*Oleh: Muhammad Luthfi Aldila Menyusul kembalinya Gubernur Ahok setelah masa cuti kampanye pilkada berakhir pada 11 Februari 2017, terdapat satu pertanyaan yang tersisa : mengapa Ahok tak kunjung di Nonaktifkan sebagai Gubernur padahal status hukum yang melekat adalah Terdakwa? Menurut Pasal 83 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD apabila didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun. Sementara ayat 2 pada pasal yang sama memperjelas waktu pemberhentian sementara terjadi apabila perkara Kepala daerah tersebut telah mendapat nomor register perkara di pengadilan. Terdapat dua pandangan dari para ahli hukum dalam menganalisis perkara Gubernur Ahok. Pertama, secara otomatis Ahok harus diberhentikan untuk sementara waktu karena ketentuan pasal 83 ayat 1 mengatur apabila Kepala daerah didakwa dengan ancaman pidana paling singkat 5 (lima) tahun penjara maka dengan sendirinya Kepala daerah tersebut dinonaktifkan oleh pemerintah; kemudian pandangan Kedua, bahwa Ahok tidak serta merta dapat diberhentikan sebab bila melihat perkara pidana yang didakwakan, Jaksa Penuntut Umum telah menggunakan Surat Dakwaan yang disusun secara alternatif yaitu melanggar Pasal 156 huruf a atau Pasal 156 KUHP yang ancaman pidananya disebutkan maksimal 5 (lima) tahun penjara, bukan merupakan ancaman pidana minimal 5 (lima) tahun penjara sebagaimana diatur oleh pasal 83 ayat (1) UU Pemerintah Daerah. Ketentuan Pasal 156 KUHP huruf a sendiri mengatur 'Barang siapa di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun penjara'. Sedangkan Pasal 156 KUHP menyebutkan 'Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun'. Perbedaan pendapat dalam mempersoalkan aturan hukum merupakan peristiwa yang lumrah terjadi. Dalam kasus demikian, sekiranya patut bagi kita untuk melihat persoalan ini secara jernih. Khusus pada perkara Ahok, saya mengajak untuk melihat dengan dua perspektif berbeda. Perspektif (I) jenis kasus yang dipersangkakan kepada Ahok dan perspektif (II) ialah hak subjektif presiden sebagai pejabat yang memiliki kewenangan untuk menonaktifkan Kepala daerah setingkat Gubernur.
Dalam membahas perspektif pertama, kita harus sepakati bahwa pendalaman yang dilakukan ialah menggunakan pisau analisis Hukum tanpa menggunakan pisau analisis Politik. Sebab pembahasan akan dikerucutkan kepada jenis perkara yang dipersangkakan kepada Ahok tanpa melihat faktor lain yang berada disekelilingnya. Bukan tanpa sebab saya berbicara demikian, karena wewenang meluaskan makna kriminalisasi dari perspektif tersangka/terdakwa untuk kemudian diputus mata rantai tersebut berada pada palu Hakim pada fase pembuktian dalam Pra-peradilan dan pembuktian dalam Peradilan hingga tercapainya putusan dengan kekuatan hukum yang tetap. Terkait perspektif pertama, Gubernur Ahok pada akhir tahun lalu dilaporkan atas perkara penistaan agama. Dimana pelaporan dikhususkan pada penodaan ayat suci Al Quran yakni surat Al Maidah ayat 51 dalam acara pertemuan Ahok dengan warga Pulau Seribu. Meski Ahok telah membela diri bahwa pernyataannya tersebut 'tidak dilihat secara utuh' melalui video yang merekam lengkap pernyataannya, namun ia tidak dapat berkelit apabila seorang subjek hukum merasa dirugikan atas pernyataannya tersebut. Terlebih polisi sebagai instansi yang berwenang menerima dan memproses pelaporan suatu delik pidana telah memutuskan bahwa delik tersebut memenuhi unsur-unsur pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP, bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti permulaan yang cukup dan sah. Dari pembahasan singkat diatas, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa Ahok semasa menjabat sebagai Gubernur aktif telah melakukan dugaan penistaan terhadap agama. Artinya unsur barang siapa (Ahok sebagai Gubernur Aktif) telah terpenuhi. Apabila dikaitkan dengan Pasal 83 ayat (1) UU Pemerintah Daerah, yang secara utuh pasal tersebut menjelaskan bahwa “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia” untuk kemudian dibedah menjadi beberapa unsur-unsur, maka sesungguhnya unsur “perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia” telah terpenuhi karena Ahok didakwa oleh JPU dengan pasal Penistaan Agama. Dasar pertimbangan yang melatarbelakangi pernyataan sebagaimana disebutkan diatas hanya dapat dilihat apabila kita mencermati bunyi ayat tersebut secara seksama. Menariknya, jika membaca ayat tersebut kembali secara utuh akan ditemui sebuah fakta bahwa klausul 'pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun' sebagaimana dijadikan dasar argumen para ahli hukum di banyak media massa rupanya tidak ditempatkan oleh pembuat UU sebagai suatu sebab utama yang berakibat pada pemberhentian sementara seorang Kepala daerah (teori sebab akibat/ kausalitas). Hal tersebut dapat dilihat dari domain utama dalam klausul yang berbunyi “... diberhentikan sementara ... karena didakwa melakukan..” yang memiliki makna primair apabila seorang Kepala daerah menjadi seorang Terdakwa, kemudian diperjelas lagi kedalam sub-domain dalam opsi-opsi yang ditawarkan: (a) tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, (b) tindak pidana korupsi, (c) tindak pidana terorisme, (d) makar, (e) tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau (f) perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai makna subsidair, pelengkap dari makna primair. Berdasarkan rangkaian argumen dalam perspektif pertama tersebut, maka Gubernur Ahok telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur dalam pasal 83 ayat (1) UU Pemerintah Daerah untuk diberhentikan sementara karena telah didakwa dengan pasal penistaan agama. Yang patut di garis bawahi, bahwa pembuat UU mewajibkan Kepala Daerah untuk diberhentikan sementara apabila statusnya naik menjadi Terdakwa, bukan saat Kepala Daerah tersebut dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum maupun ketika naik status menjadi Terpidana. Kemudian perspektif kedua, terkait hak subjektif presiden sebagai pejabat tertinggi yang memiliki kewenangan untuk menonaktifkan Kepala daerah setingkat Gubernur. Jika melihat kedudukan presiden sebagai representatif tertinggi eksekutif yang memiliki hak subyektif sebagaimana tertuang dalam bingkai saling kontrol saling imbang (check and balances) antara tiga kekuasaan negara: Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. Maka dapatlah dibenarkan sikap presiden untuk tidak memberhentikan Gubernur Ahok sepanjang perbuatannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara politik. Apabila dikaitkan dengan ayat (3) Pasal 83 UU Pemerintah Daerah: 'Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota' maka dapat diluruskan pemahaman salah kaprah yang telah berkembang jika Menteri Dalam Negeri merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang menonaktifkan Kepala Daerah yang tersangkut kasus Hukum. Padahal pada kasus Gubernur Ahok, wewenang tertinggi berada pada tangan Presiden bukan pada Mendagri. Kuasa Presiden untuk memutuskan pun sebenarnya telah dibatasi oleh UU Pemerintah Daerah agar tidak terjadi Penyalahgunaan Wewenang yang Berlebihan (Abuse of Power), meski pada faktanya rawan dipolitisasi oleh pihak-pihak lain mengingat pada saat yang sama sedang berlangsung Pemilukada Serentak. Namun demikian, patut juga untuk dipertimbangkan alasan-alasan pembenar yang berada dibalik keputusan (sementara) Presiden apabila diambil simpulan yakni tidak menonaktifkan Gubernur Ahok. Dalam dunia hukum, dikenal dua istilah yang tidak jarang dijadikan konsideran dalam memutus suatu perkara besar, yakni (i) demi kepentingan umum; dan (ii) demi kepentingan hukum. Guna memahami lebih mendalam alasan 'demi kepentingan hukum', sekiranya patut untuk menengok isi dari Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP yang menyebutkan bahwa tiga syarat penerbitan Surat Keputusan Penghentian Keputusan (SKPP) oleh JPU adalah kurang cukup bukti, perbuatan yang disangkakan bukan tindak pidana, dan/atau demi kepentingan hukum. Lalu, apakah makna rumusan demi kepentingan hukum yang tertera dalam KUHAP tersebut? Dan apa kaitannya dengan putusan Presiden untuk tidak menonaktifkan Gubernur Ahok?. Para pakar hukum pun tak pernah sepakat dengan definisi hukum tersebut. Sehingga tak banyak orang atau ahli hukum yang paham mengenai rumusan demi kepentingan hukum itu. Dalam satu wawancara dengan HukumOnline.com Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mencoba menguraikan pemahamannya terhadap rumusan ‘demi kepentingan hukum’. Ia menjelaskan makna rumusan tersebut sebenarnya adalah demi kepentingan tujuan hukum yakni, ketertiban umum atau rasa keadilan. Ia berpendapat “Bila kasus dipaksakan dikhawatirkan tujuan hukum itu tidak tercapai”. Apabila dikaitkan dengan kasus Gubernur Ahok, terdapat kemungkinan yang melatarbelakangi Presiden tidak kunjung menonaktifkan jabatan tersebut adalah karena secara subjektif, Presiden melihat kasus tersebut terkesan 'dipaksakan'. Sehingga ia menggunakan hak subjektifnya untuk tidak memberhentikan Gubernur Ahok untuk sementara waktu. Kemudian rumusan demi kepentingan umum. Sebagaimana dijelaskan secara tersirat dalam paragraf diatas bahwa pada Presiden melekat hak Subyektif untuk mengambil sikap atas suatu persoalan besar. Untuk memahami rumusan tersebut, sekiranya patut untuk meminjam definisi 'demi kepentingan umum' yang secara khusus disebutkan dalam wewenang Jaksa Agung sesuai Pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Rumusan tersebut disebut sebagai seponering atau pengenyampingan perkara demi kepentingan umum (biasa disebut deponering). Apabila dikaitkan dengan putusan Presiden untuk tidak menonaktifkan Gubernur Ahok maka akan ditemui pertanyaan yang acap dikritisi berbagai pihak: bagaimana parameter frasa 'demi kepentingan umum' itu digunakan?. Apabila menilik kembali penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan/atau kepentingan masyarakat luas. Jika dikaitkan untuk menjawab pertanyaan sejauh mana parameter 'demi kepentingan umum' itu digunakan pada kasus Gubernur Ahok, maka jawaban yang akan didapat cukup sederhana: ialah tergantung sejauh mana penafsiran Presiden secara pribadi. Apabila ia melihat kasus tersebut mempengaruhi kepentingan umum secara luas dengan berbagai pertimbangan yang melihat aspek-aspek detil maka pilihan untuk tidak menonaktifkan Gubernur Ahok menjadi suatu hal yang wajar. Sebab sebagai suatu representasi tertinggi dari fungsi Eksekutif, Bangsa & Negara, seorang Presiden memiliki hak untuk bersikap atas persoalan bangsa sepanjang alasan-alasannya dapat dipertanggungjawabkan secara Politik & Hukum. Namun demikian, satu solusi yang dapat saya tawarkan kepada Presiden apabila (benar) menggunakan salah satu atau kedua rumusan tersebut ialah: terbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPPU) untuk mencabut pasal 83 UU Pemerintah Daerah. Sebab tidak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok kembali menjadi Gubernur tanpa mencabut pasal tersebut. Meskipun telah dijelaskan bahwa Presiden memiliki hak atas pengambilan sikap tersebut, namun langkah tersebut (dengan mengabaikan aspek hukum secara khusus) secara tidak langsung sudah menyiratkan perbuatan penistaan terhadap hukum yang amat serius. Pada akhirnya, baik perspektif pertama maupun perspektif kedua memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sebagai seorang Jurist, sikap saya jelas: non-aktifkan Gubernur Ahok sepanjang UU Pemerintah Daerah masih mengatur demikian. Sulap Terdapat rencana dibalik upaya. Dan dibalik dua frasa tersebut terselip doa. Jakarta membutuhkan pemimpin yang tegas, tidak banyak kompromi dan menjalani serta menghormati Hukum sesuai kapasitas dan kapabilitasnya tanpa mengesampingkan keberpihakannya terhadap rakyat proletar. Jangan sampai anekdot “kalau di jakarta ada kecelakaan, orang yang mendekat bukannya menolong, tapi mengambil barangnya si celaka” tetap eksis. Sekelumit persoalan di DKI Jakarta tentu pulalah mesti dipahami bahwa menuntaskan pekerjaan tersebut tidak seperti memasak mie instan. Sebab apabila semua permasalahan jakarta dapat diatasi dengan mantra simsalabim abrakadabra, maka tidak perlulah repot-repot kita melaksanakan Pemilukada DKI dengan tiga Pasangan calon, cukup angkat saja Deddy Corbuzier dan Limbad menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta maka persoalan (dianggap) usai. ******** *Penulis menaruh perhatian yang besar terhadap penegakan hukum, khususnya pada isu seputar Politik, Anti Korupsi dan Transparansi Publik. Saat ini penulis aktif sebagai Industrial/Employee Relation (legal & litigation) pada CT Corpora c.q PT Mega Finance.
2 Comments
engkusitem
13/2/2017 12:50:07
Assallamuallaikum mas aldy, tulisan yg bagus, dan sangat mendetail dalam analisisnya, sangat senang dengan pembedahan masalah seperti ini dihadapan hukum agar masyarakat juga mendapatkan penjelasan, , kalo bisa dikomen ini sy hanya ingin menyampaikan pemikiran sy setelah sy baca tulisan mas aldy, malah kalau berkenan bolehkah sy minta ruang untuk berdiskusi di kolom komentar ini, dimana td mas aldy menyatakan
Reply
Admin
14/2/2017 05:08:01
Waalaikum salam wr wb. Suatu kehormatan tulisan saya dapat dibaca oleh Jaksa sekaliber mas Aji. Terkait pernyataan saya tersebut, tentu tidak serta merta apabila didakwakan demikian oleh JPU maka dengan sendirinya dapat ditarik suatu simpulan: penistaan agama = perbuatan yang dapat memecah belah NKRI.
Reply
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |