11/4/2015 1 Comment Hukum (belum) Sama Dengan Keadilan oleh : Muhammad L Aldi simbol “keadilan & hukum” dewasa ini telah lama disandingkan maupun diperdebatkan oleh pelbagai kalangan. Keadilan dan hukum seharusnya seimbang demi menegakkan hukum yang proporsional. Bagi mereka yang mempelajari ilmu hukum, disebutkan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan kepastian, kebermanfaatan dan keadilan dalam masyarakat. Sejalan dengan teori tersebut, konstitusi tertulis bangsa pun juga menyebutkan demikian. Dalam amanat pembukaan UUD 1945, telah jelas menegaskan “.. Negara Indonesia, yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Secara historis, frasa adil disematkan didalam preambul konstitusi karena keadilan merupakan cita-cita berbangsa dan bernegara. Namun yang sesungguhnya terjadi, kulminasi pertarungan panjang antara hukum dan keadilan belakangan ini perlahan meretas pelbagai romantisme mengenai tujuan hukum tersebut. salah satunya, mengenai keadilan hukum bagi korban salah tangkap.
Minimnya keadilan hukum bagi korban salah tangkap menjadi bukti nyata rapuhnya komitmen negeri dalam menegakkan keadilan. Kasus yang menimpa buruh pabrik Krisbayudi agung misalnya, pada tahun 2011 ia dicokok aparat dan dituduh sebagai pelaku pembunuhan. Di pengadilan negeri Jakarta utara, semua tuduhan bagi krisbayudi ternyata tidak terbukti dan ia dibebaskan. Setelah itu, ia pun mendapat vonis ganti rugi melalui praperadilan di PN yang sama sebesar Rp 1 juta. Atas minimnya nominal tersebut, ia pun mengajukan keberatan ke pengadilan tinggi jakarta. Namun nahas, hati nurani hakim tidak terketuk kala majelis hakim tinggi justru menguatkan putusan di tingkat sebelumnya pada november 2014 silam. Majelis hakim berdalih, penetapan ganti rugi tersebut telah sesuai karena telah berdasarkan pada aturan yang sudah berlaku sejak 32 tahun yaitu Peraturan Pemerintah No 27/1983 tentang pelaksanaan KUHAP. Sampai disini, akal kritis kita patut dikuak, apakah sebanding nominal Rp 1 juta sebagaimana tertuang didalam pasal 9 ayat (1) PP 27/1983 dengan penderitaan yang dialami oleh mereka, korban salah tangkap?. Mereka harus menghuni penjara tanpa dosa, dipecat dari pekerjaannya, nama baik hancur, hingga hak asasinya dirampas untuk beberapa waktu lamanya. Kesimpulannya, Inilah potret realita pembegalan makna “keadlian” didalam hukum. Aparat semakin bertindak sewenang-wenang dalam melakukan penangkapan, hakim tidak mampu melakukan inovasi dan interpretasi yang relevan dengan makna keadilan di masyarakat, dan celakanya bukannya merevisi PP tersebut, pemerintah justru lebih respek merevisi PP pengetatan remisi untuk koruptor. Dampaknya tentu semakin memprihatinkan, mereka yang tak bersalah dibiarkan menjadi korban tanpa keadilan atas kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Disparitas hukum dan keadilan semakin menganga. Lagi-lagi rakyat kecil tak berdosa menjad korbannya. Kondisi ini pun semakin memperjelas bahwa posisi indonesia semakin lekat dengan satiran populer “negara hukum minus keadilan”. Kekhawatiran dan kenyataan Pengalaman demi pengalaman membuktikan, hukum di negeri ini mengalir seperti layaknya reality show yang bisa direka sesuai selera sang sutradara. Prof Satjipto Rahardjo pernah memberikan pendapat, penegakan hukum yang baik adalah penegakan hukum yang dijalankan dengan akal sehat dan hati nurani sebagai pola penegakan hukum responsif dan progresif. Penegakan hukum yang hanya menerapkan teks peraturan perundangan tanpa memperhatikan realita dalam kehidupan bermasyarakat akan mengalami disfungsi dan penolakan karena terjadi kesenjangan yang amat serius atas pemahaman hukum tersebut. Apa yang dikhawatirkan Prof Satjipto pun terasa nyata. Buktinya, dalam konteks makro telah beberapa kali terjadi kasus-kasus yang menindas kaum rakyat jelata dimana tak tersirat sedikitpun makna ‘keadilan’ didalam penegakkan hukumnya. Berkali-kali pula negara seolah menutup mata atas kejadian-kejadian yang menimpa kaum proletar. Mengenai keadilan bagi Krisbayudi si korban salah tangkap misalnya. Setelah dituduh, disiksa dan ditahan tanpa dosa, dimana letak akal sehat dan nurani negara dalam menyikapinya? Adilkah nominal Rp 1 juta untuk ganti rugi atas penderitaannya. Kalau begini, jika yang sederhana saja negara tidak mampu memberikan keadilan, bagaimana dengan isu superserius seperti keadilan bagi korban kejahatan HAM berat dimasa lalu? Mereformulasi tujuan hukum Mengamati silang pendapat di antara teori, kenyataan dan harapan mengenai hukum dan keadilan selama ini, pada hemat saya, ada suatu hal yang lebih besar yang terlupakan untuk disinggung dan dibicarakan, yaitu tentang mereformulasi tujuan hukum. Sederhananya, baik polisi, jaksa, hakim hingga pemerintah dituntut harus sama-sama bekerja mewujudkan salah satu cita-cita bangsa sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi, yakni keadilan. Pelaksanaan keadilan pun harus dipadukan. Tujuan keadilan dalam hukum tidak boleh lagi terdistorsikan. Tidak boleh lagi kita amini satiran “hukum indonesia: tajam kebawah, tumpul ke atas” ke dalam tiap sendi penegakan hukum kita. Semua golongan masyarakat wajib merasakan makna keadilan yang hakiki tanpa membeda-bedakan kelas agar tidak terulang kembali Krisbayudi-Krisbayudi yang lain. Pun begitu dengan segala unsur-unsur dalam negara. Polisi dan kejaksaan harus mengerelaborasikan keadilan secara konsisten, hakim harus siap berinovasi dan menginterpretasikan hukum jika keadilan dan hukum dirasa tidak proporsional, dari segi regulasi dan legislasi pun demikian, DPR dan Pemerintah dituntut wajib membuat hukum dan keadilan efektif dan tepat guna bagi semua golongan. Khususnya teruntuk golongan rakyat menengah kebawah. Kata adil di dalam amanat preambul konstitusi mestinya dijadikan pijakan bersama dalam bernegara dan berbangsa . Ia tidak boleh hanya menjadi seonggok hiasan belaka. Namun, ia harus dihidupkan dengan memaknai dan menjadikan ‘keadilan’ menjadi cita-cita bersama. Jangan lagi kita jauhkan antara hukum dan makna keadilan yang hakiki. tapi rekatkan antar keduanya bagaikan hubungan sebab dan akibat. Mari bersama ciptakan hukum yang berakibat pada keadilan bersama. Mari bersama-sama realisasikan hukum = keadilan. Muhammad L Aldi Penggiat PUSTAPAKO (Pusat Studi Transparansi Publik dan Antikorupsi) UNS Pengkaji Kebijakan Publik di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Pernah Bertugas di Sekretariat Komisi III DPR-RI
1 Comment
Anonim
7/5/2018 07:18:33
Tidak ada keadilan dalam hukum negeri Indonesia, uanglah yg berperan, siapa punya uang, dialah yg menang. Keadilan = uang.
Reply
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |