Republik Rakyat Tiongkok (“Tiongkok”) merupakan negara yang terbentuk pada tahun 1949 dan memiliki rekam jejak sejarah peradaban yang sangat panjang. Telah banyak tinta emas yang tertuang kedalam tiap kebijakan tertulis maupun tidak tertulis dibidang hukum, politik, budaya dan ekonomi yang menjadi cikal bakal mengapa Tiongkok kini menjadi negara (sangat) maju. Namun tulisan ini tentu tidak akan membahas mengenai semua bidang tersebut. Tulisan ini dibuat dan bertujuan hanya untuk fokus mengangkat sektor keekonomian yang dikaitkan ke perlindungan sosial di Tiongkok sebagai domain utama topik penulisan. Ketika membicarakan apa dan bagaimana bentuk dari perlindungan sosial yang telah dilakukan oleh Tiongkok, tentu kita tidak dapat menafikan peran sejarah yang telah menempa Tiongkok menjadi negara besar. Jejak tersebut dapat ditelusuri sejak Tiongkok berhasil menjalankan Revolusi (sistem ekonomi) Tiongkok dibawah era kepemimpinan Deng Xiaoping (selanjutnya disebut “Deng”) pada tahun 1980. Ketika Deng muncul tahun 1982 sebagai pemimpin Tiongkok dan secara praktis memegang tampuk pimpinan pemerintahan cina, sebagian besar pemerhati di dalam maupun luar cina mulai menyadari kehebatan visi Deng. Deng menyadari semenjak partai komunis Tiongkok (PKT) berhasil menyatukan serta memerdekakan Tiongkok dari tangan kolonialisme asing pada tahun 1949, cara komunis Marxisme-Leminisme tak lagi mampu memberi kemakmuran ekonomi untuk rakyat Tiongkok. Maka setelah berkuasa, deng memformulasikan sebuah revolusi dengan berujar, “tidak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus”. Arti dari ucapan deng itu ialah, komunis ataupun tidak, Tiongkok harus kaya. Karena kaya itu mulia (zhi fu shi guangrong). Tak sembarangan deng mengungkapkan demikian, salah satu alasan fundamental mengapa ia mengungkapkan demikian adalah karena keinginannya untuk dapat mensejahterakan kehidupan sosial ekonomi di Tiongkok. Keinginannya itu kemudian diwujudkan dalam sebuah corak falsafah ekonomi: ‘sosialisme dengan karakteristik Tiongkok’[1]. berangkat dari falsafah tersebut, Tiongkok pun mulai menganut sistem sosialisme pasar. Bagi Deng, pandangan politik haruslah komunis tetapi dalam hal pengelolaan sosial ekonomi, itu harus disesuaikan dengan ciri ke-Tiongkok-an. Sebab tujuan pembangunan ekonomi cina adalah kemakmuran dan kesejakteraan rakyat. Tidak peduli apakah jalan yang ditempuh itu merupakan jalan kapitalis atau tidak. Itu sebabnya slogan sosialisme dengan karakteristik Tiongkok pun berhasil menjadi kaliber kuat Tiongkok dalam hal mengelola perekonomian nasional dan mensejahterakan sosial rakyat. Ucapan Deng ini pun terbukti mujarab dan menjadi titik tolak modernisasi dan pembangunan Tiongkok dalam mengakhiri abad ke-20 dan memasuki abad ke-21. Kata-kata mantra dari Deng rupanya menjadi idaman tiap orang terutama pejabat, pengusaha dan generasi muda. Buktinya, seperempat abad sejak revolusi ekonomi Tiongkok didengungkan, dunia dibuat takjub atas kemajuan Tiongkok. Dari yang sebelumnya negara yang miskin dan terbelakang, Tiongkok kemudian bermetamorfosis menjadi negara raksasa dunia dalam sektor ekonomi. Itu terbukti berdasarkan sajian data dari trading economics yang menunjukkan posisi Tiongkok masuk dalam 5 besar negara dunia dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi [2]. Data tersebut semakin menunjukkan bahwa Doktrin Deng agar Tiongkok menjadi negara kaya pun semakin terrealisasikan. Selanjutnya, kita akan membicarakan mengenai bagaimana Tiongkok menjadi ‘mulia’. Terminologi mulia disini sebagaimana dimaksudkan oleh Deng ialah mulia dalam hal memberikan kemakmuran serta perlindungan kesejahteraan sosial ekonomi untuk rakyat. Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Tiongkok, membuat Tiongkok memikirkan sistem ideal untuk memberikan perlindungan sosial terhadap rakyatnya sebagai tindak lanjut atas ungkapan Deng ‘kaya adalah mulia”. Dikutip dari bahan presentasi Prof. Xinping Guan dari Nankai University, China [3] setidaknya dalam tiga dekade terakhir, Tiongkok menggunakan tiga pola tren utama di bidang sosial ekonomi yakni (i) marketisasi; (ii) globalisasi; dan (ii) urbanisasi. Marketisasi disini adalah mereformasi sistem ekonomi agar terwujudnya sistem sosialisme pasar, globalisasi dimaksudkan untuk membuka kran investasi asing kedalam wilayah Tiongkok, dan terakhir urbanisasi maksudnya ialah mengimigrasikan masyarakat desa ke kota. Keunggulan dari ketiga sistem tersebut nyata terlihat dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi china berhasil membebaskan setengah milyar penduduk dari kemiskinan [4], melalui perkembangan urbanisasi pesat yang menciptakan lapangan kerja melimpah, pasar yang semakin kompetitif, lahan yang murah dan infrastruktur yang semakin baik. Akan tetapi, di sisi lain sistem tersebut juga memiliki dampak buruk. Terjadinya kesenjangan (gap) misalnya, gap antara pendapatan masyarakat desa dan kota semakin melebar kala sistem tersebut dijalankan. Kesenjangan si kaya dan si miskin pun tak terelakkan. Selain itu, marketisasi dan globalisasi juga perlahan mengubah ideologi dan arah kebijakan Tiongkok yang semula sosialis-welfare state menjadi liberal-kapitalis-market state. Meskipun demikian, langkah Tiongkok untuk mengentaskan masalah-masalah konvensional sosial internasional patut diapresiasi. Untuk mengentaskan kemiskinan misalnya, sejak tahun 2001-2010 [5], pemerintah pusat telah berhasil mereduksi kemiskinan dengan mengidentifikasi dan membantu 148.051 keluarga[6] menggunakan strategi pembangunan rumah-rumah di sejumlah wilayah yang tergolong miskin dan memberikan bantuan sosial kepada keluarga-keluarga yang masuk golongan miskin. Seleksi terhadap wilayah miskin bukan hanya berpijak pada pemasukan-pendapatan uang perorangan, akan tetapi juga didasarkan pada kondisi sosial, geografi dan kondisi fisik lain di wilayah tersebut. Yang menarik, salah satu titik ukur lainnya adalah didasarkan pada ketersediaan infrastruktur dari keluarga calon penerima bantuan sosial tersebut yang meliputi kualitas rumah, suplai minuman, hingga suplai listrik dan transportasi. Melalui metode ini, pemerintah mengklaim cara selektif ini mampu menekan jumlah kemiskinan di Tiongkok karena metode in imenggunakan karakteristik top-down dengan tanggung jawab sosial tertinggi berada dibawah kendali pemerintah pusat. Pun begitu dengan intervensi pemerintah dibidang kesehatan, melalui program pemerintah yang bernama Medical Financial Assistance (“MFA”), pemerintah berharap dapat memberikan bantuan uang untuk kesehatan dalam rupa kartu MFA layaknya kartu sakti jakarta sehat maupun kartu sakti indonesia sehat di indonesia. Layaknya sistem bantuan keuangan untuk mengentaskan kemiskinan sebagaimana telah dipaparkan diatas, program MFA ini pun juga menggunakan teknis yang serupa. Yang membedakan hanyalah tolak ukur yang digunakan dalam hal pembiayaan. Ada pula program yang diberi nama di bao, program ini diperuntukkan untuk masyarakat pedesaan. Bantuan ini pun bersifat non-cash dan cakupannya lebih luas dari MFA. Artinya, bukan hanya masalah kesehatan saja yang menjadi domain utama bantuan ini. Selain bantuan kesehatan gratis, di bao juga memberikan bantuan pendidikan dan rumah bagi mereka yang tergolong miskin. Namun, sebagaimana terjadi di indonesia, permasalahan data, distribusi dan implementasi rupanya acap kali terjadi di Tiongkok. Metode dan program diatas rupanya masih menyisakan perbedaan standar antara pemerintah pusat dan daerah. Karena meskipun penanggung jawab merupakan pemerintah pusat, namun pemerintah daerah (dalam hal ini kepala daerah & jajaran dibawahnya) yang merupakan pelaksana teknis dari metode tersebut seringkali terlibat misscom dengan data yang ada di pusat. Masalah muncul ketika implementasi pemerintah pusat berbeda dengan harapan dan kenyataan yang ada di daerah. Tentang distribusi bantuan keuangan misalnya. Implementasi bantuan keuangan acap kali terkendala disebabkan tidak tepatnya target distribusi karena kesalahan data alamat rumah. Masalah lain yang tidak kalah penting, adalah korupsi dana bantuan[7]. Sebagaimana acap kali terjadi di indonesia, di Tiongkok, dana bantuan sering dibegal oleh oknum-oknum di pusat ataupun di daerah. Sehingga, hal tersebut menjadikan distribusi bantuan menjadi tidak merata dan tidak terkendali. Dan, seperti yang terjadi di indonesia, lagi-lagi rakyat lah yang menjadi korban dari kesemrawutan birokrasi, kelakuan para kingkong dan sistem. Berkaca dari pemaparan singkat di atas, setidaknya penulis telah mengambil satu poin kesimpulan yang sekiranya patut untuk dijadikan media pembelajaran bersama. Poin kesimpulan tersebut adalah tekad dan ketekunan Tiongkok guna menjadi ‘kaya untuk mulia’ patut di acungi jempol. Ajaran Deng ‘kaya adalah mulia’ betul-betul tepat untuk dijadikan pemacu untuk negara manapun didunia guna mengembangkan perekonomian dan perlindungan sosialnya agar semakin maju, presisi dan baik. Kausalitas sesungguhnya telah tercermin dari kata ‘kaya’ dan ‘mulia’. Dengan dibumbui dengan kata ‘adalah’ maka sempurnalah sebab-akibat tersebut. kaya artinya mapan dan mulia artinya sosial. Jadi kaya versi tiongkok adalah kaya yang memberikan kemuliaan bagi sesama mereka. Langkah bangsa Tiongkok tersebut penulis nilai sangat tepat karena menggunakan cara yang sangat positif sebagai sebuah tujuan. Yang penulis ingat, kebaikan merupakan ajaran (terbaik dari) semua ajaran agama di muka bumi ini. Karena itu, tentu penulis sangat mengapresiasi langkah tiongkok untuk menjadi kaya untuk mulia. Di sisi lain, meskipun terdapat berbagai kekurangan dari pelaksanaan perlindungan sosial di Tiongkok, namun kebaikan yang dapat kita ambil dari program-program mereka patut untuk dicontoh. Terutama untuk indonesia yang juga merupakan negara dengan corak ekonomi sosialis-nasionalis. Sangat perlu sekiranya kita belajar lebih dalam dengan Tiongkok. Karena media pembelajaran selalu tersedia dimanapun, tak terkecuali di negara Tiongkok. Semoga kiranya tulisan ini dapat dijadikan pijakan indonesia untuk semakin maju dan berkembang merealisasikan cita-cita bangsa sesuai amanat dalam pancasila dan UUD 1945 yakni kesejahteraan sosial untuk seluruh rakyat indonesia. Semoga saja. Amin Hidup rakyat indonesia! REFERENSI [1] Kebangsaan dan globalisasi dalam diplomasi; Yosef Purnama Widyatmadja; penerbit kanisius, 2005 [2] http://id.tradingeconomics.com/china/gdp-growth diakses pada 19 april 2015 pukul 02.36 [3] Social Protection in China; Reform & Development in the Background of marketization, globalization & urbanization [4]ttp://www.worldbank.org/in/news/press-release/2014/03/25/china-a-new-approach-for-efficient-inclusive-sustainable-urbanization diakses pada 19 april pukul 03.19 [5] China's Social Protection Schemes and Access to Health: a critical review, Limin Wang, hal 6 [6] ibid hal 7 [7] bid hal 8
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |