5/5/2015 0 Comments Manuver Indah Pak BeyeOleh: Muhammad L Aldi tulisan dimuat di : https://www.selasar.com/politik/manuver-indah-pak-beye Di tengah belantara isu KPK vs Polri, BBM naik, apartemen pelacur, dan isu-isu ketatanegaraan lain khas rezim joko widodo, tanpa kita sadari belakangan sosok Susilo Bambang Yudhoyono mulai terangkat kembali kepermukaan. Misalnya saja perkara utang IMF, bukan hanya anak pak beye ibas, seskab andi dan menkeu bambang saja yang terkena dampak saling tuding soal siapa yang salah dan siapa yang benar. Masyarakat luaspun juga ikut terkena dampak 'saling tuding' tersebut. Maksudnya, saling tuding memperbandingkan pemerintahan pak beye dan jokowi. Akibatnya, masyarakatpun mendadak 'gaduh'. Mempertanyakan pidato jokowi di KAA soal utang IMF. Sebabnya, koreksi dari mantan presiden sebelumnya dianggap lebih masuk akal daripada pernyataan presiden yang sekarang. Sebenarnya melihat nama pak beye di media-media mainstream nasional tentu menjadi hal yang biasa bagi kita. Tapi, coba perhatikanlah baik-baik dan bandingkan kondisi dimana pak beye masih berkuasa dan kondisi dimana pak beye kini telah menjadi mantan presiden. Bagi saya, ada dua perbedaan mendasar ketika kita melihat berita saat pak beye menjabat dan kini ketika pak beye sudah tidak menjabat.
Ialah citra. Ya, kini citra pak beye harus diakui menjadi lebih positif dimata masyarakat. Hal berbeda dapat kita temui ketika beliau masih menjabat sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara beberapa tahun silam. Jika terdapat suatu isu atau kebijakan (yang dianggap bertentangan dengan kemauan rakyat), pak beye pasti dikait-kaitkan dengan kata 'lamban', 'presiden akademis (wacana tanpa action)' , 'lembek' dan berbagai perkataan satir lainnya. Kita pun tentu masih ingat, betapa menariknya era ketika pak beye berkuasa. Hampir setiap hari masyarakat kita mencibir dan mencaci maki pernyataan, tindakan maupun sikap pak beye dalam mengkomandoi negeri ini. Entah dari kebijakan skala nasional maupun skala internasional. Dalam skala internasional misalnya, tak jarang pak beye menerima cemooh dan kritik dari rakyatnya kala ia menerapkan gaya polugri “zero enemy, thousand friend”. Dampaknya, ia pun menjadi bulan-bulanan rakyat kala kuliner ranah minangkabau berupa rendang hingga reog ponorogo yang merupakan budaya asli indonesia ingin diklaim sebagai budaya dan kuliner dari malaysia. Atau, ketika australia seenaknya melakukan spionase kepada beberapa pejabat, dirinya sendiri bahkan istrinya sekalipun. Karena falsafah polugri ala pak beye tersebut diberlakukan, implikasinya pun kita hanya bisa diam. Sungguh memilukan. Selain itu bahkan pernah, dari skala nasional, pada tahun 2011 pak beye dilecehkan dengan cara yang cukup extreme dan tergolong baru oleh para demonstran. Ialah dengan menyangkutpautkan namanya dengan nama yang disematkan kepada seekor kerbau : Si-BuYa. Ide dari para demonstran muncul karena demonstran menganggap kelakuan pak beye tidak jauh berbeda dengan kerbau lamban yang hanya bisa bergerak jika di colok hidungnya. Seketika itu, pak beye pun naik pitam dan segera mengultimatum para demonstran. Sesaat kemudian, lahirlah larangan baru bagi para demonstran. Khususnya di DKI jakarta : tidak boleh membawa binatang ketika berdemo. Menarik memang, melihat sekelumit kisah mengenai pak beye disaat ia berkuasa. Sekelumit kisah itu pun belum berhenti saat ia berkuasa. Bahkan pada saat masa transisi kekuasaan pun lagi-lagi ia pernah mendapat cemoohan dari publik mainstream nasional. Tepatnya di tahun 2014 dimana titik nadir ketegangan politik negeri sedang memuncak. Misalnya, pada pertengahan tahun 2014, ia pernah dicibir karena gaya blusukannya bercitarasa jokowi. Jelajah sana-sini dan berusaha menampilkan sisi humanis dengan menjauhkan kesan pejabat necis yang sok-sokan terjun kelapangan. Itulah kesan yang kadung ditangkap publik untuk gaya jokowi. Mendengar cemoohan tersebut, ia pun segera menampik dengan mengatakan bahwa ia telah blusukan sejak 2004, jauh sebelum istilah “blusukan” tenar dan bahkan jauh sebelum jokowi jadi gubernur DKI. Celakanya, ia lupa bahwa ia disandingkan dengan jokowi yang kala itu menjadi media darling indonesia, hasilnya tentu sesuai dugaan banyak kalangan. Ia berada di posisi yang lemah. Bahkan, pada saat itu bukan pak beye saja yang saat itu lemah karena disandingkan -oleh media mainstream- dengan jokowi, banyak pejabat kenamaan nasional yang juga disandingkan dan mendapat hasil sesuai dugaan : kalah pamor. Publik pada saat itu terlanjur menyukai sosok jokowi yang lekat dengan karakter wong cilik serta jauh dari kesan pejabat wangi nan parlente. Namun, kini keadaan itu terasa berbalik. Hal tersebut terasa berkesesuaian jika kita membicarakan mengenai politik (kekuasaan) dan citra (kesan). Dimana hal tersebut dapat kita cermati melalui falsafah “tidak ada kepastian dalam berpolitik”. Falsafah tersebut mencerminkan dinamisasi dalam berpolitik. Jika kemarin A, maka besok belum tentu masih A. Inilah yang coba ditampilkan didalam manuver (politik) pak beye. Ia mencoba membalikkan keadaan, melawan sosok jokowi dengan cara sehalus mungkin. Tanpa kita sadari, pak beye belakangan sedang memainkan manuver (politik) indah dengan strategi buying image. Ya, ia sedang mempertontonkan kepada kita permainan opini publik dengan cara menyandingkan pemerintahan di eranya sendiri dengan era jokowi. Mengapa demikian? Mudah, karena inilah indonesia, meskipun penguasa silih berganti tetapi permasalahan bangsa tetap (akan selalu) sama. Maka atas dasar itulah, mudah bagi pak beye untuk mencocokkan kondisi pemerintahannya dengan kondisi kekinian. Ia hanya tinggal mencari satu poin atau suatu petunjuk dari sebuah isu yang sedang hangat diperbincangkan. Dan begitu satu poin tersebut cocok, ia akan memformulasikan dengan kata-kata yang 'tersirat' dan kemudian diakhiri dengan postingan melalui akun sosialnya, seperti facebook atau twitter dengan maksud untuk menyemai citra positif masyarakat sebanyak-banyaknya. Hasilnya pun cukup menggembirakan. Berhubung kondisi ekosospolitik nasional sedang 'bergemuruh' karena ulah jokowi. Dan dengan ditambah dengan emosi masyarakat yang sedang meletup karena berbagai kebijakan kontoversi jokowi, ia pun mendapat limpahan keuntungan yang tak dapat ia peroleh ketika ia menjabat. Mengapa demikian? karena secara psikologis, jika seseorang sedang 'marah', maka ia pasti mencari alternatif lain untuk 'menenangkan' emosinya. Misalnya dengan mencari kawan yang dianggap mampu menampung keluh kesah amarahnya. Itulah strategi yang dimainkan oleh pak beye. Ia menggunakan pengalamannya selama 10 tahun untuk 'menenangkan' amarah rakyat terhadap pemerintahan jokowi. Dimana artinya, secara tidak langsung ia juga sedang menarik simpati rakyat sebesar-besarnya kepada dirinya. Buktinya, kini tengoklah sekeliling kita. Betapa rindu nya masyarakat luas menginginkan kembali pak beye memimpin ditengah kandasnya harapan rakyat kepada jokowi. Tak jarang, selain memuji postur tubuh dan aura kepemimpinannya, tak sedikit rakyat yang memuji kembali pemerintahan 10 tahun era pak beye dengan berbagai kalimat bernada positif. Pada saat ia berpidato menjadi keynote speaker di KAA misalnya. Oleh sebagian kalangan, ia dianggap mewarisi aura bung karno ketika berpidato di hadapan pemimpin negara asia-afrika menggunakan bahasa inggris. Hal berkebalikan justru disematkan kepada jokowi ketika ia berpidato cukup 'keras' menentang IMF, ADB dan World Bank menggunakan bahasa indonesia. Meski isi pidato cukup 'berbahaya', namun citra jokowi tetap saja negatif dari negeri sendiri. Mulai dari penyampaian pidato yang tidak berwibawa hingga gayanya berpidato yang menggunakan kertas sebagai contekan. Belum lagi, ketika gaya berpidato pak beye, jokowi dan bung karno ketika KAA disandingkan oleh sebagian media mainstream nasional. Tentu sesuai dengan dugaan kita, posisi pak beye dalam hal ini menempati posisi diatas jokowi. Inilah satu fakta menarik ditengah upaya pak beye memainkan strategi buying image. Dugaan saya, upaya-upaya pak beye dalam merestorasi citra masih akan tetap dijalankan sebagai upaya primer dalam manuver politiknya. Karena tentu pak beye bukanlah orang sembarangan. Ia merupakan orang yang sudah malang-melintang di perpolitikan nasional dan transnasional sejak lama. Ia pasti paham bagaimana caranya mengendalikan opini publik kekinian dengan cara mempublikasikan pengalamannya berkuasa selama 10 tahun. Ia pasti paham bagaimana caranya membaca dan menjawab konstelasi geopolitik nasional. Selain itu yang tak kalah penting, ia juga pasti paham, bahwa partainya sangat membutuhkan sokongan kuat darinya untuk menggerakan mesin partai agar dapat memenangkan Pilkada serentak dan pemilu 2019. Apalagi di lain sisi, partai besutannya sebentar lagi juga akan melangsungkan kongres dimana salah satu agendanya ialah memilih ketua umum partai. Mengenai siapa yang akan menjadi ketua umum partai demokrat, dugaan kita sepertinya (masih) akan tepat. Karena tentu partai demokrat tak dapat mengelak, ia belum bisa move on dari SBY effect yang telah membesarkan dan menyelamatkan nama partai kala badai politik menghujam. Ia juga tidak bisa mengelak betapa kuatnya kharisma mantan presiden ke-6 tersebut di mata rakyat. Maka, tentu ia juga tak dapat mengelak, bahwa partai tanpa kehadiran pak beye bagaikan butiran debu di lautan pasir. Cerdas memang, strategi politik buying image ala pak beye untuk membalikkan posisi sampai krisis politik mereda. Meskipun kini KIH diatas angin, tetapi nampaknya pak beye masih berada di atas awan. Ia siap membaca kapanpun arah angin (politik) itu terbawa. Dan ia siap menjawab angin (politik) itu dengan radarnya. Dampaknya, iapun semakin lihai untuk siap kapan dan dimana ia bisa memainkan manuver (politik) nya itu dengan indah. *** Muhammad L Aldi Pengkaji Hukum Tata Negara, Penggiat PUSTAPAKO UNS, Pernah bertugas di sekretariat komisi III DPR-RI tulisan selesai pada 3 Mei pukul 03.51
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |