Oleh: M L Aldila* Sudah nonton film documenter berjudul Sexy Killer karya sutradara Dandhy Dwi Laksono? film yang muncul saat masa tenang pemilu serentak 2019 menjadi pemicu saya menulis tulisan yang bersinggungan dengan hukum lagi. Berkisah mengenai masifnya aktifitas penambangan batu bara hingga pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di sejumlah wilayah Indonesia yang berimbas pada munculnya friksi sosial politik, ekonomi, sampai hukum. Adalah Ketut, calon sarjana hukum yang menjadi korban dari aktivitas pengambilan batu bara di desa kertabuana kabupaten kutai kartanegara pulau Kalimantan. Ia merupakan anak sulung dari seorang petani kebun bernama Nyoman Derman. Dikisahkan Nyoman Derman merupakan seorang transmigran dari Bali yang pada tahun 1980 ‘dibawa’ pemerintah melalui program transmigrasi. 10 tahun kemudian, oleh karena desa kertabuana kaya akan mineral batu bara pemerintah kemudian merencanakan desa tersebut sebagai daerah penghasil batu bara. Persoalan muncul ketika petani Nyoman melakukan aksi protes terhadap perusahaan penambang batu bara dengan cara menghadang alat-alat berat. Kisah selanjutnya anda pasti familiar. Seperti jalan cerita di film bertema dark pada umumnya, petani Nyoman dipidana atas dakwaan mengganggu operasional perusahaan. Ia diputus bersalah oleh Majelis Hakim dan dipenjara selama 3 bulan dari tahun 2005 akhir sampai dengan awal 2006. Kisah inilah yang menginsipirasi Ketut si anak petani Nyoman untuk menjadi Yuris (ahli/sarjana hukum). Pada titik inilah, saya merasakan betul betapa Ketut ingin menguasai ‘alat perlawanan’ yang selama ini diragukan oleh masyarakat: Hukum. Terdapat 3 tujuan utama penegakan hukum yang hingga detik ini masih melekat di ingatan saya, yakni untuk mewujudkan (i) keadilan, (ii) kepastian dan (iii) kebermanfaatan hukum dalam masyarakat. Mengubah pola pikir masyarakat, mengembangkan budaya hukum, menjamin kepastian hukum, memberdayakan hukum dan memenuhi rasa keadilan di tengah masyarakat adalah kerangka teknis untuk mewujudkan tiga tujuan utama penegakan hukum a quo. Terasa begitu halu dan tidak membumi? Selamat, anda tidak sendirian. Pada awal semester saya menempuh Pendidikan hukum, saya dijejali kalimat sakti tersebut dan terus terang saya skeptis. Puluhan pertanyaan receh meliputi otak saya, tentang bagaimana bisa hukum menjadi ‘panglima’ sementara faktanya Indonesia masih begitu jauh dari kata ideal dalam penegakan hukum. Maklum, kala itu berita-berita yang menghiasi televisi dan surat kabar tanah air tidak jauh-jauh dari kasus suap, korupsi, pembunuhan dan jenis-jenis kasus menakjubkan lainnya. Jadi.. ayolah, bukan hanya anda yang skeptis terhadap penegakan hukum. Namun syukurlah keraguan saya perlahan terjawab dalam setiap kuliah hukum yang saya ikuti. Bahwa hukum tidak mungkin berdiri sendiri. Ia harus berkolaborasi dengan banyak aspek. “Bersikaplah adil sejak dalam pikiran!” menurut pendapat Pramoedya Ananta Noer. Pendapat yang selalu terngiang dalam pikiran saya hingga saat ini. Mengutip pendapat Gayus Lumbun sang hakim agung Mahkamah Agung RI, penegakan hukum ditentukan oleh semua elemen hukum itu sendiri, di mana system hukum ini sendiri terdiri dari tiga elemen yaitu struktur, substansi dan budaya hukum. Bertalian dengan pendapat dimaksud, buat saya cara paling efektif untuk mewujudkan tujuan utama hukum tersebut adalah memulai dari diri kita sendiri. Dan sejauh ini, saya tertantang untuk mewujudkannya. Caranya? Sesederhana tidak membuang sampah sembarangan, berhenti saat lampu merah menyala hingga sampaikanlah keberpihakan anda terhadap ketidakadilan yang mengemuka di depan anda, termasuk terhadap setiap tindakan yang mengarah pada ujaran kebencian dan perpecahan yang bersumber pada politik identitas, suku, agama dan ras yang belakangan ini memanas. Jujur, hal sekecil itulah yang membuat saya bangga telah menjadi Yuris sampai detik ini. Karena saya percaya, hal besar selalu dimulai dari hal kecil. “kemungkinan terbesar adalah memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan” Komitmen Roscoe Pound, seorang Yuris terkemuka mengemukakan pemikirannya mengenai penggunaan hukum yang tercipta sebagai sarana atau alat untuk melakukan rekayasa sosial. Ia menyatakan bahwa hukum tidak hanya sekedar untuk melanggengkan kekuasaan, namun juga berfungsi sebagai alat rekayasa sosial (law as tool of social engineering). Dikaitkan dengan salah satu persoalan dalam film documenter “Sexy Killer”, misalnya mengenai lubang bekas galian tambang yang tidak kunjung ditutup meski telah banyak memakan korban dari aspek sosial politik, kriminalisasi hingga korban jiwa maka akan nampak sebuah ketidakseimbangan besar didalamnya. Berdasarkan UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Jo. Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2010 tentang reklamasi dan pascatambang disebutkan bahwa perusahaan wajib melakukan reklamasi lahan bekas tambang. Faktanya? Berbanding terbalik dengan instruksi UU. Perusahaan-perusahaan tambang meninggalkan bekas galiannya begitu saja. Melihat fenomena dimaksud, bagi saya hal tersebut adalah gabungan dari persoalan lain yang tidak boleh dikesampingkan. Ingat, hukum tidak akan bisa berdiri sendiri. Ia akan lebih banyak dipengaruhi suasana dan kalkulasi politik. Singkatnya: tergantung keberpihakan rezim pada hukum. Apakah ia akan menegakkan atau malah meruntuhkan?. Pada kasus bekas tambang di Kalimantan, sangat jelas terlihat bahwa pemerintah daerah setempat (bahkan pemerintah pusat) ‘melindungi’ para korporat yang mengencingi lingkungan sekitar. Ketidakberimbangan tersebutlah yang pada akhirnya meruntuhkan ‘wibawa’ peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum yang semestinya dihormati. Apabila ditengok ke dimensi yang berbeda, peraturan perundang-undangan semestinya hadir untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan konsep law as tool of engineering tadi. Namun faktanya akses rakyat ternegasi untuk memanfaatkan sumber-sumber agraria terutama di bidang pertanahan. Dalam bentuk konkrit, kiranya pantas jika dikatakan produk hukum (dalam bentuk pemberian izin perusahaan oleh pemerintah) telah mengakibatkan terjadinya marginalisasi petani bertanah menjadi buruh tani tak bertanah serta memunculkan petani berdasi. Maka guna menjawab dan mengatasi persoalan tadi, bagi saya diperlukan komitmen politik yang jelas. Alat hukum sudah ada, hanya tinggal ‘pengguna alat’ yang harus di sadarkan dari kesurupannya. Meminjam dan sedikit memodifikasi konsep dari Jon St Quah (2009), komitmen politik adalah syarat pertama keberhasilan dalam penegakan hukum. Tanpa adanya komitmen politik, penegakan hukum dapat dipastikan akan menemui jalan buntu atau bahkan kegagalan. Bingkai Ketut pada film documenter Sexy Killer berhasil memugar ingatan saya mengenai keberpihakan saya dahulu. Mengenai perjuangan terdahulu, berteriak mengenai ketidakadilan hukum di akar rumput. Romantisme era perkuliahan tersebut sejauh ini masih melekat segar dalam ingatan saya. Berdiskusi dan berdebat mengenai isu hukum terkini pada saat itu merupakan momen terbaik yang pernah saya miliki. Kini ketika saya telah terjun ke masyarakat, mengaplikasikan ilmu hukum saya. Saya masih akan tetap lantang berbicara mengenai ketidakadilan, isu yang tidak lazim diperdebatkan di lingkungan perkantoran saya. Hidup yang terlalu singkat ini sangat sayang dilewatkan hanya dengan diam berdiri pada setiap isu hukum yang ada. Ilmu hukum yang sudah saya kunyah selama 4 tahun takkan saya biarkan mengendap hilang ditelan zaman. Sebab saya percaya, hukum adalah salah satu alat perjuangan paling efektif dalam mengubah keadaan negeri menjadi lebih baik. Bayangkan jika keberpihakan anda terhadap ketidakadilan di perkuat dengan jabatan anda di legislatif, eksekutif atau bahkan yudikatif? Saya yakin, nama anda akan tercatat harum dalam sejarah bangsa. Meminjam pendapat Galam Zulkifli, selaku pelukis wajah-wajah yang pernah mewarnai perjuangan indonesia (termasuk lukisan D.N. Aidit yang kontroversial) di Terminal 3 Ultimate Bandara Soetta bahwa: “Indonesia bukanlah sebuah antinomi yang memperlihatkan wajah yang tunggal. Ia adalah sebuah pembayangan bersama yang ditopang dari ide yang beragam. Proses menjadi Indonesia adalah sesungguhnya kerja yang serius. Bukan saja melahirkan pahlawan, tapi juga pemberontak. Ide-ide yang bertaruh dan diperjuangkan dengan keras kepala itulah yang membingkai wajah Indonesia yang terwariskan hingga kini” “Indonesia bukanlah sebuah antinomi yang memperlihatkan wajah yang tunggal. Ia adalah sebuah pembayangan bersama yang ditopang dari ide yang beragam. Proses menjadi Indonesia adalah sesungguhnya kerja yang serius. Bukan saja melahirkan pahlawan, tapi juga pemberontak. Ide-ide yang bertaruh dan diperjuangkan dengan keras kepala itulah yang membingkai wajah Indonesia yang terwariskan hingga kini”. Terhadap pendapat Zulkifli dimaksud, saya pastikan bahwa saya adalah salah satu anak muda yang (sedang) berjuang dengan keras kepala untuk membingkai wajah Indonesia di sektor Hukum. Kalau anda sendiri bagaimana? ****************** *M L Aldila Seorang yuris. Amat mencintai dunia Hukum.
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |