Oleh : M. L. Aldila Tanjung S.H * Perkembangan terkini penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19) kian hari kian mengkhawatirkan, data global terakhir yang bisa diakses pada laman WHO per hari ini (12/04/2020) menyebutkan terdapat 1.614.951 juta orang positif Covid-19 sementara 99.887 dilaporkan meninggal dunia. Indonesia sendiri melaporkan berdasarkan data terakhir yang diupdate via https://www.covid19.go.id/ per hari Minggu (12/04/2020) kasus positif telah menembus angka 3.842 orang, sembuh 286 orang dan meninggal 327 orang. Achmad Yurianto Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan Covid-19 dalam konferensi pers menyebutkan bahwa virus SARS_CoV-2 atau Corona jenis baru tersebut telah menginfeksi manusia di 34 Provinsi di Indonesia setelah Gorontalo mencatat kasus terbarunya pada Jumat (10/04/2020). Ini artinya, Covid-19 sudah (nyaris) menginjakkan jejak di seluruh wilayah Indonesia hanya dalam waktu 1 bulan sejak kasus pertama diumumkan pada Senin 2 Maret 2020. Perkembangan yang kian menyesakkan ini kemudian menciptakan atmosfir yang tidak biasa. Seruan jaga jarak hingga maraknya istilah asing seperti Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB), Karantina Wilayah hingga Darurat Sipil menjadi santapan berita nasional kekinian. Gempuran berita-berita nasional tentang kematian karena Covid-19 sampai penyebaran broadcast hoaks via WA mengenai Covid-19 ala grup ibu-ibu atau bapak-bapak generasi Baby Boomer secara terus menerus kemudian menimbulkan gelombang kepanikan yang tidak bisa dibendung oleh siapapun, sebab kecepatan informasi yang begitu melesat tidak diimbangi oleh keilmuan yang mumpuni. Sehingga tidak heran misalnya baru-baru ini marak berita mengenai penolakan jenazah pasien Covid-19 yang belakangan diketahui merupakan pahlawan medis bangsa yang telah gugur. Peliknya penyebaran Covid-19 ini juga membawa gelombang susulan yang bersifat destruktif. Mengacu pada materi konferensi pers Kementerian Keuangan pada tanggal 1 April 2020 yang bisa anda unduh dan pelajari disini, eskalasi penyebaran Covid-19 yang sangat dinamis dan cepat rupanya menghantui perekonomian dan stabilitas pada sektor keuangan. Ini menjadi ancaman yang sangat serius sampai-sampai Kemenkeu memprediksi perekonomian global 2020 diproyeksikan tumbuh negatif atau mengalami resesi. Efek dominonya, diprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia juga berisiko turun menjadi 2,3% bahkan diprediksi menjadi -0,4% pada skenario terberat – dan sebagai informasi tambahan, sesuai data pada laman Badan Pusat Statistik yang diakses pada Sabtu (11/04/2020) pertumbuhan ekonomi Triwulan IV 2019 sebesar 4,97%. Bayangkan jika terjun bebas sampai -0,4%. Akan seperti apa situasi bangsa nanti. Namun disitulah masalahnya: Pandemi Covid-19 ini terjadi begitu cepat dan mendadak. Seluruh dunia saat ini tengah berperang melawan sesuatu yang tidak kasat mata, termasuk para pelaku usaha kecil, menengah sampai pelaku usaha besar. Bagaimana tidak, Pembatasan Sosial Skala Besar (“PSBB”) saja sampai menutup beberapa lokasi-lokasi penting perputaran uang. Mall ditutup, pabrik ditutup, toko-toko tersier ditutup bahkan tempat hiburan masyarakat juga ditutup. Situasi yang tentunya tidak pernah terbayangkan bagi para pengusaha. Alih-alih memutar otak, para pelaku usaha yang sudah fase kritis pada denyut nadi keuangannya pasti akan (sempat) berpikir untuk menyebut situasi pelik ini sebagai keadaan Force Majeure dan bermaksud untuk melepaskan tanggung jawab dengan para pemodal untuk membayar kewajiban pembayaran finansial atau dengan pihak lain sesuai perjanjian. Sebagai orang awam, kita mungkin bisa berpikir demikian. Namun, dari sudut pandang hukum, masalah ini tidak sesederhana itu. Oke, mari kita bahas dimana letak ketidaksederhanaan itu. Sebelum membahas mengenai Force Majeure dan kaitannya dengan Covid-19, pertama-tama kita pahami dulu bahwa tulisan saya kali ini spesifik membahas Force Majeure yang lumrah dikenal dalam hukum Perdata. Bagi anda yang belum memahami detil perihal dasar hukum sahnya suatu perjanjian maka ada baiknya kita pahami dulu syarat sahnya suatu perjanjian menurut KUHPerdata. Dalam pasal 1320 KUHPerdata, dijelaskan bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat syarat yakni: Syarat (1) kesepakatan, merupakan kesepakatan antar para pihak saat melakukan sebuah perjanjian. Syarat (2) kecapakan, merupakan syarat yang mewajibkan pihak yang melakukan perjanjian sudah cukup umur (dewasa) menurut hukum. Menurut pasal 330 KUHPerdata, mereka yang disebut dewasa adalah mereka yang sudah mencapai umur 21 tahun dan/atau jika belum berumur 21 tahun sudah menikah maka dirinya dapat mengadakan suatu perjanjian. Syarat (3) suatu hal tertentu merupakan hal-hal yang diatur dalam perjanjian. Misalnya jual beli beras, larangan menjual ke tengkulak dsb. Sementara syarat (4) adalah sebab yang halal merupakan syarat yang mewajibkan suatu perjanjian tidak melanggar suatu peraturan perundang-undangan. Misalnya jika perjanjian meminta salah satu pihak untuk merampok harta milik orang lain maka dengan sendirinya perjanjian tadi batal demi hukum. Dari pemaparan singkat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa klausul Force Majeure masuk kedalam syarat (3) mengenai suatu hal tertentu, sebab Force Majeure berkaitan dengan syarat-syarat apa saja yang sudah disepakati para pihak dalam perjanjian sehingga apabila hal tersebut tercapai karena telah diperjanjikan sebelumnya, maka akan terjadi konsekuensi hukum sesuai kesepakatan seperti batal demi hukum atau perjanjian dianggap tidak pernah ada. Namun jika tidak diperjanjikan sebelumnya, maka hal tersebut kembali lagi kepada para pihak (vide Ps 1338 (1) KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak) Memahami Force Majeure |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |