**oleh: Muhammad L Aldila Baru saja kemarin rasanya saya menuliskan betapa hukum (belum) sama dengan keadilan. Tulisan tersebut memuat kisah minimnya keadilan bagi korban salah tangkap oleh kepolisian. Sudah dikurung dalam tahanan, terkadang harus disiksa dulu untuk dipaksa mengaku, dan begitu ketahuan ternyata salah tangkap, ganti rugi hanya berkisar antara maksimal Rp 1-5 Juta pula [1]. Dasar hukum yang digunakan pun sudah kelewat usang. Lebih usang dari kasus dana BLBI, kasus korupsi berjamaah monumen hambalang, dsb, dsb. Bayangkan saja, aturan yang sudah berlaku sejak 32 tahun lamanya yakni pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 27/1983 tentang pelaksanaan KUHAP masih saja digunakan oleh para penegak hukum! Gila sekali. "Sehingga tidak berlebihan, jika saya katakan bahwa hal tersebut telah membuka ‘kotak pandora’ bagi kemungkinan dilakukan kembali oleh kepolisian maupun densus 88 ketika menggasak bakal calon terduga teroris. Wajar saja jika aparat santai-santai saja. Hampir tidak ada hukuman internal bagi aparat! Toh ganti rugi oleh negara tetap diberikan bagi korban salah tangkap. Kacau. Namun, untuk urusan salah tangkap ini, kini kita patut berterimakasih pada Sri Mulyati dan kuasa hukum probononya, Guntur Perdamaian [2], yang saat ini masih terus beriktiar dengan memberikan bantuan hukum probono melalui LBH Mawar Sharon kepada masyarakat proletar solo yang haus akan keadilan. 2014 silam, berawal dari konsistensi, dan kegigihannya dalam mendampingi perkara Sri Mulyati, kasir sebuah tempat karaoke di Semarang, yang dituduh mempekerjakan anak di bawah umurlah [3] arah mata angin penegakan hukum berubah.
Sebelumnya kita memahami bahwa nominal yang begitu sedikit sebagai ganti rugi bagi korban salah tangkap merupakan konsekwensi yuridis atas masih dipergunakannya PP 27/1983. Ketidakjelian penegak hukum dalam menegakkan keadilan dengan tekhnik membaca aturan hukum memang telah membawa impact yang luar biasa terhadap sistematika dan logika keadilan dalam hukum. Bagaimana bisa, para korban yang menderita karena menghuni penjara tanpa dosa, dipecat dari pekerjaan dan segala hak asasinya dirampas karena menjadi korban salah tangkap hanya diganti nominal yang bahkan tidak lebih besar dari harga nominal satu sepeda motor bebek keluaran terbaru?. Karenanya, patutlah jika saya katakan para penegak hukum terdahulu yang bertindak demikian telah secara jelas menunjukkan sifat melawan hukum (wederechtelijk heid) dan patut dihukum atas kinerjanya yang sungguh memalukan!. Syukurlah, perjuangan Guntur dan Sri Mulyati selama hampir 2 tahun membuahkan hasil yang manis. Terhitung sejak 2015 lalu, pemerintah menyambut baik rencana perbaikan aturan melalui revisi atas PP 27/1983 menjadi PP 92/2015 tentang ganti rugi bagi korban salah tangkap atau peradilan sesat [4]. Nominal ganti rugi bagi korban salah tangkap berlipat 200 kali dari nominal awal yang tertera pada PP 27/1983. Meskipun PP 92/2015 belum dengan seksama menuntut para oknum aparat yang lalai dalam menjalankan prosedur penyelidikan dan penyidikan untuk dihukum secara etik dan diganjar hukuman materiil. Namun perlu saya akui bahwa peristiwa ini adalah suatu perkembangan signifikan yang berkontribusi terhadap perubahan arah mata angin penegakan hukum menjadi lebih humanis terhadap korban, para kaum proletar yang terbiasa menjadi sasaran bidikan para aparat sesat. Proficiat! Proficiat! *** Another Good News! Perintah konstitusi dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 jelas menyebutkan bahwa “indonesia adalah negara hukum” yang berarti juga selayaknya mengadopsi ketiga asas yang menjadi acuan dalam setiap cabang ilmu hukum baik asas kepastian, asas kemanfaatan dan asas keadilan. Masih dari perintah konstitusi. Satu dari tiga cabang kekuasaan dalam frame trias-politica yakni kekuasaan kehakiman diperintahkan langsung oleh konstitusi dengan pemberian petunjuk dalam pasal 24 ayat (1) UUD 1945, “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Artinya, kekuasaan kehakiman atau yudikatif wajib menegakkan segala jenis hukum dan keadilan, tentunya termasuk rasa keadilan masyarakat. Syukurlah, hari ini saya sempat membaca berita baik mengenai mengenai seorang hakim PN di sumatera yang memberikan uang setelah vonis dibacakan kepada terpidana yang diketahui merupakan siswa SMP yang tidak mampu. Ya, ini memang seperti kasus hoax yang pernah beredar di media sosial beberapa tahun silam dimana dikisahkan ada hakim yang memberikan uang pasca vonis dibacakan dalam jubah yang ia kenakan kepada nenek pencuri kayu. Bisa dikatakan, kasus ini serupa tapi tak sama. Kasus ini bermula dari siswa SMP yang ketahuan mencuri untuk membayar tunggakan biaya sekolah dan untuk melunasi keperluan sekolah [5]. Setelah majelis hakim menjatuhkan amar putusan, tanpa ragu sang hakim memanggil sang terpidana kemudian diberikanlah uang pribadi dari sang hakim tersebut untuk mengganti biaya keperluan sekolah sang terpidana. Sayangnya, berita tidak menjelaskan lebih lanjut siapa yang memberikan uang tersebut. Apakah ketiga hakim dalam jajaran majelis hakim atau hakim ketua saja. Namun, apapun itu saya tetap harus bangga atas berita demikian! Allahuakbar! Seketika saat membaca laman tersebut saya teringat dengan pesan salah satu hakim PN karanganyar kepada saya dalam acara diskusi kekuasaan kehakiman. Bahwa mulianya profesi hakim ialah ketika berhasil memberikan keadilan yang sesungguhnya bagi masyarakat luas. Dapat mencerminkan penegakkan hukum tanpa menjadi corong UU dalam pertimbangan dan amar putusan sementara pada sisi yang lain mampu menghadirkan keadilan dalam sikap dan kewibawaan profesi hakim. Itulah yang saya amati nampak pada hakim PN sumatera tersebut!. Betapa ia paham bahwa ketika ia mengenakan toga hakim, ia sadar bahwa penegakkan hukum tanpa pandang bulu itu mutlak! Dan ketika tugasnya usai saat vonis telah dibacakan, kodratnya sebagai ibu rumah tangga pun kembali. Kehangatan seorang ibu terpancar melalui kebaikan yang ia lakukan dengan memberikan uang saku dan wejangan kepada terpidana agar ia tidak mengulangi kesalahannya lagi dilain waktu. Kepada hakim-hakim yang seperti ini. Tanpa ragu saya harus mengakui bahwa doa, doa dan doa untuk mereka agar tetap terus dapat berikhtiar menegakkan hukum dan keadilan merupakan cara terpantas untuk mengapresiasi kinerja mereka! Sebab, ditengah semakin menguatnya cibiran masyarakat terhadap dunia hakim misalnya hinaan yang pernah dilayangkan kepada mantan hakim konstitusi yang bersikap tidak konstitusional karena disuap klien hingga sindiran terhadap hakim yang digambarkan dalam meme memiliki logika “kacau” dalam hal menilai kebakaran hutan. Ternyata masih bisa dijumpai berita baik mengenai hakim yang sepenuhnya telah memenangi hati banyak orang seperti yang dilakukan oleh hakim PN sumatera ini. Semoga, kita pada lain waktu dapat berkontribusi menegakkan hukum dan keadilan dengan cara kita masing-masing. InsyaAllah. Semoga! Kalyana mitra Sesungguhnya, kebaikan yang tercermin dari perlakuan hakim terhadap terpidana a quo menunjukkan bahwa hukum terhadap keadilan semakin kesini semakin bersifat prospektif. Artinya, hal ini menjadi suatu pengakuan dan justifikasi bahwa pada dasarnya dalam kasus-kasus tertentu, misalnya kasus terpidana siswa SMP ini, hukum harus ditempatkan agar dapat berlaku ke depan atau prospective law. Pada contoh demikian, saya yakin bahwa hakim PN sumatera tersebut betul-betul memahami dua hal. Pertama, memahami ketentuan konstitusi yang nampak pada pasal 28D ayat(1) UUD 1945 yaitu “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dan kedua, hakim tersebut memahami bahwa sistem peradilan pidana tidak terlepas dari medical model proses acara pidana yang diiibaratkan seperti mengobati orang sakit. Penjelasan tersebut diutarakan oleh King, “..the restoration of th defendant to a state of mental and social health whereby s/he will be able to cop with the demands society makes oh him/her and refrain from th conduct which causes further intervention to be necessary” [6]. Untuk menutup tulisan saya pada hari ini. Saya ingin mengajak serta anda semua untuk menjadi kalyana mitra antar masing-masing dari kita. Percayalah untuk selalu percaya pada potensi yang ada pada diri kita masing-masing. Terutama pada sektor hukum. Kita tidak perlu melalui sebuah skenario yang bertele-tele. Tidak perlu melalui sebuah rancangan cerdas yang terjadi secara kebetulan. Kita hanya perlu kesiapan untuk menantang diri kita sendiri. Siapkah kita, 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun dari sekarang. Kita akan memimpin bangsa melalui cara kita masing-masing(?) (kalyana mitra adalah bahasa sansekerta yang memiliki makna "teman dalam kebajikan") **penulis adalah tukang komentar di sektor hukum. Saat ini sedang meniti karir profesional. Bermimpi jadi tukang sambung lidah rakyat yang agitatif dalam berbicara dan provokatif dalam menulis. Referensi [1] http://news.detik.com/read/2015/03/30/133701/2873444/10/krisbayudi-disiksa-dan-dipenjara-tanpa-dosa-ganti-rugi-rp-1-juta-belum-cair?9911012 [2] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56d4471b57ae3/guntur-perdamaian--jadi-pejuang-bantuan-hukum-sejak-mahasiswa [3] http://news.okezone.com/read/2015/11/20/337/1252964/korban-salah-tangkap-kasir-karaoke-ngadu-ke-kemenkumham [4] http://lbhmawarsaron.or.id/home/jokowi-sri-warning-dan-ganti-rugi-korban-salah-tangkap-naik-200-kali-lipat/ [5] http://news.detik.com/berita/3176046/ini-nyata-setelah-memvonis-hakim-beri-uang-ke-siswa-yang-mencuri-untuk-sekolah [6] M.King, 1981, A Framework Of Criminal Justice, Croom Helm, London, hlm. 20. Op citati dari Eddy O.S Hiarief yang disampaikan melalui Expert Meeting PUKAT FH UGM, Indonesian Court Monitoring dan Kemitraan.
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |