*Oleh : Muhammad L Aldi Bahan bakar minyak telah resmi naik pada sabtu (28/3) lalu. Pemerintah mengatakan bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan penyesuaian terhadap harga minyak mentah dunia atau Indonesian Crude Price (ICP) yang naik secara signifikan dari $ 45,3 per barel menjadi $ 53,76 per barel pada januari hingga maret lalu dan disebabkan oleh lemahnya nilai tukar rupiah dari asumsi semula Rp12.500 menjadi Rp13.021 per dolar pada 30 maret 2015 ini (kompas, 31/3/2015). Meskipun pemerintah hanya memutuskan menaikkan harga BBM jenis solar dan premium sebesarRp 500 per liter, namun kontroversi pasca kebijakan ini terus menuai polemik di masyarakat. Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan menuding, kenaikan atas harga BBM dapat membuat harga-harga bahan pokok naik hingga 40%. Selain itu, Politisi Gerindra ini juga mengkhawatirkan dampak kenaikan harga BBM akan meningkatkan inflasi antara 0.5% sampai 2%. Ia juga mempredksi bahwa selama 3 (tiga) bulan ke depan akan terjadi peningkatan biaya produksi yang disusul oleh kenaikan harga-harga di pasar. (DPR, 31/3/2015)
Kenaikan harga BBM, adalah akibat dari keputusan prematur pemerintah yang menetapkan harga berdasarkan harga pasar. Selain itu, juga diakibatkan karena keputusan pemerintah yang menyunat subsidi untuk bahan bakar agar tetap berada di angka Rp1.000 per liter. Oleh sebagian kalangan, kebijakan ini dianggap bertentangan dengan amanat konstitusi pasal 33 ayat (4) dan telah mendistorsi putusan MK No 002/PUU-I/2003 karena membiarkan mekanisme pasar menguasai komoditas yang menguasai hajat hidup orang banyak. Padahal, MK sudah memutuskan terkait pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas No 22 tahun 2001 telah bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, lembaga pengawal konstitusi tersebut telah mengharuskan pemerintah bertanggung jawab terhadap golongan masyarakat tertentu terkait segala kebijaksanannya mengenai harga BBM dan Gas Bumi. Namun, jika melihat fakta empirik dan jika dikaitkan dengan nilai keekonomian yang notabenenya sama dengan mengikuti mekanisme pasar, artinya pemerintah telah benar-benar menyalahtafsirkan amanat konstitusi dan putusan MK. Ironisnya, ‘timing’ pelaksanaan kebijaksanaan tersebut juga tidak tepat, karena bersamaan dengan naiknya tarif listrik dan harga eceran tertinggi (HET) elpiji 3 Kg di masyarakat. Dengan timing tersebut, artinya pemerintah dengan sengaja tidak menjalankan kewajibannya dalam melindungi rakyat indonesia dari keterpurukan ekonomi. Disorder Sosial Kegagalan menafsirkan amanat pasal 33 ayat (4) konstitusi dan putusan MK No 002/PUU-I/2003 sehingga pemerintah dengan mudahnya membuat kebijakan menaikkan harga BBM telah menciptakan disorder (kekacauan) sosial di masyarakat, mengakibatkan terjadinya fluktuasi, memperlemah daya saing industri, naiknya harga kebutuhan sehari-hari dan mengakibatkan rakyat indonesia ‘gaduh’ di semua sektor. Dari segi regulasi, pemerintah selayaknya juga harus meninjau kembali Perpres No 191 tahun 2014 yang mengatur tentang periodeisasi penetapan harga BBM yaitu mengenai waktu penetapan harga dapat dilakukan setiap bulan atau apabila dianggap perlu, dapat ditetapkan lebih dari satu kali. Karena, hal tersebut dapat berdampak pada instabilitas keuangan nasional. Frekuensi penetapan harga BBM yang terlalu sering juga akan semakin menambah keresahan di masyarakat. Alangkah lebih bijaknya jika penetapan harga BBM dilakukan setiap setahun sekali dengan tetap mempertimbangkan dan memperhitungkan perkembangan harga minyak mentah dunia, kurs, dan sektor riil lainnya. Di sisi ini pemerintah mestinya sadar. Apapun alasan yang melatar belakangi kebijakan pemerintah dalam hal menaikkan harga BBM, sebaiknya diimbangi dengan kalkulasi dan perhitungan yang matang. Salah satunya adalah meminimalisir se minim mungin dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat di level bawah. Akan tetapi, dewasa ini kita betul-betul merasakan bahwa pemerintah sejatinya dengan nyata telah membelokkan substansi putusan MK dan amanat konstitusi bangsa. Sehingga alih-alih berbasis pada nilai keekonomian, pemerintah justru berlindung dibalik kebijakan menaikkan harga BBM yang menyengsarakan rakyat. Padahal tentu kita sadar, BBM merupakan lini fundamental yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini kemudian justru malah membuat rakyat miskin menjadi semakin miskin. Implikasinya, kalimat satir populer ‘yang miskin tambah miskin, yang kaya tambah kaya’ justru semakin menjadi kenyaataan. Kondisi rakyat akan semakin jauh dari amanat pembukaan UUD 1945, yakni ‘..negara indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur’. Masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan pasca kenaikan harga BBM. Selain pembenahan ulang kebijakan dengan mengelaborasikan dengan amanat konstitusi dan putusan MK untuk menjamin kepastian bagi seluruh rakyat indonesia, PR yang juga perlu diselesaikan oleh pemerintah adalah reformasi subsidi BBM. Reformasi subsidi BBM harus diarahkan untuk menjamin akses rakyat miskin agar mendapatkan perlindungan dan kepastian untuk mendapatkan BBM bersubsidi sesuai kebutuhan yang layak. Meningkatkan kembali gairah daya saing industri kecil dan menengah, mendorong kembali upaya konservasi besar-besaran energi bahan bakar terbarukan, serta memberikan ruang fiskal bagi pemanfaatan anggaran bagi pembangunan di sektor kesehatan, infrastruktur, pendidikan dan kesejahteraan sosial. Perlu disadari, reformasi subsidi BBM dapat mengakibatkan penyesuaian harga BBM untuk golongan masyarakat tertentu. Walaupun demikian, reformasi subsidi mesti tetap dilaksanakan oleh pemerintah guna mencegah timbulnya praktik ‘yang kuat memakan yang lemah’. Meminjam istilah dari Prof Jimly Asshidiqie dalam bukunya berjudul Konstitusi Ekonomi, sejatinya nilai keekonomian indonesia berdasarkan amanat UUD 1945 dalam pasal 33 ialah bersandar pada paham sosialisme, bukan kapitalis-liberalisme ala barat. Jika dikaitkan serta dikaji lebih dalam, artinya pemerintah harus hadir dan melindungi pada tiap-tiap kebijakan ekonomi publik yang berpotensi ‘menyakiti’ masyarakat luas golongan kaum proletar, bukan justru melepas harga kepada mekanisme pasar. Cara tersebut selain lazimmnya digunakan oleh para penggiat neoliberalisme juga merupakan cara efektif untuk membegal kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara perlahan dan mematikan. Pertanyaannya kini justru semakin menarik untuk dikaji lebih mendalam. Dengan mendasarkan pada fakta empirik yang terjadi dan cara keekonomian yang digunakan pemerintah. Apakah benar, pemerintahan Jokowi-JK dewasa ini sudah semakin menyimpang dari amanat konstitusi dan justru semakin menggunakan cara neolib untuk menjalankan nilai keekonomian indonesia (?). Muhammad l Aldi Kandidat S.H di UNS Penggiat PUSTAPAKO (Pusat Studi Transparansi Publik dan Antikorupsi) UNS Pengkaji Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret *tulisan (dengan beberapa perubahan) sedang diajukan untuk diterbitkan ke salah satu media massa nasional
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |