Mencari informasi terkait magang di suatu intitusi terbilang susah-susah gampang. Apalagi oleh mahasiswa. Banyak pandangan miring di kalangan mahasiswa jika akan mengajukan magang di sebuah instansi besar. Entah karena birokrasi yang berbelit-belit, penempatan magang yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, hingga kosongnya kegiatan selama mahasiswa magang. Ya, itulah pandangan dari sebagian banyak pandangan miring lainnya di kalangan mahasiswa manakala melihat proses pengajuan magang di suatu instansi tertentu. Sebenarnya ada cara mudah untuk melaksanakan magang di DPR. Yakni dengan melalui program internship parliament center atau di parliament internship program. Keduanya masing-masing dapat diakses di internet dengan url www.ipc.or.id atau di parliament-internship.blogspot.com namun, tentu dalam tulisan saya kali ini saya tidak akan membahas keduanya karena rekan-rekan sendiri saya rasa mampu untuk mencari info sendiri di internet. Didalam tulisan ini saya hanya akan membahas prosedur pengajuan internship atau magang di DPR secara mandiri / magang sendiri. Di semester akhir ini, saya memiliki sebuah kesempatan untuk dapat melaksanakan magang mandiri. Tanpa pikir panjang, saya pun memilih untuk mengajukan magang di Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI. Awalnya, saya berencana untuk melaksanakan magang di kantor advokat yusril ihza mahendra dan advokat lain yang memiliki jam terbang tinggi di bidang litigasi. Namun, dikarenakan kegemaran saya mendalami HTN pula lah yang pada akhirnya berhasil memaksa saya ke lembaga legislatif DPR RI untuk melaksanakan magang. Yah beginilah masa-masa romantis idealisme mahasiswa di masa ngampus. Singkat cerita, saya pun akhirnya menyambangi DPR untuk menanyakan lebih lannjut terkait prosedur tata cara magang mahasiswa. Namun, saya sarankan untuk yang akan melaksanakan magang di DPR untuk mengetahui lebih dulu terkait komisi apa yang akan dijadikan tujuan untuk magang. DPR berbeda dengan instansi eksekutif untuk soal magang mahasiswa. Jika kita mengajukan magang di suatu kementerian, biasanya feed back yang akan didapat mahasiswa jika mengajukan magang adalah ‘menunggu’. Maksudnya menunggu ialah akan ada waiting list, karena banyaknya bidang-bidang di dalam suatu kementerian dan belum tentu bidang tersebut dapat menerima mahasiswa untuk melaksanakan magang. Hal berbeda saat kita akan mengajukan magang di instansi DPR RI. Disini mahasiswa akan ditanya sedari awal apa latar belakang pendidikan dan apa komisi yang direncanakan untuk di dalami. Barulah kemudian persyaratan administrasi dapat dilaksanakan. Persyaratan administrasi ini yang salah satunya menjadi hambatan mahasiswa untuk memberanikan diri melaksanakan magang. Pada umumnya mahasiswa magang ditakut-takuti oleh senior mereka di kampus, entah perijinan pelaksanaan magang yang berbelit-belit atau waiting list yang mebosankan, dll. Padahal faktanya tidak, saya justru membuktikan sendiri terkait prosedur administrasi di DPR RI. langkah awal untuk melaksanakan magang ialah menyiapkan terlebih dahulu “senjata” perang untuk melaksanakan magang. Mulai dari (a) KTP Asli satu lembar, ditujukan untuk persyaratan masuk ke kompleks DPR karena tidak sembarangan orang bisa masuk ke kompleks DPR dengan seenaknya; (b) surat permohonan magang dari universitas ditujukan untuk sekretariat jenderal DPR RI, dengan ditambah klausa dibawah pojok kiri surat “tembusan: kepala diklat DPR- RI” surat dibuat sebanyak 4 lembar; (c) Curriculum Vitae terbaru sebanyak 3 lembar; (d) pas photo terbaru 3x4 sebanyak 3 lembar; (e) kartu mahasiswa sebanyak 3 lembar; (f) map 3 buah dengan masing-masing rincian satu map untuk bagian kepegawaian, satu map untuk bagian diklat, dan satu map untuk menyimpan sisa berkas kita atau bahasa sederhananya jaga-jaga kalo kenapa-napa; dan terakhir (g) air minum, fisik dan mental yang kuat, terutama jika kamu datang ke DPR dengan busway karena jarak halte JCC Senayan dengan gerbang depan DPR RI yang lumayan jauh. Setelah itu langkah berikutnya ialah dengan meneliti terlebih dahulu komisi apa yang hendak dimasuki. Karena tentu sangat lelucon begitu ditanya oleh bagian sekretariat jendral “mau masuk komisi apa?” kita dengan polosnya hanya menjawab “duh, terserah ibu aja deh. Saya juga bingung keleus”. Kemudian langkah berikutnya ialah dengan datang ke gedung nusantara 1 kompleks MPR DPR DPD RI. Begitu sudah, cari terlebih dahulu gedung Setjen atau singkatan dari gedung sekretariat jendral. Masuk lift dan kemudian naik ke lantai 4. Setelah sudah, cari ruangan kepegawaian terlebih dahulu. Lalu langkah berikutnya ialah berikan senjata yang telah kita masukkan kedalam map khusus kepegawaian yang berisi surat permohonan magang, CV dan foto. Jika sudah di Acc, bagian kepegawaian akan merujuk kamu untuk datang ke ruangan diklat tidak jauh dari ruangan setjen. Setelah sudah masuk ke ruang diklat, kamu akan menemui kepala bagian diklat yang akan memintamu menunjukkan surat permohonan magang asli. Namun, sebelumnya kepala diklat akan bertanya lagi kira-kira komisi apa yang hendak disasar kamu. Misalnya disini kalian ingin masuk komisi III yang membawahi bidang hukum maka kepala diklat mewajibkan kamu untuk mengkonfirmasi terlebih dahulu ke sekretariat komisi yang hendak kita tuju tersebut. Contohnya saya, karena saya ingin masuk ke komisi III, maka saya diwajibkan untuk mengkonfirmasi ke komisi III terlebih dahulu tepatnya di gedung nusantara 1. Begitu saya sudah di Acc oleh kepala bagian sekretariat komisi III (dengan bukti ttd di surat permohonan magang), maka saya kembali lagi ke ruangan kepala bagian diklat untuk finalisasi proses magang yakni dengan menyerahkan 2 Kartu mahasiswa, 2 pas photo terbaru 3x4, 2 lembar Curriculum Vitae. Hal tersebut ditujukan untuk melegalisasi si mahasiswa ybs bahwa mahasiswa tsb sudah resmi magang di DPR dan juga berguna untuk mencetak Id Card khusus si mahasiswa tsb, karena Id Card dibutuhkan untuk dapat masuk ke kompleks MPR DPR DPD dengan bebas tanpa harus menyertakan KTP asli terlebih dahulu. Setelah sudah diproses di bagian diklat, bagian diklat akan menyertakan surat dari bagian diklat ditujukan untuk kepala kesekretariatan komisi III sebagai tanda kamu sudah sah sebagai mahasiswa magang di komisi III. Selamat! Kira-kira seperti ini alur kalian untuk dapat mengajukan permohonan magang mandiri tanpa bantuan siapa-siapa.
Kira-kira seperti itu lah alur dan prosedurnya. Jangan terlalu mengharapkan banget ya dapet fee atau uang makan atau uang transport. Karena disini kita ini kerja ikhlas. Dan magang, nanti kalau misalnya sudah bekerja mungkin baru lah kita bisa mengharapkan adanya imbalan atas kerja kita. Ya, berhubung saya masih magang hingga saya menulis ini (13 januari 2015) nanti saya usahakan akan saya posting lagi pengalaman-pengalaman saya tentang magang di DPR-RI Periode 2014-2019 ini. ------- UPDATE 02 Oktober 2021: Hai semua! Saya tidak menyangka antusias teman-teman sangat tinggi dalam pengajuan magang ke DPR RI. Terima kasih atas atensi teman-teman semua, namun saat ini saya sudah tidak bekerja untuk DPR RI lagi, jadi setiap jawaban saya terharap pertanyaan teman-teman perihal magang berdasarkan 'ingatan' saya pada saat pengajuan magang dahulu ya (tahun 2015). Karena saya pernah menjadi mahasiswa, saya paham betapa sulitnya mendapat informasi mengenai institusi magang impian kita. So i'll do my best untuk menjawab pertanyaan teman-teman semua. Terima kasih! Salam, M. L. Aldila Tanjung
78 Comments
sebuah perjanjian sosial tertinggi, konstitusi dianggap sebagai sebuah pedoman fundamental tertinggi yang dianut oleh seluruh lapisan organ masyarakat. Sesuai perkembangan zaman, masyarakat bebas menilai apakah konstitusi tersebut masih relevan atau tidak dengan perkembangan sosial yang ada.
Hal tersebut dikarenakan konstitusi seyogyanya memuat cita-cita yang akan dicapai dengan pembentukan negara dan prinsip dasar pencapaian cita-cita tersebut. Misalnya, UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita, dasar, dan prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional (An Introduction to Constitutional Law; Eric Barendt: 2-7) Untuk mencapai cita tersebut dan melaksanakan penyelenggaraan negara berdasar pancasila, UUD 1945 telah memberi suatu sistem susunan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Norma dalam UUD 1945 pun juga tidak hanya mengatur kehidupan politik, tetapi juga kehidupan ekonomi sosial. Maka itu, UUD 1945 merupakan konstitusi politik, ekonomi dan sosial yang harus dijadikan acuan baik oleh negara (state) atau masyarakat (civil society). Tak terkecuali pun juga harus ditaati oleh (i) perancang hukum (legal drafter), dan (ii) politisi (legislator). Fakta di DEMA periode 2013/2014 Dalam kaitannya dengan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum ("KMFH"), konstitusi KMFH atau AD/ART KMFH masih cenderung dipandang dan dipahami oleh sebagian kalangan secara parsial pada elemen-elemen tertentu dan bersifat sektoral. Contohnya oleh para perancang hukum (legal drafter), dan politisi (legislator) itu sendiri atau yang lazim disebut sebagai lembaga parlemen Dewan Mahasiswa Fakultas Hukum ("DEMA"), konstitusi masih dipandang sebagai sesuatu yang normative, pun demikian dengan penegakan AD/ART dalam arti luas oleh para politisi tersebut. Jujur saja, ada ketidak puasan dan kekecewaan ketika saya bekerja dengan para politisi yang bernaung di dalam DEMA tersebut. Bagaimana tidak, setiap produk hukum yang diundangkan oleh DEMA, selalu saja dipandang sebagai sebuah kesempurnaan hakiki yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Tak terkecuali oleh anggota nya sendiri -Maklum, karena proses pembentukannya saja dimonopoli oleh satu orang yang merasa sudah sempurna karena memiliki sebuah jabatan- sehingga produk hukum yang keluar pun selalu saja dianggap sebagai sebuah 'kitab suci' yang tak dapat tergantikan bahkan oleh periode DEMA berikutnya. Padahal kita semua sadar, jika DEMA setiap periode dapat merubah produk hukum yang diundangkan oleh DEMA periode lama dikarenakan ketidak relevananya dengan keadaan sosial yang sedang berlaku. Kemudian, kita semua juga sadar bahwa DEMA merupakan lembaga politik yang tiap anggotanya terpilih melalui proses pemilihan umum. Sehingga sangat tidak mungkin ada regenerasi dari DEMA lama ke DEMA baru. Kalaupun ada? Pastilah akan dinamakan intervensi. Evaluasi Kelembagaan Pada sebuah kesempatan, saya hadir bersama DEMA periode baru yang sedang mempersiapkan diri untuk melantik presiden BEM baru. Dalam pertemuan tersebut, hadir ketua beserta sekjend DEMA periode baru. Mereka banyak mengajukan pertanyaan terhadap saya yang meliputi domain DEMA, saya pun hanya dapat memberikan jawaban seadanya karena pada dasarnya bukan kewenangan saya untuk mengintervensi DEMA baru atas jawaban-jawaban saya yang cukup 'nyeleneh'. Terutama mengenai pertanyaan atas segala produk hukum DEMA periode saya. DEMA baru, banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang bersifat private entah persoalan teknis atau persoalan lain. Namun, karena memang pada dasarnya saya telah kecewa terhadap monopoli DEMA periode saya, maka saya utarakan saja segamblang-gamblangnya disertai niat untuk mengajarkan pada DEMA baru bahwa "kita disini sama-sama belajar melalui DEMA untuk kepentingan bersama, kepentingan KMFH. jadi, saya tekankan disini saya bukan bertujuan untuk mengintervensi kalian sebagai DEMA baru apalagi mencuci otak kalian. Namun, saya disini untuk menceritakan fakta anomali yang terjadi pada era saya. Sebagai sebuah bahan evaluasi bersama untuk DEMA & KMFH" kemudian singkat cerita, saya gambarkan secara umum kepada DEMA baru bagaimana upaya manipulasi-manipulasi tafsir yang berhasil dijalankan oleh segelintir orang berpaham otoriterisme dimana -orang yang menjabat tersebut- telah menafikan kesepakatan bersama sejak awal DEMA periode saya terbentuk. Hingga akhirnya, saya memberikan sebuah wejangan atau kesimpulan umum atas 'evaluasi kilat' DEMA periode saya kepada DEMA baru, yakni "pahamilah lebih jauh, negara indonesia menganut suatu asas yakni, ubi societas ibi ius atau yang artinya dimana ada masyarakat maka disitu ada hukum. Maksudnya, Segala produk hukum yang telah diundangkan oleh DEMA periode saya silahkan kalian amandemen untuk dapat disempurnakan bagi KMFH, untuk awal pertama saya tau bahwa hampir sebagian besar dari DEMA baru ini belum atau bahkan tidak mengetahui sama sekali terkait tugas & kewenangan perancang hukum (legal drafter). Namun, yang pasti kerjakanlah apa yang belum sempurna pengerjaannya oleh DEMA periode saya dengan niat fundamental "memperbaiki KMFH dengan persisten". Jangan lagi terulang upaya-upaya demoralisasi hak alami (natural rights) sebagaimana terjadi pada era saya. Karena harus saya akui, dibalik kekecewaan saya terhadap personil DEMA, memang terdapat sebuah distorsi atau pemutarbalikan suatu fakta yang tak nampak jika dilihat dari kacamata luar lembaga. Distorsi tersebutlah yang pada akhirnya melahirkan sebuah istilah untuk menilai kinerja DEMA periode saya, yakni 'gagal'". Kira-kira itulah 'evaluasi kilat' yang saya lakukan kepada DEMA baru. Maka, pada pokoknya dapat saya simpulkan hasil dari 'evaluasi kilat' tersebut sebagai berikut:
Itulah kiranya tulisan saya ditengah perjalanan saya mengokohkan jati diri saya. Jujur, saya sudah lelah berada di lingkungan yang cenderung berpaham pada neokolonialisme, salah satunya adalah di DEMA. Maka sekarang sudah menjadi tugas saya untuk terus gelisah, membangun KMFH bersama walau hanya bermodalkan gagasan yang saya tuliskan disini. Dan.. Maaf sekali lagi, saya sudah lelah untuk selalu bertindak hipokrit. Sudah terlalu lama saya diam dalam sebuah kepemimpinan feodalisme di DEMA. Maaf juga karena saya masih mencintai kampus ini, terutama negara Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dengan segala elemen didalamnya. Karena saya percaya.. memperbaiki bukan hanya dengan kita turun secara fisik, namun juga pemikiran. Hidup mahasiswa! 6 Januari pukul 20:04 Sebagai sebuah perjanjian sosial tertinggi, konstitusi dianggap sebagai sebuah pedoman fundamental tertinggi yang dianut oleh seluruh lapisan organ masyarakat. Sesuai perkembangan zaman, masyarakat bebas menilai apakah konstitusi tersebut masih relevan atau tidak dengan perkembangan sosial yang ada.
Hal tersebut dikarenakan konstitusi seyogyanya memuat cita-cita yang akan dicapai dengan pembentukan negara dan prinsip dasar pencapaian cita-cita tersebut. Misalnya, UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita, dasar, dan prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional (An Introduction to Constitutional Law; Eric Barendt: 2-7) Untuk mencapai cita tersebut dan melaksanakan penyelenggaraan negara berdasar pancasila, UUD 1945 telah memberi suatu sistem susunan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Norma dalam UUD 1945 pun juga tidak hanya mengatur kehidupan politik, tetapi juga kehidupan ekonomi sosial. Maka itu, UUD 1945 merupakan konstitusi politik, ekonomi dan sosial yang harus dijadikan acuan baik oleh negara (state) atau masyarakat (civil society). Tak terkecuali pun juga harus ditaati oleh (i) perancang hukum (legal drafter), dan (ii) politisi (legislator). Fakta di DEMA periode 2013/2014 Dalam kaitannya dengan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum ("KMFH"), konstitusi KMFH atau AD/ART KMFH masih cenderung dipandang dan dipahami oleh sebagian kalangan secara parsial pada elemen-elemen tertentu dan bersifat sektoral. Contohnya oleh para perancang hukum (legal drafter), dan politisi (legislator) itu sendiri atau yang lazim disebut sebagai lembaga parlemen Dewan Mahasiswa Fakultas Hukum ("DEMA"), konstitusi masih dipandang sebagai sesuatu yang normative, pun demikian dengan penegakan AD/ART dalam arti luas oleh para politisi tersebut. Jujur saja, ada ketidak puasan dan kekecewaan ketika saya bekerja dengan para politisi yang bernaung di dalam DEMA tersebut. Bagaimana tidak, setiap produk hukum yang diundangkan oleh DEMA, selalu saja dipandang sebagai sebuah kesempurnaan hakiki yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Tak terkecuali oleh anggota nya sendiri -Maklum, karena proses pembentukannya saja dimonopoli oleh satu orang yang merasa sudah sempurna karena memiliki sebuah jabatan- sehingga produk hukum yang keluar pun selalu saja dianggap sebagai sebuah 'kitab suci' yang tak dapat tergantikan bahkan oleh periode DEMA berikutnya. Padahal kita semua sadar, jika DEMA setiap periode dapat merubah produk hukum yang diundangkan oleh DEMA periode lama dikarenakan ketidak relevananya dengan keadaan sosial yang sedang berlaku. Kemudian, kita semua juga sadar bahwa DEMA merupakan lembaga politik yang tiap anggotanya terpilih melalui proses pemilihan umum. Sehingga sangat tidak mungkin ada regenerasi dari DEMA lama ke DEMA baru. Kalaupun ada? Pastilah akan dinamakan intervensi. Evaluasi Kilat Kelembagaan Pada sebuah kesempatan, saya hadir bersama DEMA periode baru yang sedang mempersiapkan diri untuk melantik presiden BEM baru. Dalam pertemuan tersebut, hadir ketua beserta sekjend DEMA periode baru. Mereka banyak mengajukan pertanyaan terhadap saya yang meliputi domain DEMA, saya pun hanya dapat memberikan jawaban seadanya karena pada dasarnya bukan kewenangan saya untuk mengintervensi DEMA baru atas jawaban-jawaban saya yang cukup 'nyeleneh'. Terutama mengenai pertanyaan atas segala produk hukum DEMA periode saya. DEMA baru, banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang bersifat private entah persoalan teknis atau persoalan lain. Namun, karena memang pada dasarnya saya telah kecewa terhadap monopoli DEMA periode saya, maka saya utarakan saja segamblang-gamblangnya disertai niat untuk mengajarkan pada DEMA baru bahwa "kita disini sama-sama belajar melalui DEMA untuk kepentingan bersama, kepentingan KMFH. jadi, saya tekankan disini saya bukan bertujuan untuk mengintervensi kalian sebagai DEMA baru apalagi mencuci otak kalian. Namun, saya disini untuk menceritakan fakta anomali yang terjadi pada era saya. Sebagai sebuah bahan evaluasi bersama untuk DEMA & KMFH" kemudian singkat cerita, saya gambarkan secara umum kepada DEMA baru bagaimana upaya manipulasi-manipulasi tafsir yang berhasil dijalankan oleh segelintir orang berpaham otoriterisme dimana -orang yang menjabat tersebut- telah menafikan kesepakatan bersama sejak awal DEMA periode saya terbentuk. Hingga akhirnya, saya memberikan sebuah wejangan atau kesimpulan umum atas 'evaluasi kilat' DEMA periode saya kepada DEMA baru, yakni "pahamilah lebih jauh, negara indonesia menganut suatu asas yakni, ubi societas ibi ius atau yang artinya dimana ada masyarakat maka disitu ada hukum. Maksudnya, Segala produk hukum yang telah diundangkan oleh DEMA periode saya silahkan kalian amandemen untuk dapat disempurnakan bagi KMFH, untuk awal pertama saya tau bahwa hampir sebagian besar dari DEMA baru ini belum atau bahkan tidak mengetahui sama sekali terkait tugas & kewenangan perancang hukum (legal drafter). Namun, yang pasti kerjakanlah apa yang belum sempurna pengerjaannya oleh DEMA periode saya dengan niat fundamental "memperbaiki KMFH dengan persisten". Jangan lagi terulang upaya-upaya demoralisasi hak alami (natural rights) sebagaimana terjadi pada era saya. Karena harus saya akui, dibalik kekecewaan saya terhadap personil DEMA, memang terdapat sebuah distorsi atau pemutarbalikan suatu fakta yang tak nampak jika dilihat dari kacamata luar lembaga. Distorsi tersebutlah yang pada akhirnya melahirkan sebuah istilah untuk menilai kinerja DEMA periode saya, yakni 'gagal'". Kira-kira itulah 'evaluasi kilat' yang saya lakukan kepada DEMA baru. Maka, pada pokoknya dapat saya simpulkan hasil dari 'evaluasi kilat' tersebut sebagai berikut: (a) segala macam bentuk perubahan AD/ART baik klausa ataupun frase baiknya langsung dilaksanakan saja tanpa perlu mengubah AD/ART itu sendiri. Karena itu bukanlah sebuah 'inkonstitusional' melainkan sebuah rechts-idea atau sebuah cita-cita hukum yang didasarkan atas kesepakatan politik (resultante) untuk memperbaiki KMFH; (b) karena terhambat oleh sidang umum, maka saya berpendapat bahwa penambahan klausul sumpah pres BEM di AD/ART dapat dilakukan pasca pelantikan pres BEM karena hal tersebut sebagai antisipasi preventive yang konstan untuk menegaskan bahwa pres BEM tidak boleh lulus sebelum masa jabatannya berakhir. Hal ini juga tidak terindikasi 'inkonstitusional' karena penambahan klausul tersebut merupakan sebuah rechts-idea atau cita-cita bersama; (c) lanjutkanlah segala macam hal yang baik di DEMA periode saya dan segera tinggalkanlah hal-hal budaya yang tidak baik & menghambat sebagaimana terjadi di DEMA periode saya; (d) jangan ada lagi, kepentingan politik jangka pendek oleh mereka yang menjabat dikalangan internal DEMA untuk membungkam suara anggota DEMA lain secara praktis: (e) keadaan AD/ART KMFH saat ini saya istilahkan sebagai sebuah keadaan krisis 'constitution randomness' atau kekacauan konstitusi karena AD/ART KMFH belum sepenuhnya mengatur elemen-elemen fundamental politik, sosial dan ekonomi KMFH secara komprehensif. Sehingga, saya berpendapat bahwa DEMA baru bisa dengan leluasa membuat grand-design atau blue-print konstitusi baru yang memuat segala elemen politik, ekonomi dan sosial. Entah akan meneruskan AD/ART DEMA periode saya atau membuat UUD KMFH yang baru; (f) sadarilah, bahwa asas 'Ubi Societas Ibi Ius' harus selalu dikedepankan di DEMA jika dirasa yang diatur tersebut belum sempurna pengaturan hukumnya. Karena, perkembangan sosial masyarakat pasti akan lebih dinamis daripada hukum itu sendiri. Maka, hukum lah yang harus mengikuti perkembangan zaman. Bukan sebaliknya; (g) jangan takut membuat terobosan hukum melalui produk hukum DEMA yang innovatif, mulailah terobosan hukum dari produk hukum tertinggi KMFH atau AD/ART. tinggalkanlah kebiasaan DEMA lalu yang cenderung konservatif. Jadilah DEMA yang revolusioner; dan (h) jadikanlah etos kerja DEMA bersendikan pada teamwork, bukan individual jabatan dan jadilah seorang politisi hukum di DEMA (mencari hukum apa yang seharusnya ada) bukan menjadi seorang ilmuwan hukum (mencari hukum sebagai suatu yang apa adanya saja. Itulah kiranya tulisan saya ditengah perjalanan saya mengokohkan jati diri saya. Jujur, saya sudah lelah berada di lingkungan yang cenderung berpaham pada neokolonialisme, salah satunya adalah di DEMA. Maka sekarang sudah menjadi tugas saya untuk terus gelisah, membangun KMFH bersama walau hanya bermodalkan gagasan yang saya tuliskan disini. Dan.. Maaf sekali lagi, saya sudah lelah untuk selalu bertindak hipokrit. Sudah terlalu lama saya diam dalam sebuah kepemimpinan feodalisme di DEMA. Maaf juga karena saya masih mencintai kampus ini, terutama negara Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dengan segala elemen didalamnya. Karena saya percaya.. memperbaiki bukan hanya dengan kita turun secara fisik, namun juga pemikiran. Hidup mahasiswa! jakarta, 6 januari 2015 20.04 WIB 1/1/2015 2 Comments Omong Kosong Kepada Polisi Dalam Menindak Kebisingan Knalpot Motor di Malam Tahun Baru Tulisan ini berawal dari kekesalan saya terhadap ulah pengendara motor disetiap sudut jalan yang selalu membuat kebisingan atau polusi suara melalui knalpot motornya. Setiap tahun, polusi suara jenis inilah yang membuat saya kesal jika harus keluar pada malam pergantian tahun. kebetulan, akhir tahun ini saya memilih untuk tidak refreshing keluar dengan alasan menghormati para keluarga atas tragedi jatuhnya air asia QZ8501. Akhirnya, saya pun memilih memanfaatkan waktu dengan cara menuangkan kekesalan atas kondisi pada setiap malam tahun baru kedalam tulisan ini di kost saya karena sepanjang perjalanan sore tadi saya dibuat geram atas sikap dan perilaku para pengendara motor 'bising' yang tak tau malu tersebut. Institusi kepolisian, sebagai institusi yang saya harapkan untuk meredakan polusi suara ini pun juga nampak tak bergeming jika dihadapkan dengan pengendara-pengendara motor seperti ini. Padahal, institusi ini sangat diharapkan untuk mampu mengendalikan pengendara-pengendara "bising" tersebut. namun nihil, nyatanya di malam hari ketika puncak-puncaknya arus lalu lintas padat untuk merayakan tahun baru terjadi, justru institusi ini seperti dibungkam, tenggelam dengan kebiasaan adat masyarakat. Helm tidak digunakan, membawa motor dengan knalpot tidak standar, hingga mengendarai secara bergerombol dan berisik yang mana bisa membahayakan pengguna jalan lain. Ya, Inilah potret pengendara motor nakal yang terjadi di setiap malam tahun baru. Lagipupa, sepanjang pengalaman saya bukan kali ini saja institusi ini dibuat ‘tak berdaya’ dengan keadaan. Saat lebaran idul fitri atau idul adha contohnya. Pada hari pertama perayaan idul fitri, dapat dipastikan hampir seluruh pengendara motor yang melintasi jalan raya di jakarta, bandung atau solo (berdasarkan pengalaman pribadi) mereka pasti mengganti helm mereka dengan peci atau kopeah karena merasa baru saja melaksanakan sholat ied. Polisi yang bertugas saat hari itupun nampak merelakan begitu saja tanpa ada tindakan represif sedikitpun. Sangat disayangkan. Tidak seharusnya aparat penegak hukum mendiamkan keadaan melanggar hukum seperti itu. Menurut ketentuan didalam undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada pasal 15 ayat (1), (2), (3) dan pasal 16 ayat (1) dan (2), secara garis besar kepolisian negara republik indonesia (“polisi”) bertugas untuk menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lain yang dapat meresahkan masyarakat. Jadi, jika terjadi suatu hal yang ‘mengganggu’ tatanan kehidupan bermasyarakat, maka tentu polisi merupakan salah satun lembaga yang diberikan kewenangan oleh negara untuk melindungi masyarakat secara preventif dan represif. Hal ini juga makin ditegaskan dengan falsafah dasar perlindungan keamanan dalam negeri yakni simbol pohon beringin atau sederhananya kita sebut sebagai ‘pengayoman’. Lantas jika kita mengacu pada penjelasan secara garis besar diatas, bagaimana jika kita analogikan bentuk ‘gangguan’ tersebut sebagai polusi udara yang disebabkan knalpot pengendara motor di malam tahun baru yang selama ini meresahkan masyarakat? Tentu jawaban yang paling mudah untuk menjawab pertanyaan tadi ialah belum. Ya, polisi belum mencerminkan pengayoman pada masyarakat saat terjadinya gangguan tersebut. ironis. Diskresi kepolisian Mengacu pada penjelasan diskresi dalam buku karya Kenneth Culp Davis berjudul “discreationary justice”, diskresi Polisi dapat pula diartikan sebagai Polisi yang bertindak berdasarkan penilaiannya sendiri. Ini dimaksudkan agar polisi bisa membuat keputusan dengan cepat dan tepat dengan disandarkan pada norma-norma di tengah masyarakat. (Kenneth Culp Davis; 1969) Secara sederhana, diskresi merupakan kewenangan tersembunyi yang dimiliki polisi untuk membuat keputusan yang memperhatikan kebaikan dan keadilan bagi semua pihak. Diskresi Kepolisian sendiri di Indonesia secara yuridis diatur pada pasal 18 Undang Undang No 2 tahun 2002 yaitu “ Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri “ , hal ini mengandung makna bahwa seorang polisi yang melaksanakan tugasnnya di tengah tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusaan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum. Namun sayang, uraian diatas disalahgunakan polisi untuk berkilah mengapa institusi ini terkesan acuh tak acuh untuk menindak para pelanggar lalu lintas yang berlipat ganda pada malam perayaan tahun baru. Ya, Mungkin saja ada yang ditindak di beberapa tempat, tetapi sayangnya tindakan tersebut tidak dilakukan dengan sistematis. Jadilah para pelanggar ini merasa merdeka dengan diskresi yang dilakukan oleh para polisi tersebut. Implikasinya, makin menjadi saja budaya kebiasaan melanggar lalu lintas di hari-hari besar nasional. Berdasarkan pengamatan saya sendiri, Institusi ini sendiri sering memposisikan diri ketika sedang ada perayaan besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat. dengan mengambil tempat ‘aman’ untuk tidak menindak satupun para pelanggar lalu lintas karena alasan “kebaikan bersama”. Sebuah alasan klise atas nama diskresi yang ditunjukkan oleh aparat penegak hukum di negeri ini. Secara garis besar institusi ini sama sekali belum mencerminkan kewibawaan dari pengayoman atas gangguan yang diderita masyarakat karena bisingnya knalpot pada hari-hari besar nasional. Padahal, masyarakat sangat mendambakan para aparat ini turun kejalan untuk memberikan tindakan tegas terhadap golongan pengendara motor “bising” yang nakal. Namun nihil, aparat justru bungkam atas gangguan tersebut. Minimnya aparat yang bertindak Hanya ada dibeberapa tempat saja saya dapat saya temui aparat yang benar-benar tepat menjalankan tugas dan wewenangnya selama malam tahun baru. Salah satunya di daerah sleman yogyakarta. Tahun lalu ketika saya hendak merayakan tahun baru di jogja, dalam perjalananan hendak menuju ke jogja saya melihat pemandangan yang tak biasa, yakni polisi mengejar para pengendara motor nakal yang ketahuan tidak menggunakan peralatan berkendara yang tidak sesuai standar dan para gerombolan pengendara motor yang menghasilkan suara yang sangat bising. Padahal jam saat itu menunjukkan pukul 22.00 WIB namun polisi di sleman masih bersiaga menjaga dan mengambil tindakan penilangan di tempat kepada para pelanggar lalu lintas. Di solo? Jangan harap. Saya masih sangat kecewa dengan perilaku aparat polisi yang sangat pasif dalam menindak para pelanggar lalu lintas. Padahal para pelanggar tersebut jelas-jelas telah melakukan pelanggaran di depan mata para polisi, namun seolah tak peduli polisi disini justru memilih bungkam, duduk di pos nya dan bercanda gurau dengan rekan sesama polisinya. Sebut saja sepanjang jalan slamet riyadi, perempatan holland bakery roti orion hingga perempatan gravista bengawan sport. Saat saya melewati jalan tersebut nampak aparat hanya duduk di pos polisinya mendiamkan begitu saja kebisingan knalpot para pengendara motor yang melewati pos tersebut. Kemanakah telingamu wahai aparat polisi? Sebuah resolusi di tahun 2015 Melihat kinerja kepolisian yang masih terkesan tebang pilih saat hari-hari besar nasional dapat dijadikan bahan evaluasi bersama. Budaya yang diciptakan masyarakat timbul atas lemahnya pengaturan produk hukum. Sederhananya, pengaturan produk hukum harus berpijak pada norma yang berkembang dimasyarakat dengan tidak mengorbankan dari pengaturan hukum itu sendiri. Institusi kepolisian lahir atas intervensi negara untuk menciptakan keadilan bersama yang hakiki ditengah kehidupan bermasyarakat indonesia. Maka dapat dipastikan dalam tugas dan kewenangannya institusi ini diharapkan dapat menciptakan ketenangan bersama dengan cara preventif maupun represif. Salah satunya ialah mengenai “gangguan” saat berlalu lintas di malam tahun baru ataupun dihari-hari besar lain. Institusi ini merupakan lembaga yang diharapkan masyarakat untuk dapat menjawab keraguan masyarakat atas kinerja penegakkan hukum di negeri ini. Berdasarkan pendapat dari Neta S Pane selaku Ketua Presidium dari Indonesian Police Watch (“IPW”), kinerja kepolisian pada tahun 2014 cenderung buruk. Salah satu yang menjadi poin krisis kepercayaan masyarakat atas buruknya kinerja polisi adalah masih berkembangnya mindset pencitraan di tubuh kepolisian dalam penegakkan hukum. Karena itu, diharapkan di tahun 2015 institusi kepolisian beserta jajarannya dalam bertugas agar senantiasa dapat bersikap adil, serta dapat mampu memberi jaminan keamanan hukum kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak merasa diombangambingkan dengan situasi yang tidak menentu. Contohnya seperti penegakkan hukum yang lemah terhadap pelanggar lalu lintas di malam hari terutama pada malam tahun baru. Masyarakat sudah lelah dengan polarisasi pemikiran bahwa hukum lalu lintas ‘hanya berlaku’ pada siang hari sedangkan pada malam hari tidak. Belum lagi stigma hukum rimba “siapa yang kuat, maka dia yang akan bertahan” yang berlaku di jalanan. Masyarakat sudah lelah dengan perilaku sikap dan kinerja aparat kepolisian yang masih menjadi persoalan klasik yang tak kunjung bisa teratasi dari tahun ke tahun. Karena itu di tahun 2015 kita doakan agar institusi ini dapat segera mengefektifkan amanat dari undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 15 ayat (1), (2), (3) dan pasal 16 ayat (1) dan (2) dimana polisi diharapkan dapat melindungi keamanan dalam negeri sebagai salah satu syarat utama agar terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Daftar Pustaka Kenneth Culp Davis, discreationary justice; London: 1969 Marlina, Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana; Medan: USU Press, 2010; Merry Morash, (February 1984), “Established of javenile police record.” Criminology 0 http://www.tribunnews.com/nasional/2014/12/30/catatan-akhir-tahun-2014-ipw-punya-prestasi-polri-belum-bisa-dipercaya) |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |