*Oleh Muhammad L Aldi Di banyak negara di seluruh dunia, Ikhwal pendanaan partai politik memang menjadi suatu fenomena tersendiri. Di semua negara terlepas dari negara maju atau negara berkembang yang menganut sistem demokrasi pasti terlibat dengan dilematis pelaksanaan praktek tersebut. Ada kekhawatiran yang berkembang bahwa alih-alih ditujukan demi demokrasi, urusan pendanaan partai politik justru tidak terkendali, jauh dari kesan transparan dan cenderung tertutup dari pengawasan publik yang meliputi masyarakat, lembaga sipil dan media massa. Pengaruh uang dalam arena politik memang tidak dapat terbantahkan. Bak sebuah dua sisi mata koin, finansial dan partai politik memang tak terpisahkan. Mahalnya biaya operasional yang dikeluarkan oleh mesin partai politik memang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Didalam musim kampanye misalnya, partai politik pasti membutuhkan uang yang tidak sedikit untuk membiayai berbagai kebutuhannya sebagai bagian dari sebuah pesta demokrasi. Partai politik membutuhkan sumber dana yang besar agar mesin itu bisa berfungsi secara maksimal dalam mendulang suara pemilih. Proses politik seperti itu pada praktiknya memang membutuhkan biaya/ongkos yang sangat mahal. Disisi lain, realitas yang berkembang saat ini justru menunjukkan bahwa kelembagaan partai yang ada dewasa ini sedang berada pada masa kritis. Keadaan tersebut dapat terlihat dari kasus-kasus kejahatan hukum yang saat ini marak terjadi diantara para kader partai, khususnya bagi mereka yang telah duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/ Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun pejabat negara lainnya. Laporan tren pemberantasan korupsi tahun 2014 yang dipublikasikan oleh indonesia corruption watch (ICW) memaparkan, bahwa terdapat 131 kader partai politik yang terjerat kasus korupsi pada tahun 2014, dengan rincian 81 orang dari kalangan DPRD, 1 orang dari kalangan DPR, 47 orang dari kalangan kepala daerah serta 2 orang yang menjabat sebagai menteri aktif.
Lebih lanjut, hasil kajian yang dilakukan oleh kemitraan menyebutkan bahwa kasus korupsi yang melibatkan politisi baik berasal dari legislatif maupun eksekutif semata-mata bukan saja bermotifkan untuk memperkaya pundi-pundi pribadi, melainkan ditujukan untuk kebutuhan partai politik, sehingga tak heran apabila besarnya kebutuhan finansial partai politik telah mendorong para politisi untuk berperilaku koruptif. Modusnya pun beragam, di DPR misalnya, umumnya para politisi mempunyai empat cara untuk mengumpulkan dana, yaitu pertama, membuat kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu; kedua, menyusun rencana proyek beserta anggarannya dalam APBN yang kelak akan dikerjakan oleh pihak tertentu; dan keempat, meminta imbalan atas pemilihan jabatan publik atau pimpinan BUMN. (Jakarta: Kemitraan, 2011) Konsekuensinya, tulisan Hanta Yuda (kompas, 6/5/2011) mengenai “Sindrom Partai Gagal” justru semakin terbukti. Meluasnya kasus korupsi dan semakin menurunnya produktivitas kinerja lembaga negara yang diisi orang partai, sangat berkaitan dengan manajemen pengorganisasian yang tidak transparan, sarat dengan kepentingan politik transaksional (transactional politics) dan kuatnya model kepemimpinan oligarkisme di tubuh partai politik. Sebenarnya setiap kegagalan dalam kelembagaan partai bisa saja ditelusuri akar permasalahannya dari semua elemen partai yang ada. Misalnya, jika terjadi kegagalan partai politik dalam menjalankan sistem kaderisasi dan pendidikan politik bagi kader, maka hukum kausalitas pun akan berbicara : level militansi kader akan merosot, cara berpolitik yang profesional -dalam arti menjunjung tinggi hukum dan etika- akan ditinggalkan dan berakibat pada menguatnya pragmatisme di kalangan calon pemilih. Jika sudah demikian, langkah selanjutnya akan mudah ditebak : partai akan cenderung menggunakan kekuatan politik uang (money politics) untuk menarik simpati pemilih. Sebuah Masalah Serius Didalam pasal 34 Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 (UU No.2/2011) tentang partai politik telah menjelaskan, bahwa terdapat setidaknya 3 sumber keuangan yang sah untuk sebuah partai politik. Masing-masing diantaranya yaitu (i) iuran anggota; (ii) sumbangan yang sah menurut hukum; dan (iii) bantuan keuangan dari APBN/D. Namun, faktanya, dari ketiga sumber tersebut, sumber terbesar yang dijadikan pemasukan partai adalah sumbangan. Alasan terbesarnya, adalah mahalnya biaya operasional untuk menjalankan mesin partai. Sehingga partai politik pun mulai mencari sumbangan dari luar partai. Sasarannya adalah perorangan atau perusahaan yang memiliki jaring finansial yang relatif besar dan kuat. Dampaknya, semakin lama, partai politik pun semakin ketergantungan kepada pemilik modal tersebut. Dalam situasi yang demikian, partai politik sejatinya tengah menghadapi masalah krusial (crucial problem), sebab pengaruh pemilik modal tersebut dapat dipastikan tidak gratis, para pemilik modal pasti meminta timbal balik yang setimpal atas jasanya dalam mendonasikan sebagian rupiahnya untuk menghidupi mesin partai. Akibatnya, politik transaksional (transactional politics) tak dapat terelakkan. Transaksi jabatan politik dengan mudahnya dikompromikan. Di sisi lain, partai juga menghadapi masalah eksistensial (existential problems), sebab pengaruh penyumbang bisa merubah haluan hakikat partai yang sebelumnya ditujukan untuk memperjuangkan kepentingan konstituen dan rakyat menjadi memperjuangkan dan mengutamakan kepentingan para pemilik modal. Padahal jika kita tengok kebelakang, berbagai studi telah menunjukkan, bahwa partai di indonesia pada tahun 1950-an bisa ‘bernafas’ karena tren iuran anggota. Baru sejak masuk di tahun 1960-an, perlahan tren iuran anggota semakin mengalami kemunduran. Hal tersebut dikarenakan minimnya jumlah anggota yang terlibat ‘aktif’ untuk menjalankan mesin finansial partai melalui iuran anggota. Kemudian tren iuran anggota pun berubah kala dua dekade setelahnya, partai politik mulai mengandalkan sumber dana selain iuran untuk membiayai kegiatannya, salah satu tren yang menggantikannya ialah sumbangan dari non partai. Sumbangan non partai dianggap sebagai cara yang praktis dan efisien untuk menjalankan roda partai politik. Sehingga belakangan tren iuran anggotapun semakin tidak berarti dimata partai. (Pippa Norris: 2005, 18) Inilah masalah empirik yang dihadapi partai politik di indonesia. Sebagai sebuah perbandingan, di beberapa negara di eropa barat, justru lebih banyak memberikan bantuan keuangan atau subsidi ke partai politik, baik untuk membiayai kegiatan operasional partai politik hingga kegiatan kampanye. Subsidi tersebut diambil dari anggaran negara. Total subsidi dari tahun ke tahun juga cenderung mengalami peningkatan. Lain hal lagi dengan di Amerika Serikat, disana pembiayaan partai politik lebih menitikberatkan pada biaya dari donatur atau donasi pasar secara langsung atau tidak langsung (direct/indirect public funding). Di AS, batas (limit) membiayai partai hanya diatur ketika pemilihan umum, tepatnya pada saat konvensi pencalonan nasional (national nominating convention) oleh Federal Election Commission sedang berlangsung. Selain daripada pemilihan umum, berdasarkan penelusuran penulis, tidak ada limit batasan dalam membiayai sebuah partai politik, siapapun bebas membiayai mapun menyumbang, berapapun nominalnya asalkan dikenakan pajak dan dilaporkan dalam satu rekening yang diaudit oleh negara dan diawasi oleh lembaga terkait. Lalu bagaimana dengan indonesia? Pertama, Jika dibandingkan dengan kedua sample tersebut, sesungguhnya secara yuridis-normatif, indonesia cukup ideal kala telah menerapkan aturan rinci tentang ambang batas (limit) berapa maksimum rupiah yang dapat disuntikkan orang non partai. Pasal 35 UU No. 2/2011 tentang partai politik menegaskan bahwa jumlah maksimal penyumbang non parpol adalah Rp 1 milyar per orang per tahun dan untuk perusahaan/ badan hukum maksimal Rp 7,5 milyar pertahun. Dengan asumsi rigidnya bunyi undang-undang kontemporer, sebuah mesin partai idealnya masih tetap dapat bekerja secara optimal dengan semestinya. Dilain sisi, pembatasan sumbangan dari non parpol juga berguna agar partai politik tidak dikuasai oleh seseorang atau sekelompok orang karena level kemampuannya dalam memberi sumbangan. Kemudian, kedua, terkait dengan pembiayaan yang bersumber dari APBN/D, jika ditelusuri secara historis, sebenarnya sejak diundangkannya Undang-undang No. 3 tahun 1975 (UU No. 3/1975) tentang organisasi sosial politik –yang pada saat itu diperuntukkan kepada PPP, Golkar dan PDI–, UU telah mengatur bahwa salah satu sumber keuangan partai yang sah adalah bantuan negara/pemerintah. Meskipun nyatanya, tidak ada satupun dokumen yang bisa menjabarkan berapa rincian bantuan negara/pemerintah, namun tetap saja, UU No. 3/1975 ini bisa dijadikan acuan atau bukti bahwa sejak tahun 1975, gagasan mengenai pembiayaan partai yang bersumber dari negara telah ada. Misterius Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik (PP No. 82/2012) yang lebih rincinya dijabarkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 tahun 2013 (Permendagri No. 26/2013) telah menetapkan, besaran total peruntukkan subsidi APBN/D untuk 10 partai politik per tahunnya adalah Rp 13,7 Milyar (Media Indonesia, 10/3/2015). Itu artinya, masing-masing partai politik pertahunnya mendapatkan subsidi rata-rata sebesar Rp 1,37 Milyar. Kemudian, yang menjadi poin pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kisaran dana sebesar Rp 1,37 Milyar cukup untuk membiayai sebuah mesin partai? Untuk bisa mengetahui jawaban berapa jumlah belanja operasional partai, sebenarnya kita bisa melihat laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan APBN/D secara berkala kepada pemerintah setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun celakanya, berdasarkan penelusuran data yang dilakukan oleh penulis, banyak partai yang hingga kini tidak mempublikasi laporan pertanggungjawaban tersebut dengan memanfaatkan celah hukum (legal gap) dari UU No. 2/2011. Legal gap tersebut yakni pertama, tidak adanya kewajiban partai dalam mengumumkan laporan pengelolaan keuangan partai secara transparan dan akuntabel kepada khalayak umum; kedua, ketidak jelasan UU dalam menafsirkan instansi mana yang berwenang melakukan supervisi-proaktif terhadap pengelolaan keuangan partai; dan ketiga, ketidak jelasan UU dalam menentukan kapan sebuah partai politik dapat dikenakan sanksi administratif hingga sanksi pidana ketika partai tidak mempublikasikan hasil laporan keuangan partai. Sehingga, berangkat dari ketiga legal gap tersebut, partai kemudian berbondong-bondong menjustifikasi diri, menjadikan legal gap tersebut sebagai suatu alasan hukum (legal reasoning) untuk tidak mempublikasikan laporan keuangan partai. Pada titik ini, kemudian dapat kita simpulkan satu hal bahwa : substansi pengaturan finansial partai didalam UU No.2/2011 beserta peraturan pelaksananya masih tergolong sangat lemah sehingga berdampak pada penyalahgunaan dan manipulasi tafsir undang-undang oleh partai politik. Konsekwensinya, tentu sangat mengkhawatirkan, hingga kini, berapa jumlah nominal belanja operasional suatu partai masih menjadi sebuah misteri. Hanya partai, mereka yang berkepentingan dan tuhanlah yang tahu. Perjalanan Masih Panjang Dewasa ini, politik yang semestinya lekat dengan pertarungan ide dan gagasan, telah memandang hal tersebut bukan sebagai variabel mutlak. Ideologi dalam berpolitik tidak dipandang lagi sebagai alat meraih kekuasaan karena tergeser oleh peran materi (financial) yang sangat bernuansa pragmatisme (pragmatism). Di sinilah partai politik menghadapi sebuah dilema besar : disatu sisi, partai membutuhkan dana besar untuk menghidupkan mesin partai; di sisi lain, besarnya dana sumbangan membuat partai ketergantungan kepada penyumbang. Partai politik pun akhirnya terjebak pada dua pilihan arus kuat, misi memperjuangkan kepentingan rakyat atau misi ‘terselubung’ memperjuangkan kepentingan para penyumbang. Yang menjadi masalah kemudian adalah, apakah kita cukup siap untuk mendanai partai politik ditengah menggunungnya tumpukan kasus korupsi yang membelit seorang politisi? Usulan Mendagri Tjahjo Kumolo untuk menambah anggaran partai politik sejujurnya sah-sah saja dan patut dipertimbangkan lebih matang. Karena sekali lagi, partai politik merupakan wahana fundamental keberlangsungan sistem demorasi. Ikhwal rencana peningkatan anggaran sebesar Rp 1 Triliun per tahun per partai politik seperti yang diusulkan oleh Mendagri pun sewajibnya juga memerlukan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif. Perjalanan masih panjang. Sebelum berbicara terlalu jauh mengenai peningkatan anggaran, alangkah eloknya, dilakukan terlebih dahulu revisi total terhadap ketentuan-ketentuan karet dan metode yang cenderung tidak jelas (vague) di dalam UU No. 2/2011 dan peraturan pelaksananya. Sementara di sisi lain, diperlukan suatu gebrakan penanaman prinsip transparansi dan akuntabilitas, di dalam tubuh partai. Dalam arti, partai politik harus mengelola keuangan partai secara terbuka, dengan cara menunjukkan daftar donatur dan membuat laporan keuangan secara rutin. Demikian juga dengan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana negara, partai dituntut berani untuk membuka semua laporan keuangannya secara lebih rinci, transparan dan akuntabel. Pada titik inilah, partai juga membutuhkan dorongan dan peran serta dari masyarakat serta media dalam mengawal dan mengkritisi keberjalanan roda organisasi partai. Karena tanpa mereka, apalah arti sebuah demokrasi. MUHAMMAD. L. ALDI Kandidat S.H di UNS Pengkaji Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Pernah Bertugas di Sekretariat Komisi III DPR-RI *tulisan sedang diajukan ke salah satu media massa
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |