23/3/2016 0 Comments Algojo Bertahta Sarjana Hukum**oleh: Muhammad L Aldi Tepat tanggal 5 maret 2016 lalu, saya telah melaksanakan prosesi wisuda kesarjanaan saya. Penyematan gelar S.H menjadi penanda bahwa saya berhasil melewati satu fase yang amat penting. Tepat empat tahun tiga bulan saya menyelesaikan studi hukum ini. Studi yang kini, tak kalah tenar seperti fakultas kedokteran, tekhnik dan ekonomi karena menawarkan gambaran keberhasilan yang keren dan pasti setelah lulus. Sejak awal masuk kuliah, para dosen membuai kami dengan gambaran bahwa lulusan hukum akan mendapatkan bayaran yang berlimpah. Menjadi lawyer yang dapat uang konsultasi dalam hitungan menit hingga menjadi hakim dan jaksa yang mendapat tunjangan berlipat merupakan bumbu perkuliahan. Kesemuanya dibungkus rapi dengan satu syarat: hapalan buku hukum dan UU yang kuat. Tak ayal, sejak saya kuliah semester I hingga semester VIII. Sebagian besar ujian sudah bisa ditebak. Buku hukum dan pasal wajib dihapal. Jika tidak hapal, siap-siaplah bertemu lagi dengan mata kuliah tersebut tahun depan. Fakultas hukum kini semakin laris bak kacang goreng yang dijual di pertandingan sepak bola. Banyaknya para calon mahasiswa yang antri untuk mendaftar sebanding dengan banyaknya dosen hukum yang memiliki profesi sampingan. Ada yang sibuk menjadi saksi ahli, pejabat, staff ahli hingga menjadi makelar kasus. Tak salah memang, terlebih ditengah sistem remunerasi yang mencekik finansial para tenaga pengajar hukum dan sistem yang memaksa dosen untuk terus dan terus meneliti hingga habis pasokan ilmunya. Tetapi, hal tersebut keliru ketika profesi awal sebagai dosen justru tergantikan dengan banyaknya list proyekan. Mulianya profesi 'pahlawan tanpa tanda jasa' seakan luntur seketika saat mengetahui bahwa dosen lebih senang 'mroyek' dengan intensitas yang padat daripada mengajar. Saya ulangi, intensitas yang padat. Maka jangan heran, ketika banyak ditemui mahasiswa hukum yang 'tanggung' dalam menguasai hukum. Masuk kelas, mengisi buku absen, mendengar ceramah dosen, pulang. Merupakan rutinitas membosankan yang dialami oleh mahasiswa hukum karena minimnya sosok pengajar yang bisa mendobrak mainstream-nya metode pengajaran hukum yang itu-itu saja. Perlu disadari, metode pengajaran hukum memang telah membuat hukum menjadi ilmu klinis. Persis seperti metode yang berlaku pada ilmu kedokteran, dimana kemampuan litigasi merupakan obat mujarab dalam menyembuhkan penyakit. Berdebat dan bersilat lidah dengan patokan pada bunyi pasal merupakan perisai ampuh. Entah apakah nilai keadilan sudah disematkan atau tidak pada perisai tersebut. Istilah 'bicara dulu, urusan benar atau salah belakangan' seakan ampuh menjadi konstitusi para mahasiswa hukum. Keadaan demikian menjadi wajar, karena sejak awal mahasiswa menginjakkan kaki pada orientasi mahasiswa baru, mahasiswa sudah didoktrin sesuatu yang tidak bisa dibantah kebenarannya. Yakni: orang hukum pandai bersilat lidah. Hingga tak ayal, banyak lulusan hukum yang begitu cakap memainkan kata-kata. Bahkan pada keadaan yang dalam batas nalar sudah-sangat-salah sekalipun. Itulah sebabnya, rasanya tepat jika mengutip perkataan Eko Prasetyo bahwa dalam banyak kasus, orang awam begitu sulit membedakan mana yang sedang berpura-pura menjadi bandit dan mana yang bandit beneran. Karena antara pihak pro dan kontra bandit tersebut sama-sama memiliki lidah yang cerdas bersilat. Atas dasar itu pula, saya menduga banyak para orang tua yang kebetulan berprofesi sebagai lawyer, jaksa, hakim dan pekerjaan lainnya bersikeras menyekolahkan anaknya pada fakultas hukum. Iming-iming menjadi orang sukses, berdasi dan memiliki gaji yang tinggi tentu merupakan satu alasan utama daripada alasan-alasan lainnya. Padahal tidak sedikit. Sungguh, tidak sedikit para mahasiswa baru yang 'terpaksa' masuk fakultas hukum karena paksaan orangtuanya. Atau karena tidak ada pilihan lain. Atau karena tidak diterima pada fakultas favorit lain. Atau yang paling mengerikan, karena ingin menjadi sosok bergelimang harta dengan menghalalkan berbagai cara. Mahasiswa yang seperti ini sungguh sangat banyak saya temukan di sekitar saya. Tak segan-segan mereka menyebut dirinya pragmatis. Pada mahasiswa yang seperti ini, kita tentu tidak heran jika mengetahui bahwa keseluruhan hidupnya dikampus didedikasikan kepada nilai dan IPK. Jangan tanyakan bagaimana perkembangan hukum saat ini. Jangan tanyakan bagaimana solusi konkrit antara kasus taksi konvensional dan taksi online, kelanjutan kasus Dasep Ahmadi, perkembangan kasus Damayanti Wisnu Putranti, hingga perkembangan terkini sengketa reklamasi jakarta & bali. Karena mahasiswa ini jauh lebih paham perkembangan tempat nongkrong yang hype dan cozy. Sambil menyusun strategi bagaimana caranya lulus paling cepat dengan IPK yang tinggi. Selera Pasar Bagi saya, mahasiswa hukum tanpa idealis sama saja seperti mengayunkan pedang tanpa arah. Tersesat. Tanpa tujuan dan hanya bisa mengikuti selera pasar. Dalam mata kuliah pengantar ilmu hukum, sosiologi hukum maupun filsafat hukum sudah sangat sering disinggung hal yang demikian. Bahwa hukum belum tentu memberikan rasa keadilan bagi semua. Hukum seperti pisau bermata dua. dsb, dsb. Anggapan ini saya rasa tepat, karena kebanyakan mata kuliah kita memang didesain sedemikian rupa agar bisa mengikuti selera pasar. Misalnya saja kampus saya. Lebih senang menjadikan mata kuliah hukum perbankan sebagai mata kuliah wajib daripada memasukkan mata kuliah hukum dan HAM sebagai mata kuliah inti. Alasannya klise. Selain hukum perbankan merupakan satu isu kekinian yang patut dipelajari, mata kuliah ini juga menawarkan masa depan yang jelas: bankir profesional (maksudnya lulusan FH UNS sangat amat banyak yang menjadi pegawai bank). Pada titik ini sepertinya relevan jika saya katakan bahwa lagi-lagi, selera pasar diutamakan. Pendidikan hukum pun lama-lama menjauhkan mahasiswa dari jalur pemikiran kritis. Jangan coba tanyakan bagaimana mahasiswa hukum bisa paham perjuangan munir sebelum dimatikan di udara. Karena mahasiswa hukum lebih asyik membicarakan tujuan hidup sendiri daripada memperjuangkan apa yang seharusnya diteriakkan dengan lantang oleh para mahasiswa hukum -yang katanya lebih paham hukum. Bukti lain, lihat saja betapa persoalan hukum yang ada telah membuat kita prihatin dan tidak percaya. Para korporasi pembakar hutan bebas berkeliaran sementara seorang pencuri jalanan karena kelaparan ditangkap dan dibakar massa. Atau, ketika perhatian mahasiswa hukum lebih tercurahkan pada gosip dibalik pembunuhan melalui kopi sianida daripada menyaksikan seorang anggota dewan yang ditangkap tangan KPK menuturkan bahwa motifnya korupsi karena seluruh gajinya dibegal oleh partai. Pada persoalan hukum yang begini, saya yakin. Hukum berdiam diri dan jika ada yang mau mengusut, maka lawyer dengan terampil memberi alibi melalui indonesia lawyers club dan mahasiswa hukum asyik menikmati materi melalui televisi. Tidak ada perbincangan-perbincangan kritis lagi. Karena pendidikan hukum tidak lebih seperti sebuah malapetaka. Barangsiapa terseret kedalam pusaran hukum. Maka cara apapun dihalalkan untuk meloloskan diri. Pendidikan hukum kini tumbuh dengan mantra seperti itu. Buah dari pendidikan hukum memang berhasil membuat kita cenat-cenut. Para sarjana hukum yang berhasil di wisuda dengan nilai summa cumlaude dan cumlaude tak banyak yang memiliki gugatan atas ketidakadilan yang ada. Sedikit sekali yang meyakini bahwa ilmu hukum sebenarnya berada dalam bahaya. Dalam kondisi ini, saya sepenuhnya betul-betul sepakat dengan anggapan bahwa mahasiswa fakultas hukum besar dalam suasana pembelajaran yang dangkal. Sedikit sekali mata kuliah yang membawa mahasiswa hukum untuk terjun ke lapangan. Menyaksikan sendiri ketidakadilan dan merasakan kesewenang-wenangan berjalan. Kredo fiat justitia ruat coellum atau tegakkan keadilan meski langit runtuh tidak benar-benar dipahami oleh mahasiswa hukum. Dampaknya begitu berbahaya. Mahasiswa hukum digiring untuk menghapal pasal lalu menyesuaikan semua peristiwa dengan bunyi pasal. Persis seperti boneka yang dibentuk sesuai selera pasar. Algojo saya sepenuhnya sepakat, Jika pendidikan hukum terus dijalankan seperti sekarang, maka jantung persoalan mengenai ketidakadilan tidak akan pernah bisa diselesaikan. Makin kita tidak merombak pendidikan hukum, maka kita diam-diam akan memproduksi para algojo yang bisa berbuat kejam dengan keyakinan palsu pada aturan. Itulah kenapa sebaiknya pendidikan hukum mesti dibawa ke luar dari area kampus. Pendidikan hukum semestinya bukan hanya berpijak pada aturan dan buku melainkan dari peristiwa yang menyayat keadilan dari lubuk nurani terdalam. Kisah perlawanan reklamasi pantai jakarta-bali, perjuangan dibalik terbunuhnya aktivis lingkungan salim kancil, hingga perlawanan aktivis kepada para pembakar hutan semestinya adalah bab pembuka pada mata kuliah pengantar ilmu hukum. Mahasiswa hukum seharusnya mulai percaya bahwa 'semua orang tak melulu sama di hadapan hukum'. Sebab, berawal dari fakta yang menyakitkan itulah perlawanan atas kesewenang-wenangan atas nama hukum dimulai. Presiden AS ke-26, Theodore Roosevelt (1858-1919) pernah mengatakan: “seseorang yang tidak pernah bersekolah bisa saja mencuri barang dari sebuah gerbong kereta api, tetapi jika ia punya ijazah universitas, ia bisa mencuri kereta api dan relnya sekaligus”. Saya percaya. Pendidikan, baik itu formal dan informal tidak melulu membekali manusia dengan pengetahuan dan keterampilan belaka. Yang tak kalah penting untuk diingat adalah substansi mengenai pembentukan karakter sekaligus penanaman serta penguatan kesadaran etika bertanggungjawab. Dalam hal ini, akumulasi paripurna dari pengetahuan hukum dan peningkatan keterampilan sangat penting. Namun kokohnya karakter dan etika tanggungjawab itu jauh lebih penting lagi. Tanpa kedua hal tersebut, pengetahuan hukum dan keterampilan akan mudah dimanipulasi menjadi alat yang merusak masyarakat, bangsa dan negara. Jadi, berhati-hatilah. Siapa yang tahu anda yang bergelar sarjana hukum sebenarnya sedang dipersiapkan oleh 'sistem' untuk menjadi algojo yang tak kalah sadis dibandingkan eksekutor ISIS. Seorang sastrawan pernah menulis: harapan bisa habis ketika apa yang adil dan tak adil hanya dipecahkan melalui dusta dan peperangan. Dan pendidikan hukumlah yang mengantarkan itu semua! ** Penulis adalah alumni fakultas hukum universitas sebelas maret surakarta disclaimer: tulisan eko prasetyo http://indoprogress.com/2015/05/brengseknya-pendidikan-hukum-di-indonesia/ banyak memberikan amunisi tambahan bagi penulis.
0 Comments
Leave a Reply. |
Muhmd Aldi
Tukang komentar. khususnya seputar hukum, politik dan kebijakan publik. Merupakan pria keturunan asli Minangkabau. Archives
September 2021
CategoriesAll Catatan Kritis Fakultas Hukum UNS Gerakan Mahasiswa Hukum Hukum Tata Negara Internasional Kegiatan Keluarga Mahasiswa Fakultas Hukum Manifestasi Manifesto Politik Opini Pribadi Penegakan Hukum Politik Universitas Sebelas Maret |