Oleh: M. L. Aldila Tanjung S.H * “boleh gak sih Bank memblokir dana dalam rekening nasabah?” “gue habis ditipu nih, bisa gak sih gue minta Bank memblokir rekening penipu?” Pertanyaan ini menjadi menarik untuk dibahas dari aspek hukum sebab jika Bank mengabaikan aspek Yuridis maka secara otomatis apa yang diperbuat Bank menjadi perbuatan melawan Hukum dan nasabah dapat menggugat dengan hukum perlindungan konsumen. Sekarang, mari kita bahas secara sederhana apa saja fakta Yuridis dibalik pemblokiran dana nasabah. Kesatu, rekening Nasabah merupakan rahasia yang wajib dijaga Bank. Berdasarkan UU Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan (“selanjutnya disebut UU Perbankan”) pada pasal 1 ayat 28 dijelaskan bahwa Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya. Sementara ditambahkan oleh UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah), Rahasia Bank juga mencakup informasi nasabah investor dan investasinya. Kedua, pemblokiran dimungkinkan untuk perkara pidana. Baik UU Perbankan dan Perbankan Syariah keduanya mengatur secara identik mengenai pemblokiran untuk kepentingan perkara pidana. Dikuatkan dengan aturan pelaksana pada pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, pada intinya untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama seorang Nasabah dimungkinkan setelah ia ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa oleh polisi, jaksa atau hakim tanpa memerlukan izin dari pimpinan BI. Kaitan dengan aturan a quo yakni pasal 39 ayat 1 KUHAP bahwa barang-barang yang disita oleh penyidik adalah barang yang diduga ada kaitan atau digunakan untuk melakukan tindak pidana. Contoh paling dekat misalnya pemblokiran pada perkara suap eks Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono atau perkara dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dimana KPK dan Kejagung tidak perlu meminta izin dari Pimpinan BI perihal pemblokiran rekening tersangka untuk kepentingan penyidikan. Ketiga, pemblokiran untuk keperluan perkara perdata tidak diatur secara eksplisit. Faktanya, pengaturan setingkat UU hanya terdapat dalam UU Perbankan Syariah, bahkan UU Perbankan tidak mengaturnya. Begitu juga ketika saya menelusuri aturan teknis regulator (dhi. OJK dan BI), yang saya berhasil temukan adalah regulasi pemblokiran rekening bagi teroris. Sisanya, saya tidak menemukan. Sampai pada titik ini, saya mengambil kesimpulan aturan yang dapat digunakan hanya pasal 45 UU Perbankan Syariah yang berbunyi dalam hal Bank dan Nasabah bersengketa secara perdata, Bank dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut. Sayangnya UU Perbankan Syariah tidak memberi penjelasan lain mengenai tindakan lain apa yang dapat ditempuh oleh Bank dalam perkara perdata. Maka jika diperluas menggunakan metode interpretasi Hukum logika berpikir Argumentum per analogiam atau yang sering disebut analogi, klausul dalam pasal a quo sesungguhnya memberi ruang bagi Bank untuk bermanuver sepanjang masih dalam koridor perjanjian kredit antara Bank dan Nasabah atau sepanjang tidak menyimpang dari pasal 1320 dan pasal 1338 KUH Perdata. Manuver yang dilakukan juga tidak diperbolehkan telalu menyimpang dari perjanjian kredit atau kesepakatan sebab jika terjadi, posisi Bank menjadi lemah dan Nasabah sewaktu-waktu bisa menggugat Bank dengan dalil Kerugian yang disebabkan Perbuatan Melawan Hukum (vide pasal 1365 KUH Perdata). Misalnya dalam suara pembaca berikut terkait pemblokiran kartu kredit yang dilakukan oleh Bank BC*. Singkatnya, nasabah tidak terima kartu kreditnya diblokir karena ia terlambat membayar tagihan kartu kredit BC* pada bulan berjalan. Pada kasus tersebut, yang dilakukan oleh Bank BC* dapat dibenarkan menurut Hukum karena nasabah wanprestasi sehingga Bank BC* mengambil Langkah pemblokiran. Namun menurut saya, ada hal menarik yang perlu digarisbawahi sebagai respon korektif misalnya apakah dengan tidak melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan selama satu kali tanpa didahului peringatan (somasi) terlebih dahulu maka secara otomatis perbuatan beralih menjadi wanprestasi? Sebab dalam hal terdapat tunggakan maka Bank selaku kreditur sepatutnya mendahului dengan memberikan peringatan kepada debitur (nasabah) yang lalai dalam memenuhi kewajibannya. Ini diperkuat dengan yurisprudensi Putusan MA Nomor: 852/K/Sip/1972 yang memiliki kaidah hukum: “Bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu harus dilakukan penagihan resmi oleh juru sita (somasi). Oleh karena somasi dalam perkara ini belum dilakukan, maka pengadilan belum dapat menghukum para tergugat/pembanding telah melakukan wanprestasi, oleh sebab itu gugatan penggugat/terbanding harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sehingga dalih wanprestasi oleh Bank untuk melakukan pemblokiran juga patut dilakukan secara hati-hati agar tidak menyimpang dari kaidah hukum dalam yurisprudensi dimaksud. Memahami Perbedaan Blokir Seluruh Dana dan Sebagian Dana |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |