka bumi. Ada semacam kesadaran kolektif yang ikut mendasari munculnya aspirasi pada paruh pertama abad ke 20, bahwa sesungguhnya indonesia merupakan negeri dengan kekayaan Sumber Daya Alam yang unlimited. Obyektifikasi terhadap seluruh keadaan tersebut pada akhirnya membuahkan kesimpulan yang masih diamini oleh sebagian dari kita bahwa indonesia bak negeri dari alam kahyangan. Namun kini saya justru cemas jika saja saya masih mengamini pemikiran kolektif mengenai negeri potongan surga ini. Kecemasan saya mungkin persis dengan kecemasan yang dialami Miss Kolombia, Ariadna Guiterrez yang menjadi Miss Universe selama beberapa menit sebelum mahkotanya direbut Miss Filipina, Pia Alonzo sebagaimana insiden salah sebut pemenang oleh Steve Harvey terjadi. Atau kecemasan saya mungkin persis ketika Valentino Rossi dianggap menjatuhkan Marc Marquez di lag ketujuh MotoGP Malaysia oktober lalu. Kecemasan saya ini kurang lebih mungkin juga persis dengan perkataan yang sering dilontarkan oleh Sutan Bhatoegana : ngeri-ngeri sedap. Bukan tanpa alasan saya berkata demikian, jika memang pemikiran kolektif mengenai negeri potongan surga itu benar adanya. Maka seminimal mungkin, tiga tujuan pokok negara hukum yaitu menciptakan (a) keadilan (justice); (b) kepastian (certainty); dan (c) kebergunaan (utility) mutlak terkristalisasi dengan baik di memori bangsa ini. Namun faktanya Legal System berupa structure of law; substance of law; dan culture of law justru berjalan-jalan sendiri tanpa arah seperti yang masih terjadi belakangan ini. Sebut saja seperti problem tak berkesudahan friksi antara cicak vs buaya, kusutnya birokrasi perizinan, koordinasi antar lini yang masih macet, desentralisasi yang kebablasan, licinnya pelaku kebakaran lahan gambut, berhentinya eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkoba, dan beberapa peristiwa hukum lainnya. Pun juga kita tidak bisa menutup mata akan adanya peristiwa politik pada tahun 2015 ini misalnya dari eksekutif berupa perombakan kabinet kerja jilid 1, manuver ngepret Rizal Ramli di kasus Pelindo II dan manuver Sudirman Said di kasus papa minta saham. Indonesia tahun 2015 ini juga dikejutkan dengan peristiwa politik lain seperti lahirnya Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan Partai Islam Damai Aman (Idaman). Meskipun demikian, tahun ini sepertinya masih merupakan tahun politik milik DPR. Hal tersebut nampak dari pecahnya dua kubu KIH dan KMP dalam parlemen, kontroversi dua sejoli Setya Novanto dan Fadli Zon dalam kehadirannya saat kampanye Donald Trump, hingga kasus papa minta saham yang berujung pada pengunduran diri aktor papa minta saham sebagai ketua DPR. Kecemasan saya melalui perkembangan Isu-isu stagnansi non pembaruan memang beralasan. Setidaknya itu tercermin pada media non-arus utama yang menggambarkan isu tersebut dengan riuh. Padanan teks dan gambar membuat isu ini tampil dalam aneka versi. Kebijakan pemprov DKI melarang demonstrasi di lokasi strategis misalnya, ia muncul sebagai penyampai pesan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan di negeri ini dimana salah satu PR yang harus diselesaikan adalah masalah penjaminan hak bersuara di muka umum. Padahal disisi lain, aksi kamisan, menuntut penegakan hukum atas pelanggaran dan kejahatan HAM yang dilakukan negara kepada warga sipil seperti Semanggi I & II, Penghilangan paksa aktivis 1997/1998 hingga kasus munir yang terbunuh di udara menjadi bukti betapa rakyat masih menuntut adanya penegakan hukum yang holistik. Namun, melihat sikap pemprov DKI melalui kebijakan pelarangan menyampaikan pendapat di tempat strategis ini justru semakin menguatkan argumen bahwa negara masih abai akan persoalan-persoalan superserius yang demikian terjadi. Sungguh miris. Di indonesia, selain daripada kendala kesadaran negara yang minim akan penegakan hukum terkait HAM, kendala pembangunan infrastruktur juga masih menjadi problem klasik. Korupsi pun juga masih menjadi batu sandungan lainnya. Belum lagi potensi gesekan yang timbul karena kita hidup di dalam kemajemukan. Misalnya wabah debat boleh tidaknya mengucapkan natal, dsb. Plus, di tengah pengaruh ekonomi global dan regional, urusan menggerakan perekonomian melalui paket kebijakan jilid sekian juga masih memerlukan kerja keras dan kerja cerdas. Persoalan Besar Sebagaimana kemudian terpatri ke dalam jatuh bangunnya rezim kekuasaan, indonesia memang acapkali diperhadapkan dengan beberapa masalah besar. Seperti pertama, terbengkalainya potensi domestik alam dimana potensi SDA selalu tak pernah berimbang dengan hadirnya kepemimpinan nasional. Pemimpin nasional selalu datang dan pergi dengan mengurung pamrih mereka sendiri-sendiri. Akibatnya, endowment SDA tak pernah bisa didekati dengan model pengelolaan yang menjunjung tinggi obyektivitas demi menggapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Itulah simpul paling penting dari persoalan mengenai rezim kekuasaan yang asyik dengan dirinya sendiri. Kecamuk dialektika dalam kesadaran mereka hanyalah bersilang sengkarut dengan bertahannya kekuasaan dalam jangka panjang. Kemudian kedua, evolusi politik dan perekonomian bangsa selama kurun waktu tertentu pada akhirnya terperosok ke dalam pusaran neo-imperalisme dan neo-kolonialisme. Bermula dari praksis pembangunan ekonomi nasional yang bernafaskan kapital dan mengabaikan pendekatan Sumber Daya Manusia, maka sejak paruh pertama orde baru berkuasa secara de facto, asing diperlakukan secara sangat terhormat. Ketika kemudian pembangunan ekonomi kian membesar skalanya dan semakin tinggi intensitasnya, maka kehadiran asing melalui modalnya pun dipandang sebagai sesuatu yang aksiomatik. Dari sini kemudian lahir sebuah paradigma, bahwa tanpa kehadiran asing, tak mungkin pernah ada pembangunan bangsa secara holistik. Terlebih jika ditinjau kedepan, bangsa kita kini sedang dihadapkan dengan tantangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Mungkin kedepannya, akan semakin tak terelakkan lagi jika semua produk yang menguasai negeri merupakan produk asing. Sementara bangsa lain memberikan produk, kita hanya mampu memberikan tenaga manusia yang sewaktu-waktu bisa pulang menyisakan nama tanpa nyawa. Prediksi saya, sepertinya ditahun 2016 indonesia masih akan menjadi passenger, menonton negara lain menyetir pasar bangsa. Khususnya di sektor ketenagakerjaan asing, rencana moratorium ekspor tenaga kerja bagi saya masih akan tetap menjadi dongeng belaka. Ketiga, prediksi saya pemerintahan pada berbagai lini pasti akan terjebak involusi. Ada semacam gerak melingkar ke dalam menuju penciutan. Jejaring pemerintahan berubah menjadi kompleks oleh sesuatu yang sebenarnya tak begitu penting. Kinerja pemerintahan kemudian akan menyerupai labirin yang membingungkan. Jejaring pemerintahan sepertinya akan bergeser menjadi medan laga perburuan rente. Para aktor penentu eksistensi jejaring pemerintahan akan mengambil keuntungan dari totalitas relasi negara-masyarakat. Terhadap negara, para akkor ini akan mengambil keuntungan melalui metode korupsi. Terhadap masyarakat, para aktor ini akan mengambil keuntungan melalui suap dan pungutan liar. Inilah akar peroalan sesungguhnya mengapa good governance tak mewarnai keberadaan jejaring pemerintahan di berbagai lini. Pada titik ini, apa makna tahun baru bagi indonesia? Tiga persoalan tersebut saling bertali-temali satu sama lain. Keterbengkalaian potensi domestik oleh kepemimpinan nasional justru membuka pintu lebar-lebar bagi menguatnya hegemoni asing. Bagi asing, daya tarik indonesia terletak pada watak perekonomian nasional yang super liberal. Rezim politik yang berkuasa gagal menegakkan sebuah skema yang mengharuskan asing meletakkan prinsipnya pada semangat kebangsaan. Tak mengherankan jika asing yang keberadaannya diterima sejak 1967 tak memiliki hubungan sebab-akibat dengan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Yang ada, justru sebaliknya, asing berada dalam satu titik benturan dengan masyarakat lokal. Misalnya saja yang terjadi sangat mencolok di papua. Memang, berbagai konflik dan pergolakan di indonesia tahun ini tak sepenuhnya bisa dihilangkan dengan segera. Wujud neo-imperalisme dan neo-kolonialisme yang sudah mendarah daging kini memang sungguh silit dipisahkan dari bumi pertiwi. Belum lagi ditambah dengan minimnya pelaksanaan good governance, realitas buruk yang dikemukakan di atas kemudian menimbulkan implikasi multidimensional. Rakyat terus-menerus diposisikan sebagai subordinat kepemimpinan nasional, rezim kekuasaan dan jejaring pemerintahan. Perubahan ada ditangan kita, pemuda! Menyimak pembahasan di atas, pergantian tahun ini memang harus dijadikan saat yang tepat untuk mengingatkan kembali kita untuk bergerak, mengurai masalah, demi indonesia yang lebih baik. Mulai dari diri sendiri, dari langkah kecil. Jika dimulai secara konstan dan dilakukan oleh banyak orang dan lebih banyak orang lagi, percayalah perubahan pasti terjadi. Lagipula, jika berbicara mengenai perubahan. Saya jadi ingat survey kecil-kecilan yang dilakukan oleh sekelompok pemuda mengenai sikap pemuda dalam melihat suatu perubahan. Penelitian ini mengambil sampel suara di beberapa kota besar di indonesia untuk menjawab bagaimana perspektif pemuda dalam hal pandangan pada suatu perubahan. Kesimpulannya menjadi menarik, karena kelompok ini menyimpulkan bahwa kini terdapat dua tipe pemuda yang masih bertahan ditengah derasnya pengarusutamaan zaman. Pertama, tipe pemuda woles-pragmatis dan kedua, tipe pemuda yang gelisah-kritis. Untuk tipe pertama, diperuntukkan untuk pemuda yang hanya bisa mengeluh, santai (woles) dan hanya berkutat mencari peluang yang bisa menguntungkan dirinya sendiri (pragmatis). Jika saja pemuda tipe pertama ini dihadapkan pada situasi yang cukup mengusik kehidupannya, tipe pemuda ini hanya bisa mengeluh pada keadaan. Lebih banyak mencaci otoritas yang berwenang tanpa sedikitpun memikirkan solusi. Persis seperti watak lintah darat yang hadir tanpa diundang, datang demi keuntungan ia sendiri. Sementara untuk tipe yang kedua, inilah yang menurut hasil penelitian tersebut merupakan tipe pemuda sosok pemimpin bangsa. Kehidupan dari tipe pemuda kedua ini selalu diwarnai dengan kegelisahan akan perkembangan situasi kenegaraan terkini, tindak tanduknya menanggapi situasi perkembangan pun di tanggapi dengan sikap kritis. Tentu disertai dengan tawaran solusi jangka pendek-menengah-panjang untuk menyelesaikan masalah yang ada. Inilah dua reaksi tipe sikap pemuda dalam melihat suatu problem. Disamping dua tipe diatas, kita juga mesti ingat bahwa untuk membangun dan membuat perubahan positif dibutuhkan Tekad, Massa dan Kemampuan. Layaknya sebuah kendaraan, tekad dibutuhkan sebagai roda, massa dibutuhkan untuk membentuk kerangka mesin dan kemampuan dibutuhkan sebagai bahan bakar. Ketiganya saling berkaitan dan tak terpisahkan. Oleh karenanya, kita mesti paham bahwa perubahan tidak datang secara tiba-tiba. Ia hadir karena diciptakan. Dalam hal memberantas korupsi misalnya, kuatkan diri untuk terus bersih. Jangan biasakan diri melalui jalan pintas atau menyuap demi memangkas proses. Anda pun juga bisa memulai di jalan raya. Satu ikhtiar yang pasti amat sangat sulit, utamanya di kota besar. Hal lain adalah membiasakan peduli pada lingkungan sekitar. Satu hal yang saya suka dari perayaan tahun baru ialah saat yang tepat untuk berharap dan optimis. Mengenali lingkungan ini sekaligus juga mengetahui apa permasalahan yang ada di lingungan terdekat kita dan ambil bagian dalam menemukan solusi. Amat banyak inisiatif yang hebat yang telah lahir dan diambil oleh indiidu dan kelompok untuk mencapai perubahan. Mulai dari pemanfaatan teknologi untuk transparansi hasil pemilu maupun transparansi anggarran, perluasan akses kesehatan dan pendidikan hingga daerah terluar, kampanye antti pembajakan lagu, pendampingan hukum bagi mereka yang tak mampu (probono), pemberdayaan bagi kelompok terpinggirkan khususnya perempuan, penyediaan energi alternatif di daerah yang sulit listrik sampai kepada inisiatif sekelompok pemuda memanfaatkan teknologi untuk memecahkan permasalahan-permasalahan bangsa melalui lomba dimana output lomba tersebut akan di presentasikan di depan presiden dan jajaran menterinya untuk di realisasikan, dan terakhir upaya yang dilakukan pemuda untuk menanamkan mimpi dan harapan dari 34 provinsi di indonesia di dalam kapsul waktu untuk 70 tahun mendatang. What a Great Innovation! Sungguh harus diapresiasi!. Jadi, saat ini pilihannya menjadi semakin jelas. Hendak berpangku tangan dan pasrah pada kondisi yang ada (woles-pragmatis) atau sebaliknya, ikut bergerak mengubah tanpa menunggu-nunggu kehadiran negara (gelisah kritis). Selamat menyongsong tahun yang baru. Indonesia jaya! ***** *penulis memiliki ketertarikan di isu-isu politik maupun hukum khususnya isu seputar ketatanegaraan. Selain aktif di berbagai organisasi, ia juga aktif sebagai pegiat anti-korupsi di Pusat Studi Transparansi Publik dan Anti Korupsi (PUSTAPAKO) UNS.
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |