9/4/2016 0 Comments Kor(u)porasi Dalam Reklamasi*oleh: Muhammad L Aldila Eskalasi pemberitaan reklamasi pantai utara jakarta belakangan meningkat drastis pasca operasi tangkap tangan KPK terhadap M. Sanusi selaku ketua komisi D bidang pembangunan DPRD DKI dan seorang pegawai PT Agung Podomoro Land, Triananda Prihantoro. Buntutnya ketika KPK juga menahan bos PT APL Ariesman Widjaja dan mencekal Taipan Aguan Sugianto selaku bos PT Agung Sedayu Group untuk tidak keluar negeri. Detak nadir publik pun meninggi. Publik yakin, bahwa kasus reklamasi ini tidak main-main. Ini masuk kategori calon maha kolusi korupsi seperti kasus BLBI dan hambalang. Sebab itu pulalah, komisioner KPK berujar bahwa kasus ini tergolong grand corruption atau korupsi besar-besaran dan akan menyeret banyak pihak. Kolusi dan Korupsi jenis ini sebenarnya sudah acap terjadi. Dimana salah satu pemain intelektualnya adalah korporasi yang memiliki kepentingan bisnis. Kepentingan tersebut (kebetulan) berpotongan dengan penyelengara negara. Legislatif, dan eksekutif. Maka jadilah kolusi politik atau bisa disebut sebagai kerjasamanya pihak pemerintahan dan pihak lain untuk melawan hukum. Dengan ditambahkan penyedap rasa berupa suap, lengkaplah ia disebut kolusi dan korupsi. Keduanya ini pada prinsipnya telah memenuhi unsur permufakatan jahat. Ah, Jika saja suap dilakukan antara sesama pihak swasta, saya yakin istilahnya berbeda: bisnis. Sayangnya ini suap yang berbeda. Suap yang dilakukan oleh PT APL kepada komisi D DPRD memang hanya pembuka dari borok kolusi dan korupsi yang sebenarnya. Yakni ketika negara diperalat oleh korporasi. Saya ulangi. di p e r a l a t. Situasi yang saya maksud ialah ketika negara yang dalam hal ini adalah kekuasaan eksekutif dan legislatif di tingkat daerah difasilitasi oleh korporasi untuk mengundangkan suatu produk hukum. Suatu kebijakan publik. Kebijakan yang berkaitan dengan tata ruang wilayah. Yang dari namanya saja sudah diketahui bahwa produk tersebut seharusnya diperuntukkan untuk publik dan kepentingan umum. Bukan kepada korporasi dan untuk kepentingan privatisasi. Oleh sebab itulah saya sepenuhnya sepakat dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Dandhy Dwi Laksono bahwa “Reklamasi akan mengubah nelayan menjadi security apartemen, dan istrinya yang sehari-hari menjemur ikan, menjadi tukang cucinya. Atau anak perempuannya yang menjajakan ikan bakar, jadi pengasuh bayi di tower A. Desain ekonomi seperti ini yang dengan gagah menyebut dirinya ‘pro-growth, pro-job, pro-poor”. Sungguh mengerikan kedigdayaan jakarta. "Reklamasi akan mengubah nelayan menjadi security apartemen, dan istrinya yang sehari-hari menjemur ikan, menjadi tukang cucinya. Atau anak perempuannya yang menjajakan ikan bakar, jadi pengasuh bayi di tower A. Desain ekonomi seperti ini yang dengan gagah menyebut dirinya ‘pro-growth, pro-job, pro-poor" -Dandhy Dwi Laksono, Aktivis Batal Demi Hukum Sebagai amunisi awal, mencermati daftar produk hukum yang bisa ditelusuri melalui laman http://www.jakarta.go.id/v2/produkhukum/search dengan memasukkan kata kunci “reklamasi”. maka akan ditemukan sedikitnya 7 Beschikking (keputusan) dan beleidsregels (peraturan kebijakan) yang relevan dengan kata kunci. Yang detailnya dapat dilihat dari daftar dibawah ini.
Jika diamati melalui penelusuran peraturan diatas pada tahun 2012, 2014 dan 2015. Dimana setiap tahunnya sedikitnya terdapat tiga gubernur politik yang berkuasa yakni Fauzi Bowo, Jokowi Dodo dan Basuki T Purnama. Nampak jelas bahwa rencana reklamasi ini merupakan rencana yang sudah disusun sejak lama dan merupakan rencana bisnis atas nama pembangunan. Hal ini ditegaskan dengan jelas pada Pergub 121/2012 dan Pergub 146/2014 yang masing-masingnya ditandatangani oleh Foke dan Jokowi. Sementara satu-satunya yang memulai mega proyek yang ditaksir bernilai Rp 500 Triliun melalui PEMBERIAN IZIN untuk melaksanakan reklamasi adalah Ahok. Saya ulangi, pemberian izin. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui empat keputusan (beschikking) pemerian izin yang mengacu kepada Pergub atau peraturan kebijakan (beleidsregels) dimana secara berturut-turut di tetapkan oleh ahok sepanjang tahun 2014 sampai 2015 berupa Kepgub 2238/2014, Kepgub 2268/2015, Kepgub 2269/2015 dan Kepgub 2485/2015. Menariknya, dari keputusan pemberian izin reklamasi yang secara berturut-turut ditetapkan tersebut. Terlihat kesalahan fatal yang terdapat pada konsideran ‘mengingat’. Mereka yang mempelajari hukum perundang-undangan pasti mengerti kesalahannya. Bahwa setiap beschikking maupun regelling pasti akan merujuk pada suatu peraturan perundangan yang VALID (sah dan berlaku) dalam konsideran ‘mengingat’. Mengutip lampiran dari UU No 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan, konsideran ‘mengingat’ pada suatu produk hukum setidaknya wajib memuat: (a) dasar kewenangan pembentukan peraturan perundangan; dan (b) peraturan perundangan yang memerintahkan pembentukan peraturan perundangan. Sementara jika diteliti melalui salah satu Kepgub yang ada. Misalnya konsideran mengingat dalam kepgub 2238/2014 tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudera. Maka akan nampak jelas kesalahan fatal dari keputusan tersebut. Bahwa keputusan tersebut masih mencantumkan aturan lama yakni keputusan presiden nomor 52 tahun 1995 tentang reklamasi pantai jakarta utara. Padahal Kepres tersebut telah dianulir dalam Peraturan presiden nomor 54 tahun 2008 tentang kawasan jakarta, bogor, depok, tangerang, puncak, dan cianjur. Atas dasar demikian, keempat Kepgub yang berturut-turut ditetapkan gubernur sepanjang 2014 sampai 2015 untuk memberikan izin reklamasi kepada korporasi sesungguhnya telah memenuhi unsur CACAT FORMIL karena masih mencantumkan pijakan hukum usang yang sudah tidak valid dan oleh karenanya harus dimaknai bahwa keputusan tersebut dengan sendirinya BATAL DEMI HUKUM sehingga TIDAK DAPAT MENGIKAT SECARA HUKUM. Reklamasi untuk siapa? Membatalkan rencana reklamasi adalah langkah yang jitu. Sikap ini merupakan salah satu langkah untuk mendapatkan momentum mengembalikan kejayaan negara maritim yang selama ini digaungkan. Apalagi indonesia adalah negara kelautan (maritim) dan bukan negara kepulauan (kontinental) seperti singapore, dubai, hongkong, dsb, dsb yang selama ini disebut-sebut ahok sebagai contoh negara yang sukses berreklamasi. Lagipula dari pernyataan ahok yang demikian dan dengan ditambah dengan ketergesa-gesaannya menerbitkan keputusan yang cacat formil itu, sebenarnya semakin jelaslah ahok memposisikan diri sebagai Gubernur Podomoro. Bukan lagi sebagai gubernur DKI. Pemimpinnya para warga DKI. Tapi pemimpin (atau lebih tepatnya: alat politik) dari para taipan (konglomerat) terkuat indonesia. Aguan Sugianto (bos Agung Sedayu Group), Ariesman Widjaja (Agung Podomoro Land) yang keduanya tenar di perbincangan ‘bawah tanah’ dengan sebutan personel Sembilan Naga atau The Godfather nya indonesia. Sekali lagi. Operasi tangkap tangan KPK terhadap ketua fraksi Gerindra DPRD DKI jakarta M. Sanusi wajib diperingati menjadi momentum penegakan hukum dan penghentian total reklamasi teluk jakarta dan reklamasi-reklamasi di daerah lainnya. Berkaca dari dugaan banyaknya korporasi dan pejabat negara yang terlibat pada kasus a quo, reklamasi jakarta sesungguhnya tidak lebih dari kepentingan elite dan kapitalis yang mengorbankan kelestarian alam dan masyarakat pesisir utamanya nelayan tradisional. Di sisi yang lain. penangkapan salah satu anggota DPRD DKI Jakarta juga semakin memperkokoh anggapan bahwa partai politik masih korup. Persis seperti apa yang saya teliti pada skripsi saya. Dengan memanfaatkan reklamasi sebagai lahan bancakan, maka akan terlihat jelas kualitas anggota parpol yang bekerja di dewan ini. Bahwa perilakunya tidak lebih baik dengan anggota parpol yang berada di senayan. Lambatnya proses pengundangan raperda rencana zonai dan wlayah pesisir dan revisi perda no 8 tahun 1995 tentang pelaksanaan reklamasi dan rencana tata ruang pantai utara jakarta menjadi bukti dari spekulasi saya [1]. Sudah tiga kali rapat paripurna namun tidak kunjung kuorum. Hal tersebut tentu saja menimbulkan praduga tentang lobi politik atau kong kalikong diantara para kingkong yang belum selesai. Setidak-tidaknya untuk mencapai pembatalan reklamasi, saya berpendapat bahwa terdapat empat cara yang dapat dilakukan. Pertama, Pembatalah kepgub mengenai izin reklamasi. Aktivis lingkungan dan warga DKI yang dirugikan dapat menggugat keputusan TUN (tata usaha negara) tersebut kepada Pengadilan TUN. Posisi penggugat sedang diatas angin, selain kuatnya perlawanan masyarakat atas relamasi, keempat kepgub tentang pemberian izin tersebut telah cacat formil dan karenanya tidak dapat mengikat secara hukum; kemudian cara kedua, berdasarkan UU no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang terbuka hijau Jo. UU No 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kawasan jakarta dan kawasan sekitarnya telah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional. Sehingga kewenangan pemanfaatannya berada pada tangan pemerintah pusat dan bukan pada gubernur DKI. Sementara salah satu kementerian yang ditunjuk oleh UU untuk mengeluarkan izin reklamasi adalah kementerian Agraria dan Tata Ruang. Maka cara kedua ialah meminta dan mengawal menteri agraria dan tata ruang, Ferry Mursyidan agar konsisten pada sikapnya [2] yang menyatakan bahwa ia tidak akan mengeluarkan izin kepada pengusaha yang mau mereklamasi laut. Lalu cara ketiga, ialah melalui Penegasan melalui legislasi maupun regulasi bahwa reklamasi harus d moratorium. Segala perda-perda harus dibatalkan demi hukum. Sebab mereklamasi artinya menambah wilayah daratan. Merugikan biota laut, batas garis pantai menjadi bergeser, nilai ekonomi dari tanah akan turun, dan yang terpenting: akan terjadi penumpasan sistematis terhadap kondisi sosial ekonomi budaya para kaum pesisir yang kebanyakan merupakan nelayan dengan ekonomi menengah kebawah. Maka cara terakhir pun bagi saya merupakan cara yang paling masuk akal untuk melengkapi ketiga cara diatas. Yakni ialah melawan terus, terus dan terus melawan!. Mari gemakan terus dengan lantang #TolakReklamasiJakarta!. Sebagai penutup dari tulisan ringkas ini, mari kita sedikit teliti ucapan salah satu anggota Fraksi Golkar DPRD DKI, Zainuddin ketika sedang dalam tahap pembahasan raperda Zonasi yang tidak kunjung selesai itu [3]. Pernah, ia heran bukan kepalang ketika ada yang mengubah salah satu pasal pada Raperda tersebut. Penuturan anggota badan legislasi daerah (balegda) DPRD DKI dari Fraksi Golkar, Ramli menyebutkan bahwa pengubahan pasal ialah mengenai kewajiban pengembang di lahan pulau reklamasi. Jika pada draft raperda sebelumnya dinyatakan bahwa kewajiban pengembang minimal 15%, maka tiba-tiba. Bukan sulap padahal tidak ada mantra sihir. Pada draft terbaru kewajiban pengembang turun menjadi hanya 5%. Dan herannya lagi, tidak ada yang mengetahui siapa yang merubah. Saya ulangi: tidak ada yang tahu. Jangan-jangan lama kelamaan gedung DPRD DKI Jakarta ini dikondisikan seperti kalijodo maupun alexis, barangsiapa yang ‘main’, maka antara sesama kita pura-pura-saja-tidak-tahu-karena-sama-sama-enak. Sungguh, lelucon yang lebih lawak daripada Ani Yudhoyono yang ingin nyapres dan jauh lebih lawak daripada rombongan-keluarga-seRT dari kolega menteri PAN-RB Yuddy yang ingin bertamasya sambil dijajanin dubes. Tapi, puncak keheranan saya adalah mengenai reklamasi. Menurut orang yang sama dari fraksi golkar DPRD DKI, tanah hasil reklamasi akan dijual sampai dengan harga Rp 60 juta per meter [4]. Yang menjadi pertanyaan. Ini tanah untuk siapa? Rakyat DKI yang katanya ahok merupakan masyarakat golongan menengah-kebawah-melarat atau masyarakat golongan keatas yang selalu diboongin “senin harga naik” lewat acara yang dipandu Feni Rose sambil jalan-jalan (?) ********* *penulis merupakan tukang komentator atas segala isu tentang hukum. Sedang meniti karir profesional. Bercita menjadi penyambung lidah rakyat yang agitatif dalam berbicara dan povokatif dalam menulis. Referensi: [1] http://megapolitan.kompas.com/read/2016/03/17/16564521/Tak.Kuorum.Pengesahan.Perda.Zonasi.Batal [2] http://finance.detik.com/read/2015/04/28/110831/2900060/4/menteri-agraria-kami-menentang-habis-bila-pengusaha-mau-reklamasi-laut [3] http://megapolitan.kompas.com/read/2016/03/18/18273081/Alasan.DPRD.DKI.Tak.Mau.Sahkan.Raperda.Zonasi [4] ibid.
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |